Agustus 2015 - LPPMD Unpad

Senin, 17 Agustus 2015

70 Tahun Merdeka: Apakah Kita Sudah Benar-benar Merdeka?
Oleh: Ucu Feni (Mahasiswi Ilmu Sejarah Unpad 2014, kader LPPMD Unpad)



Setiap tahun bangsa Indonesia merayakan hari kemerdekaannya. Secara seremonial, perayaan akan hari lahirnya bangsa ini bersifat megah dan meriah. Semua yang merayakan terlihat benar-benar mengisi hari kemerdekaan dengan berbagai cara. Peringatan hari kemerdekaan tak banyak berubah dari sejak peringatannya di tahun pertama. Di hari agung tersebut, upacara bendera yang dilakukan di berbagai tingkat selalu menjadi salah satu simbol penegas bahwa hal itu merupakan simbol yang mewakili perayaan kemerdekaan. Setelah upacara selesai, biasanya setiap karang taruna telah mengatur kegiatan perlombaan yang bermaksud menyemarakkan hari kemerdekaan. Lantas setelah satu hari penuh hari kemerdekaan dirayakan oleh hampir seluruh warga negara, apa yang terjadi esok harinya? Semua berjalan seperti biasanya, masing-masing individu kembali pada aktivitas hariannya. Peringatan yang meriah hanya berlangsung satu hari saja. Setelah itu, semua kepala dituntun pada pemikiran: apakah kita sudah benar-benar merdeka?
Pertanyaan di atas masih menggelayuti kepala-kepala yang tak bosan dan tak lelah berpikir. Pertanyaan ini telah tercetuskan semenjak awal-awal kemerdekaan, banyak tangan yang mencoba menjatuhkan kembali republik yang baru berdiri ini. Hal ini sangat wajar, mengingat Indonesia diuntungkan oleh momen kekosongan kekuasaan sehingga dapat mendeklarasikan kemerdekaannya. Namun, pihak Sekutu—terutama Belanda—tak mau mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia dan terus melakukan intervensi hingga tahun 1949 melalui Perjanjian Konferensi Meja Bundar. Konferensi Meja Bundar (KMB) merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh Belanda untuk merebut Papua Barat dari tangan pemerintah Republik Indonesia. Pencaplokan sebagian wilayah Indonesia ini menunjukkan betapa Indonesia merupakan sebuah negeri yang luas.
Tentulah Indonesia mampu menjadi bangsa yang kuat bila ke seluruh elemen di dalamnya mampu bersatu padu. Bila kekuatan seperti ini tercipta, maka kekuatan asing tak akan mampu mengintervensi lebih jauh lagi. Upaya untuk menjatuhkan Indonesia muda berhasil ditangani dengan baik, berkat kegigihan para pendiri bangsa dalam mempertahankan keutuhan wilayahnya.
Di tahun-tahun berikutnya, intervensi dari pihak luar terus berdesakkan masuk secara perlahan dan meningkat. Di sepuluh tahun usia kemerdekaannya, Indonesia masih “mencari-cari” bentuk pemerintahan yang dibutuhkan oleh negara yang tidak kecil ini. Dunia perpolitikan Indonesia mulai memanas. Indonesia memasuki babak cobaan untuk usianya yang masih seumur jagung melalui perlawanan yang dilakukan oleh sebangsanya sendiri. Banyak pemberontakan yang terjadi yang berpotensi menggoyahkan stabilitas serta keamanan dalam negeri. Pemberontakan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1948 merupakan ujian pertama dalam usia kemerdekaan yang masih sangat muda, yaitu tiga tahun. Sementara itu, bangsa Indonesia mulai harus menerima kondisi pailit akibat krisis moneter yang gagal dibendung oleh pemerintahan Sukarno.
