Maret 2014 - LPPMD Unpad

Selasa, 11 Maret 2014

KETIKA KESADARAN MAHASISWA DIPERTANYAKAN!

Saat ini dalam lingkungan mahasiswa Universitas Padjadjaran, sedang berlangsung pagelaran demokrasi akbar tahunan yang biasa kita sebut Prama atau Pemilihan Raya Mahasiswa Universitas Padjadjaran. Pagelaran di mana diperebutkan tampuk kekuasaan politis pada ranah mahasiswa lewat pertarungan ide dan visi. Pagelaran di mana arah pergerakan budaya, sosial dan politik mahasiswa dalam 1 tahun ke depan ditentukan. Pagelaran di mana pada akhirnya akan muncul sosok yang kita anggap sebagai Pemimpin Keluarga Mahasiswa Universitas Padjadjaran yang akan mensejahterakan kita dengan janji-janjinya.

Kita tahu prama unpad ini merupakan gerbang depan menuju sistem Keluarga Mahasiswa atau Kema Unpad. Sistem yang telah terbentuk beberapa tahun silam yang berperan sebagai laboratorium mahasiswa dalam membangun kesadaran akan fungsinya lewat sistem pemerintahan mahasiswa (Student Governence). Kema Unpad yang dibentuk sedemikian rupa menyerupai miniatur sebuah negara (khususnya negara Indonesia) bahkan terkesan terlalu memaksa dalam beberapa aspek tanpa mempertimbangkan kebutuhan mendasar mahasiswa Unpad. Masalah klasik yang terjadi tiap tahun pada Prama Unpad adalah partisipasi mahasiswa yang tidak mencapai 50%. Bentuk federasi yakni yang keterwakilan setiap elemen mahasiswa yang tertera pada Pasal AD/ART Kema Unpad pun masih belum dilaksanakan secara efektif. Hal tersebut berakibat langsung maupun tidak langsung pada partsipasi publik dalam dinamika kampus masih belum merata serta stereotipe yang terbentuk mengenai keekslusifan Kema Unpad. Dan ironisnya muncul asumsi bahwa dengan minimnya partisipasi mahasiswa berimplikasi pada kesadaran mahasiswa yang minim dalam membangkitkan dinamika kampus.

Pada hemat saya, Kema Unpad merupakan sistem strutural yang menaungi semua elemen mahasiswa baik secara individu maupun organisasional. Selain itu juga Kema Unpad yang dibalut dalam sistem pemerintahan mahasiswa memiliki fungsi menjalankan roda kaderisasi pergerakan mahasiswa. Dengan adanya pandangan negatif serta minimnya partisipasi mahasiswa dalam hajatan raya Prama pun tidak dapat menapikkan pertanyaan besar kita pada sistem Kema Unpad ini. Sistem yang telah berjalan selama 10 tahun namun masih saja mengalami krisis legitimasi pada kalangan mahasiswanya sendiri. Minimnya partisipasi membuat esensi Kema Unpad tidak berjalan secara semestinya. Ketidakikutsertaan dalam dinamika kampus mengakibatkan ketimpangan dari beberapa elemen mahasiswa yang aspirasi tidak terakomodir dan dicap sebagai bagian yang tidak memiliki kesadaran akan dinamika kampus ini.

Kema Unpad seharusnya bukan sistem yang hanya menaungi golongan mahasiswa yang mengklaim dirinya sadar saja. Namun merangkul semua lapisan mahasiswa pada lingkungan kampus kita yang tercinta ini. Menilik pada krisis legitimasi pada Kema Unpad di atas, legitimasi atau pengakuan pada suatu sistem terkait pada nilai serta kepentingan yang diperjuangkan dalam sistem tersebut. Jika berangkat dari nilai dan kepentingan yang mendasar mahasiswa tentunya Kema Unpad kita ini tidak akan mendapati permasalahan legitimasi dari masing-masing mahasiswa yang dinaunginya. pandangan mengenai Kema Unpad merupakan agenda pelanggengan kekuasaan salah satu golongan dapat dikatakan benar dengan melihat realita yang terjadi demikian adanya. Bukan sistem demokrasi yang selalu kita agung-agungkan, dari mahasiswa oleh mahasiswa dan untuk mahasiswa, tetapi sistem oligarki yang semua macam sikap dan kebijakannya hanya didasarkan pada nilai dan kepentingan satu golongan saja.

