Maret 2017 - LPPMD Unpad

Rabu, 22 Maret 2017

Penerbitan MoU: Keengganan Mencapai Perbaikan
sumber foto:  http://ushistoryscene.com/article/westsocialmovements/

                                                         Oleh: Muli A R.F.*


Usaha represif-defensif dilancarkan pengelola fakultas Psikologi(Fapsi) Unpad baru-baru ini. Beredar Memorandum of Understanding(MoU) yang dicap dan ditandatangani pimpinan organisasi mahasiswa fakultas tersebut dan pengelola Fapsi. Dalam ‘perjanjian’ tersebut, tercantum beberapa poin yang harus dipatuhi mahasiswa Fapsi. Pertama, mahasiswa Fapsi dilarang mengikuti demonstrasi terkait uang kegiatan mahasiswa. Kedua, apabila mereka mengikuti demonstrasi sebagai wakil dari lembaga kemahasiswaan di Fapsi maka BEM dan BPM fakultas itu dibekukan selama satu bulan sejak demonstrasi terjadi. Terakhir, setiap mahasiswa Fapsi yang mengikuti demonstrasi sebagai wakil dari organisasi di luar fakultas tersebut akan didenda Rp. 500.000. MoU itu tentu wujud ketakutan pihak pengelola Fapsi. Padahal, perlu diketahui bahwa belum ada kesepakatan untuk berdemonstrasi terkait hal tersebut di Keluarga Mahasiswa(Kema) Unpad.
Kali ini hadirnya media sosial patut disyukuri, potret dari surat tersebut kemudian beredar di dunia maya dengan begitu cepat dan menghasilkan tanggapan yang ramai bukan main. Pengekangan kebebasan berpendapat dan berekspresi itu kemudian dikritisi banyak orang yang melihatnya, terutama mahasiswa Unpad, bahwa hal ini menunjukkan Unpad sedang tidak ‘baik-baik saja’. Padahal, jika diamati polemik yang sedang dikritisi dan dikawal mahasiswa dan pengelola Unpad, adalah sistem pendanaan kegiatan kemahasiswaan yang mengecewakan banyak Lembaga Kemahasiswaan(LK). Namun,  kejadian itu kemudian menjadi pemicu terjadinya pengebirian hak berpendapat. Suatu isu memicu isu lainnya. Judulnya, pengelola membuka boroknya sendiri. 
Menilik dari isu pemicu kasus pengekangan kebebasan berpendapat yang disinggung di atas, permasalahan yang terjadi(isu pemicu) sebenarnya tidak memiliki tensi setinggi kasus pengekangan kebebasan berpendapat itu sendiri. Problem itu bermula sejak November 2016. Ketika itu, Dir. Kemahasiswaan mengundang LK se-Unpad untuk sosialiasi sistem baru penganggaran dana kegiatan kemahasiswaan. Saat itu, LK diberitahukan bahwa sistem itu diberlakukan mulai semester genap tahun ajaran 2016/2017 saat Unpad sudah berstatus PTN-BH. Pada sistem tersebut ada dua poin inti yang berbeda dari sistem penganggaran dana kegiatan kemahasiswaan Unpad pra-PTN-BH. Pertama, pengajuan proposal dana dan izin kegiatan berbasis daring. Kedua, keperluan dari kegiatan tersebut akan difasilitasi Unpad dalam bentuk barang. Dalam pelaksanaanya, hingga Maret 2017, banyak laporan LK mengenai payahnya sistem baru ini, dimulai dari dana yang tak kunjung cair, ketidakjelasan Standard Operating Procedure(SOP), hingga ketidaksesuaian barang yang diajukan.  Dalam upaya mengkritisi sistem tersebut, perwakilan puluhan LK mendatangi gedung rektorat Unpad untuk menghadiri audiensi dengan pengelola keuangan kemahasiswaan Unpad. Dalam kesempatan tersebut, LK menuntut percepatan verifikasi proposal dan dana yang dicairkan seratus persen berupa uang tunai. Tuntutan pencairan dana seratus persen uang tunai ditolak pihak rektorat. Apakah penolakan ini yang membuat takut pengelola salah satu fakultas di Unpad di atas akan adanya demonstrasi mahasiswa sebagai tuntutan lanjutan?

