Usaha
represif-defensif dilancarkan pengelola fakultas Psikologi(Fapsi) Unpad
baru-baru ini. Beredar Memorandum of
Understanding(MoU) yang dicap dan ditandatangani pimpinan organisasi
mahasiswa fakultas tersebut dan pengelola Fapsi. Dalam ‘perjanjian’ tersebut,
tercantum beberapa poin yang harus dipatuhi mahasiswa Fapsi. Pertama, mahasiswa
Fapsi dilarang mengikuti demonstrasi terkait uang kegiatan mahasiswa. Kedua,
apabila mereka mengikuti demonstrasi sebagai wakil dari lembaga kemahasiswaan di
Fapsi maka BEM dan BPM fakultas itu dibekukan selama satu bulan sejak
demonstrasi terjadi. Terakhir, setiap mahasiswa Fapsi yang mengikuti
demonstrasi sebagai wakil dari organisasi di luar fakultas tersebut akan didenda
Rp. 500.000. MoU itu tentu wujud ketakutan pihak pengelola Fapsi. Padahal,
perlu diketahui bahwa belum ada kesepakatan untuk berdemonstrasi terkait hal
tersebut di Keluarga Mahasiswa(Kema) Unpad.
Kali
ini hadirnya media sosial patut disyukuri, potret dari surat tersebut kemudian
beredar di dunia maya dengan begitu cepat dan menghasilkan tanggapan yang ramai
bukan main. Pengekangan kebebasan berpendapat dan berekspresi itu kemudian
dikritisi banyak orang yang melihatnya, terutama mahasiswa Unpad, bahwa hal ini
menunjukkan Unpad sedang tidak ‘baik-baik saja’. Padahal, jika diamati polemik
yang sedang dikritisi dan dikawal mahasiswa dan pengelola Unpad, adalah sistem pendanaan kegiatan
kemahasiswaan yang mengecewakan banyak Lembaga Kemahasiswaan(LK). Namun, kejadian itu kemudian menjadi pemicu terjadinya pengebirian hak berpendapat. Suatu isu memicu isu
lainnya. Judulnya, pengelola membuka boroknya sendiri.
Menilik dari isu pemicu kasus pengekangan kebebasan
berpendapat yang disinggung di atas, permasalahan yang terjadi(isu pemicu)
sebenarnya tidak memiliki tensi setinggi kasus pengekangan kebebasan
berpendapat itu sendiri. Problem itu bermula sejak November 2016. Ketika itu,
Dir. Kemahasiswaan mengundang LK se-Unpad untuk sosialiasi sistem baru penganggaran dana kegiatan kemahasiswaan. Saat itu, LK diberitahukan bahwa
sistem itu diberlakukan mulai semester genap tahun ajaran 2016/2017 saat Unpad
sudah berstatus PTN-BH. Pada sistem tersebut ada dua poin inti yang berbeda
dari sistem penganggaran dana kegiatan kemahasiswaan Unpad pra-PTN-BH. Pertama,
pengajuan proposal dana dan izin kegiatan berbasis daring. Kedua, keperluan
dari kegiatan tersebut akan difasilitasi Unpad dalam bentuk barang. Dalam
pelaksanaanya, hingga Maret 2017, banyak laporan LK mengenai payahnya sistem
baru ini, dimulai dari dana yang tak kunjung cair, ketidakjelasan Standard Operating Procedure(SOP),
hingga ketidaksesuaian barang yang diajukan.
Dalam upaya mengkritisi sistem tersebut, perwakilan puluhan LK
mendatangi gedung rektorat Unpad untuk menghadiri audiensi dengan pengelola
keuangan kemahasiswaan Unpad. Dalam kesempatan tersebut, LK menuntut percepatan
verifikasi proposal dan dana yang dicairkan seratus persen berupa uang tunai.
Tuntutan pencairan dana seratus persen uang tunai ditolak pihak rektorat.
Apakah penolakan ini yang membuat takut pengelola salah satu fakultas di Unpad
di atas akan adanya demonstrasi mahasiswa sebagai tuntutan lanjutan?
Kritik atas Kondisi Sosial
Kampus Unpad
Seringkali
kondisi sosial yang berlaku di suatu tempat diterima apa adanya, ada pemakluman
masyarakat di dalamnya. Keadaan seperti itulah yang diarahkan oleh daya kritis
yang lemah. Untuk memberikan perbaikan kepadanya, diperlukan upaya penyadaran
untuk menjangkau apa yang salah kemudian memperbaikinya dan pengujian kondisi
sosial untuk menyingkap nilai-nilai yang terhalang oleh realita kehidupan
manusia. Selain itu, unsur komunikasi harus terdapat dalam upaya penyadaran
itu. Itulah perjuangan kritis yang diusung Jurgen Habermas lewat teori kritisnya.