Mengutip perkataan Höffe (1993, dalam F. Budi Hardiman, 2009), “hukum dan negara sebagai momen hakiki masyarakat modern”, yang berusaha menyadarkan bahwa sebagai satuan masyarakat modern tentu ikut berpartisipasi aktif dalam dinamika negara, khususnya kampus. Slentingan-slentingan di atas bukan rayap dekonstruktif yang ingin merubuhkan Kema Unpad, tetapi kembali menegaskan esensi dasar dibentuknya Keluarga Mahasiswa Universitas Padjadjaran. Bersama-sama saling menutupi lubang-lubang keropos bukan dengan saling menyalahkan kesadaran masing-masing individu. Serta terus berprestasi demi mengharumkan almamater kita, Universitas Padjadjaran.

Teruntuk Kesadaran Kita

Pada ranah kesadaran kita tidak dapat mempermasalahkan siapa-siapa. Setiap individu memiliki tingkat kesadaran yang berbeda berdasarkan proses yang dialaminya sehingga kesadaran tiap individu tidak dapat digeneralisir. Beberapa kawan mahasiswa memilih untuk tidak berpartisipasi tentu dilakukan dengan sadar berdasarkan beberapa rasionalisasi tentunya. Namun besar harapan kami adalah menginginkan sosok pemimpin yang sebenar-benarnya pemimpin. Bukan pemimpin yang hanya menjadi boneka oleh dalang di balik layar (red: pihak eksternal yang berafiliasi) dengan beribu cerita yang didongenkan kepada kita semua. Tetapi pemimpin yang tergerak hatinya melihat kondisi dinamika mahasiswa saat ini dan merangkul bersama-sama bangkit dari keterpurukan.

Selamat merayakan Pesta (belum) Demokrasi Mahasiswa, Prama
Prama?? Milih Presiden untuk siapa??

oleh: Rendra Priatno
Selasa, Maret 11, 2014

PENGANTAR FILSAFAT

by
PENGANTAR FILSAFAT

Oleh: Fahmi Syarifuddin

       Bicara soal manusia dan kehidupan tidak akan terlepas dari sesuatu yang mendasar dan filosofis. Sesuatu yang menjadi pencarian tanpa henti mengenai makna dan hakikat hidup. Filsafat dalam hal ini menjadi ujung tombak dari proses ini. Namun kita sering dibingungkan dengan apa itu fiksafat sendiri. Dalam mengenal filsafat, kita mungkin tidak akan lepas dari sebuah pertanyaan klasik tentang ”apa itu filsafat?”. Namun agak sulit untuk menjawab pertanyaan ini, dan bahkan para filsuf –orang yang fokus mempelajari filsafat- pun meng-amini bahwa untuk menjawab “apa itu filsafat?” itu tidak bias dijawab secara singkat. Tapi pada kenyataannya ketika kita mengajukan pertanyaan tentang “apa itu filsafat?” sebenarnya kita sedang berfilsafat. Kita mencoba mengajukan pertanyaan tentang apa  yang kita ingin ketahui dan mencari-cari apa jawaban sebenarnya. Maka berdasarkan pernyataan di atas bahwa kita bertanya dan kita berfilsafat berarti menunjukkan bahwa pertama-tama filsafat adalah sikap; sikap skeptis yang selalu bertanya dan mempertanyakan sesuatu. Dari sikap tersebut akan secara otomatis membuat pikiran kita terbuka dan mempunyai pola pikir radikal atau mendalam (radix=akar). Sehingga yang kedua tentang filsafat adalah pola pikir atau cara befikir. Pola pikir terbuka yang berani bertanya dan mempertanyakan kembali apa yang selama ini kita ketahui, kita fahami, dan kita yakini. Tetapi secara harfiah, filsafat berasal dari bahasa yunaniyaitu philosophia  ini merupakan kata majemuk yang terdiri dariphilia=cinta dan sophia=kebijaksaan. 

