Maret 2022 - LPPMD Unpad

Rabu, 30 Maret 2022

Supersemar: Surat Super Pembuka Jalan Kekuasaan Soeharto yang Kontroversial

Sumber: Beryl Bernay/Getty Images

Oleh: Noki Dwi Nugroho


Pendahuluan

Tahun awal berdirinya suatu bangsa tak jarang terjadi gonjang-ganjing, seperti perebutan kekuasaan yang seringkali terdapat campur tangan pihak asing di dalamnya. Sejarah mencatat bahwa Indonesia pernah mengalami hal serupa ketika Republik genap berusia 20 tahun. Peristiwa yang diyakini sebagai perebutan kekuasaan antara militer dan kelompok komunis yang dikenal sebagai peristiwa G30S/Gestok/Gestapu ini meninggalkan tinta darah dalam catatan Indonesia. Tak ada yang menyangka bahwa peristiwa yang memakan korban 6 perwira tinggi dan 1 perwira muda ini berbuntut pada penangkapan juga pengasingan orang yang tertuduh sebagai komunis, pembubaran partai komunis, bahkan genosida politik.


Gerakan 30 September bukan hanya tentang pembantaian 7 perwira militer AD saja. Lebih dari itu, terjadi pula perebutan kekuasaan antara PKI dan kelompok kontra-PKI, yaitu partai oposisi, mahasiswa, dan angkatan darat. Konflik yang terjadi antara kedua kekuatan ini terlihat pada Pemilu 1955 dan masa demokrasi terpimpin. Pada masa itu, PKI sebagai partai posisi empat pemenang Pemilu 1955 dianggap terlalu dekat dengan Sukarno yang pada saat itu pula hubungan Indonesia dengan blok komunis sangat mesra. Hal inilah yang membuat kelompok anti-komunis sangat mendukung pembubaran Partai Komunis Indonesia dari bumi Nusantara.


Kondisi Republik saat itu menjadi sangat kacau pasca meletusnya peristiwa Gerakan 30 September. aksi demonstrasi besar-besaran, pembunuhan para terduga PKI, dan kerusuhan lain membuat kondisi Republik makin kacau. Kondisi seperti ini menjadi sangat rawan akan terjadinya perebutan kekuasaan, terlebih kepercayaan rakyat terhadap Presiden Sukarno menurun selepas peristiwa berdarah tersebut. Melihat keadaan politik Republik yang sedang kacau ini kemudian “dimanfaatkan” oleh Soeharto yang saat itu berpangkat Letnan Jenderal untuk tampil di hadapan rakyat Indonesia seakan dia lah pahlawan yang akan menstabilkan kondisi Republik. Berbekal surat perintah yang ditandatangani langsung oleh Presiden Sukarno, Soeharto melakukan tindakan-tindakan yang dianggapnya perlu untuk mengembalikan kestabilan negara, walaupun tindakan tersebut dianggap melewati batas dan menimbulkan kontroversi. Lantas bagaimana Soeharto bisa mendapatkan surat perintah tersebut? Bagaimana bisa surat perintah ini menimbulkan banyak sekali kontroversi? Dan apa saja dampak dari surat perintah yang digunakan Soeharto untuk menjaga kestabilan negara?


Mengenai Supersemar dan Kelahirannya

Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) atau SP 11 Maret adalah surat perintah yang ditandatangani oleh Presiden Sukarno pada 11 Maret 1966. Surat ini berisi pemberian kewenangan kepada Letjen Soeharto untuk mengambil tindakan yang “dianggap perlu” guna mengembalikan kestabilan negara pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965. Tak hanya itu, surat ini juga berisi perintah untuk mengamankan jalannya pemerintahan dan pengamanan keselamatan Presiden Sukarno beserta ajaran juga wibawanya. Kenyataannya, Soeharto hanya menjalankan apa yang menurut ia perlu guna menstabilkan kondisi Republik tanpa persetujuan dari Presiden Sukarno. Proses keberadaan Surat Perintah Sebelas Maret ini tidak bisa dikatakan hanya terjadi pada hari itu saja, sebelumnya sudah ada upaya untuk membujuk Presiden Sukarno agar memberikan kewenangan pada Soeharto melalui berbagai cara.


