Juli 2021 - LPPMD Unpad

Rabu, 28 Juli 2021

The Morals of The Market: Sebuah pengantar


 

    

Kita boleh jadi memiliki imajinasi tertentu tentang suatu masyarakat dan nilai-nilainya hingga akhirnya menginginkan adanya kode moral yang bisa diterima dan diikuti semua orang demi imajinasi akan tatanan hidup bersama. Kita memiliki nilai-nilai yang ingin dilindungi dan akhirnya, dimoralisasi melalui wacana dan institusi-institusi sosial yang diwariskan corak kebudayaan, seperti keluarga, agama, dan negara.


Sampai titik tertentu, orang-orang terpaksa harus bertarung tentang cita-cita moral masyarakat yang oleh masing-masing dianggap terbaik dan bisa disepakati untuk mengatur tindakan kolektif hingga ke tingkat individu. Semua pihak yang berkonfrontasi berebut klaim dan argumen untuk menentukan prinsip kode moral yang akan melindungi kepentingannya akan berbagai hak, termasuk hak-hak individu.


Hak asasi manusia (HAM) menjadi isu universal yang dianggap strategis terhadap segala persoalan sosial dan kemanusiaan. Orang-orang menggunakan bahasa HAM untuk menentang privatisasi sumber daya publik. Gerakan akar rumput di mana-mana mengkritisi ketimpangan ekonomi, hak-hak sosial, ekonomi dan budaya, hingga memperjuangkan keadilan sosial melalui HAM. HAM telah menjadi bahasa yang menghubungkan antaraktor politik tingkat lokal hingga internasional. Namun, apakah HAM yang dimaksud dapat kita yakini sebagai semacam atribut metafisik yang kodrati dari manusia? Secara diskursif, HAM tidak memiliki makna tunggal. Ia merupakan salah satu wacana politik yang bergantung pada siapa yang mengartikannya dan dalam konteks apa. Dalam pengamatan Jessica Whyte, politik HAM yang lazim saat ini berkembang dalam periode yang nyaris bersamaan dengan bangkitnya hegemoni neoliberal. Ini menjadi peringatan dari Whyte kepada kita untuk melihat secara bijak dan objektif adanya realitas (ekonomi) yang mendasari bentuk moral universal yang tidak bisa diperlakukan secara taken for granted.


Neoliberalisme saat ini muncul sebagai perkembangan dari prinsip ekonomi klasik yang sudah berkembang sejak abad ke-20. Menurut David Harvey dalam bukunya A Brief History Of Neoliberalism, neoliberalisme adalah paham yang menekankan jaminan atas kemerdekaan dan kebebasan individu melalui pasar bebas, perdagangan bebas, dan penghormatan atas sistem kepemilikan pribadi. Paham ini muncul dengan membatasi peran pemerintah agar mengurangi kemampuan negara dalam menggunakan otoritasnya yang bisa menekan kebebasan individu. Bagi seorang pembela paham neoliberalisme seperti Hayek, pembatasan peran pemerintah ini penting dalam hal melindungi kebebasan, di mana kebebasan adalah dia tanpa adanya kekerasan (coercion), dan kebebasan paling utama adalah kebebasan ekonomi, yang berarti kebebasan berusaha tanpa kontrol negara. Sementara itu, ancaman utama kebebasan adalah pemusatan kekuasaan, dan karena itulah ruang lingkup kekuasaan pemerintah harus dibatasi. Namun, neoliberalisme juga banyak menuai kritik di mana paham ini menyempitkan seluruh nilai menjadi sebatas urusan ekonomi saja.


Sulit untuk dipungkiri, nilai-nilai dan cita-cita moral masyarakat dari waktu ke waktu dan berbagai ruang berbeda sangat dipengaruhi oleh tatanan ekonomi politik. Kode moral yang dibentuk dan diterima (dipaksakan atau tidak) hanya bisa berjalan dengan mudah jika ia dapat sesuai dengan sistem ekonomi masyarakat. Moral juga “dibentuk” oleh realitas ekonomi yang mendasarinya, sesuatu yang fundamental bagi manusia dan kebudayaannya.


Dengan kata lain, jika menyangkut HAM, kita dapat mengikuti penjelasan dalam buku ini bahwa politik HAM tidak hanya bersesuaian dengan persyaratan imperialisme liberal dan perdagangan bebas global, tetapi lebih dari itu juga berfungsi untuk melegitimasi mereka (menurut Wendy Brown dalam kata-kata Whyte). Bahkan, Whyte berpendapat bahwa HAM tidak hanya dibentuk oleh realitas ekonomi yang mendasarinya; mereka adalah komponen utama dari upaya neoliberal untuk menanamkan moral pasar. Dengan demikian, HAM dan neoliberalisme saling mengkonstitusikan. Neoliberal membentuk wacana HAM dan HAM sebagai moralitas universal telah disesuaikan (dipolitisasi) untuk menyokong pasar kompetitif.


Di bawah wacana HAM yang dibentuk oleh neoliberal, kebebasan memiliki hubungan yang mendalam dengan kepemilikan. Privatisasi di berbagai sektor untuk melayani kepentingan publik dibenarkan sebagai jalan untuk menyelamatkan hak asasi manusia. Menyangkal hak milik pribadi berarti sama saja dengan menyangkal hak asasi manusia lainnya. Dengan hak milik yang tidak pernah setara dalam neoliberalisme, dalam kata-kata Whyte: "‘hak asasi manusia untuk mendominasi’ ada di samping hak asasi manusia yang didominasi dan hak asasi manusia seringkali terbukti lebih berguna dalam melindungi orang kaya dan melegitimasi intervensi negara yang paling kuat daripada melindungi yang tidak berdaya." Kesulitan yang ditemui berikutnya adalah soal membatasi wacana HAM yang “sejati”, termasuk dalam berjuang untuk perubahan sosial yang reformatif hingga transformatif yang menjadi perhatian kebanyakan orang.


Saat ini, sudah banyak klaim bahwa HAM sedang krisis. Banyak gerakan HAM mengalami represi. Jauh lebih krisis lagi apabila kita sepakat dengan pendapat Susan Marks bahwa "upaya" terkini dalam menelusuri akar penyebab pelanggaran hak asasi manusia sebenarnya telah melindungi konteks struktural di mana pelanggaran hak asasi manusia direproduksi secara sistematis. Prinsip Hak Asasi Manusia yang sering dijunjung oleh kelompok neoliberalis pun tidak benar-benar diimplementasikan dengan menyeluruh atau dengan kata lain hanya mengambil aspek hak asasi manusia yang sesuai dengan kepentingan ekonominya tanpa mempertimbangkan hak-hak esensial dari pihak yang lain. Lalu, apakah tepat jika mengatakan bahwa kita perlu memutus warisan paradigma neoliberal dalam HAM? Apa yang akan terjadi jika ekonomi neoliberal kehilangan landasan moralnya? Bagaimana pula sebenarnya hubungan antara moral dan nilai-nilai ekonomi?



Demikian itu merupakan sedikit kesan yang kami tangkap dari buku karya Jessica Whyte berjudul The Morals of The Market: Human Rights and The Rise of Neoliberalism.