Oleh: Martin Suryajaya, filsuf dan penulis buku Materialisme Dialektis dan Asal Usul Kekayaan
DEWASA ini, nama Karl Marx sudah demikian akrab dalam
kajian-kajian sosial dan filsafat. Apabila kita membuka literatur filsafat
kontemporer, nama Marx hampir selalu muncul. Para filsuf kontemporer yang
belakangan naik daun di Indonesia, semuanya memiliki latar belakang Marxian:
sebut saja Slavoj Žižek, Alain Badiou, Jacques Ranciere, Antonio Negri, Ernesto
Laclau dan Chantal Mouffe. Mereka semua, dengan satu atau lain cara, mencoba
menjawab permasalahan-permasalahan aktual yang dihadapi dunia melalui rekonstruksi
kreatif atas pemikiran Marx. Terlepas dari persoalan benar/salahnya
rekonstruksi tersebut, ini sudah menunjukkan bahwa Marx masih dianggap penting
oleh para filsuf kontemporer. Hal serupa juga kita jumpai dalam wilayah ilmu
sosial sejak lima dekade belakangan ini. Orang-orang seperti David Harvey di
ranah kajian geografi, Gerard Duménil di ekonomi, Maurice Godelier dan Marvin
Harris di antropologi, Eric Hobsbawm dan E.P. Thompson di sejarah, Erik Olin
Wright di sosiologi, Roy Bhaskar dan para pengikutnya dalam ranah kajian logika
ilmu-ilmu—orang-orang ini berangkat dari paradigma Marxian yang eksplisit.
Belum lagi menghitung jumlah penelitian sosial yang menggunakan sebagian cara
pandang Marxian dalam menganalisis realitas empirik. Fakta ini menunjukkan
bahwa Marx masih akan menjadi ‘kawan seperjalanan’ dalam dunia pemikiran
abad ke-21.
Ada pandangan yang juga jamak beredar, berlawanan
dengan fakta di muka, bahwa pemikiran Marx sudah tak lagi relevan untuk
didiskusikan. Kita bisa memaklumi adanya pandangan seperti ini. Alasan yang
menyebabkan munculnya pandangan itu ialah repetisi yang tidak kreatif atas
ajaran Marx—sebuah praktik yang terjadi dalam literatur tentang Marx dalam
bahasa Indonesia. Kita sudah terlalu sering mendengar bahwa Marx lahir di
Trier, bahwa Marx mempersoalkan alienasi masyarakat modern, bahwa Marx
menganggap negara harus dihancurkan, bahwa Marx mengkritik eksploitasi
nilai-lebih dalam kapitalisme dan seterusnya. Persoalannya adalah bahwa narasi
ini selalu diulang tanpa secara kreatif menafsirkan ulang pandangan Marx dalam
kaitannya dengan sejarah pemikiran yang mensituasikannya dan yang mengemuka
saat ini. Akibatnya, pemikiran Marx berubah menjadi kaku, membosankan dan
tak relevan. Di sini kita memperoleh kesimpulan yang menarik: anggapan bahwa
pandangan Marx sudah tidak relevan tak lain merupakan hasil dari tradisi
pembacaan yang tak kreatif atas Marx. Karenanya, persoalan relevansi
pandangan Marx akan terjawab dengan sendirinya ketika kita mulai menafsirkan
Marx secara kreatif.
Penafsiran yang kreatif tentu saja tetap mesti
dibedakan dari penafsiran yang asal aneh. Penafsiran kreatif atas Marx hanya
bisa dilakukan melalui pembelajaran serius atas sejarah pemikiran, baik
itu yang melatari pandangan Marx maupun yang muncul di kemudian hari. Dengan
mengaitkan apa yang direnungkan Marx dengan apa yang diperdebatkan oleh para
pemikir sebelum dan sesudahnya, kita akan memperoleh potret tentang bagaimana
refleksi Marx itu berumah dalam sejarah pemikiran manusia sejak awal munculnya
filsafat dan terus diperdebatkan hingga hari ini. Jenis pembacaan seperti
inilah yang akan kita upayakan pada kesempatan ini.
- Marx sebagai ‘Pemikir’
Karl Marx adalah seorang ‘pemikir’ dalam pengertian
klasiknya. Bagi kita yang hidup di awal abad ke-21 ini, istilah ‘pemikir’
cenderung merujuk pada sosok orang yang merenung dalam batasan bidang studi
tertentu dan oleh karenanya istilah itu kerap dipergantikan dengan istilah yang
berkaitan dengan kepakaran dalam ilmu tertentu: pemikir persoalan biologi kita
sebut biolog, pemikir persoalan filsafat kita sebut filsuf, dst. Berbeda dengan
itu, pengertian klasik tentang ‘pemikir’ adalah orang yang memiliki
perhatian pada sejumlah bidang studi secara bersamaan. Pengertian ini umum
dijumpai dalam sejarah pemikiran sejak Yunani kuno. Pengertian klasik ini baru
pudar dengan adanya fiksasi pembagian kerja intelektual ke dalam bidang-bidang
studi terpisah yang terjadi sejak akhir abad ke-19 dan secara global pada abad
ke-20. Dalam konteks ini, Marx adalah seorang pemikir dalam arti yang sama
seperti Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, Descartes, David Hume, Immanuel
Kant dan sederet pemikir lain sebelum abad ke-20. Kekhasan dari para pemikir
‘klasik’ terletak dalam keluasan jangkauan objek pemikirannya. Kant tidak hanya
berbicara filsafat, tetapi juga mengajukan hipotesis tentang pembentukan
planet-planet. Copernicus tidak hanya berbicara tentang astronomi, tetapi juga
menulis tentang inflasi perekonomian Eropa. Descartes bukan hanya filsuf,
melainkan juga matematikawan dan pemikir fisika. Aristoteles adalah filsuf,
biolog, fisikawan, ekonom dan ilmuwan politik sekaligus. Demikian pula dengan
Marx.
Dari apa yang sering kita dengar, Marx telah menulis
risalah tentang filsafat (German Ideology), ekonomi-politik (Capital),
sosiologi dan sejarah (trilogi Class Strugle in France, Eighteenth Brumaire
of Louis Bonaparte dan Civil War in France). Bersama Durkheim dan
Weber, Marx dianggap sebagai pendiri sosiologi. Bersama Smith dan Ricardo, Marx
dianggap sebagai tokoh kunci ekonomi-politik Klasik. Setiap diktat sejarah
filsafat modern juga selalu mencantumkan pemikirannya. Keluasan bidang ilmu
yang didalami Marx inilah yang menjelaskan mengapa tafsiran standar tentang
pemikirannya keliru. Beberapa tafsiran standar itu mengandung sejumlah
kekeliruan sebagai berikut:
- kekeliruan sumber: meyakini bahwa tradisi filsafat paling dominan yang berada di balik Marx adalah filsafat Hegel
- kekeliruan deterministik: meyakini bahwa Marx membalik Hegel dengan membuat yang-material menentukan yang-mental
- kekeliruan konstruktivis: meyakini bahwa Marx menganggap segala sesuatunya adalah hasil konstruksi sosial
Ketiga kekeliruan di muka lazim ditemukan di dalam
setiap wacana umum tentang Marx dan Marxisme. Ini bukannya tanpa konsekuensi:
- Kekeliruan pertama menyebabkan munculnya perdebatan tanpa akhir tentang apakah Marx pada periode penulisan Das Kapital masih seorang Hegelian atau tidak, tentang apakah dialektika Hegelian masih terdapat dalam logika Marx. Hasilnya adalah sejarah pemikiran yang sempit.