Asisten VII Menpangad (Menteri Panglima Angkatan Darat), Alamsjah Ratu Perwiranegara memberi usul pada Soeharto untuk mencoba membujuk Presiden Sukarno melalui 2 pebisnis yang sangat dekat dengan Presiden Sukarno, hal ini bertujuan untuk meminta Presiden Sukarno agar membubarkan PKI (Partai Komunis Indonesia) dan memberi kewenangan pada Soeharto. Usul itu disetujui Soeharto dan pada 9 Maret 1966 dua pebisnis tersebut, yaitu Hasjim Ning dan Dasaad diutus untuk menemui Presiden Sukarno di Istana Bogor. Namun, “misi” 2 pebisnis ini gagal setelah mendapat amarah dari proklamator RI tersebut, bahkan beredar kabar yang mengatakan bahwa Hasjim Ning mendapatkan respon lemparan asbak dari Bung Besar akibat hal itu.


Setelah kegagalan upaya untuk membujuk Presiden melalui pendekatan orang yang dekat dengannya gagal, Soeharto mencoba lagi dengan melakukan pendekatan yang seakan mengancam Presiden dengan mengutus 3 perwira tinggi AD, yaitu Brigjen M. Jusuf, Brigjen Amir Machmud, dan Mayjen Basuki Rachmat pada 11 Maret 1966. Di hari yang sama terjadi demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa dan kelompok militer “liar” (diduga pasukan pimpinan Mayjen Kemal Idris) yang menolak pembentukan Kabinet Dwikora II Yang Disempurnakan karena dianggap melibatkan orang-orang yang terlibat pada peristiwa G30S. Melihat kondisi sekitar Istana yang tidak kondusif, Presiden Sukarno meninggalkan Jakarta dan menuju Istana Bogor dengan menggunakan helikopter. Siang harinya, 3 perwira tinggi yang diutus Soeharto datang menemui Presiden untuk mengupayakan pemberian kewenangan kepada Soeharto. Singkatnya, ketiga perwira utusan Soeharto ini berhasil mendapatkan surat perintah yang telah ditandatangani oleh Presiden Sukarno dan menyerahkannya kepada Soeharto yang pada itu sedang sakit.


(Mis)Interpretasi Soeharto Terhadap Supersemar

Operasi gerak cepat dilakukan Soeharto setelah menerima surat perintah bertanda tangan Presiden yang sebelumnya telah diantar pada malam hari oleh tiga jenderal. Dengan berbekal SP, Soeharto melakukan tindakan pertamanya yang lain dan tidak bukan adalah membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta ormas-ormasnya. Di malam yang sama, Soeharto bersama perwira tinggi AD mendiskusikan mekanisme pembubaran PKI. Setelah diskusi malam yang cukup panjang, pada pagi hari di 12 Maret 1966, melalui Radio Republik Indonesia (RRI) memberitakan perihal pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta ormas-ormasnya. Hal ini sontak membuat AD, Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), dan kelompok anti-PKI lain bersorak gembira. Setelah itu, para kelompok anti-PKI menggelar aksi besar-besaran setelah kemenangannya atas PKI. Kolonel Sarwo Edhie, komandan Resimen Pasukan Komando Pasukan Angkatan Darat (RPKAD) saat itu juga turut ambil bagian pada pawai dengan melakukan konvoi keliling kota Jakarta yang bertujuan untuk unjuk kekuatan. Merespon tindakan ini, Sukarno sangat marah melihat SP 11 Maret digunakan Soeharto untuk melakukan tindakan yang dilakukan tanpa persetujuannya.


Tindakan kedua yang dilakukan Soeharto dalam menginterpretasikan SP 11 Maret adalah menandatangani surat tertanggal 18 Maret 1966 yang berisi perintah penangkapan 15 menteri Soekarno kabinet Dwikora II Yang Disempurnakan yang dianggap pro kepada PKI. Beberapa nama menteri yang diringkus oleh Soeharto diantaranya:

1.Soebandrio (Wakil Perdana Menteri, merangkap Menlu)

2.Chaerul Saleh (Ketua MPRS, merangkap Wakil Perdana Menteri III)

3.Surachman (Menteri Pengairan Rakyat dan Pembangunan Desa)

4.Setiadji Reksoprodjo (Menteri Urusan Listrik dan Ketenagaan)

5. Oei Tjoe Tat (Menteri Negara Diperbantukan Kepada Presidium)

6.Jusuf Muda Dalam (Menteri Urusan Bank Sentral, merangkap Gubernur Bank Indonesia

7.Achmadi Hadisoemarto (Menteri Penerangan)

8.Mochammad Achadi (Menteri Transmigrasi dan Koperasi)

9.Soemardjo (Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan)

10.Armunanto (Menteri Pertambangan)

11.Soetomo Martopradoto (Menteri Perburuhan)

12.Astrawinata (Menteri Kehakiman)

13.Junius Kurami Tumakaka (Menteri Sekretaris Jenderal Front Nasional)

