Agustus 2018 - LPPMD Unpad

Rabu, 29 Agustus 2018

Ospek: Kaderisasi atau Dehumanisasi?

Oleh: Muhammad Fakhri

Oleh: M. Ridwan
"The great humanistic and historical task of the opressed:
to liberate themselves and their oprressor as well.
The Opressors, who oppress, exploit, and rape by virtue of their power,
cannot find in this power the strength to liberate either the oppresed or
themselves". 
-Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1971)


Perkenalan adalah kata sederhana dalam rutinitas sehari-hari. Tetapi ia menjadi berbeda ketika dihubungkan dengan suatu institusi pendidikan tinggi: kampus. Kita mengenalnya dengan sebutan Ospek (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus). Dalam Ospek, perkenalan tidak hanya berjabat tangan, mengucap sapa, saling bercakap-cakap untuk mengenal lingkungan sekitar. Saat memasuki kampus, mahasiswa baru akan dikenalkan dengan lingkungan sekitarnya yang tidak sedikit, beragam, dan tidak jarang juga sulit dikenali. Sebab, Lingkungan kampus tidak hanya terdiri dari infrastruktur fisik, seperti gedung, perpustakaan, masjid, dll, tetapi juga dipenuhi oleh berbagai macam mahasiswa yang latar belakang berbeda-beda. Selain itu, kampus memiliki sistem pembelajaran, sistem birokrasi, dan budaya akademiknya sendiri. Jika diturunkan lagi, kampus memiliki unit-unit kecil di bawahnya yang memiliki otonomi tersendiri seperti fakultas dan jurusan. Pada tahap ini, fakultas dan jurusan juga merasa berkepentingan untuk mengenalkan nilai-nilainya sendiri. 

 Di sisi lain, mahasiswa juga mempunyai organisasi intra kampus yang menjadi wadah untuk melakukan berbagai kegiatan, sebut saja BEM, BPM, HIMA, UKM, dll. Maka, organisasi ini pun juga mempunyai irisan kepentingan untuk memperkenalkan nilai-nilainya sendiri. Ditambah lagi, organisasi memerlukan kader-kader baru untuk melanjutkan jalannya organisasi dari waktu ke waktu. Maka, pada titik ini, ada kepentingan ganda yang menyelinap dalam Ospek. Yang pertama ialah kepentingan untuk mengenalkan kehidupan dan lingkungan kampus beserta turunannya. Kedua ialah kepentingan organ intra mahasiswa untuk mendapatkan kader-kader baru demi keberlanjutan organisasi tersebut. Kedua hal ini sering kali tercampur baur, sehingga sulit dideteksi pangkal dan ujungnya.

 Jika kita berhenti sejenak pada kepentingan pertama, maka kita sebetulnya tidak akan menemukan problem berarti dalam Ospek. Sebab, kegiatan yang berhubungan dengan pengenalan pada dasarnya tidaklah rumit. Mahasiswa pertama dikenalkan dengan lingkungan sosialnya: teman seangkatan, kakak tingkat, dosen, staff, dan civitas akademika lainnya. Kedua, mahasiswa juga akan dikenalkan dengan berbagai aktivitas, kegiatan, dan organisasi yang ada di kampus. Ketiga, mahasiswa akan diperkenalkan dengan berbagai macam infrastruktur yang ada: gedung, perpustakaan, masjid, dll. Dalam hal ini, Ospek pada tingkat Universitas setidaknya dapat memenuhi kriteria tersebut. Sebab, dalam konteks Ospek di Kampus Indonesia, Ospek pada tingkat universitas sebenarnya tidak hanya soal pengenalan, tetapi juga eksistensi, kebanggaan, dan prestis. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika acaranya akan dibuat semegah, sebesar, dan semeriah mungkin demi menunjukkan tidak hanya kepada mahasiswa baru betapa besarnya kampusnya, tetapi juga ditujukan kepada publik yang menyaksikan yang biasanya dibagikan di media sosial kampus tersebut.

 Masalah akan mulai muncul ketika kepentingan kedua mulai menyelinap di dalam kegiatan Ospek, yaitu kaderisasi. Kaderisasi menjadi justifikasi tindakan-tindakan yang dalam kerangka Freire disebut sebagai dehumanisasi. Tulisan ini akan mencoba memproblematisir kaderisasi yang memiliki arwah dehumanisasi. Tulisan ini mengggunakan perspektif pendidikan kritis untuk mengungkap fenomena penindasan dalam kaderisasi yang dipayungi oleh kegiatan Ospek. 