- Kekeliruan kedua menyebabkan munculnya stereotipe tentang Marx sebagai pemikir yang deterministik: memandang kebudayaan tak lebih daripada efek-samping (epifenomena) dari struktur ekonomis, memandang superstruktur ditentukan sepenuhnya oleh basis. Hasilnya adalah ontologi yang deterministik.
- Kekeliruan ketiga memunculkan anggapan bahwa Marx adalah seorang relativis: oleh karena segalanya merupakan konstruksi sosial, maka kebenaran objektif tidak ada—kebenaran hanyalah hasil konvensi ataupun manipulasi kekuasaan. Hasilnya adalah epistemologi yang relativis.
Basis ketiga kekeliruan di muka adalah sempitnya cara
pandang yang kita pakai dalam membaca Marx dan abai pada fakta bahwa ia menulis
tentang bidang-bidang keilmuan yang jauh lebih luas dari apa yang kita anggap
tentang Marx. Ada tradisi belajar yang panjang di balik sosok Marx yang mesti
kita mengerti terlebih dahulu.
Setelah menyadari luasnya tradisi pemikiran yang
dikandung dalam sosok Marx, berikut ini kita akan mencoba memberikan alternatif
pembacaan yang lebih terbuka terhadap kekayaan tradisi tersebut. Alternatif
pembacaan ini akan kita ajukan sekaligus sebagai kritik atas ketiga kekeliruan
di muka. Untuk itu, kita akan mengajukan tiga pokok alternatif berkaitan dengan
pemikiran Marx yang berlawanan dengan ketiga kekeliruan di muka: pertama,
mengenai sumber pemikiran Marx; kedua, pandangan Marx tentang kenyataan
(ontologi); ketiga, pandangan Marx tentang kebenaran (epistemologi).
- Sumber-Sumber Pemikiran Marx
Menurut sebuah tradisi pembacaan yang memiliki sejarah
panjang (sejak Plekhanov), terdapat tiga sumber pemikiran Marx: filsafat
Jerman, ekonomi-politik Inggris dan sosialisme Prancis (Lenin 1960:67). Ketiga
sumber ini mengemuka ke dalam tiga komponen utama pembentuk pemikiran Marx:
- Filsafat Jerman yang mempengaruhi Marx adalah idealisme Hegel. Melalui kritik materialis Feuerbach atas Hegel, Marx merumuskan konsepsinya tentang materialisme yang sekaligus berciri dialektis dalam sejarah.
- Ekonomi-politik Inggris yang membentuk pemikiran Marx adalah teori nilai-kerja. Melalui pemeriksaan atas teori nilai inilah, Marx merumuskan konsepsinya tentang nilai-lebih.
- Sosialisme Prancis menjadi konteks yang melandasi imajinasi Marx tentang politik pergerakan. Dengan mengkritik sisi utopisnya, Marx mengakui tema sentral yang terkandung di dalamnya, yakni perjuangan kelas.
Ketiga komponen itulah—materialisme historis, teori
nilai-lebih dan perjuangan kelas—yang secara tradisional dianggap sebagai
tulang punggung pemikiran Marx secara keseluruhan.
Tradisi pembacaan di muka tidak sepenuhnya keliru.
Satu-satunya kekeliruan yang terkandung di dalamnya ialah bahwa pembacaan
tersebut tidak lengkap. Sebab, sebagaimana sudah kita lihat, Marx memiliki
tradisi pemikiran yang jauh lebih kaya. Berikut ini, kita akan mengupas
sumber-sumber pemikiran Marx yang terlupakan oleh tafsir dominan atasnya.
Sumber-sumber berikut mesti juga diperhitungkan bersamaan dengan ketiga sumber
di muka.
- Aristoteles
Aristoteles adalah pemikir sentral yang pengaruhnya
terasa pada berbagai bagian tulisan Marx. Fakta ini kerap dikubur di balik
opini yang menyatakan bahwa Hegel adalah pemikir yang dominan dalam tulisan
Marx. Opini semacam ini mengabaikan fakta sederhana bahwa dalam Das Kapital,
Aristoteles disebut sebanyak dua kali lipat dibanding Hegel: empat
halaman untuk Hegel dan delapan halaman untuk Aristoteles (bdk. Marx 1979:1127
& 1122). Opini itu juga abai pada fakta bahwa Marx berangkat dari studi
pemikiran Yunani klasik dalam disertasinya dan Aristoteles merupakan pemikir
Yunani yang paling dihormati Marx (Rubel & Manale 1975:145). Ada banyak
pengaruh Aristoteles pada Marx, tetapi kita hanya akan menunjuk tiga hal di
sini.
- Pertama, kecenderungan materialis dalam pemikiran Aristoteles. Berbeda dari Plato—atau setidaknya tafsiran umum tentangnya yang sudah berkembang sejak era Aristoteles sendiri—yang melihat bahwa esensi benda dapat dipisahkan dari keberadaan fisik benda terkait (esensi sebagai exemplar), Aristoteles memandang bahwa esensi benda niscaya inheren dalam bendanya dan tak mungkin ada apabila terseparasi dari keberadaan fisik benda itu (esensi sebagai yang ‘terinstantiasi’, instantiated).[1] Dalam arti ini, Aristoteles mengantisipasi materialisme yang berkembang sesudahnya sampai dengan era Marx.
- Kedua, pemikiran Aristoteles berperan dalam kritik Marx atas Hegel. Melawan Hegel yang menempatkan ide sebagai titik berangkat pengetahuan, Marx mengikuti Aristoteles dengan menaruh benda-benda riil sebagai titik berangkat (Meikle 1985:43). Pemikiran yang ilmiah tidak berangkat dari postulat, melainkan dari realitas yang berada di luar subjek. Dengan demikian, Aristoteles merupakan sosok kunci dalam pelampauan Marx atas Hegel.