14.Mayjen. Dr. Soemarno Sosroatmodjo (Menteri Dalam Negeri, merangkap Gubernur DKI Jakarta)

15.Letkol. Imam Syafei (Menteri Urusan Pengamanan)


Militer loyalis Sukarno pun ikut mendapatkan perlakuan buruk dari Soeharto karena dianggap menjadi penghambat bagi Soeharto dalam mencapai kekuasaannya. Atas dalih G30S, para loyalis Sukarno mendapatkan tindakan buruk seperti diturunkan dari jabatannya, dipenjarakan, bahkan dibunuh. Ibrahim Adjie misalnya, Ia adalah seorang loyalis Sukarno yang juga saat itu menjabat sebagai panglima Kodam III/Siliwangi, Ia diturunkan dari jabatannya dan digantikan oleh Mayjen Hartono Rekso Dharsono. Kemudian, komandan Korps Komando (KKO) Angkatan Laut (sekarang korps marinir), Letjen Hartono juga harus didepak dari jabatannya dan dijadikan sebagai duta besar Indonesia untuk Korea Utara pada awal kepemimpinan Soeharto. Sejarah mengenal sosok Hartono atas keberpihakannya kepada Sukarno, Ia dengan lantang berkata “Putih kata Bung Karno, putih kata KKO. Hitam kata Bung karno, hitam kata KKO”. Di sisi lain, Hartono juga dikenal atas kontroversi kematiannya, versi resmi dari pemerintah menyebut alasan kematian dari Hartono adalah bunuh diri. Namun, banyak orang terdekatnya menganggap kematiannya akibat dari upaya Orde Baru dalam memberangus para loyalis Sukarno.


Kembali ditekankan bahwa Supersemar adalah surat perintah yang ditujukkan juga untuk melakukan pengamanan keselamatan Presiden Sukarno beserta ajaran juga wibawanya. Namun, perintah ini “gagal” dijalankan oleh Soeharto karena ia hanya mengambil tindakan yang dirasa perlu tanpa persetujuan Presiden Sukarno, yang akhirnya membuat Presiden kecewa.


Dikutip dari Historia.id, M. Jusuf merespon hal ini dengan mengatakan bahwa “kemenangan perjuangan ini sudah mencapai tiga perempat jalan, yaitu pelarangan Partai PKI, perombakan kabinet, dan menteri pro-komunis yang sudah disingkirkan. Namun, yang menjadi ketakutan bagi kelompok Soeharto ialah jika suatu saat Bung Karno mencabut Supersemar”. Dalam mengatasi ketakutannya, Soeharto dengan liciknya menetapkan Supersemar menjadi TAP MPRS pada sidang tahun 1966 yang dituangkan pada Tap No. IX/MPRS/1966. Dengan menetapkan Supersemar menjadi TAP MPRS ini membuat Presiden Sukarno tidak bisa mencabut Supersemar dari Soeharto.


Kontroversi Supersemar

Berbagai kontroversi menyelimuti Supersemar sepanjang pelaksanaannya, misinterpretasi Soeharto dalam menjalankan Supersemar dan akal-akalan penetapan Supersemar menjadi TAP MPRS adalah sebagian kecil dari kontroversi Supersemar.


Berakhirnya era kepemimpinan rezim militeristik yang dipimpin Soeharto selama 32 tahun membawa dampak besar bagi keterbukaan sejarah masa lalu. Soekardjo Wilardjito misalnya mengaku pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta bahwa Ia adalah mantan prajurit pengawal Presiden Soekarno yang saat itu menjadi saksi atas peristiwa penandatanganan Supersemar yang ditandatangani Presiden Sukarno. Pada pengakuannya, ia bersaksi bahwa salah satu perwira tinggi AD yang terlibat pada peristiwa penandatanganan Supersemar, Maraden Panggabean menodongkan pistol FN 46 yang berada pada kondisi terkokang kepada Presiden Sukarno. Setelah pengakuannya yang menggemparkan ini, beberapa tokoh turut membantah hal ini. M. Panggabean membela diri dengan mengatakan bahwa ia tidak hadir pada peristiwa tersebut. M. Jusuf pada saat itu juga turut membantah pengakuan Soekardjo, dia menyebut bahwa ini semua omong kosong. Buntut dari pengakuannya, Soekardjo harus berurusan dengan hukum, ia didakwa atas pemberitaan berita bohong.


