Agustus 2016 - LPPMD Unpad

Rabu, 24 Agustus 2016

Modernisasi Kota dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Sumber foto: www.skyscrapercity.com



Oleh: Annadi M. Alkaf*


Menurut Max Weber, Kota adalah suatu tempat yang penduduknya dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan ekonominya di pasar lokal. Ciri kota adalah adanya pasar sebagai benteng serta mempunyai sistem hukum tersendiri dan bersifat kosmopolitan.

Berbicara mengenai kota tentu tidak terlepas dari manusia yang ada didalamnya atau dengan kata lain dapat disebut sebagai warga kota. Yang berarti juga bahwa persoalan kota berkaitan erat dengan populasi penduduknya. Pontoh & Kustiwan (2009), menyatakan bahwa antara tahun 1950-1990 populasi penduduk perkotaan meningkat lebih dari 200%, dari 730 juta jiwa menjadi 2,3 miliar jiwa. Kemudian, antara tahun 1990-2020 diperkirakan meningkat menjadi 4,6 miliar jiwa.

Peningkatan populasi penduduk perkotaan inilah yang  kemudian memunculkan berbagai macam persoalan yang semakin beragam di kawasan perkotaan. Hal ini dikarenakan populasi yang besar dengan tingkat heterogenitas individu yang tinggi memicu munculnya lebih banyak kebutuhan yang harus dapat dipenuhi oleh kota. Misalnya seperti layanan kesehatan yang baik dan memadai, jaringan jalan yang nyaman dan bebas macet, layanan pendidikan (sekolah) yang terjangkau/dekat dengan permukiman warga, dan lain-lain.

Untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut maka kemudian muncullah istilah smart city yang erat kaitannya dengan modernisasi, yang diharapkan dapat menjadi solusi dari permasalahan-permasalahan yang ada. Disatu sisi, modernisasi tentu membawa dampak positif yang nyata dalam kehidupan masyarakat kota. Seperti pelayanan perizinan yang cepat dan tidak susah, dan lain-lain. Namun, disisi lain istilah modernisasi juga dapat menimbulkan masalah baru. Contoh yang seringkali terjadi adalah pembangunan infrastuktur yang justru cenderung lebih menguntungkan sebagian golongan saja. Melihat kawasan perkotaan dewasa ini selalu penuh dengan mall-mall besar atau toko-toko waralaba (Indomaret, Alfamart, dan sebagainya) di sepanjang jalan maupun di sudut-sudut perkotaan yang sekilas ditilik tampak indah dan glamor namun disisi lain justru berdampak pada terpinggirkannya pedagang-pedagang kecil di pasar-pasar tradisional atau di kios-kios. Padahal, sebagaimana yang tercantum dalam Piagam Dunia tentang Hak Atas Kota (Right to the City) pasal II tentang Prinsip dan Landasan Strategis dari Hak atas Kota, kota seharusnya melakukan realisasi proyek dan investasi untuk  kepentingan masyarakat perkotaan secara keseluruhan, dalam kriteria yang secara distributif merata, komplementaritas ekonomi, menghargai budaya, dan keberlanjutan ekologi untuk menjamin kesejahteraan semua penduduknya.

Akan tetapi, barangkali banyak pula yang berpikiran bahwa tidak dapat dikatakan bahwa pembangunan mall-mall besar dan toko-toko waralaba-lah yang membuat pedagang-pedagang kecil semakin ditinggalkan. Namun, justru karena para pedagang inilah yang tidak siap menghadapi arus jaman dan cenderung stagnan atau tidak berkreasi dalam memasarkan produk-produk ataupun barang dagangannya yang lambat laun menyebabkan mereka kalah bersaing dan semakin tersisih dari dunia usaha yang semakin kompleks.

Disatu sisi, pernyataan semacam itu memang ada benarnya, tapi tentu saja pernyataan semacam itu tidak serta merta dapat menyelesaikan masalah. Sejatinya, pemegang kebijakan dapat membuat kebijakan yang dapat menguntungkan semua pihak mengenai permasalahan ini. Daripada membangun mall-mall besar dan memberikan banyak  izin usaha kepada toko-toko waralaba, barangkali akan lebih baik jika kebijakan yang diambil adalah dengan memodernisasi pasar-pasar tradisional, baik secara fisik dengan membangun bangunan pasar yang lebih bagus dan nyaman, maupun secara non-fisik dengan memberikan sosialiasi/pelatihan kepada para pedagang mengenai pentingnya melayani pelanggan dengan baik ataupun menjaga kebersihan lapak. Dengan begitu, kiranya kota akan lebih inklusif bagi semua golongan karena warga-warga atau para pedagang kecil lebih terberdayakan dan bukannya tersisihkan dari kehidupan perkotaan.

Memang, hal ini sudah dilakukan di beberapa kota di Indonesia. Akan tetapi, pertumbuhannya kalah cepat dengan menjamurnya mall-mall besar atau toko-toko waralaba. Oleh karena itu, mestinya harus ada guidance/peraturan yang jelas dengan pengimplementasian yang konsisten untuk menjaga kota agar menjadi rumah yang nyaman dan adil bagi seluruh warganya, sesuai dengan dasar negara: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.


*Penulis adalah Kepala Divisi Pendidikan LPPMD Unpad Periode 2015-2016, ia sedang menjalani studi di Sosiologi Unpad