- Ketiga, Marx mendasarkan teori nilainya dalam Das Kapital pada pandangan Aristoteles tentang keseukuran (commensurability; symmetria). Marx menyebut Aristoteles sebagai pemikir pertama yang membahas perkara nilai dalam sejarah ilmu ekonomi (Marx 1979:151). Dalam Etika Nikomakhea, Aristoteles menulis bahwa “tidak ada pertukaran jika tidak ada kesetaraan, tak ada kesetaraan jika tak ada keseukuran” (Etika Nikomakhea 1133b16-18). Oleh karena pertukaran komoditas mensyaratkan kesetaraan nilai komoditas dan kesetaraan itu mengandaikan adanya keseukuran antar komoditas yang berbeda, maka esensi dari realitas ekonomi terletak pada prinsip yang memungkinkan keseukuran itu. Dengan cara inilah Marx sampai pada kesimpulan bahwa kerjalah yang menjadi basis keseukuran antar komoditas—semua komoditas seukur satu sama lain karena semuanya adalah hasil pencurahan sejumlah kerja yang sama. Dengan demikian, Aristoteles termasuk tokoh kunci di balik pandangan ekonomi-politik Marx.
- Naturalisme
Pemikiran Marx juga tak dapat dilepaskan dari
naturalisme, yakni pengertian tentang adanya kesebangunan—kendati bukan
identitas—antara kajian tentang manusia dan kajian tentang alam. Pandangan ini
dilandasi oleh visi yang melihat bahwa realitas manusia tertanam dalam realitas
alam. Naturalisme dapat dilacak sumbernya dari para pemikir Yunani kuno (yang
menyamakan alam, phusis, dengan esensi), para teolog abad Pertengahan
(yang menyamakan alam dengan kodrat) dan para pembaharu sains modern (yang
mencari hukum yang secara niscaya mengatur fenomena alamiah dan fenomena
sosial). Marx adalah bagian dari tradisi ini. Ia menuliskan dalam ‘Manuskrip
Paris’: “sejarah sendiri merupakan sebuah bagian nyata dari sejarah
alam—dari alam yang berkembang menjadi manusia” (seperti dikutip dalam
Callinicos 1983:98). Naturalisme yang berkembang dalam Marx bukanlah
naturalisme reduksionis yang menyamakan diskursus tentang manusia dengan
diskursus tentang alam, yang mereduksi penjelasan tentang manusia pada
penjelasan tentang tatanan kodrati yang abadi. Naturalisme Marx mengemuka dalam
pengakuan bahwa realitas alam menjadi struktur yang mengkondisikan realitas
manusia sehingga penjelasan tentang manusia mesti menghitung juga konteks
keberadaan materialnya yang dikondisikan oleh alam. Dengan kata lain, Marx
berpikir dalam tradisi naturalis yang diwarisinya secara kritis dari para
pembaharu sains modern, para teolog abad Pertengahan dan para pemikir Yunani
kuno.
- ‘Materialisme Inggris’
Umumnya, konsepsi materialis yang dipandang melatari
pemikiran Marx ialah ‘materialisme filosofis’ yang berkembang di tangan para
intelektual Pencerahan dari Prancis (Diderot, Holbach, de la Mettrie) dan
materialisme Feuerbach yang melihat manusia dan gagasannya tak lebih sebagai
efek dari interaksi antar materi dalam tubuhnya. Ini bukanlah materialisme
dalam pandangan Marx. Materialisme yang mengemuka dalam cara pandang Marx
tentang manusia adalah suatu ‘materialisme ekonomis’. Materialisme jenis ini
mengemuka dalam teori nilai ekonomis yang diwarisi Marx dari para ekonom Klasik
Inggris seperti Adam Smith dan David Ricardo, yakni teori nilai-kerja (labour
theory of value). Teori nilai-kerja menyatakan bahwa nilai komoditas
ditentukan oleh jumlah kerja yang diperlukan dalam memproduksi komoditas
tersebut. Dengan demikian, prinsip penentu nilai komoditas ditempatkan pada
aras produksi dan bukan sirkulasi atau perdagangan. Pendekatan produksionis
dalam memandang nilai ekonomi ini bukanlah hal yang baru pada Marx. Adam Smith
telah merumuskannya jauh sebelum Marx. Dalam pembacaan Meek (1973:52-53),
materialisme historis—atau pengertian bahwa cara manusia memenuhi kebutuhan
hidupnya mengkondisikan cara manusia berpikir dan berkebudayaan—sudah
implisit dalam teori nilai-kerja sejak Adam Smith: cara manusia berproduksi
mengkondisikan cara manusia menukarkan hasil-hasil produksinya dan pemahaman
akan karakter masyarakat tertentu mensyaratkan pengertian tentang caranya
mencukupi kebutuhan hidup (mode of subsistence).[2]
Dengan kata lain, materialisme Marx berakar pada materialisme
ekonomi-politik Klasik.
Ketiga sumber ini—Aristoteles, naturalisme dan
materialisme Inggris—mesti diakui juga sebagai landasan pemikiran Marx selain
ketiga sumber yang diakui secara tradisional (filsafat Jerman, ekonomi-politik
Inggris dan sosialisme Prancis). Mengakui ketiga sumber non-tradisional di muka
akan membukakan jalan bagi penafsiran atas pemikiran Marx yang lebih berimbang.
- Ontologi Marx
Pandangan Marx tentang hakikat realitas (atau ontologi
Marx) umumnya disebut sebagai materialisme historis. Apa yang disebut
materialisme historis umumnya dipahami secara ringkas sebagai tesis bahwa
‘basis menentukan superstruktur’: realitas material menentukan realitas mental,
realitas ekonomis menentukan realitas sosial, politik, legal dan kebudayaan.
Tafsiran tradisional ini umumnya memahami bahwa karena superstruktur ditentukan
oleh basis, maka penjelasan tentang superstruktur dapat sepenuhnya direduksi
pada penjelasan tentang basisnya. Ontologi yang termuat di belakang
tafsiran tradisional ini adalah suatu varian dari materialisme, yakni materialisme
reduksionis atau materialisme eliminatif. Berlandaskan pada tafsiran
tradisional inilah orang umumnya menganggap Marx sebagai pemikir yang deterministik.
Kita akan menunjukkan bahwa tafsiran tradisional itu keliru dan tak memiliki
basis tekstual yang kokoh dalam tulisan-tulisan Marx.
3.1. Fondasi Aristotelian dari Materialisme Historis
Apa yang dilupakan oleh tafsiran tradisional di muka
adalah argumen Aristotelian yang inheren dalam pendekatan Marx atas
materialisme. Argumen Aristotelian ini mengemuka sebagai kritik atas dialektika
Hegelian yang mereduksi Ada pada pikiran, mereduksi hidup pada kesadaran. Marx
menulis:
“Kesadaran
[das Bewusstsein] tidaklah lain ketimbang ada-yang-sadar [das
bewusste Sein], dan ada-nya manusia adalah proses hidup aktualnya. [...]
