Oleh: Ucu Feni (Mahasiswi Ilmu Sejarah Unpad 2014, kader LPPMD Unpad)
Setiap
tahun bangsa Indonesia merayakan hari kemerdekaannya. Secara seremonial,
perayaan akan hari lahirnya bangsa ini bersifat megah dan meriah. Semua yang
merayakan terlihat benar-benar mengisi hari kemerdekaan dengan berbagai cara. Peringatan
hari kemerdekaan tak banyak berubah dari sejak peringatannya di tahun pertama.
Di hari agung tersebut, upacara bendera yang dilakukan di berbagai tingkat selalu
menjadi salah satu simbol penegas bahwa hal itu merupakan simbol yang mewakili
perayaan kemerdekaan. Setelah upacara selesai, biasanya setiap karang taruna
telah mengatur kegiatan perlombaan yang bermaksud menyemarakkan hari kemerdekaan.
Lantas setelah satu hari penuh hari kemerdekaan dirayakan oleh hampir seluruh
warga negara, apa yang terjadi esok harinya? Semua berjalan seperti biasanya, masing-masing
individu kembali pada aktivitas hariannya. Peringatan yang meriah hanya
berlangsung satu hari saja. Setelah itu, semua kepala dituntun pada pemikiran: apakah kita sudah benar-benar merdeka?
Pertanyaan
di atas masih menggelayuti kepala-kepala yang tak bosan dan tak lelah berpikir.
Pertanyaan ini telah tercetuskan semenjak awal-awal kemerdekaan, banyak tangan
yang mencoba menjatuhkan kembali republik yang baru berdiri ini. Hal ini sangat
wajar, mengingat Indonesia diuntungkan oleh momen kekosongan kekuasaan sehingga
dapat mendeklarasikan kemerdekaannya. Namun, pihak Sekutu—terutama Belanda—tak
mau mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia dan terus melakukan intervensi hingga
tahun 1949 melalui Perjanjian Konferensi Meja Bundar. Konferensi Meja Bundar
(KMB) merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh Belanda untuk merebut
Papua Barat dari tangan pemerintah Republik Indonesia. Pencaplokan sebagian
wilayah Indonesia ini menunjukkan betapa Indonesia merupakan sebuah negeri yang
luas.
Tentulah
Indonesia mampu menjadi bangsa yang kuat bila ke seluruh elemen di dalamnya
mampu bersatu padu. Bila kekuatan seperti ini tercipta, maka kekuatan asing tak
akan mampu mengintervensi lebih jauh lagi. Upaya untuk menjatuhkan Indonesia
muda berhasil ditangani dengan baik, berkat kegigihan para pendiri bangsa dalam
mempertahankan keutuhan wilayahnya.
Di
tahun-tahun berikutnya, intervensi dari pihak luar terus berdesakkan masuk
secara perlahan dan meningkat. Di sepuluh tahun usia kemerdekaannya, Indonesia
masih “mencari-cari” bentuk pemerintahan yang dibutuhkan oleh negara yang tidak
kecil ini. Dunia perpolitikan Indonesia mulai memanas. Indonesia memasuki babak
cobaan untuk usianya yang masih seumur jagung melalui perlawanan yang dilakukan
oleh sebangsanya sendiri. Banyak pemberontakan yang terjadi yang berpotensi
menggoyahkan stabilitas serta keamanan dalam negeri. Pemberontakan yang
dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1948 merupakan ujian pertama
dalam usia kemerdekaan yang masih sangat muda, yaitu tiga tahun. Sementara itu,
bangsa Indonesia mulai harus menerima kondisi pailit akibat krisis moneter yang
gagal dibendung oleh pemerintahan Sukarno.
Pemberontakan
kembali dilakukan oleh PKI pada tahun 1965. Penumpasan yang dilakukan oleh
Angkatan Darat pada 1966 merupakan babak penutup eksistensi PKI di Indonesia.