Secara programatis, teori kritis
Habermas dikembangkan melalui segala deformasi dan ekspansi tak
bertanggungjawab atas rasionalitas instrumental dan strategis, dan sekaligus
menyusun basis bagi kritik ini dari titik yang tepat untuk membebaskan cakrawala
modernitas utopian itu sendiri di dalam perspektif-perspektif moral-praktis
yang terdapat dalam dunia kehidupan. Yang dibawa teori ini adalah misi
emansipatoris untuk mengarahkan masyarakat menuju masyarakat yang lebih
rasional melalui refleksi-diri. refleksi-diri ini bertujuan membebaskan
pengetahuan manusia bila pengetahuan itu diyakani secara mutlak pada kutub
transedental atau empiris. Masyarakat yang lebih rasional yang dituju bukan
diperjuangkan melalui jalan revolusioner atau kekerasan dan tidak dapat
dipastikan datangnya kemudian pasrah menunggu. Menurut Habermas transformasi
sosial justru diperjuangkan melalui dialog emansipatoris. Hanya melalui komunikasi itulah
masyarakat yang berinteraksi dalam suasana “komunikasi bebas dari penguasaan”
akan terwujud. Usaha pengarahan ini sepertinya sangat tepat jika dikerahkan
dalam menyikapi kondisi ekonomi dan politik di Unpad.
Melalui refleksi-diri, masyarakat Unpad(stakeholder) seharusnya bersama-sama
mengevaluasi kinerja Unpad secara sistemik. Sebut saja permasalahan TPB(Tahap
Pembelajaran Bersama) yang perencanaannya tidak matang, pembangunan dan
perawatan infrastruktur yang tidak jelas kelanjutannya, dan pembukaan
PSDKU(Program Studi Di luar Kampus Utama) Pangandaran yang tergesa-gesa. Yang
terbaru, kacaunya sistem penganggaran dana
kegiatan kemahasiswaan berbasis daring atau SIAT dan upaya represif
salah satu pihak pengelola kampus terhadap mahasiswa yang sudah dibahas di atas.
Permasalahan utama dalam kasus ini yang sekaligus permasalahan mendasar, yaitu tertutupnya
perbaikan pada kehidupan di Unpad berwujud tindakan represif pelarangan
demonstrasi. Kunci dari transformasi sosial yang merupakan dialog emansipatoris
dikubur oleh si perepresi. Ungkapan kekecewaan beserta tuntutan ia bungkam.Terlepas
dari apakah rencana demonstrasi yang dimaksud pengelola fakultas memang benar
adanya atau tidak, mereka sebagai pihak “penguasa” tidak ingin posisinya setara
dengan yang dikuasai. Tidak ingin terjadinya pola hubungan yang egaliter. Tidak
ingin terjadinya pola hubungan yang berlandaskan kemitraan. Mereka ingin
mempertegas relasi bapak-anak khas feodalisme.
Pengekangan ini sekaligus merupakan wujud usaha si perepresi
dalam mempertahankan nilai utopis modernitas yang dibawa teknologi. Yang ingin
dipertahankan di sini adalah dogma bahwa SIAT efisien dalam pelaksanaannya.
Tidak akan ada cacat padanya jika berjalan sesuai rencana. Segala yang berbau
teknologi disini adalah terbaik. “Sudahlah, kalian tidak usah demonstrasi.
Sistem ini sudah ideal”, itu mungkin nilai-nilai yang ingin ditanamkan si
perepresi. Pengagungan terhadap teknokrat yang terus dijaga di sini. Tidak ada
proses evaluasi sebagai sebuah refleksi-diri bersama di dalamnya, sementara
demonstrasi juga merupakan evaluasi bagi keadaan sosial bersama.
Yang diusahakan pada perbaikan ini bukanlah sebuah jalur
kekerasan. Jika yang ditakutkan si perepresi tersebut demonstrasi akan membawa
kerusakan, itu sudah diatur dalam hukum mengenai sanksi demonstrasi pada UU No
9 tahun 1998 pasal 6,9,10, dan 11. Selain itu, sudah barang tentu perubahan
yang didasari kekerasan akan menimbulkan cacat di masa mendatang. Di sini
tujuan untuk mencapai masyarakat Unpad yang rasional hanya akan terjadi dengan
keterbukaan antara mahasiswa-pengelola Unpad. Kritik disini bertujuan untuk
menyibak—kemudian melampaui benturan kepentingan dengan mencari resolusi yang
dimaksud. Tidaklah mungkin menghendaki perubahan sekaligus pengekangan tersebut
terus berlanjut.
Mungkinkah pembungkaman itu berhasil?
Apa
pun bentuk upaya pembungkaman bersuara dan berpendapat orang—dalam kasus ini
MoU berisi tiga poin kesepakatan tidaklah memadai untuk mencapai tujuannya. Ada
dua alasan tidak akan tercapainya tujuan tersebut. Pertama, mereka yang
terancam terkena sanksi tersebut, maupun yang tidak, memiliki daya kritis yang
tinggi, tidak seperti kuda delman yang bersedia ditutup matanya sampai akhir
hayat. Mereka punya landasan yang kuat untuk menyudahi usaha represif pengelola
fakultas tersebut. Kedua, peristiwa perampasan hak freedom of speech ini akan
menjadi isu yang ramai diperdebatkan pada zaman kebebasan berekspresi ini.
