Juni 2014 - LPPMD Unpad

Jumat, 20 Juni 2014

Ospek: Sebuah Pencerahan atau Sebuah Ambivalensi?

 Ospek: Sebuah Pencerahan atau Sebuah Ambivalensi?

Oleh: Aldo Fernando, Mahasiswa Agroteknologi Fakultas Pertanian 2013, LPPMD UNPAD

“Cara paling ampuh untuk merusak anak muda adalah menyuruhnya menjunjung tinggi mereka yang berpikir sama ketimbang mereka yang berpikir berbeda”
—Friedrich Nietzsche, pemikir Jerman (1844-1900)—

Mahasiswa baru (maba) datang, ospek pun menyambut. Ibarat sang putera raja yang disambut para selir yang cantik nan menawan, ospek menjadi sebuah ‘ritual’ suci yang seksi di setiap tahun penerimaan mahasiswa baru.
 “Oh mahasiswa baru... Kami telah menunggu kedatanganmu dengan persiapan yang mewah. Mendekatlah kepada kami, wahai raja dan ratu baru di kampus ini! Nikmatilah pertunjukan ini!”
Begitulah kira-kira sekelumit penggambaran mengenai rayuan simbolik dari para panitia ospek (dan juga para dosen penanggungjawab) untuk para mahasiswa baru. Nah, sebelum kita tenggelam dalam permainan kata “ospek” bersama dengan segala tetek-bengeknya, ada baiknya kita perlu melemparkan sebuah pertanyaan mendasar: “apa sih ospek itu?”
Ospek adalah singkatan dari orientasi studi dan pengenalan kampus. Ospek, pada dasarnya, adalah rangkaian kegiatan, masa, penyambutan mahasiswa baru dalam rangka membantu mereka untuk dapat mengenal lingkungan akademis barunya.
Hal ini dapat dilakukan, for instance, mulai dengan memberikan pemaparan informasi mengenai keberadaan lokasi gedung-gedung fakultas, rektorat, fasilitas-fasilitas kampus; pengenalan struktur rektorat, BEM dan BPM tingkat universitas (dan juga tingkat fakultas); pengenalan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM); pengenalan rektor, wakil rektor dan juga segenap jajarannya (dosen-dosen, staff fakultas, dll); sampai pada memberikan materi, diskusi —ataupun dengan mendatangkan beberapa tokoh intelektual— yang akan mampu merangsang minat dan kekritisan mahasiswa baru; dlsb.
Pada intinya, ospek adalah rangkaian prosesi pengenalan mengenai ikhwal seputar kampus dengan pelbagai komponen di dalamnya, penginjeksian nilai-nilai luhur yang mengakar dalam suatu kampus, suatu rangkaian kegiatan pencicipan atmosfer kampus, yang ditujukan bagi para mahasiswa baru.
Dengan demikian, tujuan dasar dari ospek ialah, antara lain, untuk membentuk —jejaring makna dalam diri— mahasiswa baru menjadi manusia yang berdaya intelektual yang aktif, berpola pikir kritis, bermo-ral, dan, pada tujuan khususnya, mampu menghasilkan angkatan yang kompak dan memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi, pun mampu memahami ikhwal kondisi dan keadaan seputar kampus (dan pelbagai hal yang ada didalamnya—termasuk semangat perjuangan akademik kampus!).
Jika kita memahami hakikat dari tujuan dari kegiatan ospek seperti yang telah sedikit digambarkan di atas, rupanya, kita kemungkinan besar akan menyetujui penyelenggaran dan penerapan kegiatan ospek tersebut bagi para mahasiswa baru.
Lalu, pertanyaannya adalah apakah penyelenggaraan kegiatan ospek di Indonesia, terutama di lingkungan Universitas Padjadjaran, sudah berjalan sesuai dengan khittahnya? Apakah ospek —sesuai dengan judul tulisan ini— merupakan sebuah pencerahan ataukah sebuah ambivalensi? Sebuah penindasan terselubung?
Di dalam tulisan ini saya ingin mencoba untuk men-cubit dan meng-gelitik ingatan, kekritisan dan kesadaran kita mengenai hakikat ospek, yang selama ini telah kita andaikan begitu saja sebagai sesuatu yang memang sesuai dengan kebutuhan mahasiwa, tanpa cacat dan ekses-ekses negatif dalam pelaksanaannya—yang juga menjadi sebuah ritual wajib di setiap tahun perkuliahan baru.
Seemingly, pada kesempatan ini kita akan mencoba menyelami lautan negatif dari penyelenggaraan ospek, dan lalu, kita juga akan mencoba memecah membran-membran naif yang menyelubungi pelbagai maksud baik dari kegiatan ospek.
Di sini kita akan berziarah dalam bentang areal ekses-ekses negatif yang ada dalam penyelenggaraan ospek di kampus-kampus di Indonesia.
Penyelenggaraan ospek, yang selalu didasari pada sejumlah tujuan luhur, seperti: untuk menjaga kekompakan dan rasa kekeluargaan angkatan, baik dalam tingkat fakultas maupun universitas secara keseluruhan (dan juga kekompakan keharmonisan antarangkatan), mengenal dan memahami ikhwal kondisi dan keadaan serta atmosfer kampus, membangun jiwa-jiwa aktif, kritis, dan kreatif, dlsb., nampaknya, masih mengandung ekses-ekses negatif dan simptom-simptom virus derivatif sebagai warisan dari generasi mahasiswa sebelumnya.
Maksudnya, kegiatan ospek, sayangnya, dari dulu sampai saat ini, masih mengandung sejumlah virus menular yang mengakar dan berkembangbiak, di dalam ‘tubuh’ kegiatan ospek, yang lalu membuat ospek selalu terjangkit penyakit (dan berarti tidak sehat!).
Lantas, apa saja gejala-gejala yang menunjukkan bahwa kegiatan ospek terjangkit penyakit turunan?
Untuk mendiskusikan pertanyaan di atas  saya akan mencoba meminjam pemaparan Bayu Rian Ardiyansyah ketika Ia menjelaskan pemikiran Rizky Abdurachman, seorang pengacara di kantor Adiwilaga & Co., dalam sebuah berita on-line yang berjudul Diskusi MLI: Kupas Permasalahan Hukum Ospek di Perguruan Tinggi Indonesia[1].
Menurut Rizky, dalam Ardiyansyah (2014),  pelaksanaan ospek di Indonesia, dalam gerak perkembangannya, seringkali berganti nama, berganti topeng, namun, tanpa ada perubahan dalam metodenya. Hal tersebut dapat kita telisik dari gejala masih adanya —saya masih mengikuti alur pemikiran Rizky— “aspek kekerasaan di dalam ospek yang entah disadari atau tidak telah melanggar hukum yang berlaku.
 Apa yang dimaksud dengan “melanggar hukum yang berlaku”? Mari kita simak penggalan dari pemikiran Rizky, dalam Ardiyansyah (2014) di bawah ini,

