PKS VS
PDIP: PERTARUNGAN DENGAN KETIMPANGAN KEKUATAN
Oleh: Ikram
Azhar Hagi
Menjelang pemilu legislatif
dan pemilu presiden 2014, tensi persaingan politik semakin meningkat.
Persaingan yang dilakukan oleh para partai yang ikut serta dalam pemilu
dilakukan dengan berbagai cara dan di berbagai ranah, dari perdebatan langsung
tatap muka dengan juri panel, sampai adu argumen di media sosial. Pertarungan
tersebut bertujuan untuk memperoleh kekuasaan dengan tingkatan tertentu baik
itu di legislatif, yang ditentukan oleh seberapa banyak kursi yang di dapat,
dan di eksekutif yang paling strategis, menjadikan kadernya sebagai salah satu
presiden dan wakil presiden di mana membuka peluang sangat luas untuk mencapai
kepentingan-kepentingan partai.
Kondisi persaingan partai
politik di Indonesia saat ini diwarnai oleh persaingan dengan peta kekuatan dan
elektabilitas partai yang berubah dari kondisi saat pemilu 2009. Partai yang
mengalami penurunan tajam adalah partai demokrat dan PKS. Hal itu disebabkan karena kasus korupsi yang
dilakukan oleh kader-kader partai demokrat dan PKS yang sangat di sorot di
berbagai media. Kasus-kasus tersebut adalah kasus
Hambalang, kasus Century, dan kasus suap impor daging sapi.[1]
Menurut LSI, Elektabilitas Partai Demokrat hanya mencapai angka 4,7 persen dan
PKS di bawah 3,5 persen. Berdasarkan survey LKP yang dilakukan dari 26 Februari
2014 sampai 6 Maret 2014, pemuncak angka elektabilitas partai politik peserta
pemilu adalah PDIP dengan 21,8 persen, diikuti oleh Partai Golkar (18,1 %), dan
Hanura di posisi ketiga (11,3 %)[2].
PDIP berhasil mendapat elektabilitas yang tinggi disebabkan kader-kader PDIP yang
eksepsional dan berkualitas yang menjabat sebagai kepala daerah yang sering
disorot oleh media, seperti walikota Surabaya, Tri Rismaharini, dan tentu saja,
Gubernur DKI Jakarta yang sekarang menjadi capres, Joko Widodo.
Kondisi tersebut, di mana PDIP
memimpin dalam hal elektabilitas hampir di semua hasil survey, membuat
pesaing-pesaingnya menggunakan segala upaya untuk menurunkan elektabilitasnya.
Salah satu bentuk penyerangan yang diberikan kepada PDIP adalah menyebut Jokowi
sebagai capres boneka. Pernyataan tersebut dituduhkan karena Jokowi dianggap
sebagai kepanjangan kepentingan dari
Megawati. Megawati menggunakan popularitas Jokowi untuk mendulang suara PDIP
dan ‘mengontrol’ Jokowi di balik layar apabila berhasil menjadi presiden.
Pernyataan itu diperkuat dengan Jokowi yang melanggar janjinya sendiri untuk
memerintah Jakarta selama lima tahun. Dari pihak-pihak dan partai-partai
politik yang melakukan penyerangan, saya tertarik dengan penyerangan yang
dilakukan oleh PKS.
PKS merupakan partai berbasis
Islam yang berawal dari persatuan gerakan-gerakan dakwah kampus di
Indonesia. Dari persatuan gerakan-gerakan kampus, disepakati
untuk membentuk orgnaisasi tersebut menjadi suatu partai politik, yaitu Partai
Keadilan yang diketuai oleh Nurmahmudi Isma'il sesuai dengan hasil pemilihan.
Partai Keadilan terkenal dengan sistem kaderisasinya yang kuat. Sistem
kaderisasi yang dipakai mirip dengan sistem kaderisasi yang dipakai Ikhwanul Muslimin di Mesir. Sistem
kaderisasi ini berhasil membentuk kader-kader yang militan dan loyal. Sistem
kaderisasi ini juga efektif karena dilakukan dengan jangkauan yang uas, dari
organisasi ROHIS di sekolah-sekolah sampai lembaga-lembaga dakwah kampus.
Permasalahan mulai muncul ketika Partai Keadilan berubah menjadi Partai
Keadilan Sejahtera. Sistem kaderisasi partai menjadi lebih inklusif, tidak
terlalu tertutup dan menerima kader
non-muslim. Penentuan calon kepala daerah yang diusung dan rekrutmen caleg PKS
juga tidak mempertimbangkan aspek kualitas kader. Akibatnya, kader-kader
berkualitas tinggi di PKS tersingkir dan tidak memiliki posisi strategis di
PKS. Selain faktor internal akibat berubahnya sistem kaderisasi dan tidak
adanya kesamaan visi, sikap PKS yang mengambil posisi aktif di pemerintahan
turut menyumbang citra buruk PKS di mata publik. Puncaknya adalah dengan
tertangkapnya ketua PKS, Luthfi Hasan Ishaq karena kasus suap impor daging sapi.