Hal kedua yang membuat kontroversi adalah respon Presiden Soekarno terhadap tindakan yang dilakukan Soeharto atas Supersemar yang sudah ia berikan. Pada pidato berjudul Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah (Jasmerah) yang dibacakan pada 17 Agustus 1966, Presiden menyebut dengan lantang bahwa Supersemar bukanlah transfer of sovereignty dan bukan pula transfer of authority. Selanjutnya Presiden menekankan kembali bahwa pada awalnya dan memang seharusnya SP 11 Maret menjalankan perintah untuk pengamanan keselamatan, wibawa, juga ajaran presiden dan perintah untuk mengamankan jalannya pemerintahan. Jelas pada saat itu keberadaan Presiden tidaklah berada pada posisi yang menguntungkan, setelah Supersemar dijadikan TAP MPRS, Presiden tidak dapat mencabut Supersemar.


Kontroversi Supersemar selanjutnya adalah mengenai tiga versi Supersemar yang saat ini tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Mengutip dari Historia.id, ketiga versi Supersemar ini tidak bisa dikatakan otentik, hal ini dibuktikan setelah mengalami uji forensik. Ketiganya juga dapat dikatakan unik karena memiliki versinya masing-masing. Versi pertama didapatkan dari Pusat Penerangan TNI AD (Puspen TNI AD), Supersemar versi ini dicirikan dengan hanya terdapat satu lembar, bertanda tangan Sukarno (Huruf “u” pada nama Sukarno ditulis dengan “oe”), diketik rapi justify. Versi kedua dari Supersemar diperoleh dari Sekretariat Negara, versi ini memiliki dua lembar dan tanpa tanda tangan Sukarno, hanya tertanda nama Sukarno saja (Penulisan nama Sukarno ditulis dengan huruf “u”). Dan versi ketiga diperoleh dari Yayasan Akademi Kebangsaan pada tahun 2012. Pada versi ini hanya terdapat satu lembar dengan kondisi sobekan pada sisi kanan dari surat dan bertanda tangan Sukarno (Nama Sukarno ditulis dengan huruf “u” sama seperti pada versi Sekretariat Negara).


Akhir Supersemar yang Mengakhiri Sukarno

Pergolakan yang terjadi pada akhir September 1965 telah membuat pengaruh kekuasaan Presiden Sukarno menurun, yang diperparah setelah dijalankannya Supersemar yang menimbulkan banyak kontroversi.


Sidang Umum IV MPRS pada Juni 1966 menandakan awal dari kemenangan Soeharto atas Sukarno. Pada sidang ini Sukarno membacakan sebuah pidato pertanggungjawaban yang berjudul Nawaksara, pidato pertanggungjawaban atas apa yang telah terjadi di Indonesia setelah meletusnya peristiwa Gerakan 30 September. Sidang ini menetapkan Supersemar menjadi TAP MPRS No. IX dan pada sidang ini pula MPRS mencabut ketetapan MPR mengenai jabatan presiden seumur hidup Presiden Sukarno, hal ini membuat MPRS menetapkan Soeharto menjadi pejabat presiden hingga dilantiknya Soeharto menjadi Presiden pada 26 Maret 1968.


Penutup

Supersemar telah berusia lebih dari setengah abad, begitu pula kontroversinya. Penelusuran jawaban terkait pertanyaan atas kebingungan sejarah perlu kita cari. Dampak dari Supersemar bukan hanya tentang hilangnya kekuasaan Sang Proklamator. Lebih dari itu, ratusan ribu, bahkan jutaan orang menjadi korban atas tuduhan sebagai kelompok komunis. Bukan hanya itu saja, dampak dari Supersemar ialah membuat Indonesia dipimpin oleh rezim militeristik yang membungkam pandangan kritis rakyat selama 32 tahun lamanya yang bahkan warisan buruknya masih berbekas dan bisa kita rasakan hingga saat ini.


Daftar Pustaka

Danang, M. (2021, Maret 11). Supersemar, Transisi Kekuasaan Soekarno kepada Soeharto. Retrieved from Kompaspedia: https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/supersemar-transisi-kekuasaan-soekarno-kepada-soeharto?track_source=kompaspedia-paywall&track_medium=login-paywall&track_content=https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/supersemar-transisi-kekuasaa

detikNews. (2013, Maret 6). Soekardjo Wilardjito, Saksi Supersemar Meninggal Dunia. Retrieved from detikNews: https://news.detik.com/berita/d-2186816/soekardjo-wilardjito-saksi-supersemar-meninggal-dunia#:~:text=Yogyakarta%20%2D%20Soekardjo%20Wilardjito%20(86),Desa%20Sidomulyo%2C%20Kecamatan%20Godean%20Sleman.