Ospek memang akan selalu berkaitan dengan hukum karena sejak lahir setiap manusia merupakan subjek hukum dengan segala hak dan kewajibannya, termasuk mahasiswa. Pelanggaran akan Hak Asasi Manusia (HAM) berupa tindakan penyiksaan jasmani maupun rohani bisa diproses secara hukum pidana dengan pasal penganiayaan atau kelalaian.
Adapun metode ospek yang berpotensi melanggar HAM di antaranya termasuk kegiatan yang membebani fisik atau menekan psikologis pesertanya di luar batas kewajaran daya tubuh manusia, seperti misalnya long march atau jurit malam yang digabung dengan wide game.

Sekarang, kita perlu mendiskusikan dua frase yang sengaja saya comot dari kutipan di atas: 1) “kegiatan yang membebani fisik” atau 2) “menekan psikologis peserta di luar batas kewajaran daya tubuh manusia”
Kita akan membahas poin pertama terlebih dahulu: “kegiatan yang membebani fisik”. Dalam pelaksanaan ospek di banyak universitas di Indonesia —termasuk di Unpad— masih dijangkiti virus “pembalasan dendam senior atas junior”. Mulai dari aras rendah sampai pada aras ekstrem.
Pada aras rendah (yang tetap saja disebut sebagai “kegiatan yang membebani fisik”), misalnya yang terjadi di Unpad, masih terdapat beberapa manifestasi kekerasan fisik, entah itu dengan dalih untuk membuat maba (mahasiswa baru) memiliki fisik dan mental kuat, entah sebagai hasil dari konsekuensi akibat maba melanggar tata tertib dalam pelaksanaan ospek (perlu diingatkan lagi di sini bahwa ospek di pelbagai fakultas dan universitas di Indonesia memiliki manifestasi-nama yang berbeda-beda, namun tetap dijangkiti gejala penyakit yang sama: penyakit turunan!).
For instance, di beberapa fakultas di Unpad, dalam pelaksanaan ospek, masih terdapat adanya penerapan hukuman push up sampai puluhan kali yang begitu melelahkan, yang dalam beberapa momen, tidak memiliki alasan yang jelas selain sebagai konsekuensi —sebagaimana diklaim para panitia ospek— dari kesalahan yang dibuat oleh kelompok atau bahkan satu angkatan ospek. Dan hal tersebut disertai dengan nada-nada keras  yang, menurut saya, di-setting untuk tegas dan menguji psikologis (hal ini akan dijelaskan setelah ini).
Lalu, pada aras tinggi (ekstrem), tentu masih segar dalam ingatan kita contoh terbaru mengenai kasus kekerasan fisik yang, ini sangat menyesakkan, menewaskan seorang mahasiswa baru bernama Fikri Dolasmantya Surya, dalam pelaksanaan Orientasi Kemah Bakti Desa yang dilaksanakan pada Oktober tahun 2013 (berita tewasnya Fikri merebak pada sekitar bulan Desember di tahun yang sama) lalu di kawasan Goa Cina, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Malang, Jawa Timur, yang digelar jurusan Planologi ITN Malang.[2]
Mengingat-ingat kembali kasus-kasus kekerasan fisik yang terjadi dalam pelaksanaan ospek di banyak kampus di Indonesia, membuat kita bertanya penuh heran, dengan hati yang sesak, “apa yang kehendak para panitia pelaksana ospek maui ketika mereka menindas (baik secara terang-terangan ataupun secara terselubung) para mahasiswa baru?”
Baik, setelah mencoba memahami pemaparan poin pertama (1. “kegiatan yang membebani fisik”), kita akan beranjak ke pembahasan poin kedua (2. “menekan psikologis peserta di luar batas kewajaran daya tubuh manusia”).
Pada poin kedua ini, pelanggaran dalam pelaksanaan ospek mengarah pada aspek kejiwaan, aspek psikologis. Nada-nada keras berbau ancaman yang keluar dari bibir seorang panitia ospek di bidang tata tertib, misalnya, akan membuat si Grace (sebagai contoh) trauma dan tertekan. Grace menjadi menganggap bahwa ospek lebih menyajikan kekerasan ketimbang pengarahan menuju hal yang positif. Ia, lalu, mengutuk ospek dengan penuh luka trauma, penuh luka diri. Ini   adalah sekelumit contoh kecil yang seringkali terjadi di sekitar kita.
Dan juga, dalam penyelenggaraan ospek di suatu fakultas (nama tak disebutkan) terdapat suatu sesi di mana para panitia yang diberi tugas khusus (misalnya, di bidang tata tertib) memarahi, memainkan nada kasar sambil menunjuk ke arah wajah mahasiswa baru. Dan aksi marah-memarahi ini  dilakukan dengan posisi mulut panitia ospek  tepat di depan hidung mahasiswa baru (maba). Hal yangmenjijikkan! Sebuah gambaran penyelenggaraan ospek yang, pada akhirnya, malah menghasilkan manusia traumatis dan sinis. Ironis!
Plus, ditambah dengan pelbagai bentuk ancaman para panitia ospek —entah bernada halus, entah kasar— kepada para maba yang tidak mematuhi aturan main ospek dan fakultas, yang lagi-lagi terkadang kurang jelas dasarnya. Saya akan mengutip kembali pemaparan Ardiyansyah (2014, ibidem),

Bahkan, ancaman pengucilan dari himpunan mahasiswa, apabila tidak mengikuti ospek bisa dinilai sebagai pelanggaran persamaan harkat dan martabat.

Dengan demikian, pelanggaran dalam pelaksanaan ospek, mengikuti pemaparan Ardiyansyah, terancam masuk ke dalam lingkaran pelanggaran hukum. 
“Aku” tak bisa menggunakan ruang gerak kebebasan eksistensial-ku secara otonom karena yang lain, yang berada di luar diri-ku (manusia lain, panitia ospek) telah membatasi diri-ku secara berlebihan dengan menindas kebebasan sosial-ku. “Aku”, saat ini, laiknya robot yang selalu menurut dengan apa yang mereka, suatu hal lain dalam realitas eksternal, maui, apa yang mereka (panitia ospek dan dosen penanggungjawab) kehendaki. Aku menjadi se-bentuk tubuh-tanpa-organ “body-without-organs”—seperti yang dikatakan Deleuze-Guattari (pemikir kontemporer Perancis) dalam karya mahsyur mereka.

