Saat ini dalam lingkungan mahasiswa Universitas Padjadjaran,
sedang berlangsung pagelaran demokrasi akbar tahunan yang biasa kita sebut
Prama atau Pemilihan Raya Mahasiswa Universitas Padjadjaran. Pagelaran di mana
diperebutkan tampuk kekuasaan politis pada ranah mahasiswa lewat pertarungan
ide dan visi. Pagelaran di mana arah pergerakan budaya, sosial dan politik
mahasiswa dalam 1 tahun ke depan ditentukan. Pagelaran di mana pada akhirnya
akan muncul sosok yang kita anggap sebagai Pemimpin Keluarga Mahasiswa
Universitas Padjadjaran yang akan mensejahterakan kita dengan janji-janjinya.
Kita tahu prama unpad ini merupakan gerbang depan menuju
sistem Keluarga Mahasiswa atau Kema Unpad. Sistem yang telah terbentuk beberapa
tahun silam yang berperan sebagai laboratorium mahasiswa dalam membangun
kesadaran akan fungsinya lewat sistem pemerintahan mahasiswa (Student
Governence). Kema Unpad yang dibentuk sedemikian rupa menyerupai miniatur
sebuah negara (khususnya negara Indonesia) bahkan terkesan terlalu memaksa
dalam beberapa aspek tanpa mempertimbangkan kebutuhan mendasar mahasiswa Unpad.
Masalah klasik yang terjadi tiap tahun pada Prama Unpad adalah partisipasi
mahasiswa yang tidak mencapai 50%. Bentuk federasi yakni yang keterwakilan
setiap elemen mahasiswa yang tertera pada Pasal AD/ART Kema Unpad pun masih
belum dilaksanakan secara efektif. Hal tersebut berakibat langsung maupun tidak
langsung pada partsipasi publik dalam dinamika kampus masih belum merata serta
stereotipe yang terbentuk mengenai keekslusifan Kema Unpad. Dan ironisnya
muncul asumsi bahwa dengan minimnya partisipasi mahasiswa berimplikasi pada
kesadaran mahasiswa yang minim dalam membangkitkan dinamika kampus.
Pada hemat saya, Kema Unpad merupakan sistem strutural yang
menaungi semua elemen mahasiswa baik secara individu maupun organisasional. Selain
itu juga Kema Unpad yang dibalut dalam sistem pemerintahan mahasiswa memiliki
fungsi menjalankan roda kaderisasi pergerakan mahasiswa. Dengan adanya pandangan
negatif serta minimnya partisipasi mahasiswa dalam hajatan raya Prama pun tidak
dapat menapikkan pertanyaan besar kita pada sistem Kema Unpad ini. Sistem yang
telah berjalan selama 10 tahun namun masih saja mengalami krisis legitimasi
pada kalangan mahasiswanya sendiri. Minimnya partisipasi membuat esensi Kema
Unpad tidak berjalan secara semestinya. Ketidakikutsertaan dalam dinamika
kampus mengakibatkan ketimpangan dari beberapa elemen mahasiswa yang aspirasi
tidak terakomodir dan dicap sebagai bagian yang tidak memiliki kesadaran akan
dinamika kampus ini.
Kema Unpad seharusnya bukan sistem yang hanya menaungi
golongan mahasiswa yang mengklaim dirinya sadar saja. Namun merangkul semua
lapisan mahasiswa pada lingkungan kampus kita yang tercinta ini. Menilik pada
krisis legitimasi pada Kema Unpad di atas, legitimasi atau pengakuan pada suatu
sistem terkait pada nilai serta kepentingan yang diperjuangkan dalam sistem
tersebut. Jika berangkat dari nilai dan kepentingan yang mendasar mahasiswa
tentunya Kema Unpad kita ini tidak akan mendapati permasalahan legitimasi dari
masing-masing mahasiswa yang dinaunginya. pandangan mengenai Kema Unpad merupakan
agenda pelanggengan kekuasaan salah satu golongan dapat dikatakan benar dengan
melihat realita yang terjadi demikian adanya. Bukan sistem demokrasi yang
selalu kita agung-agungkan, dari mahasiswa oleh mahasiswa dan untuk mahasiswa,
tetapi sistem oligarki yang semua macam sikap dan kebijakannya hanya didasarkan
pada nilai dan kepentingan satu golongan saja.
Mengutip perkataan Höffe (1993, dalam F. Budi Hardiman,
2009), “hukum dan negara sebagai momen hakiki masyarakat modern”, yang berusaha
menyadarkan bahwa sebagai satuan masyarakat modern tentu ikut berpartisipasi
aktif dalam dinamika negara, khususnya kampus. Slentingan-slentingan di atas
bukan rayap dekonstruktif yang ingin merubuhkan Kema Unpad, tetapi kembali
menegaskan esensi dasar dibentuknya Keluarga Mahasiswa Universitas Padjadjaran.
Bersama-sama saling menutupi lubang-lubang keropos bukan dengan saling menyalahkan
kesadaran masing-masing individu. Serta terus berprestasi demi mengharumkan
almamater kita, Universitas Padjadjaran.
Teruntuk Kesadaran Kita
Pada ranah kesadaran kita tidak dapat mempermasalahkan
siapa-siapa. Setiap individu memiliki tingkat kesadaran yang berbeda
berdasarkan proses yang dialaminya sehingga kesadaran tiap individu tidak dapat
digeneralisir. Beberapa kawan mahasiswa memilih untuk tidak berpartisipasi
tentu dilakukan dengan sadar berdasarkan beberapa rasionalisasi tentunya. Namun
besar harapan kami adalah menginginkan sosok pemimpin yang sebenar-benarnya
pemimpin. Bukan pemimpin yang hanya menjadi boneka oleh dalang di balik layar
(red: pihak eksternal yang berafiliasi) dengan beribu cerita yang didongenkan
kepada kita semua. Tetapi pemimpin yang tergerak hatinya melihat kondisi
dinamika mahasiswa saat ini dan merangkul bersama-sama bangkit dari
keterpurukan.
Selamat merayakan Pesta (belum) Demokrasi Mahasiswa, Prama
Prama?? Milih Presiden untuk siapa??
oleh: Rendra Priatno