April 2014 - LPPMD Unpad

Minggu, 27 April 2014

PKS VS PDIP: PERTARUNGAN DENGAN KETIMPANGAN KEKUATAN


PKS VS PDIP: PERTARUNGAN DENGAN KETIMPANGAN KEKUATAN

Oleh: Ikram Azhar Hagi




Menjelang pemilu legislatif dan pemilu presiden 2014, tensi persaingan politik semakin meningkat. Persaingan yang dilakukan oleh para partai yang ikut serta dalam pemilu dilakukan dengan berbagai cara dan di berbagai ranah, dari perdebatan langsung tatap muka dengan juri panel, sampai adu argumen di media sosial. Pertarungan tersebut bertujuan untuk memperoleh kekuasaan dengan tingkatan tertentu baik itu di legislatif, yang ditentukan oleh seberapa banyak kursi yang di dapat, dan di eksekutif yang paling strategis, menjadikan kadernya sebagai salah satu presiden dan wakil presiden di mana membuka peluang sangat luas untuk mencapai kepentingan-kepentingan partai.
Kondisi persaingan partai politik di Indonesia saat ini diwarnai oleh persaingan dengan peta kekuatan dan elektabilitas partai yang berubah dari kondisi saat pemilu 2009. Partai yang mengalami penurunan tajam adalah partai demokrat dan PKS.  Hal itu disebabkan karena kasus korupsi yang dilakukan oleh kader-kader partai demokrat dan PKS yang sangat di sorot di berbagai media. Kasus-kasus tersebut adalah kasus Hambalang, kasus Century, dan kasus suap impor daging sapi.[1] Menurut LSI, Elektabilitas Partai Demokrat hanya mencapai angka 4,7 persen dan PKS di bawah 3,5 persen. Berdasarkan survey LKP yang dilakukan dari 26 Februari 2014 sampai 6 Maret 2014, pemuncak angka elektabilitas partai politik peserta pemilu adalah PDIP dengan 21,8 persen, diikuti oleh Partai Golkar (18,1 %), dan Hanura di posisi ketiga (11,3 %)[2]. PDIP berhasil mendapat elektabilitas yang tinggi disebabkan kader-kader PDIP yang eksepsional dan berkualitas yang menjabat sebagai kepala daerah yang sering disorot oleh media, seperti walikota Surabaya, Tri Rismaharini, dan tentu saja, Gubernur DKI Jakarta yang sekarang menjadi capres, Joko Widodo.
Kondisi tersebut, di mana PDIP memimpin dalam hal elektabilitas hampir di semua hasil survey, membuat pesaing-pesaingnya menggunakan segala upaya untuk menurunkan elektabilitasnya. Salah satu bentuk penyerangan yang diberikan kepada PDIP adalah menyebut Jokowi sebagai capres boneka. Pernyataan tersebut dituduhkan karena Jokowi dianggap sebagai kepanjangan  kepentingan dari Megawati. Megawati menggunakan popularitas Jokowi untuk mendulang suara PDIP dan ‘mengontrol’ Jokowi di balik layar apabila berhasil menjadi presiden. Pernyataan itu diperkuat dengan Jokowi yang melanggar janjinya sendiri untuk memerintah Jakarta selama lima tahun. Dari pihak-pihak dan partai-partai politik yang melakukan penyerangan, saya tertarik dengan penyerangan yang dilakukan oleh PKS.
PKS merupakan partai berbasis Islam yang berawal dari persatuan gerakan-gerakan dakwah kampus di Indonesia.  Dari  persatuan gerakan-gerakan kampus, disepakati untuk membentuk orgnaisasi tersebut menjadi suatu partai politik, yaitu Partai Keadilan yang diketuai oleh Nurmahmudi Isma'il sesuai dengan hasil pemilihan. Partai Keadilan terkenal dengan sistem kaderisasinya yang kuat. Sistem kaderisasi yang dipakai mirip dengan sistem kaderisasi yang dipakai Ikhwanul Muslimin di Mesir. Sistem kaderisasi ini berhasil membentuk kader-kader yang militan dan loyal. Sistem kaderisasi ini juga efektif karena dilakukan dengan jangkauan yang uas, dari organisasi ROHIS di sekolah-sekolah sampai lembaga-lembaga dakwah kampus. Permasalahan mulai muncul ketika Partai Keadilan berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera. Sistem kaderisasi partai menjadi lebih inklusif, tidak terlalu tertutup dan  menerima kader non-muslim. Penentuan calon kepala daerah yang diusung dan rekrutmen caleg PKS juga tidak mempertimbangkan aspek kualitas kader. Akibatnya, kader-kader berkualitas tinggi di PKS tersingkir dan tidak memiliki posisi strategis di PKS. Selain faktor internal akibat berubahnya sistem kaderisasi dan tidak adanya kesamaan visi, sikap PKS yang mengambil posisi aktif di pemerintahan turut menyumbang citra buruk PKS di mata publik. Puncaknya adalah dengan tertangkapnya ketua PKS, Luthfi Hasan Ishaq karena kasus suap impor daging sapi. Kader-kader militan PKS kemudian gamang dengan PKS. PKS pun kehilangan kader dakwahnya, citra bersih, peduli, tidak lagi tampak di publik sebagaimana Pemilu 2004. Kekecewaan kader-kader militan PKS berdampak pada kurang militannya kader dalam menjalankan mesin politik PKS. Bahkan, tak jarang kader-kader PKS justru pindah haluan ke parpol lain karena alasan kekecewaan terhadap PKS.[3]