Berlawanan dengan filsafat Jerman yang turun dari surga ke bumi, apa yang
penting di sini adalah menanjak dari bumi ke surga. Artinya, tidak berangkat
dari apa yang manusia katakan, imajinasikan, bayangkan, tidak juga dari manusia
sebagamana yang dinarasikan, dipikirkan, diimajinasikan, dibayangkan, untuk
sampai ke manusia yang membadan; melainkan berangkat dari manusia yang nyata,
aktif dan berlandaskan proses hidup riil mereka untuk lalu menunjukkan
perkembangan refleks ideologis dan gema dari proses hidup ini.” (Marx & Engels 1976:42)
Tidak ada kesadaran tanpa makhluk-yang-sadar. Inilah argumen kunci Marx dalam
kritiknya atas idealisme kaum Hegelian Muda. Argumen serupa muncul juga dalam
kritiknya atas filsafat negara Hegel:
Hegel
membuat predikat, objek-objek, menjadi otonom, tetapi ia melakukannya dengan
memisahkan predikat itu dari otonominya yang sesungguhnya, yakni subjeknya.
Subjek yang sesungguhnya kemudian nampak sebagai hasil, padahal pendekatan yang
tepat mesti berangkat dari subjek yang sesungguhnya dan kemudian
mempertimbangkan objektifikasinya. [Dalam Hegel] substansi mistik lalu menjadi
subjek yang nyata, sementara subjek aktual nampak sebagai sesuatu yang lain,
yakni sebagai momen dari substansi mistik. [...] Hegel tidak berangkat dari
keberadaan aktual (hupokeimenon) tetapi dari predikat determinasi
universal. (Marx 1992a:80)
Inti kritik Marx atas Hegel di muka adalah sebagai
berikut: Hegel membuat predikat menjadi otonom dari subjeknya dan membuat subjek
itu dependen pada predikatnya; dengan kata lain, Hegel berangkat dari sifat-sifat
benda—bukan dari benda itu sendiri—dan kemudian malah membuat benda riil
menjadi manifestasi dari sifat-sifatnya.
Kritik Marx atas Hegel di sini, sebagaimana dicatat oleh
Lucio Colletti, sebangun dengan kritik Aristoteles atas konsep Idea Plato
(Colletti 1995:19-20). Ambillah contoh sebuah proposisi sederhana: ‘Anton itu
baik hati’—term ‘Anton’ adalah subjek proposisi dan term ‘baik hati’ merupakan
predikatnya. Apa yang dilakukan Hegel adalah membuat ‘baik hati’ sebagai
landasan keberadaan ‘Anton’. Dengan kata lain, apabila tidak ada ‘baik hati’,
maka ‘Anton’ tidak ada. Dalam Hegel, predikat dianggap dapat ada terpisah
dari subjeknya dan justru dijadikan fondasi dari subjeknya. Dalam
Hegel, predikat dijadikan subjek dan subjek sesungguhnya malah dijadikan
predikat. Kritik Marx atas Hegel bersifat Aristotelian persis karena Marx
hendak menunjukkan, sebagaimana Aristoteles, bahwa subjek adalah fondasi dari
predikat dan bahwa tak ada predikat yang terseparasikan dari subjeknya. Dalam
contoh di muka, apa yang mau Marx nyatakan adalah bahwa oleh karena ‘Anton’
ada, maka ‘baik hati’ itu dimungkinkan. Dengan kata lain, agar ada
sifat-sifat dari sesuatu, sesuatu itu mesti ada terlebih dahulu dan
menjadi fondasi peneraan sifat-sifat tersebut. Dalam kosakata
Aristotelian, posisi Marx dapat dirumuskan sebagai berikut: predikat mesti terinstantiasi
(instantiated) dalam subjeknya.
Subjek dalam Aristoteles mengandung arti ganda: arti logis
dan ontologis. Dalam arti pertama, subjek adalah sebagai agensi dalam
proposisi: sebagai yang menerima atau mengandung penyifatan (predication)
tertentu. Dalam arti kedua, subjek adalah substansi atau landasan
kenyataan. Inilah sebabnya kata Yunani yang digunakan Aristoteles untuk
menyebut subjek adalah hupokeimenon yang artinya: ‘hal-yang-melandasi’ (that
which underlies). Agar ada sifat-sifat tertentu, landasan tempat
sifat-sifat itu dikenakan mesti ada terlebih dahulu. Inilah ontologi substansialis
yang terdapat dalam Aristoteles. Ontologi inilah pula yang implisit dalam
kritik Marx atas Hegel.
Konsekuensi dari ontologi substansialis ini mengemuka
dalam pandangan Marx tentang materialisme historis. Tak ada predikat tanpa
subjek. Tak ada kesadaran tanpa manusia-yang-sadar. Oleh karena adanya
kesadaran mengandaikan adanya manusia riil yang sadar, maka keberadaan manusia
riil itu mengkondisikan kesadarannya. Apakah syarat kemungkinan dari keberadaan
manusia riil itu? Pemenuhan kebutuhan hidupnya sebagai makhluk biologis yang
terjadi lewat proses produksi dalam konteks pembagian kerja dalam masyarakat.
Dengan demikian, syarat kemungkinan keberadaan manusia terletak dalam realitas
ekonominya. Oleh karenanya, realitas ekonomi manusia merupakan syarat kemungkinan
dari kesadaran manusia. Konsekuensi lebih lanjutnya, realitas ekonomi
mengkondisikan realitas kesadaran. Demikianlah, dengan berangkat dari
pengandaian substansialis Aristotelian bahwa setiap sifat mesti terinstantiasi
pada landasan material tertentu, Marx sampai ke kesimpulan pentingnya, yakni
tesis pokok materialisme historis.
3.2. Naturalisme Non-Reduksionis sebagai Kunci
Dialektika Basis-Superstruktur
Melalui pemaparan tentang landasan Aristotelian dari
pemikiran Marx di muka, kita dapat melihat bahwa tafsiran tradisional yang
menyamakan materialisme historis dengan tesis ‘basis menentukan superstruktur’
keliru sebab apa yang dipersoalkan di sini adalah prakondisi dan bukan
determinasi. Apa yang dipersoalkan Marx adalah persyaratan dan bukan
penentuan. Karenanya, ‘basis menentukan superstruktur’ mesti
diparafrasekan ulang sebagai ‘basis mengkondisikan superstruktur’. Sebagaimana
Aristoteles mempersoalkan syarat kemungkinan bagi adanya sifat-sifat dengan
menjangkarkannya pada substansi, Marx mempersoalkan syarat kemungkinan bagi
adanya superstruktur dengan melandaskannya pada basis. Agar ada superstruktur
sama sekali, basis mesti ada terlebih dahulu. Namun ini tak mengimplikasikan
bahwa penjelasan tentang superstruktur dapat direduksi secara total ke penjelasan
tentang basis. Dalam Marx, tetap diakui adanya hubungan saling-pengaruh atau
relasi dialektis antara basis dan superstruktur.
Di sinilah letak misteri yang terus diperdebatkan
hingga kini di kalangan penafsir Marx: bagaimana persisnya menjelaskan
kemungkinan respon superstruktur atas basis? Inilah locus classicus dari
perdebatan tanpa ujung dalam tradisi Marxis antara determinisme dan voluntarisme.