           Jadi yang ketiga kita bisa artika bahwa filsafat itu adalah suatu kecintaan terhadap kebijaksaan.      
Jadi ketika kita merangkum ketiga hal tersebut, filsafat secara umum berarti sebuah sikap skeptis yang dihidupi dan dihayati secara terus menerus oleh pola pikir terbuka dan mendalam demi sebuah pencarian akan nilai kebijaksanaan.

Sejarah Filsafat
       Umur filsafat hampir dipastikan sama dengan umur manusia, ini karena filsafat sendiri berasal dai pencarian manusia dan lahir dari pikiran manusia. Namun menurut sejarah yang tercatat bahwa Thales lah filsuf pertama yang menerangkan tentang filsafat alam. Thales (624 SM – 545 SM) dari Miletos,mengungkapkan bahwa “semua barang terjadi dari air dan semuanya kembali lagi kepada air.” Tetapi dunia mengenal tokoh yang paling berpengaruh dalam filsafat hingga kini, adalah Socrates (470 SM – 399 SM) filusuf dari Athena, Yunani dan merupakan salah satu figur tradisi filosofis Barat yang paling penting. Socrates lahir di Athena, dan merupakan generasi pertama dari tiga ahli filsafat besar dari Yunani, yaitu Socrates, Plato dan Aristoteles. Sehingga dalam pemababakn filsafat (terutama filsafat barat), dikenal dengan pembabakan filsafat pra Socrates dan pasca Socrates. Ini karena Socrates dianggap telah mengotori tradisi filsafat saat itu yang selama itu jalan di tempat. Mengapa demikian? Karena trernyata mereka melakukan “kesalahan” dengan memperlakukan filsafat sebagai upaya pencarian rasional (penalaran). Diperkenalkan analisis beserta argument-argumen yang meyakinkan telah membuat tradisi filsafat saat itu menjadi berantakan. Sedangkan pada masa pasca Socrates sendiri filasafat dibedakan menjadi beberapa masa. Pertama masa filsafat abad pertengahan yang mengintegrasikan filsafat dengan keimanan Kristen. Kedua masa filsafat pencerahan yang muncul ketika jaman Renaissance, masa filsafat ini juga bisa dikatakn sebagai sebagai masa filsafat modern. Yang ketiga masa filsafat postmodern atau pasca modern, masa filsafat ini terjadi pada saat ini. Ditandai dengan semakin kompleksnya interaksi hidup antara msyarakat dunia, globalisasi, dan semakin hilangnya sekat wilayah oleh arus informasi yang kencang.

Cabang Pemikiran Filsafat
          Dalam filsafat dasar, secara garis besar terdapat tiga cabang filsafat yang membedah soal hidup dan kehidupan. Folsafat Ontologi, Epistemologi, dan Auksiologi.
        Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan ontologi mempertanyakan tentang objek yang ditelaah oleh ilmu, bagaimana wujud hakikinya, serta bagaimana hubungannya dengan daya tangkap manusia yang berupa berpikir, merasa, dan meng-indera yang membuahkan pengetahuan. Objek telaah Ontologi tersebut adalah yang tidak terlihat pada satu perwujudan tertentu (metafisik), yang membahas tentang yang ada secara universal, yaitu berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala realitas dalam semua bentuknya.
        Objek telaah epistemologi adalah mempertanyakan bagaimana sesuatu itu datang dan bagaimana mengetahuinya, bagaimana membedakan dengan yang lain. Jadi berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta waktu tentang sesuatu hal. Landasan epistemologi adalah proses apa yang memungkinkan mendapatkan pengetahuan logika, etika, estetika, bagaimana cara dan prosedur memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan moral dan keindahan seni, serta apa definisinya.
           Aksiologi adalah filsafat nilai. Aspek nilai ini ada kaitannya dengan kategori: (1) baik dan buruk; serta (2) indah dan jelek. Kategori nilai yang pertama di bawah kajian filsafat tingkah laku atau disebut etika, sedang kategori kedua merupakan objek kajian filsafat keindahan atau estetika.

