Oleh: Mulia Ramdhan Fauzani
---Sudah tiga belas tahun Munir Said Thalib meninggal karena diracun
arsenik. “Yang perlu ditakuti adalah
ketakutan itu sendiri’’, begitulah kata-kata Munir yang barangkali sudah sering
kita dengar. Tapi, apa maksudnya?---
Sekilas, kalimat tersebut terlihat ambigu.
Keharusan untuk takut akan ketakutan merupakan suatu masalah yang tidak akan
terselesaikan jika kita hanya memaknainya pada lingkup yang sangat besar dan
ditempatkan pada setiap kasus. Di sini saya akan meminjam tawaran soal
kelogisan bahasa oleh Ludwig Wittgenstein yang tidak bisa diisolasi
kata-per-kata untuk memahami maknanya, alih-alih kita mesti melihat
lingkupan/konteksnya. Pertanyaannya yang bisa memacahkan permasalahan diatas
adalah(Wittgenstein, 1986: i6e): apakah
warna biru di sini sama dengan warna biru di sana(sambil menunjuk langit)?
Apakah Anda melihat perbedaannya?. Kedua biru tersebut berfungsi sama,
yakni menunjuk kepada sesuatu. Namun, keduanya mempunyai pengaruh yang berbeda
satu-sama lain. Untuk mengetahuinya, pemilihan konteks yang tepat sangatlah
penting(Marie McGinn, 1997:66). Perbedaan pada kedua kata “takut” yang
dimaksudkan Munir tersebut pun memiliki efek yang berbeda. Supaya jelas saya
akan mengaitkan latar belakang Munir, realitas sosial-politik orde baru dan
awal reformasi sebagai masa baktinya pada rakyat pinggiran, serta definisi
takut itu sendiri—dan bagaimana penegasan maknanya tercipta secara historis.
Munir
lahir 52 tahun lalu di keluarga keturunan arab-pedagang. Ia punya enam orang
saudara kandung. Tiga diantaranya kelak menjadi pedagang. Alih-alih menjadi
pedagang seperti saudaranya, ia memilih mengambil studi hukum di Universitas
Brawijaya. Disitulah ia memulai pergumulannya dengan isu HAM. Pengalamannya
sebagai Ketua HMI Komisariat Fakultas Hukum dan ketua senat mahasiswa Unbraw
membuka jalannya kepada wacana tersebut dengan berbagai tulisan dan aksi turun
ke jalan. Penilitian skripsinya tentang buruh di PT Bentoel Malang dijadikan Munir
sebagai peneguh pengorbanannya, ia menjadi volunteer
di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia—Saat itu juga ia dipertemukan
dengan buruh pabrik tetangga, Suciwati, yang kemudian ia nikahi. Kasus-kasus
yang ia tangani setelahnya: pembelaan terhadap Fernando Araujo pejuang Timor
Leste, Marsinah pada 1994, petani di Nipah yang ditembak tentara pada 1993,
aktivis PRD korban pasal subversif pada 1996, advokasi kasus penghilangan paksa
Tim Mawar, dsb dsb(Wilson, 2014).
Menurut
James Petras(1985), perjuangan menegakkan HAM pada rezim militer merupakan
sebuah aksi radikal. Dengan begitu, Munir termasuk pada radikalis dalam konteks
ini. Rezim orba dengan dwifungsi abri miliknya menjadi sebuah kediktatoran
mutlak. Atas nama stabilitas dan tentara sebagai laskar dan pemersatu rakyat,
berbagai aturan dan aksinya menjadi penindas mereka yang di luar tatanan
oligarki. Pada awal reformasi, orang-orang di bawah Soeharto kembali pada
kontestasi politik Indonesia. Kasus-kasus
yang ditangani Munir di atas sekaligus menjelaskan kejahatan pelanggaran HAM
oleh orba.
