September 2021 - LPPMD Unpad

Rabu, 29 September 2021

PRESS RELEASE BEDAH BUKU "DEMOKRASI DAN KEDARURATAN: MEMAHAMI FILSAFAT POLITIK GIORGIO AGAMBEN"


 

Lembaga Pengkajian dan Pengabdian Masyarakat Demokratis Universitas Padjadjaran (LPPMD Unpad), dalam rangkaian HUT LPPMD: Festival Dekorasi, menggelar diskusi bedah buku   : Demokrasi dan Kedaruratan: Memahami Filsafat Giorgio Agamben yang ditulis oleh Agus Sudibyo. Acara ini dibuka untuk umum serta untuk kader-kader LPPMD dalam tahun kepengurusan 2021/2022 pada hari Sabtu (20/3). Diskusi ini dihadiri oleh Syarif Maulana, Inisiator Kelas Isolasi, dan penulis buku tersebut, Agus Sudibyo, Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Luar Negeri Dewan Pers.

 

Diskusi yang diadakan secara daring melalui platform Zoom Meeting tersebut dibagi menjadi tiga sesi, yaitu penyampaian dari penulis,  bedah buku, dan sesi diskusi atau tanya jawab. Sesi pertama membahas tentang “State of Exception dan Homo sacer sebagai Potensialitas Dalam Tatanan Politik Kajian Kritis Atas Pemikiran Giorgio Agamben” oleh Agus Sudibyo. Di sini, ia memaparkan pemikiran-pemikiran Agamben, seperti kedaulatan darurat, normalisasi abnormalitas, paradoks kedaulatan Giorgio Agamben dalam mengkritik kedaulatan, homo sacer, serta biopolitik. Menurut Sudibyo dalam bukunya, Agamben adalah seorang kritikus legalisme hukum dan pengkritik teori kontrak sosial. Selain itu juga, Agamben adalah pemikir radikal tentang politik karena interpretasinya terhadap state of exception, kekerasan, dan pengabaian kepada homo sacer.

 

Selanjutnya, Sudibyo mengemukakan salah satu fokus pemikiran Agamben terkait demokrasi. Agamben mengkritik demokrasi yang dianggap sebagai tatanan politik yang dapat mewujudkan kepastian hukum, pelembagaan hak-hak sipil, pemisahan lembaga kekuasaan, kesetaraan, keadilan, dan janji kebebasan dari kekerasan. Dalam praktiknya, klaim-klaim tersebut seringkali ditangguhkan dengan dalih “keadaan darurat” yang dihadapi suatu pemerintahan.

 

Selain itu, Sudbiyo menjelaskan keadaan darurat yang ditandai dengan penangguhan hukum  (suspension of law). Dalam teorinya, hal tersebut dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari kekerasan. Garis pemisah kekuasaan dihapuskan dan kekuatan militer diperluas dari yang awalnya hanya terbatas pada pertahanan. Sudibyo menjelaskan bahwa keadaan darurat mengacu pada keadaan kekuasaan yang ditetapkan secara resmi oleh negara. Kemudian, keadaan pengecualian mengacu pada situasi di mana individu atau komunitas menjauhi aturan dan larangan atau menunda kepatuhan terhadap hukum.

 

Agamben mengkritisi kerancuan demokrasi dalam membedakan  hak pembuatan konstitusi dan hak pelaksanaan konstitusi. Dengan kata lain, kekuatan yang menghasilkan kekuasaan politik dan kekuatan yang menjalankan kekuasaan politik menjadi tidak jelas. Sudibyo menjelaskan bahwa kontribusi penting Agamben terhadap pemikiran politik tidak hanya menempatkan studi tentang kekuasaan berdaulat dalam konteks rezim totaliter, tetapi juga memandang kedaulatan sebagai fenomena rezim demokrasi. Secara umum, pemikiran politik Agamben merupakan upaya untuk menapaki jejak-jejak kekuasaan berdaulat dalam tatanan demokrasi kontemporer. Menurut Agamben, kekuasaan berdaulat menyusupi tatanan demokrasi melalui normalisasi penyelenggaraan keadaan darurat.

 

Agamben selanjutnya menegaskan bahwa penerapan keadaan darurat tidak hanya terjadi dalam konteks rezim totaliter atau revolusioner untuk menggulingkan rezim totaliter; ia juga dapat terjadi dalam konteks normal negara demokrasi. Selain itu, menurut Agamben, keadaan darurat resmi hanya dapat diumumkan oleh negara. Dalam keadaan darurat, negara demokrasi membenarkan masalah penangguhan hukum, kekerasan, dan pengabaian hak atas kebebasan menjadi hal yang lazim. Bagi Agamben, ini berarti tidak ada lagi perbedaan antara keadaan krisis dan keadaan normal, adanya hukum dan kekosongan hukum, serta tidak adanya ketertiban dan ketentraman. Agamben mengkritik bahwa atas nama kepentingan rakyat dan negara, kekuasaan eksekutif menduduki tahta melalui sistem darurat yang menangguhkan prinsip negara demokrasi.