Pemberontakan yang dilakukan pribumi mulai dapat diredam dengan baik selama Suharto
berkuasa. Ketika Suharto berkuasa selama 32 tahun—yang mana menyalahi aturan—bangsa
Indonesia kembali mempertanyakan kemerdekaannya. Kemerdekaan untuk berkumpul,
berserikat, serta mengemukakan pendapat merupakan kemerdekaan yang dicurangi
pada masa Suharto.
Gejolak
yang tertahan selama 32 tahun tersebut akhirnya pecah dan membuncah dalam sebuah
gerakan massa yang berhasil menggulingkan otoritas rezim Suharto. Lengsernya
Suharto rupanya hanya memberikan kepuasan dan kelegaan bagi sebagian
masyarakat: mahasiswa dan politisi. Banyak masyarakat kecil yang telah merasa
dimakmurkan oleh kebijakan ekonomi Suharto, merasa rindu dengan banyak kemudahan
akan kesejahteraan yang pernah mereka dapatkan. Masyarakat kecil yang
pengetahuannya terbatas pada bagaimana cara melanjutkan hidup esok hari
kebanyakan tak mengerti dan tak mengetahui permainan yang berlangsung di balik
layar semasa pemerintahan Suharto.
Selepas
Suharto turun, bangsa Indonesia langsung dihadapkan pada utang luar negeri yang
jumlahnya begitu besar hingga terus menumpuk bersama utang-utang lainnya hingga
hari ini. Pada 1998 di masa krisis ekonomi, Suharto melakukan perjanjian dengan
International Moneter Fund (IMF) yang
menuntun bangsa Indonesia pada perkancahan pasar dunia. Utang yang dilakukan
pada masa itu membuat Indonesia tunduk dan terikat pada setiap kebijakan yang
dilakukan oleh IMF, salah satunya mengenai penempatan modal asing dalam
perekonomian Indonesia. Permasalahan ekonomi merupakan salah satu sektor yang menimbulkan
pertanyaan tentang hakikat kemerdekaan kita. Betulkah kita sudah benar-benar
merdeka? Permasalahan ekonomi yang beragam saat ini begitu mencekik rakyat
Indonesia, semua permasalahan ini merupakan sebab-akibat dari jumlah utang luar
negeri. Besarnya jumlah utang per 2015, menyebabkan seperti dikutip dari CNN
Indonesia, total utang pemerintah pusat berdasarkan statistik Direktorat
Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan akan
mencapai 2.864 triliun pada penghujung tahun ini.
Sekitar
76 persen dari total utang atau sebesar Rp. 2.171 triliun, berasal dari lelang
surat berharga negara atau obligasi di pasar uang. Sementara sisanya sebesar
Rp. 693 triliun atau sekitar 24 persen bersumber dari pinjaman dari kredit tur
domestik maupun asing. Total utang tersebut merupakan akumulasi dari upaya pemerintah
mencari pembiayaan pembangunan sejak negeri ini merdeka, 70 tahun lalu. Hampir
semua rezim yang berkuasa punya andil terhadap pembengkakan hutang Indonesia.
hampir setiap tahun utang Indonesia membengkak, di mana dalam lima tahun
terakhir rata-rata bertambah lebih dari Rp. 230 triliun.
Dikutip
dari situs resmi DJPPR pada Senin (17/8), komposisi penerbitan obligasi negara
dari hari ke hari semakin mendominasi dan menggerus porsi utang pinjaman.
Sebagai catatan, pada 2010 porsi pinjaman itu sebesar 37 persen, sedangkan
lelang obligasi negara mencapai 63 persen. Angka pinjaman terus menyusut,
sebaliknya penarikan pembiayaan dari pasar obligasi terus meningkat.
Berdasarkan perhitungan DJPPR per 30 Juni 2015, utang jatuh tempo pemerintah
pada tahun ini sebesar Rp 102 triliun, di mana 67 persen (68 triliun) merupakan
jatuh tempo obligasi negara dan 33 persen (34 triliun) merupakan pinjaman yang
masuk jadwal pembayaran.
