September 2017 - LPPMD Unpad

Jumat, 08 September 2017

Memahami Ketakutan akan Takut Munir
Oleh: Mulia Ramdhan Fauzani
sumber: https://antitankproject.files.wordpress.com/

---Sudah tiga belas tahun Munir Said Thalib meninggal karena diracun arsenik. Yang perlu ditakuti adalah ketakutan itu sendiri’’, begitulah kata-kata Munir yang barangkali sudah sering kita dengar. Tapi, apa maksudnya?---

Sekilas, kalimat tersebut terlihat ambigu. Keharusan untuk takut akan ketakutan merupakan suatu masalah yang tidak akan terselesaikan jika kita hanya memaknainya pada lingkup yang sangat besar dan ditempatkan pada setiap kasus. Di sini saya akan meminjam tawaran soal kelogisan bahasa oleh Ludwig Wittgenstein yang tidak bisa diisolasi kata-per-kata untuk memahami maknanya, alih-alih kita mesti melihat lingkupan/konteksnya. Pertanyaannya yang bisa memacahkan permasalahan diatas adalah(Wittgenstein, 1986: i6e): apakah warna biru di sini sama dengan warna biru di sana(sambil menunjuk langit)? Apakah Anda melihat perbedaannya?. Kedua biru tersebut berfungsi sama, yakni menunjuk kepada sesuatu. Namun, keduanya mempunyai pengaruh yang berbeda satu-sama lain. Untuk mengetahuinya, pemilihan konteks yang tepat sangatlah penting(Marie McGinn, 1997:66). Perbedaan pada kedua kata “takut” yang dimaksudkan Munir tersebut pun memiliki efek yang berbeda. Supaya jelas saya akan mengaitkan latar belakang Munir, realitas sosial-politik orde baru dan awal reformasi sebagai masa baktinya pada rakyat pinggiran, serta definisi takut itu sendiri—dan bagaimana penegasan maknanya tercipta secara historis. 

Munir lahir 52 tahun lalu di keluarga keturunan arab-pedagang. Ia punya enam orang saudara kandung. Tiga diantaranya kelak menjadi pedagang. Alih-alih menjadi pedagang seperti saudaranya, ia memilih mengambil studi hukum di Universitas Brawijaya. Disitulah ia memulai pergumulannya dengan isu HAM. Pengalamannya sebagai Ketua HMI Komisariat Fakultas Hukum dan ketua senat mahasiswa Unbraw membuka jalannya kepada wacana tersebut dengan berbagai tulisan dan aksi turun ke jalan. Penilitian skripsinya tentang buruh di PT Bentoel Malang dijadikan Munir sebagai peneguh pengorbanannya, ia menjadi volunteer di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia—Saat itu juga ia dipertemukan dengan buruh pabrik tetangga, Suciwati, yang kemudian ia nikahi. Kasus-kasus yang ia tangani setelahnya: pembelaan terhadap Fernando Araujo pejuang Timor Leste, Marsinah pada 1994, petani di Nipah yang ditembak tentara pada 1993, aktivis PRD korban pasal subversif pada 1996, advokasi kasus penghilangan paksa Tim Mawar, dsb dsb(Wilson, 2014).

Menurut James Petras(1985), perjuangan menegakkan HAM pada rezim militer merupakan sebuah aksi radikal. Dengan begitu, Munir termasuk pada radikalis dalam konteks ini. Rezim orba dengan dwifungsi abri miliknya menjadi sebuah kediktatoran mutlak. Atas nama stabilitas dan tentara sebagai laskar dan pemersatu rakyat, berbagai aturan dan aksinya menjadi penindas mereka yang di luar tatanan oligarki. Pada awal reformasi, orang-orang di bawah Soeharto kembali pada kontestasi politik Indonesia.  Kasus-kasus yang ditangani Munir di atas sekaligus menjelaskan kejahatan pelanggaran HAM oleh orba.

Pada kondisi yang seperti itu, takut yang menurut Munir mesti diwaspadai jelas dalam kerangka politik. “Takut” menurut KBBI adalah adjektiva untuk menunjukkan bahwa kita gentar akan sesuatu yang akan mendatangkan bencana. Munir berseru bahwa kita harus takut pada ketakutan itu sendiri. ketakutan yang disebut belakangan inilah yang sifatnya politis bagi seluruh rakyat, bukan penguasa yang saat itu lalim, dan akan mendatangkan bencana. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai ketakutan politis ini, saya akan kembali pada konsep social contract yang ditawarkan Thomas Hobbes sebagai sebuah kerangka tatanan demokrasi.