PKS saat ini seperti kebakaran jenggot. Elektabilitas PKS yang tidak sampai 3,5% membuat PKS tidak dapat menembuh Presidential Treshold dan akibatnya tidak bisa untuk mendaftarkan calon presidennya pada pemilu nanti. PKS berusaha melakukan segala cara untuk menaikkan kembali popularitasnya. PKS pun ikut serta menyerang PDIP dengan menggunakan serangan pernyataan bahwa Jokowi adalah presiden boneka. Serangan-serangan  tersebut banyak dilakukan di media sosial, terutama twitter. Serangan yang ditujukan kepada PDIP menggunakan pernyataan Jokowi adalah capres boneka dianggap ampuh untuk digunakan sebagai bahan serangan. Namun kenyataannya, kondisi PKS yang sekarang rentan untuk diserang balik. Penyerangan terhadap PDIP dengan menyerang Jokowi terlebih dahulu memicu reaksi tidak hanya dari pendukung PDIP, tapi juga dari pendukung jokowi. Serangan itu dihadapi dengan serangan balik dengan menggunakan pernyataan bahwa PKS sebagai partai Islam sebagai partai ‘munafik’ yang dibuktikan dengan ditangkapnya LHI dengan dakwaan menjadi tersangka kasus korupsi impor daging sapi, yang juga berhubungan dengan Menteri Pertanian, Suswono, yang juga berasal dari PKS. Pernyataan tersebut dibalas oleh para pendukung PKS dengan jawaban PKS tetap menjadi partai bersih dan tidak terpengaruh oleh oknum-oknum tertentu saja. Reaksi pendukung yang lebih radikal menyatakan bahwa menyerang PKS sama saja menyerang Islam dan itu berarti bahwa sama dengan kafir.
Saya amat menyayangkan reaksi yang diberikan oleh para pendukung PKS tersebut yang terjadi di twitter. Apakah benar apabila ketua umumnya bermasalah, tidak mengindikasikan partainya juga bermasalah?  Menurut saya, hal itu menunjukkan pendukung-pendukung PKS ‘sesat pikir’. Sistem kaderisasi PKS saat ini menunjukkan sistem kaderisasi yang berhasil menghasikan kader-kader yang militan, tetapi tidak memiliki kualitas dan kemampuan berpikir kirits dan objektif.  Kader-kader yang dihasilkan malah mempunyai cara berpikir dogmatis, membenarkan semua hal yang dikatakan oleh partai dan dengan kondisi apapun, PKS tetap ‘bersih’. Citra partai kader merupakan wujud dari pencerminanan kader-kader partai. Partai dianggap berkualitas dan berintegritas apabila kader-kadernya mencerminkan sikap itu di dalam kehidupan bermasyarakat.  Lalu, apakah dengan kita menyerang PKS, kita juga menyerang Islam sebagai agama dan umatnya? Kita tidak bisa menggeneralisir secara serampangan seperti itu. PKS memang merupakan partai dengan basis agam Islam, namun bukan berati Islam adalah PKS. Islam sebagai agama sangat luas. Orang yang menyatakan dirinya Islam juga tidak harus selalu terjun ke dunia politik sebagai bentuk komitmen memeluk agama Islam. Dalam praktek berpolitikpun, orang yang beragama Islam tidak harus menjadi kader partai yang berbasis Islam. Berpolitik boleh dengan partai manapun asal dalam penerapan individualnya mengikuti peraturan-peraturan yang sudah ditentukan dalam Islam. Pernyataan-pernyataan tersebut yang digunakan sebagai bahan untuk menangkis serangan-serangan balik yang ditujukan kepada PKS justru menunjukkan sifat sektarianisme yang kuat pada kader-kader PKS. Sifat sektarianisme ini bertentangan dengan prinsip pluralisme yang terkandung dalam pancasila dan membahayakan apabila tumbuh subur di kehidupan masyarakat Indonesia yang pluralitasnya tinggi. PKS utamanya terciderai oleh perilaku-perilaku yang ditimbukan oleh kader-kadernya sendiri. Serangan pihak luar hanya memperkuat penjatuhan citra PKS. Penggunaan selubung agama Islam untuk menutupi keburukan-keburukan partai tidak dapat diterima dan merupakan usaha yang tidak terpuji. PKS seperti mengulangi ‘dosa’ sejarah yang dilakukan oleh Eropa pada abad pertengahan.
                                                                    