Kritik atas Kondisi Sosial Kampus Unpad

Seringkali kondisi sosial yang berlaku di suatu tempat diterima apa adanya, ada pemakluman masyarakat di dalamnya. Keadaan seperti itulah yang diarahkan oleh daya kritis yang lemah. Untuk memberikan perbaikan kepadanya, diperlukan upaya penyadaran untuk menjangkau apa yang salah kemudian memperbaikinya dan pengujian kondisi sosial untuk menyingkap nilai-nilai yang terhalang oleh realita kehidupan manusia. Selain itu, unsur komunikasi harus terdapat dalam upaya penyadaran itu. Itulah perjuangan kritis yang diusung Jurgen Habermas lewat teori kritisnya.
            Secara programatis, teori kritis Habermas dikembangkan melalui segala deformasi dan ekspansi tak bertanggungjawab atas rasionalitas instrumental dan strategis, dan sekaligus menyusun basis bagi kritik ini dari titik yang tepat untuk membebaskan cakrawala modernitas utopian itu sendiri di dalam perspektif-perspektif moral-praktis yang terdapat dalam dunia kehidupan. Yang dibawa teori ini adalah misi emansipatoris untuk mengarahkan masyarakat menuju masyarakat yang lebih rasional melalui refleksi-diri. refleksi-diri ini bertujuan membebaskan pengetahuan manusia bila pengetahuan itu diyakani secara mutlak pada kutub transedental atau empiris. Masyarakat yang lebih rasional yang dituju bukan diperjuangkan melalui jalan revolusioner atau kekerasan dan tidak dapat dipastikan datangnya kemudian pasrah menunggu. Menurut Habermas transformasi sosial justru diperjuangkan melalui dialog emansipatoris. Hanya melalui komunikasi itulah masyarakat yang berinteraksi dalam suasana “komunikasi bebas dari penguasaan” akan terwujud. Usaha pengarahan ini sepertinya sangat tepat jika dikerahkan dalam menyikapi kondisi ekonomi dan politik di Unpad.
Melalui refleksi-diri, masyarakat Unpad(stakeholder) seharusnya bersama-sama mengevaluasi kinerja Unpad secara sistemik. Sebut saja permasalahan TPB(Tahap Pembelajaran Bersama) yang perencanaannya tidak matang, pembangunan dan perawatan infrastruktur yang tidak jelas kelanjutannya, dan pembukaan PSDKU(Program Studi Di luar Kampus Utama) Pangandaran yang tergesa-gesa. Yang terbaru, kacaunya sistem penganggaran dana  kegiatan kemahasiswaan berbasis daring atau SIAT dan upaya represif salah satu pihak pengelola kampus terhadap mahasiswa yang sudah dibahas di atas. Permasalahan utama dalam kasus ini yang sekaligus permasalahan mendasar, yaitu tertutupnya perbaikan pada kehidupan di Unpad berwujud tindakan represif pelarangan demonstrasi. Kunci dari transformasi sosial yang merupakan dialog emansipatoris dikubur oleh si perepresi. Ungkapan kekecewaan beserta tuntutan ia bungkam.Terlepas dari apakah rencana demonstrasi yang dimaksud pengelola fakultas memang benar adanya atau tidak, mereka sebagai pihak “penguasa” tidak ingin posisinya setara dengan yang dikuasai. Tidak ingin terjadinya pola hubungan yang egaliter. Tidak ingin terjadinya pola hubungan yang berlandaskan kemitraan. Mereka ingin mempertegas relasi bapak-anak khas feodalisme.
Pengekangan ini sekaligus merupakan wujud usaha si perepresi dalam mempertahankan nilai utopis modernitas yang dibawa teknologi. Yang ingin dipertahankan di sini adalah dogma bahwa SIAT efisien dalam pelaksanaannya. Tidak akan ada cacat padanya jika berjalan sesuai rencana. Segala yang berbau teknologi disini adalah terbaik. “Sudahlah, kalian tidak usah demonstrasi. Sistem ini sudah ideal”, itu mungkin nilai-nilai yang ingin ditanamkan si perepresi. Pengagungan terhadap teknokrat yang terus dijaga di sini. Tidak ada proses evaluasi sebagai sebuah refleksi-diri bersama di dalamnya, sementara demonstrasi juga merupakan evaluasi bagi keadaan sosial bersama.
Yang diusahakan pada perbaikan ini bukanlah sebuah jalur kekerasan. Jika yang ditakutkan si perepresi tersebut demonstrasi akan membawa kerusakan, itu sudah diatur dalam hukum mengenai sanksi demonstrasi pada UU No 9 tahun 1998 pasal 6,9,10, dan 11. Selain itu, sudah barang tentu perubahan yang didasari kekerasan akan menimbulkan cacat di masa mendatang. Di sini tujuan untuk mencapai masyarakat Unpad yang rasional hanya akan terjadi dengan keterbukaan antara mahasiswa-pengelola Unpad. Kritik disini bertujuan untuk menyibak—kemudian melampaui benturan kepentingan dengan mencari resolusi yang dimaksud. Tidaklah mungkin menghendaki perubahan sekaligus pengekangan tersebut terus berlanjut.

Mungkinkah pembungkaman itu berhasil?

Apa pun bentuk upaya pembungkaman bersuara dan berpendapat orang—dalam kasus ini MoU berisi tiga poin kesepakatan tidaklah memadai untuk mencapai tujuannya. Ada dua alasan tidak akan tercapainya tujuan tersebut. Pertama, mereka yang terancam terkena sanksi tersebut, maupun yang tidak, memiliki daya kritis yang tinggi, tidak seperti kuda delman yang bersedia ditutup matanya sampai akhir hayat. Mereka punya landasan yang kuat untuk menyudahi usaha represif pengelola fakultas tersebut. Kedua, peristiwa perampasan hak freedom of speech  ini akan menjadi isu yang ramai diperdebatkan pada zaman kebebasan berekspresi ini. Apakah pihak dekanat tidak mempertimbangkan tanggapan orang banyak akan terbitnya MoU itu? Apakah dia/mereka meyakini bahwa respon-respon yang muncul akan mendukung nota kesepahaman tersebut?
Permasalahan ini bukan sekedar hajatnya LK, mahasiswa Unpad, dan pengelola Unpad. Ini tentu permalasahan masyarakat Indonesia secara menyeluruh--bahkan manusia sekaligus. Kebebasan berpendapat dan berekspresi sudah dijamin dalam undang-undang(UU RI no.9 tahun 1998). Demonstrasi yang dilarang dalam “nota kesepahaman” itu sudah dijamin legalitasnya oleh UU tersebut selama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada awal pelaksanaan penganggaran berbasis SIAT, Wakil Rektor II Unpad, Arief Sjamsulaksana, menjamin bahwa pihak pengelola bersedia dikawal. Jika ada kesalahan dalam pelaksanaannya, mahasiswa-pengelola Unpad akan saling mengevaluasi. Perlu diketahui, jikalau pun tidak terjadi, demonstrasi tetaplah salah satu bentuk evaluasi bagi pihak pengelola Unpad.
Kasus ini sudah ramai diperbincangkan di sosial media. Opini yang berkembang kemudian mengarah kepada pro-kontra di banyak platform sosial media.Tentunya orang-orang yang sudah mengakses kabar tersebut dan mencernanya dengan jernih bisa menentukan bahwa pembungkaman adalah penindasan. Penindasan haruslah dilampaui. Mereka yang setuju dengan MoU tersebut layak diragukan daya kritisnya jika memang mendukung perubahan kehidupan Unpad menjadi lebih baik. Pengecualian jika mereka memang menghendaki keadaan sosial Unpad yang adem-ayem, seakan tidak ada masalah sama sekali di kampus Unpad. Jika memang MoU itu merupakan otoritas pengelola Fapsi, mengapa pengelola pusat Unpad diam saja? Apakah mereka setuju dengan penawanan hak berpendapat?Apakah mereka tidak menghendaki transformasi sosial kearah yang lebih baik? Jika memang demikian, posisi mereka nantinya ada pada ‘’kekalahan’’ oleh mereka yang mengusahakan perbaikan di kampus Unpad. Bagi kawan-kawan mahasiswa yang menghendakinya syarat yang mesti dipenuhi adalah menjaga dan kemudian meningkatkan eskalasi pergerakan gerakan mahasiswa Unpad yang saat ini sedang solid.
Kasus satu ini akan terus teringat oleh mahasiswa Unpad yang menyaksikan, masuk akal jika caci-maki terhadap si pelaku represi tetap ada walaupun pengekangan itu dicabut. Namun, upaya pembungkaman tersebut tentu tetap harus dicabut. Ini preseden super-buruk untuk kedepannya. Jikalau pun tak kunjung dicabut, berbagai tanggapan berupa artikel, opini di sosial media, demonstrasi, hingga menggugat pihak fakultas ke pengadilan pun sangat memungkinkan. Seharusnya pemenang di pengadilan, jika terjadi persidangan, sudah bisa ditentukan, yaitu pihak yang tertindas sebelum dipersilahkan memenuhi persyaratan tertentu.