Isnaeni, H. F. (2015, Maret 12). Supersemar dan Tafsir Soeharto. Retrieved from Historia.id: https://historia.id/politik/articles/supersemar-dan-tafsir-soeharto-DwRgA/page/2

Sitompul, M. (2018, Maret 11). Memburu Surat Sakti. Retrieved from Historia.id: https://historia.id/politik/articles/memburu-surat-sakti-DbeW2/page/2

Sitompul, M. (2018, Maret 15). Meringkus Loyalis Sukarno. Retrieved from Historia.id: https://historia.id/politik/articles/meringkus-loyalis-sukarno-6aql7/page/1

Tim Majalah Historia. (2019). Supersemar: Cara Soeharto Mendapatkan Kekuasaan. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Wanhar, W. (2015, Maret 10). Misi Pengusaha Sebelum Supersemar. Retrieved from Historia.id: https://historia.id/politik/articles/misi-pengusaha-sebelum-supersemar-vqBBP/page/1

Senin, 28 Maret 2022

Bagaimana Kapitalisme dan Patriarki Bekerja dalam Penindasan Perempuan

 

Ilustrasi: Nibras Nabila

Oleh: Adinda Ghina, Andien Destiani, Vanessa Carissa, Visqa Nabila


Penindasan merupakan tindakan intimidasi yang dilakukan secara berulang-ulang oleh pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah, dilakukan dengan sengaja dan bertujuan untuk melukai korbannya secara fisik maupun emosional (Coloroso, 2007). Dan secara kesejarahan, perempuan tak luput dari penindasan yang terstruktur.


Dalam masyarakat sendiri, penindasan terhadap perempuan ini seringkali digaungkan dengan jargon dapur, sumur, dan kasur. Seperti yang terjadi pada era Nazi berkuasa di Jerman, di mana perempuan akan dianggap berkontribusi pada negara jika memenuhi kewajibanya di tiga daerah yakni Kinder, Kirche, Kueche (Purcell, 2004).


Hal tersebut menambah belenggu ketertindasan bagi kaum perempuan. Seakan-akan perempuan dipandang sebelah mata dan tak sanggup mengurusi di luar dari tiga hal tersebut. Ketimpangan pembagian peran ini akhirnya menyebabkan perempuan menjadi termarjinalkan. Perempuan hanya dilihat sebagai mesin reproduksi yang tidak berhak atas pendidikan, pekerjaan, keadilan, dll.


Masih banyak ketidakadilan yang ditemui oleh perempuan setiap harinya. Ketidakadilan ini dimanifestasikan dengan peran, fungsi, dan posisi yang selalu direkatkan oleh masyarakat kepadanya. Itulah sebabnya mayoritas perempuan masih tidak menyadari bahwa dirinya termasuk kedalam kelompok tertindas.


Lalu bagaimana penindasan perempuan ini terjadi? Apa akar dari penindasan terhadap perempuan selama ini? Bagaimana penindasan ini tetap dilegitimasikan hingga dewasa ini? Dalam tulisan ini, kami akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dari sisi feminis marxis dan feminisme sosialis.


Feminisme Marxis dan Sosialis dalam Memandang Penindasan Perempuan

Dalam melihat penindasan terhadap perempuan, feminisme menghimpun dirinya dalam satu wadah perjuangan. Pandangan ini merupakan suatu cara berpikir yang melihat pentingnya persamaan hak dan kebebasan kaum perempuan dari dominasi struktural peradaban yang berpihak pada kaum laki-laki. Lebih lanjut, feminisme mengarahkan dirinya pada persamaan bidang kehidupan; menolak diskriminasi karena perbedaan jenis kelamin. feminisme menjadikan dirinya awal mula dari gerakan-gerakan pembebasan kaum perempuan dari penindasan.


Feminisme marxis melihat penindasan perempuan merupakan bagian dari eksploitasi kelas dalam relasi produksi. Isu perempuan selalu diletakkan dalam kerangka kritik terhadap kapitalisme. Setelah revolusi industri, permasalahan kaum perempuan mulai bergeser ke sektor domestik. Engels mengatakan, “jika urusan domestik dijadikan industri sosial dan urusan menjaga dan mendidik anak-anak menjadi urusan umum, maka kaum perempuan tidak akan mencapai kesetaraan yang sejati.” Dalam artian jika perempuan ingin ada kesetaraan, mereka harus terlibat dalam sektor publik.


Akan tetapi, bagaimana asal muasal penempatan perempuan dalam sektor domestik itu sendiri? Feminisme marxis melihat hal ini sebagai suatu proses kesejarahan yang panjang. Dalam bukunya, Engels (1942) memulai diskusi soal penempatan perempuan dengan melihat tahap-tahap utama perkembangan manusia yang menurut Lewis H. Morgan terbagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap kebuasan, barbarisme, dan peradaban.