[3]
Tafsiran tradisional akan menolak kemungkinan ini dan karenanya terjatuh ke
dalam determinisme, sementara tafsiran lain mengatakan bahwa superstruktur
dapat mengeluarkan respon balik ke basis karena superstruktur otonom terhadap
basisnya dan dengan ini terjatuh ke dalam voluntarisme. Para komentator Marx
berupaya mengatasi dilema ini dengan mengupayakan alternatif ketiga dari kedua
tafsiran yang sama-sama problematisnya itu. Salah satu alternatif yang hingga
kini dominan adalah melalui konsep overdeterminasi yang diajukan oleh
Louis Althusser (1997:87-128).
Dalam alternatif Althusser dan para muridnya,
superstruktur dapat melancarkan umpan-balik atau overdeterminasi terhadap
basis. Alasannya karena superstruktur memiliki otonomi relatif terhadap
basisnya. Artinya, sekali terbentuk dari mekanisme basis, superstruktur
bergerak menurut logika internalnya sendiri yang tak sepenuhnya dapat
dijelaskan dari kondisi basisnya. Persoalannya, Althusser sendiri tidak
memberikan rumusan akurat tentang bagaimana superstruktur bisa memiliki logika
internalnya sendiri apabila ia tercipta dari mekanisme basis. Bagaimana otonomi
relatif superstruktur dimungkinkan jika superstruktur terbentuk dari basis?
Kalau basis membentuk superstruktur, bukankah ‘logika internal’ superstruktur
sudah termuat dalam basisnya sehingga tidak ada otonomi bahkan dalam artinya
yang relatif sekalipun? Kegagalan Althusser dalam memberikan penjelasan tentang
hukum umum yang meregulasi mekanisme overdeterminasi inilah yang akhirnya
menyebabkan para muridnya, antara lain Laclau dan Mouffe (2001), menolak untuk
jatuh kembali ke determinisme dengan cara menjadikan basis sebagai efek dari
mekanisme superstruktural (bahasa)—dan dengan itu terjatuh ke dalam varian lain
dari voluntarisme.
Konsep overdeterminasi tidak berhasil menjadi
alternatif yang masuk akal untuk menjelaskan hubungan basis-superstruktur
karena konsep tersebut tidak diartikulasikan secara akurat. Overdeterminasi
mirip seperti postulat. Ketidakakuratan pengertian ini terjadi karena perhatian
yang diberikan terlalu sempit, yakni hanya tentang hubungan antara basis dan
superstruktur. Berikut ini kita akan mengupayakan jawaban lain di luar
determinisme, voluntarisme dan overdeterminasi terhadap pertanyaan soal
hubungan antara basis dan superstruktur.
Kekeliruan umum dari penjelasan tentang relasi basis
dan superstruktur yang ada sampai sejauh ini terletak pada asumsinya, yakni
bahwa hubungan antara basis dan superstruktur dapat dijelaskan berdasarkan
pengertian tentang basis dan superstruktur. Asumsi ini bermasalah karena
terlalu sempit. Memang terkadang suatu hal dapat dijelaskan dengan memecahnya
ke dalam komponen-komponan yang membentuknya. Akan tetapi, dalam kasus
tertentu, atomisme metodologis yang implisit dalam penjelasan di muka tidak
memadai. Dalam kasus tertentu, penjelasan tidak dicapai dengan memecah suatu
hal ke dalam komponen-komponennya, melainkan dengan menempatkan semua itu dalam
keseluruhan yang lebih besar. Inilah yang akan kita jalankan.
Telah kita lihat bahwa pandangan Marx salah satunya
bersumber dari naturalisme. Ciri khas dari setiap pendekatan naturalis adalah
pengakuan bahwa realitas manusia tersituasikan dalam realitas yang lebih besar,
yakni realitas alam. Senafas dengan naturalisme yang merupakan salah satu akar
tradisi pemikiran Marx, persoalan hubungan basis dan superstruktur—yang
merupakan realitas manusia—mesti ditinjau dalam kaitannya dengan totalitas
kenyataan yang mencakupnya, yakni totalitas relasi antara realitas manusia dan
realitas alam. Dengan demikian, kita membicarakan sistem kenyataan yang
diasumsikan oleh Marx. Sistem adalah suatu totalitas dimana terdapat
kesalinghubungan di antara elemen-elemen yang menyusunnya. Sistem kenyataan ini
dapat kita gambarkan melalui model kenyataan atau model ontologis. Meminjam
distingsi yang dibuat Roy Bhaskar (1976), kita akan berbicara tentang ‘sistem
terbuka’ (open system) dan ‘sistem tertutup’ (closed system).
Sistem terbuka adalah totalitas kenyataan yang belum dikategorisasikan, sementara sistem tertutup adalah totalitas kenyataan sebagaimana diklasifikasi
berdasarkan kriteria tertentu.
Keseluruhan kenyataan yang kita amati sehari-hari
adalah sebuah sistem terbuka. Ambillah contoh sederhana: secangkir kopi. Dalam
benda sehari-hari seperti secangkir kopi, kita berhadapan beragam entitas yang
hadir secara bersamaan:
- entitas ekonomis (‘secangkir kopi’ sebagai komoditas)
- entitas kimiawi (elemen hidrogen dan oksigen penyusun air serta elemen-elemen penyusun kopi)
- entitas fisika (struktur atom yang membentuk realitas ‘secangkir kopi’)
- entitas biologis (biji kopi sebagai hasil dari tanaman kopi)
- entitas superstruktural (penggunaan kopi sebagai minuman mensyaratkan kerangka kultural tertentu)
- entitas-entitas lain
Ada kesalinghubungan kompleks antar berbagai wilayah
kenyataan dalam benda sederhana seperti secangkir kopi. Berdasarkan ilustrasi
tersebut, kita akan menghadirkan model ontologis tentang sistem terbuka.
Model 1. Sistem Terbuka
Bisa kita saksikan dalam model di muka bahwa ada kesalinghubungan
antar elemen dalam kenyataan sebagai sistem terbuka. Realitas ekonomi
berhubungan dengan realitas fisika, kimia, biologi dan superstruktur,
sebagaimana realitas superstruktur berhubungan dengan realitas ekonomi, fisika,
kimia dan biologi, demikian juga dari sudut pandang realitas fisika, kimia,
biologi dan seluruh realitas lain yang tak dimuat dalam skema di muka karena
keterbatasan ruang. Apa yang belum nampak dalam Model 1 ialah bentuk
hubungan spesifik antar elemen kenyataan tersebut. Apa yang kita saksikan
adalah bahwa dalam kenyataan sehari-hari seperti secangkir kopi terdapat
hubungan antara berbagai wilayah realitas. Model sistem terbuka ini adalah
titik berangkat Marx.