Menyikapi permasalahan ini, kami menyatakan:


1. Menentang MoU dan mendesak pencabutannya oleh pihak yang menandatanganinya.

2.   Pihak pengelola Unpad pusat mesti menghormati ruang publik sebagai suatu sarana yang demokratis untuk berpendapat dan berekspresi.

3.  Pihak Pengelola Unpad pusat mesti menjamin pola hubungan kemitraan antara pengelola dan mahasiswa Unpad.

4.   Pihak Pengelola Unpad pusat mesti menjamin pola komunikasi yang dialogis antara pengelola dan mahasiswa Unpad.

5. Pihak Pengelola Unpad pusat mesti melibatkan mahasiswa dalam perencanaan, pengelolaan, dan pengawasan seluruh kegiatan di Universitas Padjadjaran.


6.   Pengelola Fapsi mesti Meminta maaf kepada mahasiswa Unpad terkhusus mahasiswa Fapsi Unpad atas upaya represif tersebut di atas.


*Penulis saat ini menjabat sebagai Ketua Umum LPPMD Unpad periode 2016-2017. Ia sedang dalam masa studi di Jurnalistik Fakultas KomunikasiUnpad. Bisa dihubungi melalui twitter @ramdhanmulia












            

Selasa, 07 Maret 2017

Menyoal Feminisme dan Pesimisme Khalayak
*Oleh: Fathurrahman K
Sumber: majalahkartini.co.id

Sebelumnya, apa itu Feminisme? Kita sering mendengar kata feminisme, partriarki, seksisme, misoginis, dan sebagainya ketika membaca suatu tulisan, entah itu di buku, media massa, ataupun artikel-artikel di internet. Feminisme semakin mendapatkan popularitas ketika artis-artis publik mulai menarik perhatian media massa dengan ikut aksi mendukung gerakan sosial tersebut. Feminisme, pada dasarnya, adalah salah satu gerakan sosial (social movement) yang memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan dalam politik, ekonomi, budaya, ruang pribadi dan ruang publik.
Gerakan feminisme sebenarnya sudah lama ada. Ditarik dari segi historis, perjuangan kaum perempuan mendapatkan hak yang sepantasnya telah tertulis dalam banyak buku sejarah. Mulai dari abad pertengahan dimana perempuan menuntut persamaan hak dalam menyebarkan agama, sampai kepada feminisme radikal seperti Beauvoir yang mengkaji permasalahan feminisme dari perspektif filsafat fenomenologi.
Tak heran, seperti pada gerakan sosial lain, dalam perjalanan gerakannya, feminisme mendapatkan sinisme bernada negatif, terutama di Indonesia. Anggapan bahwa feminisme adalah suatu gerakan yang tidak perlu untuk dibuka dan dilakukan diskursus adalah salah satu contohnya. Feminisme dianggap membawa gerakan “liberal kebarat-baratan” yang tidak sesuai dengan budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Hal tersebut tidak hanya keluar dari mulut lelaki yang masih mempertahankan posisi patriarkisnya tetapi juga dari kaum perempuan sendiri. Kaum perempuan, yang biasanya terkena Stockholm syndrome ini, tidak ingin mengubah persepsi masyarakat tentang rapuhnya maskulinitas.
Salah satu contoh dalam kasus ini adalah tulisan konsultan muda, I P, di media sosialnya. Ia mengatakan bahwa aksi Women’s March Jakarta 2017 kemarin yang jatuh pada tanggal 6 merupakan hal yang latah. Hal tersebut dianggapnya sebagai sesuatu yang tidak penting karena di Indonesia masih “aman” dari penindasan patriarkis. Herannya, ia juga, secara eksplisit, menganggap perempuan masih sekadar objek yang bisa diukur dengan catcalling atau semacamnya.
Hal tersebut menandakan bahwa feminisme masih jauh dari garis kemenangan. Komentar-komentar yang bernada sinis seperti ini membuktikan bahwa Women’s March haruslah menjadi aksi yang sering di-boomingkan, bila perlu diadakan dua atau tiga kali setahun.
Alasannya adalah perempuan, dalam kasus ini, akan selalu menjadi objektifikasi laki-laki yang akan selalu menjadi “barang”. Objektifikasi ini akan melahirkan degradasi status perempuan, pelecehan seksual, bahkan pemerkosaan hingga pembunuhan. Perempuan dianggap sebagai individu yang diabaikan eksistensinya yang bisa diperlakukan semena-mena oleh kaum laki-laki. Budaya patriarkis yang masih kental melahirkan stereotype-stereotype yang merendahkan, seperti: perempuan tidak menikah dan memilih mengejar karir dianggap sebagai hal yang tidak wajar karena akan berakhir di dapur juga, atau perempuan harus bisa masak, cuci piring, bersih-bersih, Ibu rumah tangga akan selalu lebih baik daripada wanita karir, perempuan berjilbab panjang adalah perempuan yang sok alim dan direpresi agama, perempuan yang bekerja tidak menghormati suami, perempuan harus lembut, perempuan tidak boleh menonton video porno, perempuan yang keluar malam adalah perempuan yang tidak baik, perempuan yang merokok adalah perempuan jalang, perempuan harus berbicara yang sopan kalau tidak dia adalah perempuan yang tidak benar, dan lain-lain yang menambahkan daftar pelecehan terhadap kaum perempuan yang mengangguk pada sistem patriarkis.
Objektifikasi perempuan seperti ini haruslah dilawan. Khalayak yang masih pesimis terhadap gerakan feminisme harus disadari bahwa ada yang salah dalam sistem yang ada. Kesadaran akan represi-represi tersebut perlu didukung dengan ikut meramaikan aksi yang ada, seperti march, demonstrasi, atau hanya sekadar tulisan-tulisan yang dibagi di media massa. Masih banyak orang yang mengakui sebagai aktivis pembela keadilan yang berteriak soal persamaan hak namun hidup enak yang didapatkan dari sistem yang merendahkan kaum perempuan. Dalih yang mereka keluarkan bermacam-macam, mulai dari tuduhan kepada gerakan feminisme yang terlalu “kebarat-baratan” sampai nilai leluhur yang tidak mengajari itu. Mereka sebenarnya lupa akan hadirnya Kartini, Cut Nya Dhien, dan Martha Tiahahu yang menghiasi buku-buku sekolah dasar.
Permasalahan yang dilontarkan oleh gerakan feminisme tidak hanya berhenti sampai disitu. Gerakan feminisme juga menuntut perlindungan, penghapusan kekerasan, pemenuhan hak kesehatan, dan persamaan hak dalam pekerjaan. Tuntutan ini, seperti tuntutan diatas, adalah tuntutan yang nyata. Masih terdapat aduan-aduan yang mempermasalahkan tentang hak-hak yang tidak dipenuhi oleh perusahaan misalnya. Atau buruh-buruh yang bekerja di pabrik yang belum terlindungi dan rentan terhadap pelecehan seksual yang ada di dalam masyarakat. Ini membuktikan bahwa perjuangan perempuan masih belum berakhir.