Kementerian keuangan melalui DJPPR, bahkan
telah membuat simulasi utang jatuh tempo Indonesia hingga tahun 2054 atau sampai
39 tahun ke depan. Ledakan terbesar bom utang Indonesia diprediksi akan terjadi
dalam 9 tahun mendatang atau pada 2024, di mana nilai utang yang harus dibayar pemerintah
pada saat itu akan mencapai Rp 240 triliun. Pada tahun depan (2016) dan 2019
nilai utang jatuh tempo pemerintah Indonesia juga tergolong signifikan, yakni
diperkirakan masing-masing mencapai Rp 207 triliun dan 219 triliun.
Membengkaknya
utang Indonesia hingga usia kemerdekaan ke-70 menunjukkan bahwa sebetulnya
hakikat kemerdekaan itu masih belum dapat dirasakan. Kesulitan dan berbagai
permasalahan yang dialami oleh rakyat Indonesia membuktikan bahwa kata merdeka
yang gembor diteriakkan pada setiap peringatan kemerdekaan tak lebihnya sebuah slogan
belaka. Di balik semua kehebohan dan kemeriahan pesta peringatan kemerdekaan,
Indonesia sedang menyimpan banyak permasalahan bangsa yang kian bertambah
seiring kebijakan yang dibawa oleh para pemimpin yang baru. Permasalahan ekonomi
termasuk permasalahan yang krusial karena berdampak langsung pada hajat hidup
orang banyak. Bila pemerintahan yang sekarang tak mampu menyelesaikan
permasalahan yang ditinggalkan para pemimpin terdahulu (dosa turunan), maka
bangsa ini akan tetap dalam kemerdekaan yang semu entah sampai kapan. Terlebih seperti
yang telah dapat diprediksikan, bila kebijakan ekonomi dalam pembangunan tidak
diambil, maka utang Indonesia akan terus meroket dan dapat diprediksi pula
bagaimana kiranya kondisi bangsa ini ketika utang-utang tersebut kian mencekik.
Kondisi
perekonomian Indonesia saat ini boleh disebut sebagai salah satu contoh yang
menuntun kita pada pertanyaan: apakah kita sudah benar-benar merdeka?
Kemandirian dalam perekonomian Indonesia sudah tak terlihat lagi. Ekonomi
berdikari tak lebih hanya gagasan usang yang memang untuk saat ini rasanya sulit
untuk diwujudkan. Utang dan perjanjian yang telah dijalin puluhan tahun yang
lalu membuat Indonesia terjebak dalam situasi terpuruk ini. Akan tetapi, bukan berarti
bangsa Indonesia lantas tak bisa berkutik dan berhenti di titik keterpurukan
ini. Diperlukan pemimpin yang mampu menyelesaikan semua permasalahan ini secara
bijaksana. Pemimpin yang mampu disegani sehingga tidak akan dicurangi oleh
bawahan sendiri. Di samping itu, individu Indonesia pun harus terbuka mulai
dari pikiran, berani untuk menemukan identitasnya sehingga tidak takut untuk
berdiri sendiri.
Indonesia
masih belum merdeka bagi orang-orang yang melihat bentuk-bentuk penjajahan
halus dan terselubung yang dilakukan asing untuk kembali mengintervensi bangsa ini.
Penjajahan yang tidak akan bisa dilawan oleh orang yang belum memiliki
kesadaran. Bangsa ini akan langsung berontak bila ditodong senjata, akan tetapi
bila disodori kesenangan, maka akan teralihkan dan tidak menyadari apa yang sesungguhnya
terjadi. Seperti halnya dulu, ketika upaya peraihan kemerdekaan Indonesia
dilakukan, bangsa Indonesia perlu melakukan upaya dengan semangat yang sama
namun dengan cara yang menyesuaikan dengan jiwa zamannya (zeitgeist). Untuk mampu bersatu dan melawan semua bentuk penjajahan
ini, diperlukan kepala yang berpikir dengan benar dan telah terhindar dari
penjajahan akali pula.[]