[2] http://www.tempo.co/read/news/2014/02/02/078550360/LSIi-Golkar-dan-PDIP-Calon-Pemenang-Pemilu-2014 diakses pada pukul 11.23 tanggal 7 April 2014
[3] http://www.suarapembaruan.com/home/inilah-akar-kehancuran-pks/50263 diakses pada pukul 12.13 tanggal 7 April 2014

Sabtu, 19 April 2014

Masyarakat Multikultur Indonesia


Oleh: Rifki Syarani Fachry
Secara etimologis multicultural terdiri dari dua kata, “multi” dan “kultur”, “multi” yang berarti banyak dan “kultur” yang berarti budaya, jadi masyarakat multikultur bisa diartikan sebagai masyarakat yang memiliki budaya yang beragam, atau juga suatu masyarakat yang  terdiri dari beberapa macam komunitas budaya dengan segala perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu system arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaannya. Menurut seorang Antropolog Amerika, Clifford Gertz, masyarakat multicultural adalah masyarakat yang terbagi dalam sub-sub system yang kurang lebih berdiri sendiri dan masing-masing sub system memiliki ikatan primordial. Multikulturalisme secara sosial budaya berarti menempatkan semua pembicaraan tentang suku bangsa pada suatu tingkatan yang sederajat, termasuk didalamnya sifat penolakan kefanatikan, rasisme, dan pengucilan budaya tradisional, jadi dapat diasumsikan masyarakat multicultural adalah masyarakat yang menunjukan dirinya sebagai masyarakat pluralisme.
Di Indonesia sendiri keberagaman terjadi secara alami, yang Nampak jelas adalah karena letak geografis, ada juga hal lain seperti iklim, pembangunan dan pengaruh-pengaruh budaya asing yang membuat Indonesia menjadi beragam, sehingga kemudian ada pertanyaan menarik tentang masyarakat multikultur di Indonesia.
“apakah keuntungan masyarakat multicultural terhadap pembangunan di Indonesia?”
Masyarakat multikultural Indonesia, dari berbagai budaya yang ada, serta potensi dari tiap-tiap budaya itu sebetulnya sangat bisa untuk didayagunakan bagi pembangunan bangsa, untuk itu tiap-tiap keberagaman budaya harusnya dapat dilihat sebagai sebuah Aset Negara, bukan lantas keberagaman itu diasumsikan sebagai sebuah hambatan pembangunan, melainkan sebagai alat pembangunan bangsa, untuk itu perlu sekali adanya penjagaan kearifan budaya lokal dengan pendayagunaan kualitas budaya yang lebih baik. Di dalam konsep masyarakat multikultural di Indonesia adahal yang menggaris bawahi semua keberagaman masyarakat, yaitu konsep Bhineka Tunggal Ika yang menjadi suatu wujud adanya kedaulatan Nasional sehingga menjadi pemersatu budaya dan menjadi budaya Nasional. Lalu akan dikemas seperti apa budaya-budaya Indonesia?  Itu semua tergantung bagaimana pemerintah Indonesia memahami konsepsi tentang keberagaman.
Jika ditanya pendapat tentang:
“apa multicultural dapat diterapkan pada masyarakat Indonesia?”
Secara alami pertanyaan ini telah dijawab oleh alam semesta, latek geografis Indonesia yang berpulau-pulau hingga membentuk berbagai jenis masyarakat dan kebudayaan-kebudayaan,  sesungguhnya komposisi masyarakat Indonesia secara konsep telah sangat heterogen, yang diasumsikan banyak orang sebagai bentuk multikultural, namun jika dilihat kembali realitasnya masyarakat Indonesia belum bisa dikategorikan sebagai masyarakat multukultural, ini di indikasikan dengan adanya beberapahal, diantaranyaadalah:
1.      Masih adanya dominasi satu kelompok atas kelompok lainnya.
2.      Struktursosial lebih menguntungkan pihak yang mendominasi.
Beberapa hal diatas adalah contoh bahwa seseungguhnya Indonesia hanya Negara dengan masyarakat multikultural semu. Multikultural bukanhanya dilihat dari heterogennya suatu masyarakat tapi dilihat juga konsep mereka dalam hidup berdampingan, saling menghargai, menjungjung pluralisme, anti rasis dan mengutuk setiap tindakan pengucilan budaya. Sedikit orang yang paham betul tentang masyarakat multicultural ini, namun semoga dengan adanya tulisan ini pemahaman tentang konsepsi khalayak umum terhadap masyarakat multicultural lebih  kaya dan semoga ditahun mendatang Indonesia pempunyai pemerintahan dengan pengelolaan manajemen budaya sehingga terciptalah pendayagunaan keberagaman budaya yang unggul, semoga.

Sabtu, 12 April 2014

Menanamkan Pendidikan Politik di Dalam Keluarga
Herik Kiswantoro
Ilmu Adm.Bisnis Unpad

Pendidikan politik menjadi sangat penting bagi kemajuan masa depan bangsa Indonesia. Bukan hanya mempersiapkan pemimpin bangsa tetapi juga masyarakat bangsa ini yang melek politik. Apalagi dengan banyaknya permasalahan bangsa ini akibat dominasi dan hegemoni pemerintah dan juga kurangnya pengawasan masyarakat terhadap para penguasa negara ini dalam menjalankan roda pemerintahan.
Maka perlu adanya pendidikan politik terutama kepada anak muda sebagai penerus bangsa. Hal ini perlu di tanamkan sejak dini yang bisa dimulai dalam lingkungan keluarga. Karena keluarga adalah organisasi terkecil dan terdekat dalam kehidupan. Banyak nilai-nilai politik yang bisa ditanamkan dalam keluarga agar si anak nantinya memiliki kesadaran politik dalam kehidupan bernegara.
Sekarang ini, banyak anak-anak dalam sebuah keluarga tidak mendapatkan peran dan dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Bahkan keputusan yang menyangkut kepentingan anak seperti memilih institusi pendidikan, menentukan pasangan hidup, dan terkadang dalam memilih pakaian pun anak tidak dilibatkan. Semua itu terjadi akibat orang tua yang terlalu mendominasi si anak. Bahwa apa yang dipilihkan orang tua adalah yang terbaik dan benar. Meskipiun semua itu dilakukan demi kebaikan si anak.
Tanpa disadari hal tersebut sangat berpengaruh pada perkembangan si anak. Anak menjadi tidak mandiri, tidak bisa menentukan apa yang terbaik untuknya, dan membuat anak menjadi tidak kritis.
Hal ini akan berdampak dalam kehidupan bernegara. Anak juga tidak akan mau terlibat pada keputusan dan kebijakan negara karena beranggapan pemerintahlah yang tahu akan hal tersebut. Selain itu, si anak nantinya tidak mempunyai kemampuan kritis terhadap pemerintahan dan juga tidak dapat menentukan pilihan atau keputusan apa yang terbaik untuk negara.
Jika, para orang tua memberikan ruang bagi anak untuk terlibat dan berfikir dalam memutuskan apa yang menjadi pilihan untuk kepentingan dirinya dan keluarga, maka dengan hal ini memberikan pembelajaran bagi si anak untuk mandiri, kritis, dan bertanggung jawab terhadapa dirinya dan dalam kehidupan bernegara.

Dengan demikian, sangat perlu kiranya sejak dini menanamkan pendidikan politik pada anak  di dalam keluarga untuk meningkatkan kesadaran politik. Sehingga dapat menghasilkan anak-anak bangsa dalam meneruskan cita-cita negara Indonesia yang lebih baik.