Lalu apa yang bisa dilakukan? Setidaknya, pada tahap awal, kita tidak perlu untuk menyinyiri gerakan seperti ini. Cukup untuk menyebarluaskan agar orang-orang terdekat kita bisa menyadari bahwa ada sesuatu yang salah dalam sistem, dan itu harus diperbaiki.

*Penulis saat ini menjabat sebagai ketua divisi media LPPMD Unpad periode 2016-2017. Penulis juga aktif di Kajian Strategis BEM KEMA Fakultas Psikologi Unpad. Ia sedang berusaha menjalankan studi di Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran. Bisa dihubungi melalui akun Instagram: aditya.fathurrahman

Jumat, 03 Maret 2017

Plang Larangan Berjualan dan Anarkisme
Sumber Foto: Aldo Fernando


Oleh: Aldo Fernando*


Apa yang kawan-kawan pikirkan mengenai gambar di atas? Adakah hal yang aneh? Apakah biasa saja? Oh ya, apakah kawan-kawan tahu lokasi foto di atas?  Jawaban: Lokasi plang tersebut di pinggir jalan raya sekitar pangkalan damri (pangdam) kampus Unpad Jatinangor. Baiklah, saya akan menuliskan terlebih dahulu mengenai impresi saya atas foto tersebut.

Bagi saya, foto di atas istimewa  karena di dalamnya terdapat lambang A dengan lingkaran berwarna hitam yang menutupi tulisan larangan berjualan di sekitar halaman Unpad. Unpad mungkin ingin membuat lingkungannya tetap asri dan terbebas dari pedagang kaki lima sehingga membuat larangan seperti itu. Namun, apakah larangan itu sepenuhnya berhasil? Saya tidak bisa memastikan. Menariknya, ada sebentuk perlawanan terhadap larangan itu, yakni perlawanan dalam bentuk mencorat-coret plang larangan: dengan membentuk huruf A-dalam lingkaran berwarna hitam. Siapakah yang melakukannya? Saya tidak bisa memastikan orang atau kelompok yang melakukannya. 

Dalam hal ini, saya tertarik membahas lambang A-dalam lingkaran yang menutupi  plang larangan berjualan di atas. Saya berasumsi bahwa lambang A-dalam lingkaran yang dibuat oleh anonim tersebut  adalah salah satu lambang Anarkisme. Menurut Buckley (2011: 13), lambang A-dalam lingkaran pertama kali digunakan oleh para pekerja pada Perang Sipil Spanyol 1936. Ruth Kinna menulis dalam bukunya Anarchism (2005) bahwa simbol A-dalam lingkaran diturunkan dari slogan ‘Anarki adalah keteraturan; pemerintah adalah perang sipil’, yang dikemukakan oleh Pierre-Joseph Proudhon pada 1848 dan kemudian disimbolisasikan oleh seorang revolusioner Anselme Bellegarrigue. Selain simbol A-dalam lingkaran, bendera hitam juga merupakan simbol yang merepresentasikan Anarkisme sejak 1880-an. Makna bendera hitam adalah untuk menendang segala simbol lain yang berbau negara—yang para anarkis yakini telah memisahkan orang-orang.

Sebelumnya, mungkin kawan-kawan bertanya-tanya dengan penasaran, “Apa sih anarkisme itu? Bukankah ia berkaitan dengan aksi kekerasan (aksi anarkis!) di setiap demonstrasi massa?” Baiklah, pada tulisan ini saya akan membahas secara singkat mengenai apa itu anarkisme—harapannya, agar kita bisa membangkitkan diskusi-diskusi mengenai anarkisme di kampus kita, Universitas Padjadjaran.

***

Definisi dan Tujuan Anarkisme

Anarkisme adalah sebuah -isme yang aneh karena ia sangat sering disalahpahami oleh banyak orang—yakni, dianggap sebagai semata-mata kekacauan dan tindak kekerasan. Padahal, pada dasarnya, anarkisme adalah sebuah ajaran yang bertujuan untuk membebaskan orang dari dominasi politik dan eksploitasi ekonomi dengan mendesak tindakan langsung yang bersifat non-pemerintah (Kinna, 2005: 3).

Kata ‘anarki’ sendiri berasal dari bahasa Yunani anarkhia, yang berarti bertentangan dengan otoritas atau tanpa penguasa. Terma ini pertama kali digunakan oleh Pierre-Joseph Proudhon untuk menggambarkan ideologi politik dan sosialnya. Menurut Proudhon, organisasi tanpa pemerintah itu mungkin dan sungguh diperlukan. Dalam perkembangan ide-ide politik, menurut Colin Ward (2004), anarkisme bisa dianggap sebagai proyeksi akhir dari baik liberalisme maupun sosialisme. 