 

Selain itu juga, Agus turut pula mempertanyakan bagaimana hubungan antara hukum dan kedaulatan hidup dalam momentum darurat kekuasaan? Logika keadaan darurat (hukum ditangguhkan, eksekutif mendominasi kekuasaan, hak sipil diabaikan, kekerasan dibenarkan) mendasari penyelenggaraan negara dalam keadaan normal. Keadaan darurat dapat menyebabkan kekosongan hukum. Ketika ini terjadi, setiap orang memiliki potensi menjadi seperti yang disebut Agamben yaitu homo sacer. Mereka yang berstatus menjadi homo sacer bisa menjadi objek kekerasan tanpa memiliki perisai perlindungan hukum serta tidak memiliki konsekuensi hukum apapun bagi pelanggar hak atau pelaku kekerasan terhadap diri homo sacer. David Luban menjelaskan bahwa keadaan darurat dapat menyebabkan ketidakberdayaan (limbo of rightlessness), yaitu wilayah yang tidak memiliki hak dan eksistensi kewarganegaraan baik dalam konteks hukum nasional maupun internasional.


Homo sacer jika dalam politik Romawi artinya orang buangan yang berhak dipukuli, inklusi dan eksklusi, hukum yang mengikat dan menelantarkan, serta manusia yang tuna hak dan tuna kewargaan yang dapat dibunuh tanpa konsekuensi hukum apapun untuk pembunuhnya (pembunuhan tanpa status kriminal). Contoh kasus dari homo sacer di Indonesia yaitu adalah anak-anak pengungsi internasional yang lahir di Indonesia, namun hak untuk mendapatkan kewarganegaraan tidak dipenuhi. Fenomena pengungsi internasional telah membuka peluang bagi manusia untuk kehilangan status kewarganegaraannya, sementara Indonesia belum menunjukkan sikap dalam upaya pemenuhan hak atas kewarganegaraan bagi anak-anak pengungsi internasional yang lahir di Indonesia.

 

Selanjutnya, diskusi berlanjut dengan pembedahan buku yang disampaikan oleh Syarif Maulana. Syarif memulai penjelasan mengenai posisi Agamben sendiri terhadap demokrasi yang dipertanyakan. Jika dilihat dari tokoh lain, seperti Habermas yang bicara tentang demokrasi secara deliberatif kemudian mencapai konsensus untuk mencapai tatanan sosial demokrasi, sedangkan di sini Agamben melihat demokrasi dari kenyataan-kenyataan secara “Empirik” kemudian mengabstraksi dengan penelantaran, pengabaian. Menurut Syarif mendefinisikan demokrasi secara positif dan juga mendefinisikan secara negatif ini sendiri ada ditulis di buku tersebut. Definisi Demokrasi secara positivisme adalah penelantaran yang dalam hal ini masuk ke dalam ranah eksistensialisme.

 

Konsep Demokrasi menurut Agamben yang negatif bukan hal yang seperti kita bayangkan. Disini Agamben ingin menciptakan tegangan dan meruntuhkan metanarasi. Agamben dengan kritiknya justru membuat ekstensi sendiri untuk demokrasi. Pertanyaan berikutnya jika Agamben benar melihat demokrasi dengan kenyataan-kenyataannya padahal jika melihat demokrasi harus dengan beyond bukan dengan kenyataan-kenyataannya. Agamben terlalu semangat untuk mereduksi demokrasi dan harus dipertanyakan kembali apakah sesuai dengan apa yang dibayangkan Agamben.

 

Selanjutnya, Syarif menjelaskan mengenai rumusan Agamben tentang demokrasi yang seharusnya bukan merenovasi, tetapi tidak membangunnya lagi. Untuk memahami fenomena politik, negara seolah-olah totalitarianisme, menyakinkan bahwa hak politik (bios) tidak melekat, tetapi harus diperjuangkan, serta menyakinkan kita bisa hidup di luar negara dalam artian seperti mempunyai orientasi untuk merubah negara, tetapi kata Agamben tidak perlu bersemangat seperti kita bisa melakukan hal tersebut dan lebih ke konteks partikular saja. Agamben nyatanya sudah melihat demokrasi (paradigma yang pessimistic) sebagai upaya untuk memenangkan pertarungan melawan kekuasaan absolut, namun untuk memenangkan pertarungan tersebut sangatlah susah.

 

Diskusi bedah buku berakhir dengan tanya jawab singkat dari peserta serta kader-kader LPPMD satu sama lain. Berbagai pertanyaan tidak hanya datang dari peserta diskusi, tetapi juga dari pembedah buku. Pertanyaan, tanggapan, dan jawaban yang berlangsung di dalam diskusi berhasil membuat jalannya diskusi yang interaktif.