 Berbicara mengenai kaderisasi, setidaknya kita dapat menyederhanakannya sebagai proses untuk menciptakan kader. Kader berguna untuk melanjutkan jalannya organisasi. Untuk itu, tiap organisasi memiliki kepentingan untuk 'menciptakan' kader yang handal. Dalam proses 'menciptakan' kader inilah, para pemangku organisasi bersama dengan panitianya mengadakan pendidikan pengkaderan. Berbagai cara diusahakan untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Proses pengkaderan selama ini selalu dianggap sebagai sesuatu yang diterima begitu saja: hal yang diulang dari tahun ke tahun. Hal ini diakibatkan karena pendidikan dalam pengkaderan pada dasarnya merupakan cermin kecil dari salah satu roh dalam praktik pendidikan Indonesia. Dan Ospek menjadi arena pertama bagi mahasiswa baru untuk mengulangi kembali pendidikan dehumanistik di kampus, sebelum kemungkinan besar akan mengalaminya kembali di dalam kelas.

 Di samping itu, tulisan ini pada dasarnya tidak sedang mengungkap dan menjelaskan kekerasan (baik fisik dan psikologis) di dalam ospek. Ikhwal ini sudah ditulis dengan sangat apik oleh Aldo Fernando di laman web LPPMD 2014 yang lalu. Walau begitu, tulisan tersebut masih relevan untuk menjelaskan bagaimana ospek menjadi suatu bentuk mitos (dalam analisis Hokheimer dan Adorno) sekaligus ia sebut sebagai bentuk 'ambivelansi' (Fernando, 2014). Tanpa mengabaikan argumen Aldo Fernando, saya bermaksud untuk menunjukkan kritik radikal dari Pendidikan kritis yang masih bersemayam di dalam kaderisasi berkedok Ospek. Bahwa selain kekerasan fisik dan verbal, mahasiswa baru juga tertindas (oppresive) dalam relasi penindas-tertindas yang mendehumanisasi kedua belah pihak. Kebaharuan tulisan ini terletak pada argumen bahwa ospek yang berkedok kaderisasi ini menjadi suatu bentuk penindasan (dehumanisasi) dalam kerangka pendidikan kritis Freirean.

 Apa maksudnya Ospek berkedok Kaderisasi? seperti yang sudah dipaparkan di atas, kepentingan kaderisasi berhimpitan dengan kepentingan pengenalan lingkungan kampus. Dua tujuan berbeda ini akhirnya dicampuradukkan di dalam satu kegiatan yang sama. Akibatnya, kerap kali kegiatan yang dibuat tidak lagi sesuai dengan esensi yang sebenarnya. Indikasi ini semakin menguat ketika berbagai Organ Mahasiswa (Ormawa) mulai menerapkan peraturan bahwa untuk memasuki atau menjadi anggota Ormawa tersebut, maka diperlukan semacam tanda kelulusan dari panitia Ospek yang bersangkutan. Hal ini menunjukkan adanya link and match antara Ospek dan Organ Mahasiswa. Dari indikasi tersebut, tidaklah mengherankan jika berbagai Ormawa menghabiskan waktu dan energi yang tidak sedikit untuk menyiapkan Ospek untuk kaderisasi tersebut.

 Apa itu dehumanisasi? "Dehumanization, which marks not only those whose humanity has been stolen but also (though in a different way) those who have stolen it, is a distortion of the vocation of becoming more fully human", tulis Freire. Maksud Friere, dehumanisasi, yang tidak hanya ditandai dengan dirampasnya kemanusiaan seseorang tetapi juga bagi mereka yang merampasnya, adalah suatu bentuk penyelewengan (distorsi) dari usaha-usaha untuk menjadi manusia seutuhnya. Lalu, apa makna dari manusia seutuhnya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Heschel (1965) dalam Who is Man memaparkan dengan apa yang ia sebut "modus-modus esensial manusia" yang jika diabaikan, maka dehumanisasi akan terjadi. Modus-modus esensial tersebut adalah keberhagaan (preciousness), keunikan (uniqueness), kesempatan (opportunity), tidak pernah final (nonfinality), proses dan peristiwa (events), keheningan (solitude), ketimbalbalikan (reciprocity), dan kekudusan (sanctity). 