Menurut Peter Marshall (1992: 3), mengajukan definisi murni mengenai anarkisme akan membawa kita pada kesalahpahaman karena anarkisme tidak menawarkan bangunan doktrin yang baku yang didasarkan pada satu pandangan-dunia yang partikular. Menurutnya, anarkisme merupakan “filsafat yang pelik dan subtil, yang merengkuh banyak aliran pemikiran dan strategi yang beragam.” Anarkisme, meminjam Peter Marshall, “seperti sungai yang memiliki banyak aliran dan pusaran, yang secara konstan berubah dan disegarkan kembali oleh gelombang-gelombang baru tetapi selalu bergerak ke arah samudera kebebasan yang luas”.

Lalu, mengapa kaum anarkis menentang adanya pemerintah, otoritas atau negara? Karena menurut mereka penguasa, otoritas atau negara (yang, tentu, mendukung kapitalisme) itu bersifat memaksa dan melancarkan segala bentuk kekerasan, penipuan dan kebohongan demi mempertahankan kekuasaannya—hal ini tentu saja bertentangan dengan tujuan kaum anarkis: menciptakan dunia yang tanpa paksaan, penuh kebebasan dan menciptakan ketenangan bagi setiap individu-individu dalam masyarakat.  Emma Goldman, salah seorang anarkis, menyebut negara—ia mengutip Nietzsche—sebagai ‘monster dingin’ yang kejam. Negara selalu berusaha menundukkan orang-orang agar tetap dalam kendalinya—entah dalam bentuk simbolik ataupun fisik—atas nama stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan masyarakat dan lain sebagainya. Ini adalah bentuk penaklukan internal negara. Selain melakukan penaklukan dan pemaksaan secara internal, negara juga melakukan kekerasan dan pemaksaan kekuasaan secara eksternal demi memperkuat  dominasi dan pengaruhnya. Seperti menurut Rothbard (dikutip dari Kinna, 2005: 48), “kecenderungan alamiah dari negara adalah untuk memperluas kekuasaannya dan ekspansi semacam itu berlangsung dengan jalan menaklukkan suatu area teritorial tertentu”.

Kemudian, mungkin anda bertanya, “apa perbedaan antara anarkisme, anarkis dan anarki?” Sederhananya begini. Anarkisme adalah teori atau ajaran mengenai pembebasan manusia dari kekangan otoritas, hirarki yang menindas atau pemerintah tertentu. Anarkis adalah orang-orang yang membantu mempertahankan dan mencoba mewujudkan  ideal-ideal anarkisme. Anarki adalah kondisi yang ingin dicapai atau tujuan dari para anarkis, yakni masyarakat yang beragam yang hidup tanpa otoritas atau tanpa pemerintah, tanpa negara, tanpa hirarki, tanpa paksaan, yang menjunjung tinggi kebebasan, kerjasama antarindividu, kemerdekaan dan kesetaraan (Kinna, 2005).

Anarkisme dan Kekerasan?
Sebagaimana dikatakan di atas, anarkisme memang sering sekali disalahpahami. Apakah ia sebuah kekerasan? Bom? Keganasan kaum muda di jalanan? Alexander Berkman menulis dalam karyanya ABC Anarkisme (2017 [1942]) bahwa penting untuk menjelaskan terlebih dahulu apa-apa yang bukan anarkisme, karena begitu banyak kekeliruan dan “kebohongan yang telah disebar mengenai anarkisme”. Ia menulis,

Karenanya, saya mesti mengatakan kepada anda, pertama-tama, apa yang bukan anarkisme.

·         Anarkisme bukan bom, ketidakteraturan atau kekacauan.

·         Anarkisme bukan perampokan dan pembunuhan.
·         Anarkisme bukan sebuah perang di antara sedikit melawan semua.
·         Anarkisme bukan berarti kembali ke barbarisme atau kondisi yang liar manusia.
·         Anarkisme adalah kebalikan dari semua itu.

Anarkisme memiliki arti bahwa anda harus bebas; bahwa tidak seorang pun boleh memperbudak anda, menjadi majikan anda, merampok anda, ataupun memaksa anda.


Mengapa anarkisme sering disalahpahami sebagai dan seolah-olah identik dengan kekerasan? Menurut Buckley (2011), salah satu alasan penting mengapa anarkisme sering disalahpahami adalah karena pengaruh pemerintah mengenai bagaimana sejarah ditulis. Argumentasinya begini: karena pemerintah cenderung mendefinisikan sejarah dan kebudayaan, sejarah yang diakui secara resmi cenderung menyajikan informasi mengenai anarkisme secara berat sebelah: para pendukung dan aksi revolusioner yang paling diwarnai ‘kekerasan’ ditulis sebagai sesuatu yang keji, sementara pandangan masyarakat yang humanis, idealis, dan egaliter yang diajukan kaum anarkis seringkali diacuhkan begitu saja. Tentu saja terdapat beberapa anarkis yang menggunakan kekerasan sebagai propaganda untuk melawan dominasi pemerintah, seperti pada aksi individual dalam “propaganda dengan perbuatan” yang berlangsung pada akhir abad ke-19. Ruth Kinna (2005: 158-164) berpendapat bahwa setelah kemunculan “propaganda dengan perbuatan”, perdebatan mengenai revolusi anarkis seringkali fokus pada pertanyaan mengenai kekerasan. Dalam hal ini, para anarkis berbeda pendirian mengenai bagaimana cara terbaik untuk melakukan aksi anarkis. Tetapi yang pasti, tidak ada kaum anarkis yang setuju bahwa aksi anarkis didorong oleh irasionalitas atau ketaatan mesianistik akan kultus penghancuran.
Awal Sejarah Pergerakan Anarkis
Menurut Ward (2004), secara historis, anarkisme muncul bukan semata-mata sebagai penjelasan atas jurang pemisah yang begitu lebar antara orang kaya dan orang miskin di suatu komunitas tertentu, dan karenanya untuk memberi pendasaran mengapa orang miskin harus melawan ketidakadilan distribusi kekayaan semacam itu, melainkan juga sebagai jawaban radikal atas pertanyaan “Apa yang salah?” yang hadir setelah Revolusi Perancis—dengan munculnya pemerintahan  teror, dan  munculnya kasta kaya yang baru, berikut dengan penguasa barunya: Napoleon Bonaparte.