Pada
kondisi yang seperti itu, takut yang menurut Munir mesti diwaspadai jelas dalam
kerangka politik. “Takut” menurut KBBI adalah adjektiva untuk menunjukkan bahwa
kita gentar akan sesuatu yang akan mendatangkan bencana. Munir berseru bahwa
kita harus takut pada ketakutan itu sendiri. ketakutan yang disebut belakangan
inilah yang sifatnya politis bagi seluruh rakyat, bukan penguasa yang saat itu
lalim, dan akan mendatangkan bencana. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai
ketakutan politis ini, saya akan kembali pada konsep social contract yang ditawarkan Thomas Hobbes sebagai sebuah
kerangka tatanan demokrasi.
Hobbes
berpandangan bahwa manusia pada dasarnya individualis, pembenci, serakah,
kejam, dan sifat lainnya yang menunjukan setiap indivu mau menang sendiri.
Dalam kondisi seperti itu, tiap manusia punya kekuatan pada diri masing-masing.
Situasi yang demikian membuat setiap individu takut akan kekacauan yang
mengancam eksistensi mereka—karena ketersediaan sumber daya alam dan
kepentingan akan reproduksi. Untuk mengatasi ketakutan tersebut dipilih suatu
pihak perwakilan yang mengatur dan
membatasi sifat jahat tiap individu yang kemudian disebut pemimpin. Namun,
sejalan dengan itu muncul pula ketakutan lainnya; Mereka tidak berdaya karena
kekuatan mereka yang terlimpahkan pada pihak berkuasa(Taylor, 2010).
Kekuasaan
rejim militer orba terbentuk dan bertumbuh secara historis beriringan dengan
membesarnya ketakutan masyarakat akan melampaui kekuasaan negara. Disahkannya
dwifungsi ABRI membuat masyarakat khawatir mengkritiknya karena itu
berlandaskan ‘hukum’—terlebih militer punya senjata. Terbitnya Surat Izin Usaha
Penerbitan dan Penyiaran menambah akumulasi ketakutan masyarakat akan
ketidakberdayaan kondisi sosial dan politiknya. Mereka tambah takut karena
pemahaman yang keliru akan kontrak sosial Hobbes.
Semangat
Munir untuk melampaui ketakutan seperti itu diwujudkannya dalam setiap orasinya
di jalanan, di saat teror menghampiri rumahnya, saat ancaman di ruang introgasi,
hingga di ruang pengadilan saat membela marsinah. Ia mengajak kita untuk tetap
sadar bahwa kita masih punya kekuatan yang utuh, untuk membebaskan setiap jiwa
yang ditindas atas nama kekuasaan. Ia menghentak mata kita agar tetap melek
bahwa pemimpin hanya dipersilahkan membagi jatah yang ada pada setiap anggota
kelompok secara adil, dan si pemimpin masuk hitungan. Dan di saat ketidakadilan
dilakukan si pemimpin, kita mesti takut pada kekhawatiran kita untuk mengkritik
bahkan menggulingkannya. Jika ketakutan seperti itu mengental pada pikiran
setiap rakyat suatu negara, sungguh penguasa sudah sukses menjadikan kuasa dan
wewenangnya sebagai instrumen politik. Jika itu pun terjadi di Indonesia
dimulai dengan kokohnya pasal ujaran kebencian dan barcode sebagai sensor bagi tiap media, maka semangat Munir melawan
ketakutan sungguh sia-sia.
DAFTAR PUSTAKA
Wittgenstein,
Ludwig. 1986. Philosophical Investigations. Oxford: Basil Blackwell
McGinn,
Marie. 2002. Wittgenstein and The
Philosophical Investigations. Taylor &Francis e-Library.
Wilson
Obrigados, https://indoprogress.com/2014/09/membaca-munir/ diakses pada 7 September 2017
Ken Taylor,
https://www.philosophytalk.org/blog/fear diakses pada 7 September 2017
Petras, James. 1985.
Authoritarianism, Democracy, And the Transition to Socialism. The Socialist Register, 1985/86,
272-273.