Ospek dan Pencerahan
Max Horkheimer dan Theodore Adorno, dua orang pemikir Jerman mazhab Frankfurt, dalam karyanya Dialectic of Enlightenment, tepatnya pada bagian Excursus I: Odysseus or Myth and Enlightenment, memaparkan sebuah interpretasi mengenai pencerahan dann mitos.[3]
            Horkheimer-Adorno, sebagaimana dipaparkan oleh Sumarwan (2009: 56-57), menggunakan Oddyseus, karya Homeros (penyair besar Yunani kuno), yang ditafsirkan sebagai epos (cerita kepahlawanan) untuk mengurai problem mitos dan pencerahan. Bagi mereka berdua, karya Homeros tersebut mengandung mitos yang sekaligus pencerahan.
Pada kesempatan ini saya akan mencoba untuk meringkaskan alur kisah Odysseus (tokoh utama dalam epos Homeros) seturut dengan pemaparan Sumarwan. Namun sebelum itu, ada baiknya kita terlebih dahulu memperjelas pemahaman kita mengenai pengertian pencerahan dan mitos menurut tafsiran Horkheimer dan Adorno dalam Dialectic of Enlightenment.
Menurut Horkheimer-Adorno —yang dalam penafsiran mengenai pencerahan amat dipengaruhi oleh Friedrich Nietzsche, pemikir besar asal Jerman—merupakan sebentuk antitesis atas segala perwujudan dominasi. Pencerahan menjadi semacam pergerakan melawan dominasi mitos yang mengungkung kebebasan-diri manusia.[4]
Sedangkan mitos, menurut mereka berdua, adalah sebuah representasi dari dominasi dewa-dewi di dunia-seberang ataupun kekuatan adikodrati atas hidup manusia (Sumarwan, 2009: 58).
Mitos, yang sering kita anggap sebagai sebentuk irrasionalitas (dan pencerahan sebagai sebuah rasionalitas), menurut Max Horkheimer dan Theodore Adorno mengandung pula aspek “disiplin dan kekuasaan” yang—menurut Francis Bacon— adalah  sebagai ciri pengetahuan (Sumarwan, 2009: 57).
Menurut Horkheimer-Adorno, ciri terpenting dari mitos adalah “prinsip keharusan nasib (fatal necessity)[5], maksudnya, para tokoh sudah digariskan nasibnya, sudah dideterminasi sejak awal (Sumarwan, Loc. cit.).
Shortly, mitos, bagi duet Horkheimer-Adorno, adalah sebagai bentuk dominasi dan pencerahan, persis sebagai oposisi dari mitos, sebagai perlawanan.

Petualangan Odysseus

Sekarang kita akan mencoba memahami kaitan Odysseus dengan pencerahan dan mitos dengan mengikuti penggambaran Sumarwan (2009: 58-67).
Epos Odysseus ini merupakan kisah individu manusia yang berupaya melawan nasib yang telah digariskan.
Petualangan Odysseus dimulai ketika ia meninggalkan istri (Panelope) dan kampung halamannya (Ithaca) untuk berlayar menuju Troya guna membalas dendam atas kekalahan Yunani dari Troya.
Setelah berperang selama beberapa gtahun yang panjang, ia —berkat bantuan Poseidon, sang Dewa Laut— berhasil mengalahkan Troya. Namun, setelah hanyut dalam euforia kemenangan atas Troya, Odysseus dengan congkaknya berteriak ke langit dengan mengatakan bahwa inilah kemenangan manusia. Manusia, kata Odysseus, tak butuh bantuan Dewa lagi. Odysseus bangga menjadi manusia. Kemudian, sejurus dengan itu, Poseidon yang mendengar nada kesombongan Odysseus merasa tersinggung dan naik pitam. Ia mengutuk Odysseus dan bersumpah untuk tidak akan membiarkan Odysseus dapat kembali ke Ithaca. Di sini nasib Odysseus digariskan. Ia, sekarang, perlu mencari jalan keluar yang cerdik untuk dapat memutuskan tali-nasib dari Poseidon yang diberikan kepadanya.