Filsafat, Ilmu Pengetahuan dan Sistem Keyakinan
     Bicara soal filsafat tentunya tidak jauh dengan yang namanya Ilmu Pengetahuan dan sistem keyakinan/agama. Karena diantara ketiganya ini tentu saling berkaitan. Pertama, bicara soal filsafat dan ilmu pengetahuan. Filsafat selama ini dikenal sebagai ibu kandung dari ilmu pengetahuan. Ini Karena filsafat yang bersifat skeptis dan selalu mempertanyakan suatu hal tentunya berdampak pada pengetahuan manusia. Dimana pengetahuan itu sendiri bisa diaartikan sebagai keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep, dan pemahaman yang dimiliki manusia tentang kehidupann dan segala isisnya, termasuk manusia dan kehidupan mnusia itu sendiri. Kemudian pengetahuan manusia itu sendiri terakumulasi menjadi ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan adalah keseluruhan sistem pengetahuan yang telah dibakukan secara sistematis.
          Dalam perjalan sejarah ilmu pengetahuan, dia banyak dipengaruhi oleh trend filsafat pada masanya. Seperti pada era modern, ketika trend filsafat ketika jaman modern yang bercorak empiris dan materialis, maka yang berkembang adalah ilmu-ilmu sains modern yang selalu mengedepankan fakta dan data penelitian.
Begitupun kaitan filsafat dengan sistem keyakinan/agama. Dalam perkembangan sistem keyakinan, biasanya pun dipengaruhi oelh filsafat, begitupun sebaliknya. Filsafat juga memiliki trend sesuai dengan perkembangan sistem keyakinan. Seperti contoh pada abad pertengahan yang ketika itu begitu kuat dengan iman Kristen, filsafat abad pertengahan ketika itu cenderung untuk memperkokoh iman kekristenan.
        Jika kau mebakukan diri dalam suatu kredo dan keyakinan yang kaku, niscaya kebenaran akan menjauhimu. (f. syarifuddin)
PENDIDIKAN DALAM BINGAI KEMERDEKAAN
Oleh: Fahmi Syarifuddin*