Kader-kader militan PKS kemudian gamang dengan PKS. PKS pun kehilangan kader dakwahnya, citra bersih, peduli, tidak lagi tampak di
publik sebagaimana Pemilu 2004. Kekecewaan kader-kader militan PKS berdampak
pada kurang militannya kader dalam menjalankan mesin politik PKS. Bahkan, tak jarang kader-kader PKS justru pindah haluan ke parpol lain karena
alasan kekecewaan terhadap PKS.[3]
PKS saat ini seperti kebakaran
jenggot. Elektabilitas PKS yang tidak sampai 3,5% membuat PKS tidak dapat
menembuh Presidential Treshold dan
akibatnya tidak bisa untuk mendaftarkan calon presidennya pada pemilu nanti. PKS
berusaha melakukan segala cara untuk menaikkan kembali popularitasnya. PKS pun
ikut serta menyerang PDIP dengan menggunakan serangan pernyataan bahwa Jokowi
adalah presiden boneka. Serangan-serangan
tersebut banyak dilakukan di media sosial, terutama twitter. Serangan
yang ditujukan kepada PDIP menggunakan pernyataan Jokowi adalah capres boneka
dianggap ampuh untuk digunakan sebagai bahan serangan. Namun kenyataannya,
kondisi PKS yang sekarang rentan untuk diserang balik. Penyerangan terhadap
PDIP dengan menyerang Jokowi terlebih dahulu memicu reaksi tidak hanya dari
pendukung PDIP, tapi juga dari pendukung jokowi. Serangan itu dihadapi dengan
serangan balik dengan menggunakan pernyataan bahwa PKS sebagai partai Islam
sebagai partai ‘munafik’ yang dibuktikan dengan ditangkapnya LHI dengan dakwaan
menjadi tersangka kasus korupsi impor daging sapi, yang juga berhubungan dengan
Menteri Pertanian, Suswono, yang juga berasal dari PKS. Pernyataan tersebut
dibalas oleh para pendukung PKS dengan jawaban PKS tetap menjadi partai bersih
dan tidak terpengaruh oleh oknum-oknum tertentu saja. Reaksi pendukung yang
lebih radikal menyatakan bahwa menyerang PKS sama saja menyerang Islam dan itu
berarti bahwa sama dengan kafir.
Saya amat menyayangkan reaksi
yang diberikan oleh para pendukung PKS tersebut yang terjadi di twitter. Apakah
benar apabila ketua umumnya bermasalah, tidak mengindikasikan partainya juga
bermasalah? Menurut saya, hal itu
menunjukkan pendukung-pendukung PKS ‘sesat pikir’. Sistem kaderisasi PKS saat
ini menunjukkan sistem kaderisasi yang berhasil menghasikan kader-kader yang
militan, tetapi tidak memiliki kualitas dan kemampuan berpikir kirits dan
objektif. Kader-kader yang dihasilkan
malah mempunyai cara berpikir dogmatis, membenarkan semua hal yang dikatakan
oleh partai dan dengan kondisi apapun, PKS tetap ‘bersih’. Citra partai kader
merupakan wujud dari pencerminanan kader-kader partai. Partai dianggap
berkualitas dan berintegritas apabila kader-kadernya mencerminkan sikap itu di
dalam kehidupan bermasyarakat. Lalu,
apakah dengan kita menyerang PKS, kita juga menyerang Islam sebagai agama dan
umatnya? Kita tidak bisa menggeneralisir secara serampangan seperti itu. PKS
memang merupakan partai dengan basis agam Islam, namun bukan berati Islam
adalah PKS. Islam sebagai agama sangat luas. Orang yang menyatakan dirinya
Islam juga tidak harus selalu terjun ke dunia politik sebagai bentuk komitmen
memeluk agama Islam. Dalam praktek berpolitikpun, orang yang beragama Islam
tidak harus menjadi kader partai yang berbasis Islam. Berpolitik boleh dengan
partai manapun asal dalam penerapan individualnya mengikuti peraturan-peraturan
yang sudah ditentukan dalam Islam. Pernyataan-pernyataan tersebut yang
digunakan sebagai bahan untuk menangkis serangan-serangan balik yang ditujukan
kepada PKS justru menunjukkan sifat sektarianisme yang kuat pada kader-kader
PKS. Sifat sektarianisme ini bertentangan dengan prinsip pluralisme yang
terkandung dalam pancasila dan membahayakan apabila tumbuh subur di kehidupan
masyarakat Indonesia yang pluralitasnya tinggi. PKS utamanya terciderai oleh
perilaku-perilaku yang ditimbukan oleh kader-kadernya sendiri. Serangan pihak
luar hanya memperkuat penjatuhan citra PKS. Penggunaan selubung agama Islam
untuk menutupi keburukan-keburukan partai tidak dapat diterima dan merupakan
usaha yang tidak terpuji. PKS seperti mengulangi ‘dosa’ sejarah yang dilakukan
oleh Eropa pada abad pertengahan.
[1]http://nasional.kompas.com/read/2014/01/03/2131547/Survei.Pembicaraan.Korupsi.Kader.Demokrat.dan.PKS.Semakin.Intensif
diakses pada pukul 11.04 tanggal 7 April 2014
[2] http://www.tempo.co/read/news/2014/02/02/078550360/LSIi-Golkar-dan-PDIP-Calon-Pemenang-Pemilu-2014
diakses pada pukul 11.23 tanggal 7 April 2014
[3] http://www.suarapembaruan.com/home/inilah-akar-kehancuran-pks/50263
diakses pada pukul 12.13 tanggal 7 April 2014