Apa yang dilakukan Marx dalam analisisnya adalah
‘menutup’ sistem terbuka tersebut. Yang dimaksudkan dengan penutupan (closure)
atas sistem terbuka adalah proses klasifikasi atas totalitas kenyataan
berdasarkan kriteria tertentu. Apa yang mau dicapai lewat proses penutupan
ini tak lain adalah penjelasan tentang bentuk hubungan spesifik antar
wilayah kenyataan—sesuatu yang belum terjelaskan dalam sistem terbuka.
Kriteria penutupan yang diambil Marx untuk mengklasifikasi adalah ‘syarat
material’. Kriteria ‘syarat material’ dapat dirumuskan dalam pertanyaan: “Agar x
ada, apakah yang keberadaannya diandaikan secara material?” Dengan
demikian, kita memperoleh suatu gambaran yang terstratifikasi tentang kenyataan
berdasarkan syarat material: agar ada kebudayaan, mesti ada manusia yang
bekerja; agar ada manusia yang bekerja, mesti ada manusia yang hidup; agar ada
manusia yang hidup, harus ada unsur-unsur kimiawi yang memungkinkan keberadaan
manusia hidup; agar ada unsur-unsur kimiawi, mesti ada struktur sub-atomik
tertentu yang melandasinya. Demikianlah, kita memperoleh model tentang sistem
tertutup yang diandaikan oleh materialisme historis.
Model 2. Sistem Tertutup
(berdasarkan kriteria penutupan ‘syarat material’)
(berdasarkan kriteria penutupan ‘syarat material’)
Dalam model ini, ada pemilahan antara bentuk relasi
yang spesifik, yakni relasi pengkondisian absolut dan relatif. Distingsi
tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
Pengkondisian absolut: x dikatakan
mengkondisikan y secara absolut jika agar ada y, keberadaan x
niscaya diandaikan
Pengkondisian relatif: x dikatakan
mengkondisikan y secara relatif jika x menentukan y dalam
batasan yang dimungkinkan oleh y
Sekarang kita akan lihat bagaimana distingsi ini
bekerja dalam ilustrasi di muka. Realitas biologi merupakan prakondisi absolut
dari adanya realitas ekonomi sebab, agar realitas ekonomi dimungkinkan
samasekali, mesti ada konstitusi biologis tertentu yang memungkinkan keberadaan
homo sapiens. Akan tetapi, realitas ekonomi juga mengkondisikan realitas
biologi, kendati secara relatif, sebab keberlanjutan ekosistem juga
dikondisikan oleh sistem ekonomi yang dikembangkan di atas ekosistem tersebut:
misalnya, ekonomi ekstraktif yang eksesif dapat menyebabkan kerusakan
ekosistem. Dengan demikian, realitas biologi merupakan syarat material absolut
bagi adanya realitas ekonomi, sedangkan realitas ekonomi merupakan syarat
material relatif bagi adanya realitas biologi. Begitu juga dengan relasi
antara realitas superstruktur dan ekonomi: realitas ekonomi merupakan
prakondisi material yang absolut bagi adanya realitas superstruktur, sementara
realitas superstruktur adalah prakondisi material yang relatif bagi adanya
realitas ekonomi—superstruktur dapat mengubah realitas ekonomi dalam
batas-batas yang dimungkinkan oleh realitas ekonomi tersebut.
Ada empat hal yang mesti diklarifikasi berkenaan
dengan sistem tertutup yang disyaratkan oleh validitas materialisme historis
ini:
- Penutupan sistem tidak sama dengan idealisasi atau reduksi
Apakah dengan sistem tertutupnya, Marx tengah
mereduksi realitas yang beranekaragam ke dalam suatu idealisasi sempit tentang
realitas? Samasekali tidak. Perlu diingat bahwa sistem tertutup tak lain
adalah sistem terbuka itu sendiri; satu-satunya perbedaan kedua sistem itu
terletak dalam kriteria klasifikasinya: tak ada kriteria klasifikasi
dalam sistem terbuka dan karenanya tak ada penjelasan apapun yang
dimungkinkan dalam sistem terbuka, sementara dalam sistem tertutup di muka
terdapat kriteria klasifikasi dan karenanya dimungkinkan pula penjelasan
tentang kenyataan.
- Penutupan sistem tidak hanya berciri epistemologis
Perlu juga dimengerti di sini bahwa distingsi antara
sistem terbuka dan sistem tertutup tidak bisa direduksi menjadi
distingsi Kantian antara benda-pada dirinya dan benda-sejauh teramati, antara noumena
dan phenomena. Sistem tertutup bukanlah hasil fabrikasi epistemik kita
sendiri, melainkan merupakan rekonstruksi atas suatu proses—yakni proses
pengkondisian material—yang bekerja di alam kenyataan objektif, yang berlaku di
sistem terbuka. Sistem tertutup tidak hanya ada dalam kerangka berpikir
kita, melainkan bekerja dalam kenyataan.
- Klausa ceteris paribus sebagai ciri khas sistem tertutup
Sistem tertutup bukanlah hasil reduksi atas totalitas
kenyataan dan tak juga sekadar skema berpikir dari sang pengamat, dalam hal ini
Marx. Ini dimungkinkan karena penutupan atas sistem terbuka dijalankan melalui
klasifikasi berdasarkan kriteria tertentu. Relevansi dari kriteria penutupan
ini adalah bahwa sistem tertutup yang dihasilkan hanya bekerja secara
sempurna dengan mengandaikan seluruh kriteria yang lain tidak digunakan.
Inilah yang ditandai dengan kode ‘C.P.’ dalam Model 2, yakni klausa ceteris
paribus (dengan mengasumsikan semua faktor lain konstan). Kalau sistem
terbuka ditutup berdasarkan kriteria ‘syarat material’ maka hasilnya niscaya
adalah Model 2, tetapi apabila ditutup dengan kriteria lain tentu hasilnya
model yang lain.
- Penutupan sistem untuk menemukan tendensi objektif realitas
Kalau validitas sistem tertutup hanya berlaku ceteris
paribus, untuk apa kita menutup sebuah sistem? Tujuan penutupan sistem
adalah untuk menemukan salah satu tendensi yang inheren dalam sistem terbuka.
Tendensi ini bukan hasil konstruksi pikiran kita sendiri, tetapi merupakan daya
yang bekerja dalam realitas sejauh tidak terhalangi oleh daya yang lain (artinya,
sejauh ceteris paribus). Inilah yang dimaksud dengan pernyataan kita
tadi bahwa penutupan sistem tak hanya berciri epistemologis, melainkan juga
ontologis. Relasi pengkondisian yang digambarkan dalam Model 2 merupakan
tendensi yang berlaku sejauh dalam asumsi kriteria ‘syarat material’ dan akan
tetap berlaku secara laten atau secara disposisional apabila ada
tendensi berlawanan yang berlaku dalam asumsi kriteria yang lain. Sederhananya,
kendati gaya gravitasi berlaku juga pada apel di pohon, tetapi ketidakaktualan
gaya tersebut—atau fakta bahwa apel tidak serta-merta jatuh ke bumi—yang
disebabkan oleh melekatnya apel secara biologis di tangkai pohon samasekali
tidak mengimplikasikan bahwa gaya gravitasi tidak ada dalam fenomena apel di
pohon. Kita mesti membedakan aktualitas dari keberadaan: ‘ada’ tidak sama
dengan aktual; ‘ada’ bisa berarti tendensial atau disposisional atau laten.