Minggu, 06 April 2014

Minggu, April 06, 2014

Si Putih Tanpa Merahnya

by
Si Putih Tanpa Merahnya

Bolehlah, kiranya saya memulai tulisan ini dengan sebuah pertanyaan.
“Apa salah si putih? Hingga mereka berkata “NO” padanya?”
Banyak literatur juga media menamai si putih ini dengan sebutan ‘golongan putih’ atau, disingkat dengan ‘Golput’. Sebutan ini selalu hadir mewarnai ramainya, yang kata orang “Pesta Demokrasi’ di Indonesia sekarang ini.  Dimana, untuk menunjukkan pada dunia bahwa kita adalah salah satu negara yang pro terhadap Demokrasi kita melakukan pemilihan raya untuk menentukan pemimpin negara kita selama lima tahun sekali.
Demokrasi, yang katanya adalah suara rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat nampak jelas tercermin di tiap kurun waktu lima tahun sekali ini. Demokrasi jari kelingking, kalau saya boleh menyebutnya seperti itu. Karena, bagi bangsa ini demokrasi adalah tentang memilih sendiri ‘pilihan’ calon pemimpin yang telah ada. Dan, suara rakyat yang menentukannya dengan tanda jari kelingking yang bernoda tinta sebagai buktinya. Lalu, demokrasi akan muncul kembali dengan penjelmaan dalam wujud pemilu selanjutanya, di lima tahun yang akan datang. Itulah, demokrasi Indonesia di mata saya. Hanya sekedar itu.
Lalu, mengapa muncul istilah si putih, atau Golongan putih ini? Singkatnya,si putih adalah mereka yang tidak ikut meramaikan jari kelingkingnya untuk dicelupkan ke dalam tinta pada tanggal 9 April, maupun 9 Juli 2014 mendatang untuk memilih pemimpin untuk lima tahun kedepan. Mereka tidak memberikan suara mereka untuk pemimpin masa depan mereka. Baik itu, dikarenakan kesalahan administrasi oleh si pemilih tersebut atau juga karena memang si pemilih sudah berkeyakinan untuk tidak turut serta memilih siapapun di tanggal tersebut.
Golput, atau perilaku tidak memilih ini pertama kali dipeloporkan oleh Arief Budiman (1971) sebagai gerakan protes pada orde baru dengan tidak memilih pada pemilu, dan ide golput ini bertahan sebagai ‘kritik pasif’ di masa orde baru tersebut. Yang kemudian golput ini dijadikan stereotip oleh orde baru kepada siapapun yang tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu, dan sekarang istilah golput ini berkembang menjadi istilah generik yang digunakan oleh media untuk mempresentasikan perilaku tidak memilih.[1]
Karenanya, di mata sebagian golongan lain yang sangat bersemangat menyambut pesta demokrasi jari kelingking ini, keputusan si putih sangatlah disayangkan. Bagi mereka satu suara adalah perubahan! Siapa pemimpin masa hadapan ada di banyaknya contrengan kecil di atas kertas pemilu itu. Dan, bagi siapa saja yang merasa peduli terhadap kemajuan bangsa dan negara diharapkan berpartisipasi untuk mencelupkan jari kelingkingnya di tanggal tersebut. Apapun pilihannya, yang penting coblos. Siapapun pilihan calonnya, mereka yang tak dikenal. Siapapun pilihan partainya, mereka yang penuh sensasi bukan lagi hal penting. Yang penting, coblos saja dulu.
“Golput, berarti menyerah terhadap perubahan bangsa yang lebih baik”
“Katakan NO pada Golput”
Slogan-slogan anti golput dan ajakan pemerintah untuk memilih seperti contoh diatas tersebar di seluruh penjuru mata selama masa pemilu sekarang ini. Karenanya, saya bertanya dalam hati. “Apa salah si putih ini?”
Bagi saya, jika ingin berbicara tentang warna dan melihat fenomena pemilu sekarang ini,  yang seharusnya terbayang di kepala kita tentang Indonesia adalah warna bendera kita. Merah putih. Dan, memang sangat disayangkan jika si putih hadir tanpa merahnya, seperti bendera negara kita, Indonesia.
Si putih, tanpa merahnya. Disini saya menganalogikan sikap tidak memilih seharusnya seperti warna bendera Indonesia. Merah sebagai suatu perjuangan kebebasan. Sikap kritis, dan berani ‘berontak’. Jika pilihan putih itu hadir jangan lupakan merahnya. Memilih untuk tidak memilih akan menjadi salah satu bentuk partisipasi politik bagi mereka yang tidak melupakan ‘merahnya’, yaitu argumen kuat akan pilihan tidak memilih mereka. Landasan kritis dan berani untuk mengenal dan mengkritisi calon-calon pemimpin itu, baik prestasi mereka untuk bangsa bahkan sejarah pengkhianatan-pengkhianatan mereka kepada bangsa. Sehingga keputusan pilihan untuk mencelupkan jari kelingking atau tidak, berawal dari kesadaran kuat akan perubahan.
Jadi, mereka yang memilih untuk tidak memilih dengan sadar seharusnya bukan dikarenakan alasan malas memilih atau berujar, “Emang calonnya ada yang bener?” dan selesai dipertanyaan skeptis tersebut sehingga hanya berlanjut kepada sikap apatis terhadap perubahan. Karena sikap kritis tanpa dilanjutkan dengan analisa yang tepat tak akan menghadirkan solusi perubahan. Maka, partisipasi yang diharapkan pun hanyalah harapan semata.
Karena, yang diharapkan dari  mereka yang berdiri digaris si putih adalah jangan lupakan ‘merah’ nya. Itulah mengapa, hal terpenting untuk menyambut pesta demokrasi ini adalah bagaimana semua pihak mulai belajar kembali ‘Apa itu demokrasi? Sesuatu yang  hanya lima tahun sekali kah?’, ‘siapa itu pemimpin? Politisi karbitankah, atau memang seorang negarawan? Siapa yang sebenarnya dibutuhkan bangsa ini?’, sehingga partisipasi aktif dan nyata untuk bangsa Indonesia yang lebih demokratis bukan lagi hanya tentang pemilu yang lima tahun sekali ini.




[1]Diambil dari infografi “Apa itu Golput?” yang dikeluarkan oleh Poligrabs. 