Memang,  anarkisme sebagai sebuah teori yang koheren baru muncul pada paruh kedua abad ke-19[i]. Namun, merujuk kepada Clifford Harper dalam bukunya Anarchy (1987), kita dapat melihat sejarah gerakan anarkis sejak awal abad ke-13, seperti yang dimulai oleh gerakan yang bernama Roh Bebas (The Free Spirit).  Roh Bebas merupakan gerakan anarkis pertama yang berkembang sepanjang Abad Pertengahan di Eropa. Tujuan utama kelompok tersebut adalah untuk menentang otoritarianisme gereja dan untuk menghadirkan kebahagiaan surgawi di bumi, disini dan saat ini juga. Tentu saja, gerakan Roh Bebas tersebut mendapatkan perlawanan dari gereja: dengan dituduh bidah, kemudian mereka diekskomunikasikan karena dosa besar mereka—yakni, karena mereka bebas dan menolak perintah gereja. Sebenarnya, selain Roh Bebas, terdapat banyak gerakan serupa seperti Pemberontakan Petani yang diilhami oleh semangat kaum Roh Bebas di Inggris pada abad ke-14 M, Ranters dan Diggers di inggris yang juga dipengaruhi ide-ide kaum Roh Bebas pada abad ke-17, dan lain sebagainya.

Sebagaimana dicatat oleh Peter Marshall (1992), sejarah gerakan anarkis mencapai titik puncaknya pada dua momen revolusi penting pada abad ke-20, yakni Revolusi Rusia dan Spanyol.  Pada Revolusi Rusia, kaum anarkis mencoba mewujudkan slogan ‘Semua Kuasa bagi Soviet’. Hal ini terjadi sebelum kaum Bolshevik memusatkan kekuasaan, lewat tangan Trotsky (sebagai kepala Tentara Merah) yang menghancurkan gerakan anarkis Nestor Makhno di Ukraina dan menekan pemberontakan para pekerja dan pelaut yang dikenal dengan Pemberontakan Kronstadt pada 1921, yang akhirnya berhasil meredam gerakan anarkisme di Rusia. Selain di Rusia, percobaan anarkis terbesar terjadi di Spnayol pada masa 1930an. Pada permulaan Perang Sipil Spanyol, demikian Marshall menulis, para petani di Andalusia, Aragon dan Valencia membangun dengan penuh semangat jaringan kolektif di ribuan desa. Selain itu, di Catalunya, para anarkis mengelola industri melalui kolektif-kolektif pekerja yang didasarkan pada kaidah-kaidah swa-kelola. Namun kemudian, percobaan anarkis tersebut hancur akibat intervensi fasis Italia dan Jerman bersama dengan Franco dan para pemberontaknya, serta para polisi Uni Soviet. Pertempuran itu berhasil memenangkan Franco dan membuat jutaan anarkis Spanyol harus mengendap-ngendap untuk kabur dari gempuran Franco.


Para Pemikir-Pelopor Anarkisme
Sebagaimana ditulis pada paragraf sebelumnya bahwa baru pada abad ke-19 anarkisme menemukan titik pijak teoretiknya dan menjadi salah satu gerakan politik yang sangat berpengaruh. Lalu, siapakah pelopor anarkisme itu? Baiklah, kita akan membahas para pelopor itu secara singkat berikut ini.

Pertama, William Godwin. (Ia memang hidup sebelum Proudhon, seorang perumus anarkisme sebagai ajaran politik, namun saya pikir bermanfaat untuk sedikit dibahas disini.) Ia memang tidak menganggap dirinya sebagai seorang anarkis, dan bukunya  Enquiry Concerning Political Justice yang diterbitkan pada 1793 tidak menyebut anarkisme, namun buku yang laris terjual di masanya itu menjadi salah satu bentuk perlawanan anarkis melawan pemerintah, hukum, properti, dan institusi negara. Lewat buku itu, namanya langsung membumbung tinggi. Godwin berpendapat bahwa hukum tidak diturunkan dari kebaikan dan kebijaksanaan pemimpin melainkan dari ambisi dan nafsu mereka, sehingga hukum-hukum tersebut mengarah kepada ketidakadilan (Buckley, 2011). Ia berseru untuk merobohkan pemerintah karena pemerintah bukan hanya tidak diperlukan tetapi juga berbahaya. Jika prinsip pemerintah berikut efek-efeknya dihilangkan, demikian menurut Godwin, maka pikiran manusia secara sendirinya akan berkembang menuju akal yang lebih baik dan lebih benar (Harper, 2017).

Kedua,  Max Stirner. Menurut Harper (2017), anarkisme Stirner merupakan pengejawantahan ekstrem dari individualisme atau egoisme. Stirner berpendapat bahwa individu berada di atas institusi, entah itu negara,hukum maupun kewajiban. Ia terkenal lewat bukunya The Ego and Its Own, yang menentang tanpa tedeng aling-aling segala ortodoksi agama, politik maupun filsafat. “Tak ada hal lain yang penting, kecuali diriku sendiri!” Demikian batu pijakan pemikiran Stirner. Menurut Stirner, individu harus bisa keluar dari kungkungan otoritas yang represif dan harus hidup untuk diri mereka sendiri  dan juga harus “memperlakukan orang lain seperti itu juga”. Anarkisme-Individualis Stirner membawa pengaruh besar bagi anarkisme setelah ia hidup.

Ketiga, Pierre-Joseph Proudhon. Ia adalah orang pertama yang menggunakan kata anarki untuk menggambarkan idenya tentang masyarakat dalam karyanya yang terkenal Apa itu Properti? yang ditulis pada 1840. Dalam karyanya tersebut Proudhon berseru bahwa ‘Properti adalah Pencurian’, tetapi ia juga berpendapat bahwa ‘Properti (dalam hal ini sebagai kepunyaan) adalah kebebasan'. Apa maksudnya? Begini. Dalam tulisannya tersebut Proudhon membedakan antara kepunyaan dan properti. Yang pertama (kepunyaan) berarti kepemilikan barang-barang untuk pemanfaatan personal. Sedangkan yang terakhir adalah barang-barang yang dapat digunakan untuk mendapatkan keuntungan, seperti pabrik, alat-alat berat, barang-barang mentah, dlsb. Properti, menurut Proudhon, harus disingkirkan beserta sistem politik yang mendukungnya. Proudhon yakin bahwa anarkisme merupakan tahap tertinggi masyarakat karena mempromosikan keadilan dan kemerdekaan, karena tidak ada pemerintah yang mengatur dan memaksakan hukum-hukumnya kepada individu-individu. Siapa yang bertugas untuk membebaskan masyarakat dari belenggu properti dan otoritas? Proudhon menjawab: “Para pekerja, buruh-buruh, siapapun kalian, inisiatif untuk perubahan ada pada kalian” (Harper, 2017).