Pemberontakan kembali dilakukan oleh PKI pada tahun 1965. Penumpasan yang dilakukan oleh Angkatan Darat pada 1966 merupakan babak penutup eksistensi PKI di Indonesia. Pemberontakan yang dilakukan pribumi mulai dapat diredam dengan baik selama Suharto berkuasa. Ketika Suharto berkuasa selama 32 tahun—yang mana menyalahi aturan—bangsa Indonesia kembali mempertanyakan kemerdekaannya. Kemerdekaan untuk berkumpul, berserikat, serta mengemukakan pendapat merupakan kemerdekaan yang dicurangi pada masa Suharto.
Gejolak yang tertahan selama 32 tahun tersebut akhirnya pecah dan membuncah dalam sebuah gerakan massa yang berhasil menggulingkan otoritas rezim Suharto. Lengsernya Suharto rupanya hanya memberikan kepuasan dan kelegaan bagi sebagian masyarakat: mahasiswa dan politisi. Banyak masyarakat kecil yang telah merasa dimakmurkan oleh kebijakan ekonomi Suharto, merasa rindu dengan banyak kemudahan akan kesejahteraan yang pernah mereka dapatkan. Masyarakat kecil yang pengetahuannya terbatas pada bagaimana cara melanjutkan hidup esok hari kebanyakan tak mengerti dan tak mengetahui permainan yang berlangsung di balik layar semasa pemerintahan Suharto.
Selepas Suharto turun, bangsa Indonesia langsung dihadapkan pada utang luar negeri yang jumlahnya begitu besar hingga terus menumpuk bersama utang-utang lainnya hingga hari ini. Pada 1998 di masa krisis ekonomi, Suharto melakukan perjanjian dengan International Moneter Fund (IMF) yang menuntun bangsa Indonesia pada perkancahan pasar dunia. Utang yang dilakukan pada masa itu membuat Indonesia tunduk dan terikat pada setiap kebijakan yang dilakukan oleh IMF, salah satunya mengenai penempatan modal asing dalam perekonomian Indonesia. Permasalahan ekonomi merupakan salah satu sektor yang menimbulkan pertanyaan tentang hakikat kemerdekaan kita. Betulkah kita sudah benar-benar merdeka? Permasalahan ekonomi yang beragam saat ini begitu mencekik rakyat Indonesia, semua permasalahan ini merupakan sebab-akibat dari jumlah utang luar negeri. Besarnya jumlah utang per 2015, menyebabkan seperti dikutip dari CNN Indonesia, total utang pemerintah pusat berdasarkan statistik Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan akan mencapai 2.864 triliun pada penghujung tahun ini.
Sekitar 76 persen dari total utang atau sebesar Rp. 2.171 triliun, berasal dari lelang surat berharga negara atau obligasi di pasar uang. Sementara sisanya sebesar Rp. 693 triliun atau sekitar 24 persen bersumber dari pinjaman dari kredit tur domestik maupun asing. Total utang tersebut merupakan akumulasi dari upaya pemerintah mencari pembiayaan pembangunan sejak negeri ini merdeka, 70 tahun lalu. Hampir semua rezim yang berkuasa punya andil terhadap pembengkakan hutang Indonesia. hampir setiap tahun utang Indonesia membengkak, di mana dalam lima tahun terakhir rata-rata bertambah lebih dari Rp. 230 triliun.
Dikutip dari situs resmi DJPPR pada Senin (17/8), komposisi penerbitan obligasi negara dari hari ke hari semakin mendominasi dan menggerus porsi utang pinjaman. Sebagai catatan, pada 2010 porsi pinjaman itu sebesar 37 persen, sedangkan lelang obligasi negara mencapai 63 persen. Angka pinjaman terus menyusut, sebaliknya penarikan pembiayaan dari pasar obligasi terus meningkat. Berdasarkan perhitungan DJPPR per 30 Juni 2015, utang jatuh tempo pemerintah pada tahun ini sebesar Rp 102 triliun, di mana 67 persen (68 triliun) merupakan jatuh tempo obligasi negara dan 33 persen (34 triliun) merupakan pinjaman yang masuk jadwal pembayaran.