Jumat, 04 April 2014

Jumat, April 04, 2014

Konflik Antaragama

by
Konflik Antaragama

Oleh: Aldo Fernando

“Bukankah kita hidup di Bumi, Bumi yang sama, dunia yang sama?”
 -Lirik dari Police Militia-
Pendahuluan
“Kamilah yang benar! Kamilah yang paling benar, oleh karena itu Yang Lain dari kami haruslah dihabisi.” Kira-kira demikianlah klaim kebenaran angkuh dari para ekstremis agama. Mereka menahbiskan (aliran) agama merekalah yang benar, seolah-olah agama lain sebagai agama yang salah secara mutlak.
Konflik. Kehidupan manusia tak pernah mampu dilepaskan daripada konflik dan juga perang. Hal itu seperti sudah inheren dalam perjalanan hidup manusia. Reza pernah menulis dalam Dunia Dalam Gelembung:
Konflik dan perang memang tak bisa dipisahkan dari hidup manusia. Seluruh tata dunia sekarang ini juga lahir dari perang dan konflik berdarah antar manusia. Karena perang, negara lahir. Karena perang, perjanjian dibuat, dan tata dunia pun terbentuk.”[1]

Di sini saya akan mencoba membahas mengenai konflik antaragama yang terjadi di Indonesia. Konflik Sampang, Maluku, Poso, penganiayaan atas jemaah Ahmadiyah, pembakaran gereja ditambah sejumlah kasus lainnya menjadi contoh dari perwujudan atas klaim kebenaran mutlak dari para ekstremis agama di negara kita, Indonesia. Konflik-konflik antaragama yang terjadi di Indonesia semakin meresahkan kita. Apa sih penyebabnya?
Di dalam tulisan ini saya akan mencoba memaparkan masalah konflik antaragama di Indonesia dengan membagi tulisan menjadi tiga bagian. Pada bagian pertama, saya akan mencoba mengajak para pembaca yang budiman untuk bersama-sama memahami penyebab konflik antaraagama. Kedua, kita akan mencoba menyelami pertanyaan siapa itu yang lain?. Dan ketiga, saya akan memberikan beberapa tawaran perspektif mengenai masalah konflik antaragama di Indonesia.
1.      Penyebab Konflik Antaragama
Konflik antaragama yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia memilik motif yang bermacam-macam, mulai dari perbedaan pandangan, ekonomi-politik dan bahkan sebagai sebuah manifestasi kesalehan seseorang atas nama agamanya. Di bagian ini, saya akan mencoba menyoroti dua faktor sebagai penyebab pertikaian antaragama di Indonesia. Pertama, saya akan membahas mengenai kegagalan  mengenal yang lain.  Pada faktor ini, saya akan mengacu pada pemikiran Budi Hardiman dalam buku Massa, Teror dan Trauma (2011). Kedua, saya akan fokus pada aspek kesalehan yang mana saya akan mengacu pada pemikiran Reza Wattimena dalam buku Dunia Dalam Gelembung (2013).

A.                 Kegagalan Mengenal Yang Lain
Para ekstremis agama yang dengan mudahnya mencoba melenyapkan kelompok agama lain menunjukkan adanya sebuah gejala dari kegagalan mengenal yang lain. Mereka menganggap Yang Lain sebagai yang berbeda dengan sang “aku”[2]. Yang Lain adalah “kamu” yang bukan bagian dari “aku”. “Kamu” merupakan hasil konstruksi dari sang “aku”.[3] Yang lain sebagai “kamu” di sini dikontruksi secara sewenang-wenang oleh “aku” yang egosentris; “aku” yang selalu ingin mendominasi secara penuh atas proses pengenalan dengan sang “kamu”. “Kamu” bukanlah manusia. “Aku”-lah yang manusia, jadi, “aku”-lah yang mutlak berkuasa atas proses pengenalan dengan “kamu”. “Aku” berharap untuk menyingkirkan “kamu”, Yang Lain,  yang berbeda dengan Yang Sama, yaitu “aku”. Sang “aku” ingin membasmi keberlainan dan menggantinya dengan Yang Sama.
Kegagalan mengenali Yang Lain sebagai manusia yang utuh, sebagai manusia yang sama dengan sang “aku” inilah yang berpotensi menyebabkan suatu konflik antaragama. Hardiman menulis,
“Dengan yang dianggap sebagai sesama manusia tidak akan melakukan kekerasan karena dirinya tercermin di dalam yang sama itu. ‘Yang sama mengenal yang sama,’ demikian tulis Empedokles dua setengah milenium yang silam. Kalau demikian, kekerasan dilakukan bukan terhadap yang sama, melainkan yang lain. Korban dipersepsi dengan cara yang khas sedemikian rupa sehingga di hadapan pelaku tampil dalam sosoknya yang terasing. Dia asing bukan sekadar sebagai penduduk, warga negara atau pengikut sebuah kelompok, melainkan-lebih dari itu-asing sebagai manusia. Dengan kata lain, korban didehumanisasikan dan didepersonalisasikan sampai pada status obyek.”[4]

Yang Lain adalah sesuatu Yang Asing. Yang Lain dihapuskan ciri kemanusiaannya dan kemudian dijadikan objek yang berada dalam konstruksi totaliter sang “aku”. Dalam bentuk kebencian yang sangat ekstrim terhadap Yang Lain, kita bisa meminjam kalimat terkenal milik Jean-Paul Sartre, filsuf eksistensialisme Perancis. Ia mengatakan, “Orang lain adalah neraka.”
                                    