Hobbes berpandangan bahwa manusia pada dasarnya individualis, pembenci, serakah, kejam, dan sifat lainnya yang menunjukan setiap indivu mau menang sendiri. Dalam kondisi seperti itu, tiap manusia punya kekuatan pada diri masing-masing. Situasi yang demikian membuat setiap individu takut akan kekacauan yang mengancam eksistensi mereka—karena ketersediaan sumber daya alam dan kepentingan akan reproduksi. Untuk mengatasi ketakutan tersebut dipilih suatu pihak perwakilan yang  mengatur dan membatasi sifat jahat tiap individu yang kemudian disebut pemimpin. Namun, sejalan dengan itu muncul pula ketakutan lainnya; Mereka tidak berdaya karena kekuatan mereka yang terlimpahkan pada pihak berkuasa(Taylor, 2010).

Kekuasaan rejim militer orba terbentuk dan bertumbuh secara historis beriringan dengan membesarnya ketakutan masyarakat akan melampaui kekuasaan negara. Disahkannya dwifungsi ABRI membuat masyarakat khawatir mengkritiknya karena itu berlandaskan ‘hukum’—terlebih militer punya senjata. Terbitnya Surat Izin Usaha Penerbitan dan Penyiaran menambah akumulasi ketakutan masyarakat akan ketidakberdayaan kondisi sosial dan politiknya. Mereka tambah takut karena pemahaman yang keliru akan kontrak sosial Hobbes.

Semangat Munir untuk melampaui ketakutan seperti itu diwujudkannya dalam setiap orasinya di jalanan, di saat teror menghampiri rumahnya, saat ancaman di ruang introgasi, hingga di ruang pengadilan saat membela marsinah. Ia mengajak kita untuk tetap sadar bahwa kita masih punya kekuatan yang utuh, untuk membebaskan setiap jiwa yang ditindas atas nama kekuasaan. Ia menghentak mata kita agar tetap melek bahwa pemimpin hanya dipersilahkan membagi jatah yang ada pada setiap anggota kelompok secara adil, dan si pemimpin masuk hitungan. Dan di saat ketidakadilan dilakukan si pemimpin, kita mesti takut pada kekhawatiran kita untuk mengkritik bahkan menggulingkannya. Jika ketakutan seperti itu mengental pada pikiran setiap rakyat suatu negara, sungguh penguasa sudah sukses menjadikan kuasa dan wewenangnya sebagai instrumen politik. Jika itu pun terjadi di Indonesia dimulai dengan kokohnya pasal ujaran kebencian dan barcode sebagai sensor bagi tiap media, maka semangat Munir melawan ketakutan sungguh sia-sia.

DAFTAR PUSTAKA

Wittgenstein, Ludwig.  1986. Philosophical Investigations. Oxford: Basil Blackwell
McGinn, Marie. 2002. Wittgenstein and The Philosophical Investigations. Taylor &Francis e-Library.
Wilson Obrigados, https://indoprogress.com/2014/09/membaca-munir/ diakses pada 7 September 2017
Ken Taylor, https://www.philosophytalk.org/blog/fear diakses pada 7 September 2017
Petras, James.  1985. Authoritarianism, Democracy, And the Transition to Socialism. The Socialist Register, 1985/86, 272-273.

Minggu, 03 September 2017

Selamat Datang Mahasiswa Unpad 2017!