Keempat, Mikhail Bakunin. Ia adalah keturunan keluarga aristokrasi Rusia. Ia pergi ke berlin untuk belajar filsafat dan kemudian terpengaruh aliran Hegelian ‘Kiri’. Pada tahun 1844 ia bertemu dengan Proudhon dan Marx di Paris. Ia terkenal karena pernah berdebat keras dengan Marx pada Internasionale Pertama pada 1870an. Ia memprediksi akan datangnya kediktatoran Marxis abad ke-20 masehi. Ia berkata, “kebebasan tanpa sosialisme adalah privilese dan ketidakadilan, tetapi sosialisme tanpa kebebasan adalah perbudakan dan kekejaman” (Ward, 2004). Ia dikenal sebagai pengkritik keras ajaran-ajaran Marxisme yang ia anggap sebagai sebuah ideologi kelas baru—otoritarianisme—yang menginginkan kekuasaan. Setelah kematiannya pengaruh Bakunin dalam perkembangan Anarkisme-Kolektivis di Rusia semakin menguat (Harper, 2017).

Kelima, Peter Kropotkin. Ia terlahir sebagai seorang pangeran di tahun 1842. Ia mempelajari geografi sehingga menjadi ahli di disiplin tersebut. Ia suatu waktu berpetualang ke Siberia demi hasrat penemuan ilmiah. Di sana ia menemukan para tahanan terserang tuberkulosis dan penyakit kulit yang kemudian menghentak kesadarannya dan mengubah hidupnya (Harper, 2017). Ia kemudian meninggalkan Rusia untuk pergi ke Eropa Barat. Di sana ia aktif dalam pergerakan anarkisme dan menulis banyak mengenai anarkisme. Di Jenewa Kropotkin menbantu mendirikan Le Révolté, sebuah pelopor terbitan anarkis. Selama hidupnya ia pernah beberapa kali dipenjara, termasuk pada tahun 1880an. Dalam karya-karyanya, ia membangun anarkisme di atas kaidah-kaidah, ideal-ideal dan temuan-temuan ilmiah. Kropotkin meninggal pada 8 Februari 1921. Peti matinya diarak dan diikuti oleh orang-orang sepanjang lima mil. Prosesi pemakamannya yang hebat tersebut menjadi pertunjukan bendera anarkis pada publik terakhir di Rusia. Di spanduk hitam kaum anarkis pada prosesi pemakaman Kropotkin tersebut tertulis kalimat dengan tinta merah: “Selama ada otoritas takkan pernah ada kebebasan.”

Sejumlah Aliran Utama Anarkisme
Anarkisme mengalami percabangan ke dalam beberapa aliran pada abad ke-19. Mulanya para anarkis membagi anarkisme ke dalam dua kelompok besar: komunis dan nonkomunis. Pada 1894 penulis Inggris Henry Seymour, contohnya, membagi dua jenis anarkisme, yakni mutualistis dan komunis. Pembagian tersebut didasarkan pada kaidah-kaidah ekonomi dan sosial. Inti dari ide mutualisme  adalah untuk memastikan semua pekerja menikmati hak atas tanah dan alat produksi yang sama, dan bahwa monopoli (dalam bentuk sewa, keuntungan, pajak) harus dihapuskan. Mutualisme mendorong kompetisi antarprodusen, yang berdasarkan pada hukum pasar. Sebaliknya, pada anarko-komunisme, komunitas mengontrol properti dan terdapat persamaan kesempatan serta penggunaan alat produksi sesuai kenyamanan masing-masing individu. Anarko-komunisme mengedepankan semangat kooperasi dan dukungan timbal balik (Kinna, 2005: 16-17).

Alexander Berkman juga menulis mengenai perbedaan anarkisme-komunis dan nonkomunis dalam ABC Anarkisme (2017: 53-91). Ia mengatakan bahwa tidak semua kaum anarkis percaya kepada komunisme sebagai “perencanaan ekonomi yang paling baik dan adil”. Sebelum Berkman menjelaskan perbedaan utama antara kaum anarkis-komunis dan anarkis nonkomunis (ia menyebut kaum Individualis dan Mutualis), ia menjelaskan posisinya terlebih dahulu. Menurut perkiraan Berkman, anarkisme komunis merupakan “bentuk masyarakat yang paling praktis dan paling diinginkan” karena “hanya di bawah kondisi komunis, anarkis dapat berhasil baik, dan persamaan kebebasan, keadilan serta kesejahteraan akan dijamin untuk setiap orang tanpa diskriminasi”. Semua anarkis, demikian kata Berkman, sepakat pada satu hal: bahwa pemerintah bersifat menjajah dan menekan perkembangan manusia—karenanya pemerintah arus dihapuskan. Namun, kaum anarkis tidak bersepakat pada dua hal pokok:

1). tentang cara-cara untuk mewujudkan anarki:  Kaum anarkis-komunis percaya bahwa revolusi sosial akan menghapuskan pemerintah dan membangun anarki, sedangkan kaum Individualis dan Mutualis percaya pada pelenyapan pemerintah secara bertahap;

2). tentang kepemilikan. Kaum anarkis Individualis dan Mutualis percaya pada kepemilikan pribadi. Menurut mereka kebebasan berarti  “hak setiap orang atas hasil kerja kerasnya”. Sebaliknya, kaum anarkis komunis berpendapat bahwa “institusi kepemilikan pribadi sebagai salah satu sumber ketidakadilan dan ketidakmerataan, kemiskinan dan kesengsaraan”.

Sebenarnya, terdapat banyak aliran anarkisme sampai hari ini. Namun, demi penghematan ruang, berikut ini saya akan menuliskan—selain anarkisme komunis, kaum Individualis dan Mutualis yang telah ditulis di atas—beberapa di antaranya saja (Buckley, 2011: 94-105).