B.                  Cita-cita untuk Menjadi Saleh
Pada bagian ini saya akan mendasarkan diri pada alur pemikiran Reza Wattimena dalam buku Dunia dalam Gelembung (2013). Menurut Reza, terdapat sebuah paradoks kesalehan pada diri seseorang: ketika seorang saleh  mencoba memberi welcome kepada yang lain, yang berbeda dengan agamanya (ataupun aliran agamanya), ia akan terancam menjadi tidak saleh.
“Setiap agama memiliki versi kesalehannya sendiri, yang seringkali tidak cocok dengan agama lainnya. Pada titik inilah masalahnya muncul; orang-orang saleh religius dikutuk untuk tidak bisa hidup bersama, karena mereka terperangkap dalam versi kesalehannya masing-masing. [...] Dan setiap tradisi religius, agama, memiliki sikap tertutupnya masing-masing, terutama untuk mempertahankan keunikan ciri identitasnya. Pada titik ini, kita juga menemukan paradoks; semakin orang saleh dalam satu agama, semakin ia sulit untuk hidup bersama dengan orang-orang yang berbeda, maka semakin ia tidak saleh.
                                                              
Saya menyebutnya sebagai paradoks kesalehan, yakni semakin orang saleh, maka ia semakin kehilangan kesalehannya. Masalah ini semakin terasa, ketika kita hidup di dalam masyarakat multikultur. Dalam arti ini, kultur adalah bentuk-bentuk cara hidup, dan multikultur berarti ada banyak bentuk-bentuk cara hidup yang tersebar di dalam suatu masyarakat. Di dalam suatu masyarakat dengan beragam bentuk-bentuk cara hidup, orang-orang saleh akan sulit untuk menjadi ‘saleh’.”[5]

Salah satu faktor yang mampu menyebabkan suatu umat beragama mengalami apa yang Reza sebut sebagai paradoks kesalehan ini adalah suatu penerapan atas sikap ekslusif dan dogmatis atas agamanya sendiri. Para ekstremis agama memandang dirinya sebagai satu-satunya penerima wahyu yang memiliki kebenaran mutlak dari Tuhan sehingga menganggap Yang Lain (aliran dan umat agama yang berbeda dengannya) sebagai Yang Tak Sama dan kemudian harus disingkirkan atau di-sama-kan. Hal ini bisa jadi salah satu titik tolak cita-cita untuk menjadi saleh dari kaum ekstremis agama tersebut.  Reza Wattimena menulis dalam karyanya, Dunia Dalam Gelembung (2013: 79):
“[...] sikap biadab itu tidaklah melulu berakar pada kejahatan manusia, melainkan pada niatnya untuk menjadi saleh. Orang-orang yang menyiksa, membunuh, dan membakar atas nama agama justru adalah orang-orang yang bercita-cita untuk menjadi orang saleh.”

                                                          
2.      Siapa Itu Yang Lain?
Pada bagian pertama kita seringkali membahas mengenai Yang Lain. Pada bagian ini kita akan bersama-sama menyelami kedalaman laut Yang Lain. Yang Lain adalah sesuatu yang berbeda dengan Yang Sama. Yang Lain memiliki suatu ciri khusus yang eksklusif yang membuatnya tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori Yang Sama. For instance: si Bono adalah fans dari Barcelona, klub sepakbola asal Catalan (Spanyol). Dalam pandangan para fans Real Madrid, yang notabene musuh bebuyutan Barcelona, Bono tidak akan pernah bisa dianggap sebagai Yang Sama (menjadi fans Real Madrid) karena ia memiliki ciri-ciri khusus yang tidak ada di Real Madrid, seperti Ia sering memakai Jersey biru-merah bergaris yang merupakan jersey khas punggawa Barcelona, ia sering mengalungkan syal bertuliskan “FC Barcelona” di lehernya ketika nonton bareng pertandingan sepakbola Barcelona, dst. Secara otomatis, ia pun tidak memiliki ciri-ciri khusus dalam diri fans Real Madrid: memakai jersey putih khas Real Madrid, memakai jaket berlambang Real Madrid, dst.
 Saya tertarik untuk memberikan sebuah deskripsi mengenai Yang Lain dari Slavoj Žižek, seorang filsuf kontemporer Slovenia dan Emmanuel Levinas, seorang filsuf-moralis Perancis. Pertama, saya akan memaparkan mengenai Slavoj Žižek. Saya akan mengacu pada tulisan milik Reza Wattimena dalam penafsirannya terhadap Žižek dalam buku Dunia Dalam Gelembung. Ia menulis,
“Orang lain,” demikian tulisnya, “sejatinya, selalu berbeda, dan selalu mengancam cara hidup dan gaya berpikir kita dengan keberbedaannya tersebut. [...] Orang lain adalah suatu realitas yang unik, yang tak dapat kita kurung dalam harapan ataupun pikiran yang kita punya. Orang lain adalah realitas yang nyata, yang tak dapat kita hindari dengan ilusi-ilusi harapan yang kita punya tentangnya.”[6]        