            Tujuh belas Agustus tahun 1945 adalah hari ketika bangsa Indonesia meraih kemerdekaanya setelah sekian lama terbelenggu oleh imperialisme yang terus-menerus mengekang kebebasan. Tiga setengah abad bangsa ini tak mampu untuk memegang kendali penuh atas daulatnya sendiri. Sejarah mencatat bahwa setidaknya ada empat bangsa asing yang pernah menjajah bangsa ini. Namun biarpun bangsa kita mengalami pergatian penjajah, itu ternyata tidak membuat bangsa ini semakin maju dan berkembang. Ini terbukti dari fakta sejarah bahwasannya rakyat pribumi dibiarkan bodoh dan terbelakang.
Setelah masa tiga setengah abad itu akhirnya bangsa ini menemukan titik terang dari permasalahan yang turun temurun ini. Muncul orang-orang terpelajar yang mampu menjadi motor penggerak bagi usaha kemerdekaan bangsa Indonesia. Mereka para kaum terpelajar sadar akan perannya sebagai garda depan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Sejarah membuktikan bahwa Soekarno dkk lewat BPUPKI dan PPKI ternyata mampu membawa bangsa ini ke pintu gerbang kemerdekaan Indonesia, sehingga kita semua ingat bahwa tanggal tujuh belas Agustus 1945 adalah hari kemerdekaan kita.
            Orang-orang terpelajar itu membuktikan bahwa peran pendidikan dalam menentukan arah gerak peradaban sebuah bangsa itu sangatlah penting. Di peradaban-peradaban manusia selalu ditopang oleh pendidikan, dimana pendidikan adalah ujung tombak bagi perkembangan peradaban sebuah bangsa. Karya-karya peradaban manusia itu selalu merupakan output dari proses pendidikan, seperti: ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, sains, dan teori-teori social. Sebuah contoh dari peran pendidikan pada sebuah peradaban bangsa adalah pada saat terjadi revolusi industri yang terjadi di Inggris pada akhir abad 18 dan awal abad 19. Revolusi industri ini diakibatkan dari lompatan teknologi yang terjadi. Ketika itu mesin uap yang diperkenalkan oleh James Watt akhirnya mampu menggantikan teknologi kuno yang biasa memakai tenaga-tenaga makhluk hidup untuk menjalankan dan mengerjakan proses-proses produksi. Sebenarnya faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya Revolusi Industri adalah terjadinya revolusi ilmu pengetahuan pada abad ke 16 dengan munculnya para ilmuwan seperti Francis Bacon, Rene Decartes, Galileo Galilei serta adanya pengembangan riset dan penelitian dengan pendirian lembaga riset. Dan hasil dari revolusi industri yang terjadi di Inggris pada akhir abad 18 dan awal abad 19 itu dapkanya masih bisa kita rasakan hingga kini, yaitu kita kini tahu tentang ilmu-ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan dari ilmu tersebut. Contoh pada revolusi industri ini mebuktikan bahwa pendidikan memegang peran sentral bagi perkembangan peradaban sebuah bangsa bahkan perkembangan peradaban manusia secara luas. Dan hal inilah yang telah dibuktikan oleh parafounding fathers bangsa kita dimana ia mampu untuk memerdekakan bangsanya dan meletakkan sebuah cita-cita luhur bagi bangsa ini di awal berdirinya bangsa ini.
            Namun ketika kita beribicara soal kemerdekaan yang digawangi oleh kaum-kaum terpelajar itu tentunya kita tidak akan lepas dari cita-cita kemerdekaan itu. Seperti yang disebutkan dalam pemukaan UUD 45’ bahwa kemerdekaan itu bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehipan bangsa, dan untuk memajukan kesejahteraan umum sata berperan dalam perdamaian dunia. Dan ketika kita refleksikan cita-cita itu ke kondisi Indonesia saat ini, tentunya kita akan banyak mendapatkan kecewaan. Permasalahan-permasalahan klasik seperti kemiskinan, pengangguran, kelaparan, dan korupsi masih menghantui bangsa ini. Proses panjang selama hampir enam puluah lima tahun Indonesia merdeka ternyata masih belum mampu untuk menanggulangi permasalahan itu dan masih belum mampu pula mewujudkan cita-cita bangsa. Hal itu terbukti ketika kita mendengar permasalahan seperti kasus bank century, mafia kasus, kenaikan harga sembako, tabung gas yang sering meledak, kelaparan, kenaikan TDL, dan biaya pendidikan yang tinggi. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sekarang dinilai kurang sigap dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan tadi, dan cenderung pasif dalam menyikapinya. Ketika ada banyak nyawa melayang akibat dari ledakan tabung gas, pemerintah tidak segera menangani itu bahkan cenderung membiarkan rakyanya terbunuh oleh tabung-tabung gas. Kasus bank century pun dibiarkan mengambang begitu saja, tak jelas arah penyelesaiannya kemana. Kenaikan harga sembako yang sedang marak sekarang juga hanya disikapi dalam tangan yang dingin dan enggan bergerak untuk segera meringkus harga-harga yang terus naik itu. Tapi hal ini malah diperparah oleh para intelektual-intelektual dan lembaga pendidikan yang menaunginya yang bersikap dingin dan acuh tak acuh. Mereka hanya sibuk dengan laboratorium, perpustakaan, ruang kelas, penelitian, dan segudang teori using yang hanya mengawang-awang jauh dari rakyat.
            Pendidikan Indonesia ternyata tidak mampu berbuat banyak pada bangsa ini. Lembaga pendidikan yang harusnya dekat dengan permasalahan rakyat ternyata membatasi dirinya hanya pada ukuran-ukuran formal pada dunia pendidikan kita. Begitu banyak sekolah, beigtu banyak unveristas dan institute yang ada di Indonesia. Tapi mengapa dengan begitu banyaknya kuantitas lembaga pendidikan di Indonesia itu malah masih belum mampu mejadi motor penggerak peradaban? Peran pendidikan di Indonesia kini diredusir hanya untuk mencetak lulusan terbaik yang siap unutk menjadi tenaga kerja handalyang siap untuk bersaing. Bukan malah mempersiapkan segudang senjata guna melawan kemiskinan, kelaparan, korupsi, dan permasalahan bangsa yang lain. Menurut salah satu filsuf pendidikan, Paulo Freire mengatakan bahwa pendidikan yang seperti ini itu mirip dengan gaya yang dilakukan oleh bank dimana para subjek pendidikan hanya ditransfer pengetahuan tanpa dituntun untuk memahami realitas sekitarnya.
            Pemahaman tentang pendidikan di Indonesia pun masih salah kaprah. Rakyat menganggap bahwa pendidikan itu hanya ada di sekolah/lembaga pendidikan, bukannya pada lingkungan masyarakat itu sendiri. Ini juga diperparah lagi dengan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pendidikan itu hanya terfokus pada lembaga pendidikan saja. Hal ini membuat pendidikan menjadi ekslusif, dan cenderung terbatas. apalagi jika biaya pendidikan itu mahal dan susah dijangkau, otomatis ini membuat orang miskin tidak bisa sekolah. Dan ternyata ini terbukti bahwa biaya pendidikan di Indonesia semakin hari semakin mahal yang tentunya makin mempersulit orang miskin untuk mengenyam pendidikan.
             Pendidikan itu harus partisipatif, terbuka, dan mudah diakses. Yaitu pertama, pendidikan itu harus pertisipatif yaitu pendidikan itu harus ikut berpartisipasi dalam kehidupan rakyat dan rakyat pun harus ikut berpartisipasi dalam proses pendidikan. Pendidikan harus dipandang sebagai sebuah proses yang memajukan dan mampu menyelesaikan permasalahan rakyat dan tidak malah terjebak pada formalitas sebuah lembaga pendidikan. Benteng pemisah antara intelektual dan lembaga pendidikan dengan rakyat, harus segera dihancurkan. Agar memang pendidikan mendapatkan rohnya kembali yaitu sebagai ujung tombak proses peradaban manusia. Kedua, pendidikan itu haruslah terbuka yaitu pendidikan tidak boleh lagi di eksklusifkan dalam sebuah lembaga pendidikan formal. Tetapi pendidikan haruslah dipahami bukan hanya ada pada lembaga pendidikan formal. Tetapi pendidikan itu berasal dari rakyat itu sendiri dimana rakyatlah yang memiliki pendidikan. Gencarkan sector pendidikan informal dan non formal agar pendidikan ini dekat dengan rakyat. Yang ke tiga pendidikan haruslah mudah diakses. Melihat realita bahwa biaya pendidikan semakin mahal dan tak terjangkau oleh rakyat miskin maka perlu ada suatau kemudahan dalam mengakses pendidikan. maka dari ketiga hal tersebut itulah sebuah konsep pendidikan yang memang mampu berperan sebagaimana mestinya dalam mengawal kemerdekaan bangsa ini. Tak ada kemerdekaan hakiki dalam sebuah bangsa ketika proses-proses pendidikan dalam bangsa tersebut dipasung dan dibiaskan.