 Dalam kerangka pemikiran Freire mengenai pedagogi kaum tertindas, ia membaca bahwa terdapat manifestasi konkrit dari dehumanisasi: kaum penindas dan kaum tertindas. Salah satu elemen utama hubungan antara penindas dan tertindas adalah prescription atau diterjemahkan bebas menjadi 'resep'. Resep ini bertuliskan hal-hal yang mau tidak mau harus dilakukan oleh seseorang guna membentuk kesadaran yang tertindas sesuai dengan kesadaran yang tertindas. Maka, prilaku yang tertindas adalah prilaku yang sudah ditentukan sesuai arahan dari penindas. Kaum tertindas, yang sudah meninternalisasikan gambaran penindas dan mengikuti arahannya, takut akan kebebasan. Kebebasan membutuhkan penolakan atas gambaran gambaran tersebut dan menggantinya dengan otonomi serta tanggungjawab. Di sisi lain, para penindas juga takut kehilangan 'kebebasan' untuk menindas. Jadi, tidak usah kaget lingkaran setan ini sulit diputus, karena kedua belah pihak pada dasarnya SECARA TIDAK SADAR melanggengkan sistem yang ada.

 Pada tataran objektifnya, kondisi di atas terjadi juga pada kondisi kaderisasi di dalam kampus. Pengkader adalah kaum penindas dan (calon) kader adalah kaum tertindas. Pengkader memulai dengan kepentingan egoistiknya--suatu keegoisan yang dibungkus oleh jubah kebaikan yang salah: paternalisme--lalu membuat si kader menjadi objek dari humanitarianisme yang akhirnya melanggengkan penindasan.  Kita mungkin pernah dengar slogan-slogan, "ini demi kebaikan kalian (kader atau mahasiswa baru) semua" dan sebagainya. Ujaran paternalistik seperti ini adalah senjata awal dehumanisasi.

 Pada tahap yang paling ekstrem dimana kontrol penindas semakin besar, maka semakin besar usaha mereka untuk membuat yang tertindas menjadi ('benda') mati. Jika manusia sudah dianggap benda, maka ia akan menjadi objek yang layak menjadi apapun sesuai subjek yang 'memilikinya'. Kekerasan-kekerasan fisik dan mental yang terjadi dapat dijelaskan dengan cara ini. Freire mengutip Erich Fromm dala  The Heart of Man yang mengatakan bahwa kenikmataan dari dominasi atas orang lain (makhluk hidup lain) adalah roh utama dari dorongan sadistik. Dengan kata lain, tujuan dari sadisme adalah usaha mengubah manusia menjad benda, sesuatu yang hidup menjadi sesuatu yang mati. Dengan kontrol absolut tersebut, maka seseorang akan kehilangan satu kualitas pokok kehidupan: kebebasan (Fromm, 1966).

 Untuk semakin memperjelas, Freire mengambarkan karakter lainnya dari kaum tertindas, yaitu self-depreciation atau depresiasi diri. Karakter ini dikendarai dari internalisasi dari opini, ide, dan ujaran dari penindas kepada mereka. Dalam perjalanan kaderisasi Ospek, kamu tidak jarang dilabel sebagai yang tidak tahu, tidak dapat belajar sesuatu, selalu salah, dan lain-lain. Di lain sisi, para pengkader adalah orang tahu, paham, dan mengerti. Maka, dengarkanlah, ikuti, dan jangan membantah.
 Dalam relasi-relasi di atas, Freire mencoba menggambarkan relasi antara guru-siswa yang ia sebut pendidikan gaya bank (banking concept of education). Pendidikan gaya bank ini ini merefekleksikan masyarakat yang ditindas. Freire (1971) mendaftar setidaknya sepuluh praktik pendidikan gaya bank ini:
1. Guru mengajar dan siswa diajar
2. Guru mengetahui segalanya dan siswa tidak tahu apa-apa
3. Guru berpikir dan siswa yang dipikir
4. Guru berbicara dan siswa mendengar
5. Guru menghukum dan siswa dihukum
6. Guru memilih dan melakukan pilihannya, dan siswa menuruti
7. Guru bertindak dan siswa seolah bertindak melalui tindakan guru
8. Guru memilih bahan ajar, dan siswa berdapatsi dan mengikutinya
9. Guru sulit membedakan antar otoritas pengetahuannya dan ortoritas profesinya yang akhirnya membatasi kebebasan siswa
10. Guru adalah sujek dari proses belajar, sementara siswa hanya objek semata.