Menurut Žižek, Yang Lain adalah The Real. The Real adalah orang lain dengan segala kelemahan, keanehan, dan kesalahan traumatik yang kapan saja dapat mengganggu dan memecah rutinitas keseharian kita. Di sini, kaum ekstremis agama kurang siap —jika tidak dikatakan tidak siap— menghadapi Yang Lain sebagai The Real yang mengganggu ke-sama-an dan kebenaran mereka. Bagi mereka,  karena The Real akan mengancam kenyamanan dan misi mereka, The Real harus dimasukkan ke dalam sebuah karung dan lalu dimasukkan ke nyala api yang membara!
Kedua, mengenai pemikiran Levinas saya akan mengacu pada tulisan Felix Baghi dalam buku miliknya, Alteritas: Pengakuan, Hospitalitas, Persahabatan (2012). Menurut penafsiran Felix, filsafat Levinas memusatkan diri pada realitas Yang Lain atau filsafat heteronomi. Felix menulis,
“Filsafat heteronomi tidak berbicara tentang Yang lain sebagai objek eksternal di luar kesadaran manusia. Ia berbicara tentang Yang Lain sebagai yang heteronom dan dicirikan oleh aspek transendensi. Transendensi di sini dapat dimengerti sebagai suatu keberanian radikal yang melampaui sekadar pemahaman yang ontologis. Ia memiliki dimensi dari atas. [...] Kebenarannya datang dari atas. Dia melampaui segala.”[7]
Levinas dalam karyanya, Totalité et Infiniti,  seringkali menggunakan kata “yang tak berhingga” dan “yang melampaui”. Dua dimensi tersebut merujuk pada suatu realitas Yang Lain, realitas yang berada diseberang: yang transenden. (Baghi, 2012) Levinas ingin mengkritik bangunan filsafat barat yang dimulai dengan cogito Descartes yang menurutnya menumbuhkan benih-benih subur filsafat totalitas.[8] Hal ini membuat filsafat melupakan Yang Lain.
Menurut Levinas, Yang Lain adalah Yang lemah, Yang datang dengan kerentanannya untuk menggugah tanggung jawab “aku”. Definsi Yang Lain menurut Levinas, berdasarkan penelitian Felix (2012), yakni, (1) Yang Lain sebagai Yang Eksterior, (2) Yang Lain sebagai Yang Heteronom, dan (3) Yang Lain sebagai Yang Tidak Berhingga. Saya akan mencoba menjelaskannya secara singkat. Pertama, Yang Lain sebagai Yang Eksterior bukanlah realitas yang berada lepas dari kesadaran, melainkan merujuk pada suatu realitas transenden, yang melampaui sang “aku”  yang berada di seberang sana.
“[...] apabila melihat dari tujuan filsafat Levinas, arti term yang eksterior sesungguhnya merujuk pada suatu realitas yang transenden, yaitu realitas yang melampaui dunia kesadaranku. Ia adalah realitas di luar dari sebagai konteks pemahamanku. Hal seperti ini tentu mengandung kemungkinan untuk tidak dapat dinegasi begitu saja. Dalam filsafat Levinas, tidak ada yang dinamakan penyangkalan eksterioritas –négation d’exteriorité. Yang ada hanyalah afirmasi eksterioritas (afirmation d’exteriorité) sebagai jalan untuk pengakuan.[9]

Kedua, Yang Lain sebagai Yang Heteronom. Menurut Felix (2012), Yang Lain bukanlah suatu bentuk objek, Yang Lain adalah fakta heteronom —dengan segala keberlainannya— yang niscaya yang tidak bisa dibantah dan dengan mudah kita reduksi dan kita dominasi secara penuh-diri. Ketiga, Yang Lain sebagai Yang Tidak Berhingga (infiniti). Maksudnya adalah bahwa Yang Lain sebagai realitas ketidakberhinggaan tidak dapat digapai sepenuhnya oleh pikiran, meskipun pikiran mempunyai ide tentangnya —karena keberlainan Yang Lain melampaui ide tentang dirinya sebagai Yang Tidak Berhingga itu! (Baghi, 2012: 31).
3.      Beberapa Tawaran Perspektif
Kita telah memasuki bagian terakhir dari pembahasan kita dalam tulisan ini. Pada bagian awal, kita telah mencoba menganalisis faktor-faktor penyebab konflik antaragama melalui bantuan pemikiran Budi Hardiman dan Reza Wattimena. Kemudian, kita mencoba memahami Yang Lain dengan memaparkan pemikiran dua orang filsuf, Slavoj Žižek dan Emmanuel Levinas via bantuan dari Reza Wattimena dan Felix Baghi. Pada bagian ini saya akan mencoba menawarkan beberapa tawaran perspektif untuk mencoba merefleksikan apa yang terjadi dan mengajak kita untuk memahami Yang Lain (umat agama lain). Pertama, dimulai dengan sebuah tawaran untuk menjadi umat yang moderat dan memiliki prinsip toleransi pemikiran, dan kemudian saya akan meminjam kembali penelitian Reza Wattimena untuk mencoba membahas tawaran perspektif mengenai Yang Lain (The Real) dari Slavoj Žižek.
Menjadi Moderat dan Ber-Prinsip Toleransi Pemikiran
Permasalahan fundamental dari konflik antaragama terdapat pada kegagalan dalam proses pengenalan dengan Yang Lain. Yang lain dianggap sebagai yang harus dipaksa untuk menyingkir dan harus dibasmi. Hal ini karena kaum ekstremis agama memegang nilai-nilai ekskusif agama dengan membabi-buta, dengan dogmatis, dan akhirnya melupakan yang Lain, mereduksi Yang Lain.
Pertama, saya ingin menawarkan sebuah perspektif untuk menjadi umat beragama yang moderat, yakni umat beragama yang memegang nilai-nilai agama tanpa harus mereduksi umat agama lain. Umat beragama yang mampu ber-apropriasi, yakni sebuah kemampuan untuk memahami dan mengambil perspektif atau pun ide dari Yang Lain tanpa hanyut ke dalam aliran pemikirannya (karena bisa saja kita menuju muara yang banyak buaya ganas!). Hal ini dapat dilakukan dengan mencoba mendengarkan ucapan atau argumen umat agama lain, memberi tempat untuk umat lain mengisi hidupnya, dan berelasi antar sesama manusia, serta bersiap mendengarkan kritik yang dilontarkan dari umat agama lain itu. Ingat, kritik bukan melulu mengenai destruksi. Kritik bukanlah sebuah ejekan, celaan, hinaan. Kritik adalah suatu tanggapan mendalam (secara sistematis dan runtut) terhadap sesuatu dengan disertai pertimbangan yang jelas (baik ataupun buruk).
Kritik yang baik ialah kritik yang memperhatikan keberadaan yang lain, tidak melontarkan argumentum ad hominem (argumen yang menyerang pribadi seseorang tersebut, misalnya, ketika ia memiliki pemikiran filsafat manusia yang buruk, kita tidak boleh mengatakan bahwa hal itu disebabkan karena kehidupan orang itu suram, keluarganya hancur, berasal dari almamater yang rendah, dlsb) dan mempunyai dasar yang jelas dan sistematis.
Kedua, saya ingin mengajukan perspektif mengenai sebuah prinsip toleransi pemikiran. Saya akan meminjam analisis Hardiman (2012) terhadap pemikiran Norberto Bobbio, seorang filsuf Italia, mengenai distingsi atas toleransi dan intoleransi dalam pembahasannya mengenai negara. Di sini, kita akan fokus pada pembedaan murni antara toleransi intoleran. Ia menulis dalam artkelnya bahwa Bobbio membagi dua macam toleransi dan dua macam intoleransi.
Yang pertama mengenai toleransi. Toleransi memiliki dua pembedaan kutub, (1) kutub positif dan (2) kutub negatif. Contoh untuk kutub pertama, menurut Hardiman adalah ketika seseorang respek terhadap orang-orang yang memiliki iman, pemikiran, atau keturunan yang berbeda. Lalu, untuk toleransi dalam artian negatif, yakni (masih meminjam Hardiman) suatu sikap pembiaran ataupun ketidakpedulian terhadap kejahatan, ketidakadilan, dan penindasan terhadap mereka yang berbeda.
Lalu, kedua mengenai intoleransi. Intoleransi pun dapat dibagi menjadi dua macam, dalam arti positif dan negatif. Dalam arti positif ini intoleransi adalah sikap tegas (tidak memihak pada golongan, kelompok, atau umat beragama tertentu dalam memutuskan keadilan), konsekuen, atau taat asas. Dan dalam arti negatif, for instance, seperti aksi-aksi kekerasan terhadap kelompok minoritas dalam bentuk pembakaran tempat ibadah, pembubaran ibadah, ataupun penganiayaan.
Dengan berbekal pengetahuan mengenai distingsi antara toleransi dan intoleransi di atas, saya —seperti yang sedari tadi dijelaskan— ingin menawarkan sebuah prinsip toleransi pemikiran. Apa itu prinsip toleransi pemikiran? Adalah sebuah prinsip yang memiliki dasar toleransi dan intoleransi dalam arti positif, yakni memberikan ruang bagi umat lain untuk membangun suatu diskursus yang komunikatif dan bebas dominasi (meminjam Habermas), mampu ber-apropriasi dengan baik dan tegas dalam hal keadilan dan pluralitas.
Menjadi umat beragama yang moderat dan ber-prinsip toleransi pemikiran. Setujukah engkau, kawan?

