Agustus 2017 - LPPMD Unpad

Jumat, 04 Agustus 2017

Meninjau Dan Mengkaji Ulang Peran Politik Media Massa Indonesia
sumber: solopos.com

Media Massa Indonesia, menurut Undang-Undang NO. 40 tahun tahun 1999 pasal 6, mempunyai beberapa peran, yaitu:
  1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui
  2. Menegakkan nila-nilai demokrasi
  3. Mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak asasi manusia, dan serta menghormati
  4. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum

Dalam Undang-Undang tersebut tidak dituliskan peran politik media atau lebih tepatnya media sebagai aktor politik, walaupun sebenarnya media memang memilik peran politik. Di dalam Undang-Undang yang sama pasal 1 disebutkan bahwa pers adalah lembaga sosial. Padahal, Media Massa juga memiliki peran politik. Media menjadi aktor politik yang menjadi perpanjangan tangan para pemegang kekuasaan (Adzkia, 2014). Tetapi, Cook (1998) menjelaskan bahwa masyarakat awam bahkan para ahli politik juga gagal dalam mengenali media sebagai institusi politik (Aminah, 2006).
Cook lebih lanjut menjelaskan bahwa para jurnalis berhasil meyakinkan masyarakat bahwa mereka bukanlah aktor politik. Dan di lain sisi juga jurnalis terkadang mungkin tidak sadar bahwa mereka juga aktor politik yang memiliki pengaruh (influence) yang cukup besar. Hal ini berimplikasi pada peran media dan bagaimana persepsi masyarakat terhadapnya.
Lalu, sebagai instusi politik, seperti apakah peran media itu sendiri? Aminah di dalam tulisannya “Politik Media, Demokrasi, Dan Media Politik” menjelaskan bahwa ada tiga peran media massa dalam sebagai institusi politik:
  • Menyebarluaskan ideoloi nasional dan melegitimasi proses pembangunan
  • Mengawasi kondisi politik pada masa damai dan melakukan fungsi check and balance
  • Fire-fighting, yaitu membantu dalam menentukan hasil dari perubahan politik dan sosial yang terjadi saat krisis.


Pasang-Surut Surat Kabar Di Indonesia 
Indonesia baru memiliki media massa nasional pada saat era politik etis tahun 1907. RM. Tirto Ardhi Soerjo mendirikan sarekat priyai untuk meningkatkan kulitas pendidikan kepada pribumi di Jawa. Beliau menerbitkan surat kabar yang dinamai Medan Prijaji, terbit pertama kali 1 Janurai 1907. Jejak ini diikuti oleh beberapa media yang lain yang muncul dengan orientasi penyadaran nilai-nilai keindonesiaan (Haryanto, 2008). Diantara media-media nasional yang muncul itu adalah Harian Budi Utomo di Yogyakarta, Harian Darmo Kondo di Solo, Harian Fadjar Asia di Jakarta, Harian Utusan Hindia di Surabaya, Fikiran Rakyat di Bandung, dan lain-lain (Haryanto, 2008). Uniknya lagi media-media ini dipelopori oleh para aktivis pergerakan, seperti Sudaryo Cokrosisworo, Wongsonegoro, Agus Salim, Muhammad Hatta, Soekarno, Muhammad Hatta, Sultan Syahrir, Amir Syaifuddin dan masih banyak lagi.
Sebelum RRI dibentuk, media-media inilah yang menjadi pioneer dalam memperjuangkan pemerintahan colonial Belanda. Belanda dengan sikap represifitasnya  melalui Persbreidel Ordonantie dapat memberanguskan surat kabar Indonesia yang dianggap meanganggu pemerintahan kolonial. Namun, pengekangan menggunakan politik oleh Belanda terhadap media nasional ini justru menjadi motivasi tersendiri dalam perjuangan media nasional. Media nasional pada saat itu berhasil menjadi satu-satunya alat yang menyuarakan suara rakyat yang dikekang oleh pemerintahan kolonial Belanda.
Tidak jauh berbeda pasa masa kolonial Belanda, pada masa penjajahan Jepang juga terjadi perlawanan. Walaupun sebelumnya, sempat dijadikan alat pemerintahan Jepang untuk mendukung pemerintahannya. Surat kabar yang dijadikan alat bagi Jepang ini adalah Asia Raya di Jakarta, Sinar Baru di Semarang, Suara Asia di Surabaya, dan Tjahaja di Bandung (Haryanto, 2008).  Namun, hal ini cepat disadari oleh media-media nasional tersebut. Bahkan upaya jepang ini dimanfaatkan secara sembunyi-sembunyi oleh cendekiawan nasional untuk memperjuangkan kepentingan bangsa Indonesia. Dan akhirnya perjuangan ini tidak sia-sia, Indonesia berhasil merdeka dengan salah satunya dibantu oleh media nasional, berupa surat kabar.