Odysseus, singkatnya, berhasil melewati pelbagai godaan perwujudan mitis dari para dewa-dewi dan kekuatan adikodrati dengan mencoba mengorbankan dirinya (nah, pengorbanan-diri inilah yang akan kita bahas dalam kaitannya dengan ospek nanti). Ia, selama pelayarannya menuju kampung halaman,  berhasil melewati godaan suara merdu yang mematikan dari Siren, sekelompok figur mitologis yang tinggal di sebuah pulau, dengan nekat melewati pulau tersebut dan mengorbankan dirinya diikat di tiang kapal (hal ini dilakukannya dengan cara membagi dua golongan kerja: ia diikat di tiang dengan kedua telinga terbuka dan  para anak buah kapalnya yang, ia haruskan untuk, menyumbat lubang telinganya sehingga tak mendengar alunan merdu-mematikan dari Siren dan juga Odysseus memerintahkan para anak buah kapalnya untuk mendayung lebih cepat apabila Odysseus menjerit, meronta untuk meminta diarahkan ke pulau Siren. Dan, sesuai dengan kesepakatan awal, mereka berhasil lolos dari para Siren)[6].
Lalu, ia pun berhasil lolos dari jeratan berbahaya Polyphemus —raksasa penunggu gua mitis yang akan memakan manusia manapun yang memasuki guanya. Ia memperdaya Polyphemus dengan mengajaknya meminum anggur hingga mabuk dan lalu membutakan mata Polyphemus. Ia mengatakan, untuk menyamarkan identitasnya dengan memperkenalkan diri —dan juga merupakan jawaban dari pertanyaan-wajib Polyphemus— sebagai nobody kepada Polyphermus.[7]
 Hal tersebut mengakibatkan ia lolos dari jeratan para raksasa ganas penunggu gua tersebut, karena ketika para saudara raksasa Polyphemus menanyakan siapa yang telah melukai matanya, Polyphemus menjawab nobody. Well, berarti, bagi mereka, para saudara Polyphemus, tak seorang pun yang telah melukai Polyphemus.
Lalu kemudian, secara singkat, Odysseus berhasil menaklukan hati Dewi Circe yang memiliki hak untuk menyihir manusia tanpa obat penawar. Odysseus mengikuti kemauan Circe untuk memuaskan hasrat seksualnya (yang menawarkan kebahagiaan sekaligus kehancuran-diri) demi membebaskan teman-teman Odysseus yang dikutuk menjadi binatang.
Setelah ia mengikuti hasrat Circe, teman-temannya pun dibebaskan. Namun, Odysseus berusaha mengingkari hasrat instingnya dan menolak untuk larut dalam Circe. Sementara itu, Circe malah terlanjur jatuh cinta kepada Odysseus dan, kemudian, membebaskan Odysseus dan memberi ke mana Odysseus harus berlayar.
Dan, Petualangan paling menentukan adalah ketika Odysseus mencoba memasuki Hades (alam bawah —tempat arwah orang yang sudah mati) untuk menanyai Teiresias bagaimana cara memadamkan amarah Poseidon. Setelah memberikan korban seekor kambing, Tereias pun langsung memberitahu Odysseus cara memadamkan bara amarah Poseidon.
Seperti yang diuraikan Sumarwan (Ibid., hal. 64), Tereias, kemudian, “memberitahu bahwa Odysseus harus memanggul dayung di pundaknya dan terus bertualang sampai ia menjumpai orang ‘yang tidak mengetahui laut dan tak pernah makan makanan yang diberi garam’”. Tindakan konyol Odysseus ini sontak membuat orang-orang heran dan menertawainya. Namun, kekonyolan ini, oleh Odysseus dipersembahkan untuk Poseidon. Ia mengorbankan dirinya menjadi bahan tertawaan orang dan aktor pilon sehingga Poseidon pun, akhirnya, tertawa terbahak-bahak dan lupa atas kemarahannya dan lalu membiarkan Odysseus pulang ke kampung halamannya.[8]