Bersiap Kecewa Untuk Menghadapi The Real
Pada bagian terakhir ini saya akan menawarkan sebuah prinsip-berani-kecewa dari seorang Slavoj Žižek. Seperti yang telah dijelaskan di atas saya akan mengacu pada tulisan Reza Wattimena dalam buku Dunia dalam Gelembung (2013) untuk memaparkan pemikiran sang filsuf.
Berhubungan dengan Yang Lain butuh sebuah prinsip berani kecewa. Terdengar sedikit pesimis, namun yang dimaksud Žižek mengenai hal ini ialah bahwa Yang Lain sebagai The Real merupakan yang traumatis, yang tidak bisa “aku” kontruksikan semau-“ku”. Mencintai (ataupun berhubungan) Yang lain bukanlah melulu pada sisi positifnya. Kita perlu memahami dan bersiap untuk menyelami sisi negatif dari Yang Lain itu. Reza menulis dalam penafsirannya atas pemikiran Žižek,
“Mencintai orang lain berarti mencintai tidak hanya sisi-sisi baiknya, tetapi juga sisi-sisi traumatis yang tak terduga, yang terkandung di dalam dirinya. Mencintai yang terduga berarti tidak mencintai sama sekali, karena kita sudah menebak, dan mengkalkulasi dirinya. Mencintai baru bisa dianggap sungguh mencintai, ketika kita mencintai orang-orang yang tak terduga, yang tak dapat kita terka, yang tak dapat kita bungkus dalam kesempitan konsep pikiran maupun keinginan kita.”[10]
Berdasarkan pemaparan di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa untuk berhubungan, untuk mencintai Yang Lain dibutuhkan sikap berani kecewa karena Yang Lain tidak bisa dengan mudah kita reduksi dalam kontruksi pikiran kita. Yang Lain adalah yang otonom. Dengan memiliki sikap berani kecewa tersebut kita akan mampu mendalami dan ber-apropriasi dalam perspektif Yang Lain untuk mencapai pemahaman bersama dan menjalani kehidupan bersama dengan menjunjung kerukunan dan sikap saling menghormati dalam iklim multikulturalisme di negeri ini. Well, untuk menutup tulisan ini izinkan saya untuk meminjam kalimat milik Jozef Pieniazek, “Manusia menjadi manusia melalui manusia lain.”[11]


















DAFTAR PUSTAKA

Baghi, Felix. Alteritas: Pengakuan, Hospitalitas, Persahabatan, Maumere: Ledalero, 2012.
Budi Hardiman, F. Massa, Teror dan Trauma, Maumere: Ledalero dan Yogyakarta: Lamalera, 2011.
 Wattimena, Reza AA.  Dunia Dalam Gelembung, Jakarta: Evolitera, 2013.

Website:
Budi Hardiman, F, “Toleransi atas Intoleransi”, dalam Http://nasional.kompas.com/-read/2012/05/30/02030461/Toleransi.atas.Intoleransi (diakses pada 04/04/2014 pukul 12:02)



[1] Lih. Reza AA. Wattimena, Dunia Dalam Gelembung (Jakarta: Evolitera, 2013), hlm. 39.
[2] “Aku” di sini dianggap sebuah representasi dari Yang Sama (dalam tulisan ini, kelompok ekstremis agama).
[3] Lih. F. Budi Hardiman, Massa, Teror dan Trauma, (Maumere: Ledalero dan Yogyakarta: Lamalera, 2011), hlm. 113.
[4] Loc. cit.
[5] Lih. Wattimena, Dunia Dalam Gelembung, op cit., hlm. 79-80.
[6]Ibid., hlm. 121.
[7] Lih. Felix Baghi, Alteritas: Pengakuan, Hospitalitas, Persahabatan, (Maumere: Ledalero, 2012), hlm. 28.
[8] Ibid., hlm. 18.                                        
[9] Ibid., hlm. 29.
[10] Lih.  Wattimena, Dunia Dalam Gelembung, op cit., hlm. 120.
[11] Baghi, Alteritas, op.cit., hlm. Vii.