Pada tahapan pertama yakni savagery, tidak ada pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin, perempuan dan laki-laki melakukan kerja seperti memburu secara seksama. Selanjutnya, pada tahap barbarisme, muncul pertanian, peternakan, dan kerajinan. Meningkatnya hasil produksi tentu dibarengi dengan kebutuhan lebih akan tenaga kerja. Pada tahap ini, mulai terjadi pembagian peran antara laki-laki dan perempuan. Peran perempuan difokuskan sebagai alat untuk menghasilkan tenaga kerja baru atau reproduksi serta mengasuh anak. Sedangkan laki-laki bertugas untuk bekerja di ladang dan peternakan.


Pada tahap peradaban, muncul kelas sosial dalam pekerjaan yang membuat kebutuhan akan tenaga kerja semakin meningkat. Meningkatnya kekayaan yang dimiliki berbanding lurus dengan meningkatnya status sosial laki-laki. Kedudukan laki-laki pun semakin mendominasi karena hak waris berada di tangan lelaki itu sendiri, kesenjangan antara kedudukan perempuan dan laki-laki semakin meningkat. Engels mengikuti tesis Morgan dan memahaminya sebagai asal muasal institusi domestik pertama dalam sejarah manusia yang berasal dari suku matrilineal.


Lebih lanjut, menurut Morgan dan Engels, komunisme primitif didasarkan pada klan matrilineal di mana perempuan tinggal dengan saudara perempuan. Klasifikasi mereka – menerapkan prinsip bahwa "anak saudara perempuan saya adalah anak saya". Karena mereka tinggal dan bekerja bersama, perempuan dalam rumah tangga komunal ini merasakan ikatan solidaritas yang kuat satu sama lain, yang memungkinkan mereka mengambil tindakan terhadap laki-laki yang tidak kooperatif. Engels mengutip bagian ini dari sepucuk surat kepada Morgan yang ditulis oleh seorang misionaris yang telah tinggal selama bertahun-tahun bersama Seneca Iroquois.


Menurut Morgan (1877), munculnya properti asing melemahkan perempuan dengan memicu peralihan ke tempat tinggal patrilokal dan keturunan patrilineal. Hal ini membalikkan posisi istri dan ibu dalam rumah tangga. Dikarenakan kondisi ini dapat menumbangkan dan menghancurkan kekuatan dan pengaruh yang telah diciptakan oleh keturunan dalam garis perempuan dan rumah-rumah petak bersama.


Oleh karena itu, Menurut pandangan feminisme marxis, pembebasan kaum perempuan hanya dapat dilakukan dengan menghilangkan sistem kapitalisme, sistem yang di mana sebagian besar kaum perempuan tidak diberi kompensasi yang sesuai. Feminisme marxis dalam hal ini memperluas analisis marxis tradisional dengan menerapkannya terhadap buruh domestik yang tak dibayar dan memiliki kaitan yang erat dengan jenis kelamin. Sehingga bagi para marxis, kaum perempuan disamakan dengan kaum buruh yang termasuk kedalam kelompok yang tertindas.


Feminisme marxis melihat adanya ketidakadilan gender dalam hal pembagian kerja. Feminisme marxis menolak gagasan kaum feminisme radikal bahwa “biologis” sebagai dasar pembedaan. Hal itu dikarenakan konstruksi alamiah yang beranggapan bahwa fisik perempuan yang cenderung lebih lemah, namun bagi feminisme marxis hal ini seharusnya tidak dijadikan sebagai alasan untuk menempatkan kaum perempuan pada posisi yang rendah.


Seperti feminisme marxis, feminisme sosialis juga mengakui adanya struktur opresif dari sistem kapitalisme. Kehadiran sistem kapitalisme, sebagaimana yang dijelaskan Engels (1942), turut menghasilkan sistem kekeluargaan patriarkal yang mengopresi perempuan. Perempuan menghadapi kekalahan terbesarnya dalam sejarah dengan melakukan pekerjaan domestik yang tidak dinilai. Hanya saja bagi Feminisme Sosialis ada faktor lain yang juga berkontribusi dalam mendukung langgengnya penindasan terhadap kaum perempuan selama ini.


Menurut Tong (1998) ideologi yang menyebabkan penindasan terhadap kaum perempuan selain kapitalisme adalah sistem patriarki. Perspektif ini memandang patriaki sebagai salah satu dasar yang sangat material dalam kontrol historis kaum laki-laki pada kekuatan tenaga kerja kaum wanita. Bagi Feminisme sosialis, kritik terhadap kapitalisme perlu diikuti dengan kritik dominasi atas perempuan.