Lalu, Apa Maksudnya?
Sekilas ketika kita membaca dengan penuh rasa kantuk (mungkin di antara kita bisa saja ada yang menganggap karya mahsyur dari penyair besar Yunani Kuno ini, Homeros, sebagai sebuah dongeng sebelum tidur!) dan mencoba memahami bagian mengenai Odysseus dan Petualangannya di atas, kita menjadi kurang menangkap apa maksud dan apa hubungan antara Odysseus dan (pelanggaran) ospek?
Buku Dialectic of Enlightenment hasil karya patungan dari Horkheimer dan Adorno adalah sebentuk upaya untuk memetakan kemajuan pencerahan yang, secara ironis, malah menjadi mitos baru (setelah berupaya menghajar mitos lama) dan kebusukan sistem kapitalisme masyarakat modern.
Saya meminjam alur pembahasan sebuah ekskursus (Odysseus or Myth and Enlightenment) yang terlampir di dalam buku tersebut —via pemaparan Sumarwan—  untuk memetakan kondisi pelaksanaan ospek yang berupaya mencerahkan, namun malah terjebak sistem abstrak-rumit yang membuat ospek malah menjadi sebentuk dominasi-hegemoni para panitia ospek (dan para dosen penanggungjawab).
Kita bisa mengambil beberapa intisari dari Epos Odysseus di atas untuk menguraikan problem ospek dan, kemudian, menghubungkannya dengan semangat manusia modern.
Mari kita padatkan inti permasalahan, hasil dari penggambaran  kita mengenai perjuangan Odysseus di atas, menjadi tiga poin penting:
1.      Pengorbanan diri demi kemajuan (pencerahan),
2.      Menegakkan identitas-diri sebagai subjek aktif yang kemudian, secara paradoksal, malah mengaburkan identitas-diri dalam sistem abstrak, dan
3.      Menipu-diri dengan berubah menjadi diri yang lain demi mencapai pencerahan.