Melalui keempat pokok klarifikasi di muka, kita dapat
memahami duduk perkara relasi basis dan superstruktur dalam konsepsi Marx
tentang materialisme historis. Marx tidak mereduksi superstruktur ke
basis. Marx menutup sistem terbuka melalui kriteria ‘syarat material’ dan
menemukan bahwa basis mengkondisikan superstruktur secara absolut dan
superstruktur mengkondisikan basis secara relatif. Persis karena penutupan
sistem ini hanya berlaku dalam batasan keberlakuan kriteria klasifikasi yang
digunakan, maka Marx tidak dapat disebut reduksionis. Arti dari penutupan
sistem ini adalah diakuinya kemungkinan bahwa apabila sistem itu ditutup
berdasarkan kriteria klasifikasi yang lain, maka hasilnya akan lain. Akan
tetapi, hasil yang lain ini tidak membuat tesis ‘basis mengkondisikan
superstruktur’ terbatalkan—apa yang terjadi dalam kasus itu adalah bahwa tesis
tersebut bersifat disposisional dan tidak teraktualisasi secara empirik,
kendati bukan berarti tidak ada atau tidak berlaku. Momen non-aktual atau
latennya pengkondisian superstruktur oleh basis akibat penutupan sistem
berdasarkan kriteria klasifikasi yang lain inilah yang sejatinya setengah-mati
hendak dirumuskan oleh para Althusserian sebagai overdeterminasi.
Demikianlah tafsiran kita, berbasis distingsi
Bhaskarian antara sistem terbuka dan tertutup, atas relasi basis dan
superstruktur yang terhindar dari determinisme, voluntarisme maupun
overdeterminasi yang dirumuskan secara kabur. Kita lihat, karenanya, bahwa
materialisme historis hanya dapat dijelaskan dengan menempatkannya ke dalam
sistem yang lebih luas, yakni naturalisme non-reduksionis Marx yang memandang
realitas manusia sebagai bagian dari realitas alam. Berkaitan dengan ontologi
di balik pemikiran Marx tentang materialisme historis, kita dapat
merekonstruksi pandangan Marx tentang ilmu pengetahuan.
- Epistemologi Marx
Prinsip epistemologi Marx dinyatakannya secara
eksplisit dalam Das Kapital jilid III: “Seluruh ilmu pengetahuan akan
mubazir apabila bentuk penampakan sesuatu secara langsung identik dengan
esensinya” (Marx 1981:956). Kalau tidak ada esensi yang terletak di balik
penampakan empirik, kalau totalitas kenyataan hanyalah totalitas penampakan empirik,
maka sains tidak diperlukan. Dalam kondisi itu, setiap pengalaman kita dengan
sendirinya telah merefleksikan keseluruhan dunia kenyataan. Fakta bahwa
pengalaman subjektif tidak memadai—bahwa sendok yang bengkok di dalam gelas
tidak sungguh-sungguh bengkok—dan fakta bahwa ilmu pengetahuan diperlukan
menunjukkan bahwa esensi benda-benda tidak sama dengan aktualisasi
empiriknya (atau dalam kosakata filsafat Kontinental kontemporer: Ada-nya
benda-benda tidak identik dengan keterberiannya pada subjek). Kenyataan
lebih luas dari apa yang terberikan pada subjek (sebagai pengalaman, kesadaran,
diskursus, dst).
Mengakui bahwa kenyataan lebih luas dari aktualisasi
empiriknya sama dengan mengakui adanya kenyataan objektif. Lebih lanjut
lagi, pengakuan akan adanya realitas objektif merupakan tesis utama teori
pengetahuan atau epistemologi yang realis. Dengan demikian, epistemologi yang
terkandung dalam pemikiran Marx adalah realisme. Perlu diklarifikasi
bahwa realisme bukanlah tesis bahwa pengetahuan kita niscaya mencerminkan
realitas objektif. Yang dinyatakan oleh realisme adalah bahwa ada realitas
objektif dan kita dapat mencapai pengetahuan tentang realitas tersebut.
Dengan demikian, realisme dalam epistemologi samasekali tidak bertentangan
dengan pengakuan akan adanya efek ideologis/diskursif/psikologis yang
mengkonstruksi pemikiran kita tentang kenyataan.
Untuk memperjelas posisi realisme Marx, kita perlu
mengeksplisitkan apa yang diakui dan ditolak oleh posisi tersebut secara
sistematis. Apa yang ditolak oleh realisme adalah dua tesis berikut:
- Tesis reduksionis: realitas adalah hasil konstruksi (entah sebagai efek ideologis, psikologis, diskursif, tekstual, dsb) sehingga tidak ada realitas objektif
- Tesis obskurantis: pengetahuan tentang realitas niscaya merupakan hasil konstruksi sehingga tak ada pengetahuan objektif
Sebaliknya, apa yang diterima oleh realisme adalah dua
tesis berikut:
- Tesis non-reduksionis: kendati sebagian realitas merupakan hasil konstruksi manusia, ada sebagian lain realitas yang bukan hasil konstruksi dan karenanya ada realitas objektif
- Tesis keterpikiran: kendati pengetahuan bisa dipengaruhi oleh konstruksi tertentu, tetapi pengetahuan dapat melampaui konstruksi tersebut dan mencapai pengertian tentang realitas objektif
Dari kedua tesis yang diafirmasi oleh posisi realis di
muka, tesis pertama umumnya diterima secara non-kontroversial. Apa yang masih
dianggap kontroversial adalah tesis kedua. Corak kontroversialnya kerapkali
mengemuka sejauh orang pada umumnya menyalah-artikannya dengan tesis yang
mirip tetapi sejatinya berbeda.
- Tesis keterpikiran paripurna: pengetahuan niscaya mencapai pengertian tentang realitas objektif.
Seorang realis tidak harus mengakui tesis keterpikiran
paripurna ini untuk dapat dikatakan realis. Hanya realisme naif
lah yang bergantung pada tesis terakhir ini. Itulah yang berkembang dalam opini
sehari-hari bahwa, misalnya, apa yang dapat kita persepsi niscaya merupakan
keseluruhan kenyataan itu sendiri. Marx tidak menerima realisme jenis ini
sebab, seperti nampak dalam kutipan tadi, Marx memilah esensi benda dari
penampakannya. Justru karena esensi tidak sama dengan penampakannya pada
subjek, maka pengetahuan kita bisa salah. Marx, dengan demikian, menolak
tesis keterpikiran paripurna. Sejauh tesis keterpikiran kita pisahkan dari
tesis keterpikiran paripurna, maka tesis keterpikiran itu tak lagi
kontroversial dan justru membuka kemungkinan bagi ilmu pengetahuan yang dapat
keliru dan karenanya juga dapat tidak keliru alias benar—dengan kata
lain, objektif.