Heidi Hartmann, dalam Unhappy Marriage of Marxism and Feminism: Towards a More Progressive Union (2010) menyatakan kelemahan Feminisme Marxis adalah melihat penindasan perempuan sebagai kurangnya kepemilikan atas modal: perempuan hanya dilihat sebagai kelas pekerja alih-alih dilihat sebagai gender dalam hubunganya dengan penindasan laki-laki. Untuk itu, Hartmann menawarkan bahwa kita perlu melihat dua kepentingan yang juga bekerja yakni kepentingan sistem patriarki dan kapitalisme.


Lebih lanjut, Hartmann (2010) berpendapat bahwa sistem patriarki merupakan relasi antara laki-laki yang mensubordinasikan dan mendominasi perempuan dalam masyarakat. Sistem ini menghadirkan legitimasi hirarkis antar laki-laki untuk mendominasi perempuan dalam kerja-kerjanya. Patriarki bekerja secara fundamental dan dilanggengkan melalui bentuk kontrol atas tenaga perempuan. Dominasi tersebut dihadirkan melalui kontrol terhadap pembatasan akses perempuan ke sumberdaya ekonomi produktif dan seksualitasnya. Lebih lanjut, sistem ini kemudian menghadirkan sejumlah tantangan berupa pekerjaan-pekerjaan domestik untuk merawat rumah dan anak, perkawinan heterosexual, serta dependensi terhadap ekonomi laki-laki.


Selanjutnya perkembangan kapitalisme akan mensyaratkan sebuah bentuk hierarkis pekerja dalam sistemnya. Sistem patriarki hadir untuk menentukan siapa-siapa saja yang akan menempati posisi dalam sistem ini. Akhirnya dominasi yang perempuan temui baik di ruang privat maupun ruang publik terus diamini sepanjang waktu. Oleh karena itu, keruntuhan sistem ekonomi tanpa upaya mencabut akar dominasi yang terstruktur dalam kekuatan yang dimiliki laki-laki atas perempuan, tentunya akan menyulitkan proses pembebasan atas perempuan itu sendiri.


Bagaimana Determinisme Biologis “Membantu” Adanya Penindasan Perempuan

Jika pada bagian sebelumnya asal-usul penindasan perempuan dilihat dari perspektif feminisme marxis dan sosialis, bagian ini akan mengulas bagaimana determinisme biologis memperkuat adanya penindasan perempuan hingga saat ini. Determinisme biologis sendiri, mengutip penjelasan dari de Melo-Martin (2022) merupakan sebuah kepercayaan dalam sains dimana kebiasaan, sifat, maupun sikap manusia adalah bawaan dan dipengaruhi oleh genetik, besar volume otak, dan juga hal-hal biologis lainnya. Ia tidak mengamini sifat dan kebiasaan manusia dapat dipengaruhi oleh lingkungan dan budaya yang ada di sekitarnya.


Istilah determinasi biologis pertama kali dicetuskan oleh Aristoteles dalam karyanya yang berjudul ‘Politics’, menyatakan bahwa ciri dari siapa yang memimpin dan siapa yang dipimpin sudah terlihat semenjak manusia lahir. Kemudian, barulah di abad kedelapan belas, determinisme biologis ini menjadi lebih menonjol, ditambah dengan adanya pengkategorian ras yang dilakukan oleh Carolus Linnaeus (1735) seorang ilmuwan Swedia, dan menjadi cikal bakal dari adanya white supremacy, diskriminasi gender, dan diskriminasi rasial.


Lantas, apa yang membuat determinisme biologis memperkuat adanya penindasan perempuan? Sederhananya, determinisme biologis menggunakan karakteristik inheren (hal yang sudah tetap) untuk menjelaskan superioritas laki-laki dengan mencerminkan bahwasanya laki-laki secara alami lebih kuat, lebih rasional, dan lebih pintar dibandingkan perempuan. Kemudian, laki-laki dan perempuan dibedakan hanya dengan 2 jenis karakteristik, yaitu maskulin dan feminin dimana laki-laki dianggap memiliki karakteristik yang maskulin, sedangkan perempuan memiliki karakteristik yang feminin (Singh, 2018). Maskulin dianggap jauh lebih unggul sebab ia digambarkan sebagai karakteristik yang kuat, rasional, tangguh, dan pintar. Sedangkan feminin seringkali diasosiasikan dengan lemah, lembut, dan emosional. Akibat dari perbedaan ini, maka seringkali laki-laki diperuntukkan sebagai seorang pemimpin dan menempati kedudukan gender pertama yang superior, sedangkan perempuan menempati kedudukan gender kedua yang mana dianggap lemah.