Kita akan mulai dari poin nomor satu (1). Salah satu semangat pencerahan,  seperti yang ditafsirkan oleh Horkheimer-Adorno dalam karya mereka, adalah slogan “korbankan dirimu demi memeluk kemajuan”. Saya pikir hal ini memiliki gemanya dalam hal pelaksanaan ospek di kampus-kampus (terutama di Unpad). Para panitia ospek mendengungkan nyanyian-nyanyian merdu nan memabukkan yang isi liriknya tak lain adalah rayuan-rayuan yang  menjurus kepada pemaksaan-sikap yang mana mahasiswa baru (maba) dijajah kesadarannya untuk mempercayai slogan pencerahan ospek: ““korbankan dirimu demi memeluk kemajuan!”
Kira-kira bunyi wejangan-wejangan para panitia ospek kepada para mahasiswa baru (maba) seperti ini: “Kalian harus patuhi segala peraturan dan ketentuan pola penerimaan mahasiswa baru (ataupun dapat disebut juga sebagai pola pembinaan —nama alias dari ospek). Jika kalian melanggar kalian harus penuhi konsekuensinya: push up, kami marahi, kami tekan secara psikologis... Pokoknya, kalian harus nikmati ini. Kalian harus korbankan beberapa momen dalam diri kalian. Kalian harus tanggalkan sejenak kekritisan kalian.”
Poin nomor satu (1) ini  adalah sebentuk representasi yang menjadi salah satu simptom penyakit turunan dalam ospek yang hampir selalu ditularkan dari para panitia ospek menuju darah-darah dan syaraf-syaraf mahasiswa baru.
Hal tersebut, karena terinjeksi virus penyakit turunan, membuat mahasiswa baru (maba) harus cenderung mengalami gejala yang sama seperti seniornya, para panitia ospek, dan lalu,  hal ini kemungkinan besar, jika para maba tidak berani, sadar dan menyembuhkan dirinya untuk mengembalikan kekritisan mereka terhadap suatu problem, akan kembali diturunkan kepada mahasiswa yang berada di bawah mereka (di bawah para maba). Dan, yang pasti hal ini akan menjadi hal yang menyedihkan —kecuali bagi mereka yang masih terkungkung, masih terjangkiti virus turunan yang secara tak sadar telah menjajah kesadaran mereka!
Selanjutnya kita akan fokus pada poin nomor dua (2). Poin ini merupakan bentuk representasi dari penyelenggaraan ospek yang memiliki paradoks.
Pelaksanaan ospek yang —kembali saya ulang— membawa virus-virus penyakit turunan malah telah membentuk diri mahasiswa baru (maba) sebuah ke-tidak-jelas-an-identitas—karena ospek mengajarkan mahasiswa baru untuk terus menurut dan lantas tak mempertanyakan lagi mengapa ia harus berbuat demikian.
“Mengapa Aku harus melakukan hal ini?”; “Apa yang Aku dapatkan setelah Aku mengikuti hal ini?”; “Tidak adakah cara lain, yang lebih baik, ketimbang hukuman konsekuensi push up seperti ini?”; “Apakah benar jika ospek yang diselenggarakan selama ini, entah di universitas, entah di tingkat fakultas (ataupun jurusan), telah membentuk mahasiswa otentik, telah membentuk manusia yang memiliki identitas-diri?”; “Ataukah hanya ritual tahunan yang dianggap sakral yang di dalamnya Aku akan terjangkiti virus pencerahan-palsu, yang akan membuatku menjadi mahasiswa pembalas dendam?”; “Apakah para panitia ospek memang benar-benar menginginkan Aku menjadi manusia kreatif, inovatif dan kritis? Bukannya menjadi robot-robot yang menghabiskan daya-daya baterai yang dipasang di dalam tubuhnya?”; “Apakah Aku bisa percaya bahwa ospek ini bukanlah sebuah senioritas terselubung, sebuah ajang balas dendam yang dihaluskan dan dilegalkan?”; “Apakah, sekarang, Aku dapat yakin bahwa Aku adalah Aku? Bahwa Aku otentik? Bahwa Aku otonom? Bahwa kebebasan eksistensial dan kebebasan sosialku tidak direpresi sedemikian rupa oleh lembaga resmi di kampus untuk mengarahkan diriku dengan pelbagai pengetahuan dan kekuasaan ynag mereka miliki secara legal?”; dan “Apakah aku sekarang benar-benar yakin bahwa kesadaranku telah dijajah oleh semacam hegemoni yang memiliki relasi eksternal yang legal yang benar-benar cerdas dan berkuasa atas diriku selam aku menjadi mahasiswa baru di kampus ini?”.
Pertanyaan-pertanyaan reflektif di atas sengaja saya tulis untuk mencubit kesadaran-kritis kita dalam menanggapi pelaksanaan ospek di lingkungan terdekat kita.
Para panitia ospek yang mencoba membantu kita untuk membentuk dan memiliki identitas yang kuat, yang otentik, justru, secara paradoks, malah membuat kita kehilangan daya kritis dan menerima begitu saja apa yang diberikan (given).  Sokrates, sekitar 2500 tahun lalu, telah memperingatkan kita mengenai sikap menerima-hal-yang-given-secara-naif me-lalui quote mahsyur miliknya (sebagaimana dikutip oleh Platon, sang murid), “hidup yang tidak direnungkan adalah hidup yang tak  layak untuk dijalani.” So?
Poin nomor tiga (3) mengajak kita untuk memikirkan implikasi terakhir dari serangan virus turunan ospek yang dibawa oleh para agennya, yaitu para panitia ospek (dan, lagi-lagi, para dosen penanggungjawab).
Dengan atmosfer yang sengaja diciptakan dan dikondisikan oleh para panitia penyelenggara kegiatan ospek sedemikian rupa, yang terus-menerus mewariskan virus “pengorbanan-diri” dan “pembalasan dendam terselubung”, mahasiswa baru (maba) akan mencoba menipu-diri, mencoba membuat dirinya menjadi diri-yang-lain, menghilangkan daya-daya kritisnya, agar mereka mampu mengikuti dan mematuhi segala peraturan kegiatan ospek (mulai dari tingkat jurusan, fakultas, sampai tingkat universitas).
Mahasiswa baru (maba) yang pada awalnya ingin mengkritisi ospek, karena memahami atmosfer ospek yang tidak akan menguntungkan dirinya, yang akan membekap dirinya penuh-sesak, akan menjadi kerdil, menjadi takut dan lalu memasukkan dirinya ke dalam massa (masses), mahasiswa baru (maba) tersebut akan mengubah diri dan lalu menceburkan diri ke dalam lautan kawanan, lautan mahasiswa kawanan, agar membuat dirinya sama dengan mahasiswa baru (maba) yang lain dan akan membuat dirinya aman-aman saja hingga kegiatan ospek —yang didengung-dengungkan sebagai pencerahan (enlightenment)— selesai digelar.
Demikianlah tiga poin penting yang kita telah coba bahas dengan berdiskusi dengan teks Sumarwan, duet Horkheimer-Adorno, berdiskusi dengan keadaan sekitar, plus berdiskusi dengan diri kita sendiri, yang menunjukkan beberapa keberatan kita terhadap ospek yang menjajah kesadaran mahasiswa baru (maba) lewat hegemoni dan ideologi bekunya yang legal miliknya.

