Oleh:
Annadi M. Alkaf*
Menurut Max
Weber, Kota adalah suatu tempat yang penduduknya dapat memenuhi sebagian besar
kebutuhan ekonominya di pasar lokal. Ciri kota adalah adanya pasar sebagai
benteng serta mempunyai sistem hukum tersendiri dan bersifat kosmopolitan.
Berbicara
mengenai kota tentu tidak terlepas dari manusia yang ada didalamnya atau dengan
kata lain dapat disebut sebagai warga kota. Yang berarti juga bahwa persoalan
kota berkaitan erat dengan populasi penduduknya. Pontoh & Kustiwan (2009),
menyatakan bahwa antara tahun 1950-1990 populasi penduduk perkotaan meningkat
lebih dari 200%, dari 730 juta jiwa menjadi 2,3 miliar jiwa. Kemudian, antara
tahun 1990-2020 diperkirakan meningkat menjadi 4,6 miliar jiwa.
Peningkatan
populasi penduduk perkotaan inilah yang kemudian memunculkan berbagai
macam persoalan yang semakin beragam di kawasan perkotaan. Hal ini dikarenakan
populasi yang besar dengan tingkat heterogenitas individu yang tinggi memicu
munculnya lebih banyak kebutuhan yang harus dapat dipenuhi oleh kota. Misalnya
seperti layanan kesehatan yang baik dan memadai, jaringan jalan yang nyaman dan
bebas macet, layanan pendidikan (sekolah) yang terjangkau/dekat dengan
permukiman warga, dan lain-lain.
Untuk menjawab
tantangan-tantangan tersebut maka kemudian muncullah istilah smart city yang
erat kaitannya dengan modernisasi, yang diharapkan dapat menjadi solusi dari
permasalahan-permasalahan yang ada. Disatu sisi, modernisasi tentu membawa
dampak positif yang nyata dalam kehidupan masyarakat kota. Seperti pelayanan
perizinan yang cepat dan tidak susah, dan lain-lain. Namun, disisi lain istilah
modernisasi juga dapat menimbulkan masalah baru. Contoh yang seringkali terjadi
adalah pembangunan infrastuktur yang justru cenderung lebih menguntungkan
sebagian golongan saja. Melihat kawasan perkotaan dewasa ini selalu penuh
dengan mall-mall besar atau toko-toko waralaba (Indomaret, Alfamart, dan
sebagainya) di sepanjang jalan maupun di sudut-sudut perkotaan yang sekilas
ditilik tampak indah dan glamor namun disisi lain justru berdampak pada
terpinggirkannya pedagang-pedagang kecil di pasar-pasar tradisional atau di
kios-kios. Padahal, sebagaimana yang tercantum dalam Piagam Dunia tentang Hak
Atas Kota (Right to the City) pasal II tentang Prinsip dan Landasan
Strategis dari Hak atas Kota, kota seharusnya melakukan realisasi proyek dan
investasi untuk kepentingan masyarakat perkotaan secara keseluruhan,
dalam kriteria yang secara distributif merata, komplementaritas ekonomi,
menghargai budaya, dan keberlanjutan ekologi untuk menjamin kesejahteraan semua
penduduknya.
Akan tetapi,
barangkali banyak pula yang berpikiran bahwa tidak dapat dikatakan bahwa
pembangunan mall-mall besar dan toko-toko waralaba-lah yang membuat
pedagang-pedagang kecil semakin ditinggalkan. Namun, justru karena para
pedagang inilah yang tidak siap menghadapi arus jaman dan cenderung stagnan
atau tidak berkreasi dalam memasarkan produk-produk ataupun barang dagangannya
yang lambat laun menyebabkan mereka kalah bersaing dan semakin tersisih dari
dunia usaha yang semakin kompleks.
Disatu sisi,
pernyataan semacam itu memang ada benarnya, tapi tentu saja pernyataan semacam
itu tidak serta merta dapat menyelesaikan masalah. Sejatinya, pemegang
kebijakan dapat membuat kebijakan yang dapat menguntungkan semua pihak mengenai
permasalahan ini. Daripada membangun mall-mall besar dan memberikan banyak izin
usaha kepada toko-toko waralaba, barangkali akan lebih baik jika kebijakan yang
diambil adalah dengan memodernisasi pasar-pasar tradisional, baik secara fisik
dengan membangun bangunan pasar yang lebih bagus dan nyaman, maupun secara
non-fisik dengan memberikan sosialiasi/pelatihan kepada para pedagang mengenai
pentingnya melayani pelanggan dengan baik ataupun menjaga kebersihan lapak.
Dengan begitu, kiranya kota akan lebih inklusif bagi semua golongan karena
warga-warga atau para pedagang kecil lebih terberdayakan dan bukannya
tersisihkan dari kehidupan perkotaan.
Memang, hal ini
sudah dilakukan di beberapa kota di Indonesia. Akan tetapi, pertumbuhannya
kalah cepat dengan menjamurnya mall-mall besar atau toko-toko waralaba. Oleh
karena itu, mestinya harus ada guidance/peraturan yang jelas dengan
pengimplementasian yang konsisten untuk menjaga kota agar menjadi rumah yang
nyaman dan adil bagi seluruh warganya, sesuai dengan dasar negara: Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
*Penulis adalah Kepala Divisi
Pendidikan LPPMD Unpad Periode 2015-2016, ia sedang menjalani studi di
Sosiologi Unpad