(Silahkan Pilih: Kamerad atau Oposan?)
Salam hangat untuk semua tamatan SMA yang beruntung dibiayai kuliah di Unpad mulai tahun belajar 2017. Beruntunglah kalian karena tergolong kepada strata berpunya—sebagian lainnya mendapatkan hak sepenuhnya atas pendidikan gratis. Perkara bisa-tidak bisa kuliah sudah kawan-kawan  lewati, tapi sudahkah kalian punya alasan matang untuk menempuh pendidikan tinggi sebelumnya?
Impian dan pengharapan lingkungan sosial kawan-kawan yang berkelit-kelindan agaknya menghasilkan suatu landasan tersebut. Lantas, apakah motivasi tersebut berupa kesukarelaan untuk melebur bersama segala status quo atau meninjaunya kembali, menyingkap sebanyak mungkin keborokannya, lalu dengan gigih memberikan tawaran-tawaran yang tentu diperjuangkan terus-menerus? Kita diberikan ruang yang besar oleh keadaan zaman sekarang dengan derasnya arus informasi. Meminjam istilah Hegel(1837), Zeitgeist(semangat zaman) sekarang di mana banyak orang doyan melahap informasi yang banyak, walaupun tidak utuh, dapat kita manfaatkan untuk mengasah daya kritis kita. Saat kawan-kawan kuliah di unpad ini kita akan menemui segala hal yang patut ditentang dan kita berikan suatu tawaran terhadapnya, tapi juga bisa memilih hal sebaliknya.
            Sesuatu yang kawan-kawan jumpai di semester awal dan mestinya tidak luput dari pengamatan kritis adalah ospek.  Ketika kalian memutuskan untuk ikut atau tidak mengikuti ospek, gambaran mengenai apa itu ospek, bagaimana ospek membentuk suatu relasi sosial antara peserta dan panitia sehingga acara berjalan lancar, dan mengapa ospek diadakan sebijaknya sudah kawan-kawan miliki. Ospek merupakan sebuah ajang pengenalan kampus beserta kegiatannya bagi para mahasiswa yang baru masuk. Karena pelaksanaannya yang diawal masa kuliah, ospek jadi salah satu penentu awal bagaimana mental para peserta di lingkungan kuliah.
Permasalahannya, praktiknya hari ini justru sarat dengan senioritas dan pengerdilan nalar para peserta. Itu mewujud pada aturan-aturan yang tidak berkaitan dengan substansi ospek yang menjadi suatu tradisi karena saking ajegnya. Budaya ini seterusnya mengatur kita secara langsung atau tidak langsung pada masa mematangkan kapasitas masing-masing, baik soft skill maupun hard skill, setidaknya pada masa orientasi—ada ospek yang perlu waktu sekian bulan, bahkan setahun. Sekalinya terdapat peserta pemberani yang menyatakan pandangan kontra terhadapnya, panitia akan dengan mudah membuatnya kecil hati dengan kekerasan verbal dan alasan bahwa aturan itu merupakan pendidikan yang baik bagi peserta. Sungguh paradigma mendidik yang keliru. Di Unpad, sebagian dari kita mewajarkan ospek macam itu.
 Tugas-tugas yang dibebankan pada kita saat ospek juga mesti dikritisi. Apa yag menjadikan materi-materi perkuliahan dijadikan tugas ospek secara berlebihan? Jika peruntukannya adalah menyiapkan kita agar terbiasa dengan tugas kuliah nantinya, sungguh kita, sebagai mahasiswa tidak dipersilahkan mengatur diri sendiri. Jika kita melihat dari sudut pandang wewenang penyelenggaraan pendidikan formal, struktur yang dimiliki ospek jenis itu jelas cacat. Bukankah jalannya perkuliahan adalah hak bagi mahasiswa dengan program studi alih-alih suatu lembaga mahasiswa? Hukuman material/non-material, fisik/verbal, atau sosial/pribadi biasanya didapatkan peserta yang melalaikan tugas tersebut. Kita dipaksa setuju untuk menyelesaikannya—kerap lewat penandatanganan kontrak non-egaliter. Salah satu ospek di Unpad memberikan tugas kepada pesertanya hingga berjumlah sekian belas selama masa orientasi, baik itu pengerjaannya individu maupun kelompok. Hukuman diberikan kepada seluruh peserta jika sebagian darinya menghasilkan tugas yang jelek. Peserta ospek ini sebagian mengeluhkan kegiatan kuliah dan organisasinya yang banyak terganggu oleh ospek. Sebagian malah mengaku depresi karena tekanan mental dari panitia dan peserta lain yang anehnya setuju menuruti titah panitia.