Ospek dan Ambivalensi

Pada bagian ini kita akan membahas kata “ambivalensi” yang hinggap dalam diri mahasiswa baru selama kegiatan ospek berlangsung.
Ambivalensi? Istilah aneh apa lagi ini? Secara sederhana, ambivalensi adalah percabangan dua hal yg saling bertentangan dalam satu momen—mencintai sekaligus membenci atas suatu hal ataupun seseorang  (dan sekelompok orang) dalam satu garis lurus!
Setelah kita melakukan penelusuran dan pembacaan sejak awal bagian dalam tulisan ini, menceburkan diri ke dalam lautan negatif mengenai ospek, kita telah sampai pada pembahasan yang menjadi implikasi-lanjut dari pelaksanaan ospek yang membawa virus turunan, pelaksanaan ospek yang menindas kesadaran secara terselubung[9].
Mahasiswa baru (maba) yang selama pelaksanaan ospek disodorkan oleh pelbagai peraturan yang berisi perintah “kamu harus” (dan tak boleh membalas “Aku mau”) akan mengalami, dalam dirinya, suatu sikap yang ambivalen.
Ia, dalam kegiatan ospek, sebenarnya ingin mengkritisi pelaksanaan ospek yang menjajah kesadaran-kekritisan diri , ia membenci ospek yang menindas (entah secara halus, entah secara kasar), namun karena para panitia ospek mencoba menyelimuti kegiatan ospek yang bersimptom penyakit ini dengan selubung emas nan luhur —kekeluargaan, kekompakan kelompok (atapun angkatan), rasa kebersamaan, kreativitas, bekerja sama satu sama lain—, sikap mahasiswa baru tersebut bercabang menjadi dua. Sikap yang saling bertentangan satu sama lain: ambivalensi!
Ia membenci pelaksanaan ospek yang penuh virus turunan tersebut, namun ia mencintai kebersamaan bersama kawan-kawan mahasiswa lain. Ia benar-benar berada di persimpangan jalan yang penuh godaan.
Ospek telah membentuk sikap yang ambivalen bagi mahasiswa baru lewat penjajahan kesadaran dan hasrat.

Quo vadis ospek?
Di bagian akhir tulisan ini saya akan mencoba mengajak kita bertanya kembali, meninjau kembali gagasan-gagasan pejal dalam isi kepala kita mengenai ospek.
Mau di bawa ke mana ospek yang telah menjadi ritual sakral tahunan ini? Akankah kita terus-menerus berkutat pada serangan penyakit turunan ospek ini —penyakit penindasan kesadaran dan ambivalensi?
Di dalam tulisan ini saya tidak hanya ingin membuat para panitia ospek perlu meninjau dan merefleksikan kembali alur gagasan mengenai pelaksanaan ospek yang selama ini telah (dan tetap) menindas mahasiswa baru, tetapi juga ingin mengajak para mahasiswa baru untuk menjadi agen perubahan (the agents of change) untuk mengembalikan semangat pencerahan ospek ke khittahnya, yaitu semangat antidominasi, semangat perlawanan atas ospek yang, akhirnya kita harus simpulkan, telah menjadi mitos.[10]
Well, semangat pencerahan dalam ospek harus dibarengi oleh semangat antidominasi yang terus mempertanyakan diri dan gagasan dalam diri secara kritis, terus-menerus menghargai dan merayakan yang liyan (orang lain; atau dalam kesempatan ini mahasiswa baru dan para panitia ospek), terus-menerus mendengarkan dan menanggapi kritik dari yang liyan, terus-menerus melakukan pergerakan diri dan tarian-tarian yang terus berubah secara aktif agar mencegah semangat pencerahan ospek berhenti  seperti air yang menggenang.