 Kementerian keuangan melalui DJPPR, bahkan telah membuat simulasi utang jatuh tempo Indonesia hingga tahun 2054 atau sampai 39 tahun ke depan. Ledakan terbesar bom utang Indonesia diprediksi akan terjadi dalam 9 tahun mendatang atau pada 2024, di mana nilai utang yang harus dibayar pemerintah pada saat itu akan mencapai Rp 240 triliun. Pada tahun depan (2016) dan 2019 nilai utang jatuh tempo pemerintah Indonesia juga tergolong signifikan, yakni diperkirakan masing-masing mencapai Rp 207 triliun dan 219 triliun.
Membengkaknya utang Indonesia hingga usia kemerdekaan ke-70 menunjukkan bahwa sebetulnya hakikat kemerdekaan itu masih belum dapat dirasakan. Kesulitan dan berbagai permasalahan yang dialami oleh rakyat Indonesia membuktikan bahwa kata merdeka yang gembor diteriakkan pada setiap peringatan kemerdekaan tak lebihnya sebuah slogan belaka. Di balik semua kehebohan dan kemeriahan pesta peringatan kemerdekaan, Indonesia sedang menyimpan banyak permasalahan bangsa yang kian bertambah seiring kebijakan yang dibawa oleh para pemimpin yang baru. Permasalahan ekonomi termasuk permasalahan yang krusial karena berdampak langsung pada hajat hidup orang banyak. Bila pemerintahan yang sekarang tak mampu menyelesaikan permasalahan yang ditinggalkan para pemimpin terdahulu (dosa turunan), maka bangsa ini akan tetap dalam kemerdekaan yang semu entah sampai kapan. Terlebih seperti yang telah dapat diprediksikan, bila kebijakan ekonomi dalam pembangunan tidak diambil, maka utang Indonesia akan terus meroket dan dapat diprediksi pula bagaimana kiranya kondisi bangsa ini ketika utang-utang tersebut kian mencekik.
Kondisi perekonomian Indonesia saat ini boleh disebut sebagai salah satu contoh yang menuntun kita pada pertanyaan: apakah kita sudah benar-benar merdeka? Kemandirian dalam perekonomian Indonesia sudah tak terlihat lagi. Ekonomi berdikari tak lebih hanya gagasan usang yang memang untuk saat ini rasanya sulit untuk diwujudkan. Utang dan perjanjian yang telah dijalin puluhan tahun yang lalu membuat Indonesia terjebak dalam situasi terpuruk ini. Akan tetapi, bukan berarti bangsa Indonesia lantas tak bisa berkutik dan berhenti di titik keterpurukan ini. Diperlukan pemimpin yang mampu menyelesaikan semua permasalahan ini secara bijaksana. Pemimpin yang mampu disegani sehingga tidak akan dicurangi oleh bawahan sendiri. Di samping itu, individu Indonesia pun harus terbuka mulai dari pikiran, berani untuk menemukan identitasnya sehingga tidak takut untuk berdiri sendiri.
Indonesia masih belum merdeka bagi orang-orang yang melihat bentuk-bentuk penjajahan halus dan terselubung yang dilakukan asing untuk kembali mengintervensi bangsa ini. Penjajahan yang tidak akan bisa dilawan oleh orang yang belum memiliki kesadaran. Bangsa ini akan langsung berontak bila ditodong senjata, akan tetapi bila disodori kesenangan, maka akan teralihkan dan tidak menyadari apa yang sesungguhnya terjadi. Seperti halnya dulu, ketika upaya peraihan kemerdekaan Indonesia dilakukan, bangsa Indonesia perlu melakukan upaya dengan semangat yang sama namun dengan cara yang menyesuaikan dengan jiwa zamannya (zeitgeist). Untuk mampu bersatu dan melawan semua bentuk penjajahan ini, diperlukan kepala yang berpikir dengan benar dan telah terhindar dari penjajahan akali pula.[]