Kewajiban menggunakan seragam SMA saat ospek bagi para peserta semestinya dipertanyakan lagi—bahkan ada ospek yang mewajibkan peserta memakai seragam saat perkuliahan. Apa tujuannya, mengapa harus dengan seragam itu, bagaimana pemakaian seragam itu akan membentuk sikap peserta mesti dipetakan kembali; bisa membuat kawan-kawan lebih siap dengan masa perkuliahan atau hanya sampah belaka. Begitupun dengan kewajiban mencukur rambut jadi botak atau cepak bagi peserta laki-laki di beberapa ospek. Setiap peserta mesti sama satu-sama lain. Bisa dicirikan dengan seragam dan potongan rambutnya. Individu yang berbeda-beda mau tidak mau mesti sama sejak dari yang terlihat mata. Kita dilatih untuk terbiasa jadi adonan dari cetakan yang sama. Kita disiapkan untuk jadi buruh yang seragam tanpa beda kelak, sama-sama tunduk pada siapapun tuan kita!
Ada semacam kecenderungan konyol lembaga mahasiswa penyelenggara ospek. Semakin meriah acaranya, kampusnya semakin bagus dibanding kampus lainnya. Semakin keras nan berat ospeknya, semakin punya kualitas SDM yang lebih baik dibanding lembaga lainnya. Kebanggaan ini di dunia kampus identik dengan warna tertentu; merah, hijau, biru, oranye, coklat, dan banyak lagi. Apakah kita sebegitu gampangnya menanamkan kebanggaan? Inilah rasa bangga yang tidak tepat. Kebiasaan yang jika dibiarkan malah melanggengkan ketidakadilan, dominasi satu kelompok atas kelompok lainnya. Contohnya apa yang terjadi antara para nasionalis tukang jargon dan rakyat Papua yang haus kesejahteraan sebagai yang terpinggirkan.
Kita jangan sampai ragu menyatakan isi pikiran kita, terlebih soal penindasan! Kawan-kawan sudah sadar akan adanya superioritas atas kalian, sayangnya kita kerap melakukan penyesuaian yang tidak perlu—menengok sekeliling untuk memastikan apakah ada yang sependapat. Jika tidak ada, kita lebih memilih diam(spiral of silence). Keadaan itu jadi suatu yang ideal bagi keberlanjutan acara besutan panitia ini. Tugas-tugas dan kewajiban ospek lainnya beserta hukuman bisa dijejalkan pada kita tanpa hambatan.
Saat berargumen, kita jangan sampai jadi kerdil karena disudutkan panitia atau ditatap peserta ospek lainnya dengan sinis. Teruslah berdilaketika soal masalah ini. Spiral of silence yang terjadi pada para peserta lah pemicu tatapan sinis itu, sejatinya banyak dari mereka pun kontra. Diskusikan ini dengan peserta ospek lainnya di warung kopi, kamar kos, ruang kuliah, kantin, taman, dimanapun itu. Kita ajak mereka agar sepakat dan paham betul bahwa ketidakadilan punya bobot berat di ospek. Selanjutnya, kita bisa bantah segala aturan-aturan ospek yang kacau itu. Sikap kita akan ospek macam ini merefleksikan seberapa kritis kita akan realitas.
            Ujian berat selanjutnya
            Perkuliahan kawan-kawan di Unpad masih panjang. Di sini, dengan akses akan ilmu pengetahuan dan informasi yang memadai, kita bisa melihat berbagai sistem besar bekerja, terutama pendidikan. Apapun program studi yang kita tempuh, selalu saja ada permasalahan struktural yang menghambat terselenggaranya perkuliahan kita agar sesuai dengan Tri Dharma perguruan tinggi. Apapun organisasi dan komunitas yang kawan-kawan ikuti, kita tak bisa menghindari bahwa setiap organisasi dipaksa ikut-serta dalam parade pendidikan liberal. Paradigma yang selalu mencetak lebih banyak pecundang dibanding pemenang.
            Pilihan kawan-kawan membaca sebanyak mungkin buku, jurnal, essai, dan artikel tentang pentingnya  pendidikan gratis, sesuai dengan undang-undang dasar 1945 ayat 1, untuk sadar betapa bengisnya liberalisasi pendidikan atau tidak sama sekali. Terserah kawan-kawan juga mau menjadikan sastra dan seni sekedar untuk dinikmati kala ada senja dan secangkir kopi atau berkawan dengannya dalam perlawanan. Tidak masalah buat kawan-kawan menulis setiap kritik dan gagasan tentang tiap ilmu pengetahuan yang saat ini disisipkan semangat kapitalisme atau membiarkan kedua tangan menulis setiap kalimat dosen di ruang kuliah. Bebas bagi kawan-kawan untuk berteriak dengan lantang saat kecemasan kita akan tergusurnya petani dari rumah dan kehidupan subsistennya membuncah atau memandang pembangunan dan modernitas sebagai kehendak tuhan yang mutlak dan selalu baik buat kehidupan.
Yang jelas, jika kawan-kawan lebih memilih untuk menentang segala penindasan tandanya perlawanan terhadapnya masih terus diperjuangkan dan bisa dimenangkan. Semangat kamerad!

“I am speaking the truth. And the truth is savage and dangerous.”
Nawal El-Saadawi- Women at point zero.