Apakah pihak dekanat tidak mempertimbangkan tanggapan orang banyak akan
terbitnya MoU itu? Apakah dia/mereka meyakini bahwa respon-respon yang muncul
akan mendukung nota kesepahaman tersebut?
Permasalahan ini bukan sekedar hajatnya LK,
mahasiswa Unpad, dan pengelola Unpad. Ini tentu permalasahan masyarakat
Indonesia secara menyeluruh--bahkan manusia sekaligus. Kebebasan berpendapat
dan berekspresi sudah dijamin dalam undang-undang(UU RI no.9 tahun 1998).
Demonstrasi yang dilarang dalam “nota kesepahaman” itu sudah dijamin
legalitasnya oleh UU tersebut selama sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pada awal pelaksanaan penganggaran berbasis
SIAT, Wakil Rektor II Unpad, Arief Sjamsulaksana, menjamin bahwa pihak
pengelola bersedia dikawal. Jika ada kesalahan dalam pelaksanaannya,
mahasiswa-pengelola Unpad akan saling mengevaluasi. Perlu diketahui, jikalau
pun tidak terjadi, demonstrasi tetaplah salah satu bentuk evaluasi bagi pihak
pengelola Unpad.
Kasus ini sudah ramai diperbincangkan di sosial media.
Opini yang berkembang kemudian mengarah kepada pro-kontra di banyak platform sosial media.Tentunya
orang-orang yang sudah mengakses kabar tersebut dan mencernanya dengan jernih
bisa menentukan bahwa pembungkaman adalah penindasan. Penindasan haruslah
dilampaui. Mereka yang setuju dengan MoU tersebut layak diragukan daya
kritisnya jika memang mendukung perubahan kehidupan Unpad menjadi lebih baik.
Pengecualian jika mereka memang menghendaki keadaan sosial Unpad yang adem-ayem, seakan tidak ada masalah sama
sekali di kampus Unpad. Jika memang MoU itu merupakan otoritas pengelola Fapsi,
mengapa pengelola pusat Unpad diam saja? Apakah
mereka setuju dengan penawanan hak berpendapat?Apakah mereka tidak menghendaki
transformasi sosial kearah yang lebih baik? Jika memang demikian, posisi mereka
nantinya ada pada ‘’kekalahan’’ oleh mereka yang mengusahakan perbaikan di
kampus Unpad. Bagi kawan-kawan mahasiswa yang menghendakinya syarat yang mesti
dipenuhi adalah menjaga dan kemudian meningkatkan eskalasi pergerakan gerakan
mahasiswa Unpad yang saat ini sedang solid.
Kasus satu ini akan terus teringat oleh
mahasiswa Unpad yang menyaksikan, masuk akal jika caci-maki terhadap si pelaku
represi tetap ada walaupun pengekangan itu dicabut. Namun, upaya pembungkaman
tersebut tentu tetap harus dicabut. Ini preseden super-buruk untuk kedepannya.
Jikalau pun tak kunjung dicabut, berbagai tanggapan berupa artikel, opini di
sosial media, demonstrasi, hingga menggugat pihak fakultas ke pengadilan pun
sangat memungkinkan. Seharusnya pemenang di pengadilan, jika terjadi
persidangan, sudah bisa ditentukan, yaitu pihak yang tertindas sebelum
dipersilahkan memenuhi persyaratan tertentu.
Menyikapi
permasalahan ini, kami menyatakan:
1. Menentang MoU dan mendesak pencabutannya oleh pihak yang menandatanganinya.
2. Pihak pengelola Unpad pusat
mesti menghormati ruang publik sebagai suatu sarana yang demokratis untuk
berpendapat dan berekspresi.
3. Pihak Pengelola Unpad pusat mesti menjamin pola hubungan kemitraan antara pengelola dan
mahasiswa Unpad.
4. Pihak Pengelola Unpad pusat
mesti menjamin pola komunikasi yang dialogis antara pengelola dan mahasiswa
Unpad.
5. Pihak Pengelola Unpad pusat
mesti melibatkan mahasiswa dalam perencanaan, pengelolaan, dan pengawasan
seluruh kegiatan di Universitas Padjadjaran.
6. Pengelola Fapsi mesti Meminta maaf kepada mahasiswa Unpad terkhusus mahasiswa Fapsi Unpad
atas upaya represif tersebut di atas.
*Penulis saat ini menjabat sebagai Ketua Umum LPPMD Unpad periode 2016-2017. Ia sedang dalam masa studi di Jurnalistik Fakultas KomunikasiUnpad. Bisa dihubungi melalui twitter @ramdhanmulia