Pertama, anarko-kolektivisme atau anarkisme-kolektivis. Tokoh utama aliran ini adalah Bakunin. Dalam anarkisme-kolektivis, alat-alat produksi dikolektifkan, maksudnya bahwa alat-alat tersebut dimiliki bersama oleh suatu asosiasi pekerja. Tentu ini berbeda dengan mutualisme, yang mana para pekerja individu memiliki sendiri alat dan produknya. Sama dengan bentuk anarkisme lainnya, para pekerja dalam sistem anarko-kolektivis berpartisipasi secara sukarela. Para kumpulan pekerja berkolaboasi secara bebas dengan kolektif lainnya.

Kedua, sindikalisme atau anarko-sindikalisme. Aliran ini muncul pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Anarko-sindikalisme merupakan bentuk utama anarkisme yang dipraktikkan di Spanyol sebelum terjadinya Perang Sipil Spanyol. Di dalam sistem sindikalis, para pekerja mengorganisir diri mereka ke dalam kelompok-kelompok yang disebut sindikat. Sindikat-sindikat tersebut memiliki alat-alat produksi dan produk mereka sendiri.  Sindikalisme tidak hanya sebatas sistem ekonomi, tetapi juga merupakan suatu cara mengorganisir masyarakat ke dalam komunitas-komunitas sukarela. 

Ketiga, anarkisme pasifis. “Karena sejarah dan media populer cenderung menekankan pada kekerasan anarkisme,” Buckley menulis, “jenis anarkisme yang menyangkal kekerasan sebagai cara mencapai tujuan mendapatkan sedikit perhatian”. Sebenarnya, Proudhon telah menulis mengenai solusi perubahan anarkis yang tanpa kekerasan, tetapi sewaktu Proudhon menulis idenya tersebut, gagasan itu dianggap sebagai anarkisme saja. Sama seperti bentuk anarkisme lainnya, anarkisme pasifis mendukung masyarakat tanpa hirarki, namun mereka tidak menyetujui cara kekerasan untuk mencapai masyarakat yang bebas. Mereka menekankan pada perubahan bertahap dalam pikiran dan perilaku.  Anarkisme pasifis juga menyokong gagasan anti-militerisme dan tentu saja menolak eksistensi negara. Gustav Landauer merupakan tokoh anarkis-pasifis yang berpengaruh. Banyak penulis juga memasukan Leo Tolstoy sebagai salah satu penyokong anarkisme pasifis berkat interpretasi radikalnya atas ajaran Kristen—sehingga Tolstoy juga sering disebut seorang anarkis kristiani. Sebagaimana diketahui, sang penulis Perang dan Damai dan Anna Karenina tersebut meninggalkan kekayaan dan privilesenya untuk kemudian menjalani hidup asketis.

Keempat, anarkisme-lingkungan. Tokoh gerakan ini adalah Murray Bookchin. Ia adalah seorang filsuf yang mencoba menghubungkan anarkisme dan ekologi. Dalam hal ini, konsepsi anarkisme mengenai kehidupan yang bebas, holisitik dan egalitarian dipadukan dengan harmonisasi dengan bumi dan pembagian sumberdaya alamnya. Bookchin menggabungkan ekologi dan anarkisme ke dalam nama ekologi sosial. Ekologi sosial yang dimaksud adalah 1). kritik radikal yang koheren atas kecenderungan sosial, politis dan antiekologis dewasa ini; 2). Pendekatan etis, rekonstruktif, ekologis dan komunitarian terhadap masyarakat. Ekologi sosial mendorong perubahan radikal dalam hubungan manusia satu sama lain dan dengan bumu, yang menekankan pada cara hidup yang harmonis bersama alam dan bersama masing-masing individu yang akan menghasilkan “keteraturan alamiah dan spritualitas yang berkembang secara alamiah”. Bookchin juga menentang kapitalisme dan sebagala saran bahwa teknologi dan produk ‘hijau’ bisa menjadi solusi atas krisis iklim.

Kelima, anarkis-feminisme atau anarcha-feminisme. Ia merupakan aliran pemikiran anarkis yang menggabungkan aspek feminisme dan anarkisme. Aliran ini berusaha menghapuskan hirarki yang terutama dominasi oleh laki-laki. Menariknya, tidak seperti cabang anarkisme lainnya yang memberikan posisi atau pendirian dalam bentuk anarkisme secara keseluruhan, para anarcha-feminis membedakan diri mereka dengan anarkisme, yang mereka anggap masih berhenti pada struktur yang didominasi oleh laki-laki. Seperti para anarkis lainnya, anarcha-feminis melakukan organisasi-diri ke dalam kelompok-kelompok terhubung di setiap negara yang berbeda untuk berkomunikasi dan menyebarkan informasi mengenai isu gender, kesehatan perempuan, sejarah perempuan, dan isu-isu politik-sosial tertentu.

***

Di atas sudah dijelaskan secara singkat mengenai apa itu anarkisme, apa tujuan anarkisme, siapa tokoh-tokohnya, sampai pada aliran-aliran anarkisme. Barangkali, kawan-kawan masih diliputi tanda tanya besar mengenai pertanyaan-pertanyaan lain, seperti: apakah anarkisme masih hidup sampai saat ini, apakah ada seorang tokoh yang tidak mau dilabeli sebagai anarkis, apakah kaum anarkis pernah berhasil meraih ideal-idealnya, dan selaksa pertanyaan lainnya. Nah, itu tugas kawan-kawan untuk mencari lebih jauh mengenai hal tersebut. Semoga tulisan pengantar anarkisme saya ini dapat memicu kawan-kawan untuk menghidupkan diskusi-diskusi mengenai anarkisme di kampus kita. 

“Apakah anarkisme itu mungkin sama sekali?” tanya seorang mahasiswa yang sedang menikmati kopinya di salah satu tempat ngopi di dekat kampus. Kemudian seorang anarkis kampus menjawab dengan merdu: 

You may say I’m a dreamer/But I’m not the only one




*Penulis adalah anggota LPPMD Unpad. Ia seorang mahasiswa Perkebunan di Fakultas Pertanian angkatan 2013. Ia hidup di twitterland dengan id @aldofernandons


[i] Menarik untuk dicatat bahwa menurut Marshall (1992: 53-54), sensibilitas anarkis telah pertama kali muncul di antara kaum Taois di Cina pada sekitar abad ke-6 sebelum masehi. Tao te ching, menurut Marshall, mungkin bisa dianggap sebagai salah satu karya klasik terbesar. Para Taois menolak pemerintah dan percaya bahwa semua orang bisa hidup dalam harmoni alamiah.