Determinisme biologis juga mempengaruhi bagaimana kedudukan sosial bagi laki-laki maupun perempuan. Perempuan lebih banyak diasosiasikan dengan pekerjaan-pekerjaan yang lembut sehingga dianggap “pendukung moral” saja, sedangkan laki-laki diasosiasikan dengan pekerjaan berat dan kasar sehingga ia sering dikaitkan dengan kekerasan. Pembagian kedudukan tersebut hingga saat ini masih menjadi suatu hal yang dimaklumi dalam masyarakat. Pemakluman tersebut bahkan menimbulkan budaya rape culture, yaitu budaya pemakluman adanya tindakan kekerasan seksual.


Kilas Balik

Pandangan Feminisme Marxis dan Feminisme Sosialis merupakan suatu cara berpikir yang melihat pentingnya persamaan hak dan kebebasan kaum perempuan dari dominasi struktural peradaban yang cenderung berpihak kepada kaum laki-laki. Kapitalisme bersamaan dengan adanya patriarki berperan besar dalam memperkokoh penindasan perempuan, bahkan hingga saat ini. Namun, apabila ingin menarik asalnya lebih jauh, kita dapat melihatnya menggunakan teori Logan Hartwall. Hartwall menyatakan bahwa penindasan perempuan pertama kali diajegkan akibat adanya pembagian peran di tahap barbarisme dimana perempuan dipandang hanya sebagai “alat produksi” tenaga kerja yang mana ia juga harus mengurus mereka hingga “siap pakai”. Sedang laki-laki bekerja sebagai pemburu makanan sehingga tugasnya dianggap lebih besar ketimbang peran perempuan.


Mirisnya, perumpamaan seperti ini kemudian diadaptasi hingga kini sehingga ia membatasi ruang gerak perempuan di lingkungan sosialnya. Determinisme biologis pun turut andil dengan adanya penindasan perempuan karena ia semakin memperkuat adanya batasan-batasan ruang lingkup sosial bagi perempuan. Dari kacamatanya, perempuan dianggap lemah secara fisik, juga secara cara berpikirnya ia dianggap emosional sehingga rasanya tak cocok apabila cara berpikir emosional tersebut ikut andil dalam sebuah diskusi atau rapat dalam forum yang rasional.


Lalu, apa sebenarnya manfaat daripada kita –terutama perempuan, mengetahui asal-usul penindasan perempuan? Dengan mengetahuinya, perempuan diharapkan dapat membebaskan dirinya dari struktur opresif yang ada. Diharapkan perempuan sadar akan apa yang ditanamkan kepada dirinya selama ini merupakan akal-akalan dan warisan tak jelas dari budaya patriarki yang erat kaitannya dengan kapitalisme. Dengan adanya kesadaran, perempuan (lagi-lagi) diharapkan pula untuk dapat sekecil-kecilnya memberi perlawanan berbentuk kata “tidak!” ketika ia dipaksa untuk tunduk akan “persepsi ideal” bagi seorang perempuan. Dengan adanya gerakan feminisme dan solidaritas antar perempuan, perempuan dapat terbebas dari penindasan.


Daftar Pustaka

Coloroso, B. (2007). The Bully, the Bullied, and the Bystander. New York: Harper Collins.

Engels, F. (1942). Origin of the Family, Private Property, and the State. New York: International Publisher.

Hartmann, H. I. (2010, Juli 1). The Unhappy Marriage of Marxism and Feminism: Towards a more Progressive Union. Marx Today, 201-228. doi:https://doi.org/10.1177%2F030981687900800102

Melo-Martin, I. d. (2022, Januari 1). When Is Biology Destiny? Biological Determinism and Social Responsibility. Proceedings of the 2002 Biennial Meeting of The Philosophy of Science Association. Part I: Contributed Papers, 70(5). doi:https://doi.org/10.1086/377399

Morgan, L. H. (1877). Ancient Society. London: Palgrave Macmillan.

Purcell, H. (2004). Fasisme. Yogyakarta: Resist Book.

Singh, P. (2018, Juni 18). Feminism India: Intersectionality: Feminism 101: How Biological Determinism Perpetuates Sexism Using "Science". Retrieved from Feminism India: https://feminisminindia.com/2018/06/18/kabiological-determinism-science-sexism/

Tong, R. (1998). Feminist Thought: A Comprehensive Introduction. Colorado: Westview Press.