 Dalam konteks kaderisasi yang berlandaskan pedagogi, praktik-praktik seperti ini juga terjadi antara pengkader dan (calon) kader. Hal ini terjadi karena sejak awal praktik pendidikan di Indonesia masih menempatkan siswa sebagai objek pendidikan. Realitas tersebut terjadi dan diterima bahkan berusaha dilanggengkan begitu saja. Karenanya, ketika mahasiswa melakukan proses pedagogi dalam kaderisasi, tidaklah mengherankan paradigma pendidikan seperti ini masih diterapkan. 

 Para panitia kaderisasi Ospek ketika mendapat kritik atas berbagai hal yang dianggap kurang pas, maka kita akan segera mendapat jawaban: "bagaimana jika tahun depan kamu ubah (ospek) sesuai pandanganmu!". Ujaran ini pada dasarnya selain suatu bentuk sikap anti-kritik, juga dalam kacamata Freire, tindakan seperti ini juga punya andil dalam pelanggengan sistem, alih-alih mengubahnya. Para kader yang sudah masuk ke dalam lingkaran ini sulit sekali bisa mengubah sistem yang ada. Sebab, pada tahap awal perjuangannya, para (calon) penindas ini bukannya berjuang untuk membebaskan, malahan cenderung menjadi penindas atau sub opopressor. Hal ini terjadi karena mekanisme psikologis 'fear of freedom' segera aktif setelah seseorang mulai berjuang untuk kebebasannya. Kebebasannya pada dasarnya tidak hanya diancam oleh penindas, tetapi juga sesama yang tertindas yang takut akan mendapatkan represi yang lebih besar lagi.  

 Lalu, bagaimana melampaui sistem yang seperti ini? Freire menyodorkan satu istilah kunci dari pendidikan kritisnya: conscientizacao. Conscientizacao merujuk pada belajar untuk membaca kontradiksi sosial, politik, dan ekonomi, dan untuk mengambil tindakan melawan realitas yang menindas (Freire, 1971). Bangunnya kesadaran kritis mengantarkan pada ekspresi ketidakpuasaan atas kondisi sosial dengan tepat karena ketidakpuasaan ini adalah komponen nyata dari situasi yang menindas. Kutipan di awal tulisan ini menjadi jawaban juga dari pertanyaan di awal paragraf ini: tugas humanistik dan historis terbesar dari kaum tertindas adalah untuk membebaskan dirinya dan penindasnya juga. Penindas, yang menindas, mengeksploitasi, dan memaksa dengan kekuasannya, tidak dapat menemukan kekuatan untuk membebaskan baik yang tertindas, maupun dirinya. Jadi, tidak usah berharap banyak pada para pengkader yang menganggapmu sebagai objek, bahkan sebagai benda saja. Karena kamu adalah subjek bagi dirimu sendiri, kamu layak untuk mendapatkan kebebasan. Kebebasan untuk berpendapat, besuara, menyatakan pilihan, dan kebebasan untuk tidak mengikuti Ospek!

 Tulisan ini sejak awal ingin menunjukkan bahwa Ospek sudah kehilangan esensi semenjak ia digunakan menjadi kendaraan kaderisasi. Ia tidak hanya menjadi perkenalan lignkungan kampus, tetapi ajang kaderisasi sampai mampus. Kaderisasi jadinya kehilangan roh pedagoginya, malah mengarah kepada demagogi. Waktu Ospek yang tidak terlalu lama tersebut akhirnya harus dibajak untuk mendapatkan kader-kader baru. Pada hakikatnya, kaderisasi adalah kerja-kerja organisasi tanpa henti dengan konsistensi, bukan sebuah event beberapa hari. Dapat dipahami ini bisa terjadi jika paradigma pendidikan dalam kaderisasi masih menganggap manusia tidak punya kehendak diri. Untuk para pelajar (bukan mahasiswa!), lawan penindasan sejak dalam Universitas!


Salam Pembebasan!

Referensi:
Freire, Paulo. (1971). Pedagogy of th Opressed. New York: Continuum.
Fernando, Aldo. Ospek: Sebuah Pencerahan atau Sebuah Ambivalensi. http://lppmdunpad.com/2014/06/ospek-sebuah-pencerahan-atau-sebuah.html?m=1
Heschel, Abraham Joshua. (1965). Who is Man?. Stanford: Stanford University Press.