Demikianlah dasar-dasar pemikiran Marx yang dibedah
dari kerangka filsafat. Melalui penalaran ulang atas Marx ini, kita dapat
terbebas dari ketiga kekeliruan di muka: kekeliruan sumber, kekeliruan
deterministik dan kekeliruan konstruktivis. Menyanggah kekeliruan pertama,
kita telah menunjukkan bahwa Marx dipengaruhi oleh tradisi pemikiran yang lebih
beragam dan kaya, mulai dari filsafat Aristoteles, naturalisme sains modern dan
materialisme Inggris. Menyanggah kekeliruan kedua, kita sudah
menerangkan alasan mengapa pemikiran Marx tidak deterministik maupun
reduksionis. Kita tunjukkan bahwa tesis ‘basis mengkondisikan superstrukur’
diperoleh melalui penutupan parsial atas totalitas sistem kenyataan dan hanya
berciri tendensial (bukan determinasi prediktif) sebab penutupan itu tetap
bergantung pada klausa ceteris paribus. Menyanggah kekeliruan ketiga,
kita telah jelaskan bahwa Marx tidak menganggap bahwa kebenaran hanyalah
persoalan konstruksi kelas dominan ataupun sarana pertarungan kekuasaan. Marx
mengakui kemungkinan pengetahuan untuk mendapatkan pengertian tentang realitas
objektif. Singkat kata, Marx tidak deterministik dan tidak relativis. Pemikiran
Marx dapat diselamatkan dari retorika kosong para ‘Marxis’ dan ‘anti-Marxis’
yang sejatinya belum pernah membaca Marx, atau yang membaca Marx tanpa
menalarnya.***
Tulisan ini sebelumnya adalah makalah yang didiskusikan dalam
seri seminar bertajuk ‘Mengupas Marxisme’ yang diselenggarakan oleh Masjid
Salman – ITB tahun 2012 dan dalam forum diskusi di LIPI tahun 2013 (Catatan Tambahan: Tulisan ini pernah terbit di kolom Logika dalam situs Indoprogress.com pada 8 Oktober 2014. Tulisan ini kami terbitkan ulang untuk tujuan pendidikan kritis atas izin sang penulis, Martin Suryajaya)
Kepustakaan:
Althusser, Louis. 1997. “Contradiction and
Overdetermination” dalam Louis Althusser. For Marx diterjemahkan oleh
Ben Brewster. London: Verso.
Aristoteles. 1995. Metaphysics diterjemahkan
oleh W.D. Ross dalam The Complete Works of Aristotle Volume II diedit
oleh Jonathan Barnes. New Jersey: Princeton University Press.
Bhaskar, Roy. 1976. A Realist Theory of Science.
Leeds: Leeds Books Ltd.
Callinicos, Alex. 1983. Marxism and Philosophy.
Oxford: Oxford University Press.
Colletti, Lucio. 1995. “Introduction” dalam Karl Marx.
Early Writings diterjemahkan oleh Rodney Livingstone dan Gregor Benton.
London: Penguin.
Laclau, Ernesto dan Chantal Mouffe. 2001. Hegemony
and Socialist Strategy: Towards a Radical Democratic Politics (Second Edition).
London: Verso.
Lenin, V.I. 1960. “The Three Sources and Three
Component Parts of Marxism” dalam V.I. Lenin. Selected Works: Volume I.
Moscow: Foreign Languages Publishing House.
Marx, Karl. 1979. Capital Volume I
diterjemahkan oleh Ben Fowkes. London: Penguin.
—— . 1981. Capital Volume III diterjemahkan
oleh David Fernbach. Middlesex: Penguin Books.
—— . 1995a. “Critique of Hegel’s Doctrine of the
State” dalam Karl Marx. Early Writings diterjemahkan oleh Rodney
Livingstone dan Gregor Benton. London: Penguin.
Marx, Karl dan Frederick Engels. 1976. The German
Ideology. Moscow: Progress Publishers.
Meek, Ronald L. 1973. Studies in Labour Theory of
Value. New York: Monthly Review Press.
Meikle, Scott. 1985. Essentialism in the Thought of
Karl Marx. London: Duckworth.
Rubel, Maximilien dan Margaret Manale. 1975. Marx
Without Myth: A Chronological Study of His Life and Work. Oxford: Basil
Blackwell.
———-
[1] Aristoteles mengkritik konsepsi
Plato tentang esensi sebagai Idea yang ‘terpisah’ dari bendanya melalui argumen
yang dalam tradisi dikenal sebagai ‘argumen orang ketiga’. Melalui argumen
inilah Aristoteles sampai ke posisi bahwa esensi telah selalu terinstantiasi
dalam benda. “If the essence of good is to be different from the Idea of good,
and the essence of animal from the Idea of animal, and the essence of being
from the Idea of being, there will, firstly, be other substances and entities
and Ideas besides those which are asserted, and, secondly, these other wil be
prior substances of the essence is substance. [...] Each thing then and its
essence are one and the same in no merely accidental way, as is evident both
from the preceding arguments and because to know each thing, at least,
is to know its essence, so that even by the exhibition of instances it becomes
clear that both must be one. [...] Clearly, then, each primary and
self-subsistent thing is one and the same as its essence.” (Metafisika 1031a30-1032a5)
[2] Mengomentari salah satu bagian
kuliah Smith di Glasgow yang bertemakan “Cheapness and Plenty”, Meek menulis:
“What Smith is virtually saying in this noteworthy passage is that the way
in which a society gets its living determines in large part the nature both of
its social institutions and of its ethical norms. Smith, in common with the
other members of the so-called ‘Scottish Historical School’, frequently adopted
the type of materialist approach to the study of society which is reflected in
this passage. To understand the general configuration of society at any given
time, the members of the School believed, one must look first to what they
called ‘the mode of subsistence’; and, in particular, to understand the forms
of law and government one must look first to ‘the state of property’. [...]
In order to understand these exchange relations, the labour theory in effect
maintains, one must look first to the basic production relations which men
enter into with one another in the process of gaining their subsistence. In its
formulation in the eighteenth century by Smith, as well as in its development
in the nineteenth century by Marx, the labour theory of value was intimately
associated with a materialist conception of history.” (Meek 1973:52-53)
[3] Perdebatan di antara kalangan
Marxis tentang determinisme dan voluntarisme—apabila ditinjau dari perspektif
sejarah pemikiran—sejatinya merupakan kelanjutan dari perdebatan para teolog
Abad Pertengahan antara necessity dan free will, juga dalam
konflik antara Lutheranisme dan Katolik Roma dalam wujud pertentangan tentang
jalan keselematan, yakni antara pradeterminasi dan kehendak bebas.