Sumber Referensi:
Sumarwan, “Odysseus, Mitos, dan Pencerahan: Bayang-bayang Nietzsche dalam Pemikiran Horkheimer dan Adorno”, dalam Setyo Wibowo, A., dkk., Para Pembunuh Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hal. 55-67.
Horkheimer, Max and Theodore W. Adorno, “Excursus I: Odysseus or Myth and Enlightenment”, in Horkheimer, Max and Theodore W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, New York: The Continuum Publishing Company, 1989, p. 43-80.
Sumber Internet:
Http://www.itb.ac.id/news/4213.xhtml (diakses pada 18/06/2014 pukul 22:34).












[1] Lih. Ardiyansyah, B.R., 2014, “Diskusi MLI: Kupas Permasalahan Hukum Ospek di Perguruan Tinggi Indonesia”, dalam Http://www.itb.ac.id/news/4213.xhtml (diakses pada 18/06/2014 pukul 22:34).
[3] Saya akan mengikuti pemaparan Sumarwan,  dalam artikelnya, “Odysseus, Mitos, dan Pencerahan: Bayang-bayang Nietzsche dalam Pemikiran Horkheimer dan Adorno”, dalam Setyo Wibowo, A., dkk., Para Pembunuh Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hal. 55-67, sembari mengecek terjemahan dari karya Horkheimer-Adorno, Dialectic of Enlightenment (Dialektika Pencerahan), tersebut dalam bahasa Inggris (ditranslasikan oleh John Cumming, 1989, New York: The Continuum Publishing Company).
[4] Lih. Sumarwan, “Odysseus, Mitos, dan Pencerahan: Bayang-bayang Nietzsche dalam Pemikiran Horkheimer dan Adorno”,  ibid. Hal. 56-57.
[5] Horkheimer dan Adorno menulis, “The principle of fatal necessity, which brings low the heroes of myth and derives as a logical consequence from the pronouncement of the oracle, does not merely, when refined to the stringency of formal logic, rule in every rationalistic system of Western philosophy, but Itself dominates the series of systems which begins with the hierarchy of the gods and, in a permanent twilight of idols, hands down an identical content: anger against insufficient righteousness.” Lih. Horkheimer, Max and Theodore W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, New York: The Continuum Publishing Company, 1989, hal. 11.
[6] Mengenai hal ini, Horkheimer-Adorno menafsirkannya sebagai sebuah hubungan antara tuan yang terikat (Odysseus) dan para buruh (para ABK) yang adalah bentuk awal dari pembagian kerja masyarakat kapitalis. Lih. Sumarwan, ibid., hal. 62.
[7] Hal ini ditafsirkan oleh Horkheimer-Adorno sebagai ciri manusia pencerahan yang mencoba memperkokoh identitas-diri, namun terjerat jejaring sistem-busuk yang membuat manusia pencerahan tersebut kehilangan identitas-diri. Lih. Sumarwan, ibid., hal. 63.

[8] Seperti yang ditulis oleh Sumarwan dalam catatan kaki no. 17 dalam artikelnya, “Tertawa di satu sisi menunjukkan kekuasaan atas orang yang ditertawakan, tetapi di sisi lain tertawa juga membuat buta.”
[9] Kita bisa menghubungkan penjajahan kesadaran terselubung dalam ospek ini dengan konsep ideologi Louis Althusser, seorang pemikir kontemporer Perancis. Me-nurut Althusser,  ideologi bergerak di ranah ketidaksadaran (unconsciousness), yang lalu membentuk ‘Kesediaan kultural’ dalam diri manusia yang dijajah yang diwujudkan lewat pelbagai inilah aparatus negara dalam bentuk ideologi. Salah satu efek dari ideologi dalam terang kegiatan ospek adalah naturalisasi kesadaran-diri yang ada nampak alamiah, seolah sudah seharusnya demikian. Manusia, lalu, terancam menjadi robot-massa!
[10] Mitos yang seolah-olah alamiah dan tak boleh dipertanyakan lagi dasar terciptanya. Perlu kita ingat bahwa semangat pencerahan yang pada mulanya membawa semangat antidominasi, jika kemudian kita malah membuat semangat pencerahan itu mandeg dan membeku dan lalu memeliharanya secara membuta, kita akan mendapati semangat pencerahan itu berubah wujud menjadi mitos yang angkuh.