RRI: Perjuangan Bangsa, Propaganda Politik, Dan Peneguhan Kekuasaan
Radio Republik Indonesia (RRI) adalah media massa berupa radio yang pertama yang lahir di Indonesia. RRI didirikan pada tanggal 11 Sepember 1945 oleh Mohammad Yusuf Ronodipuro, Abdulrachman Saleh, Maladi, dan Brigjen Suhardi. Sebelumnya, salah satu pendiri RRI saat itu, Yusuf, mendapat amanat dari Adam Malik untuk menyebarkan berita kemerdekaan Republik Indonesia. Sempat mendapat kendala teknis dan hampir dipenggal oleh perwira jepang menggunakan katana, tidak menghentikan langkahnya untuk memperjuangkan bangsanya sendiri, sampai akhirnya mendirikan RRI (National-Geographic, 2015)..
RRI sendiri terus melakukan penyebaran informasi kemerdekaan kepada dunia internasional dan akhirnya berhasil. Pada tahun 1946, Mesir sebagai Negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia. Dilanjutkan oleh palestina, Negara timur tengah lainnya, dan India. 
Peristiwa inilah yang menjadi awal bagi RRI di dalam kancah politik media massa Indonesia. RRI dibangun atas dasar persatuan dan perjuangan bangsa sebagai alat untuk mendapatkan pengakuan kemerdekaan dunia internasional. RRI memainkan peran sebagai prajurit politik pertama yang mengumandangkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan Faktanya memang peran krusial ini dapat dijalankan secara efektif. 
Pada masa demokrasi liberal (1950-1959), RRI terus-menerus menjadi alat propaganda dari berbagai Kabinet yang berganti dalam waktu yang relatif cukup singkat. RRI diharuskan untuk beradaptasi kepada setiap perubahan program kabinet yang silih berganti. Selain itu, mereka juga dituntut untuk menghidupkan api semangat dalam upaya pemisahan diri di berbagai daerah (Jawa Barat, Maluku Selatan, Aceh, Sulawesi Selatan, Sumatera Tengah, Sumatera Selatan, Sulawesi Utara, dan Irian Barat) (Armando, 2016). Tetapi, di sisi yang lain, konsekuensi dari demokrasi liberal adalah kebebasan control dari pemerintah terhadap media massa. Akibatnya konflik yang terjadi semakin dipertajam oleh media massa yang menganut asas liberalisme pada saat itu. Sehingga pemerintah merasa perlu untuk bertindak lewat militer untuk mengawasi peran media massa untuk keamanan dan ketertiban (Haryanto, 2008). Tepatnya pada tanggal 1 Oktober 1957, Penguasa Perang Daerah Jakarta mengharuskan semua pers untuk wajib memiliki Surat Ijin Terbit (SIT). Pada tanggal itu juga lah yang menjadi penanda hari kematian kebebasan pers (Haryanto, 2008).
Pada masa demokrasi terpimpin, RRI berperan sebagai alat untuk memantapkan kekuasaan bagi Presiden Soekarno. Pada masa ini, media benar-benar dibatasi dengan berbagai peraturan yang ada untuk menunjang kepentingan kekuasaan. Dalam Ketetapan MPRS Nomor tahun 1960 disebutkan bahwa media beperan untuk memperkuat usaha penerangan sebagai media mobilisasi rakyat dan mobilisasi revolusioner. Selain itu, Mentri Penerangan juga mengeluarkan Surat Keputusan No. 29/SK/M/1965 berisi kewajiban Media Massa untuk memiliki gandulan kepada salah satu kekuatan sosial politik, seperti partai politik dan organisasi. Lebih gamblang lagi, peraturan No. 2 tahun 1961 menekankan percetakan pers sebagai alat menyebarluaskan manifesto politik, dan Dekrit Presiden No. 6 tahun 1963 tentang tugas pers untuk mendukung demokrasi terpimpin (Haryanto, 2008).
Dengan berbagai peraturan pers di atas, tentu saja, membuat gerak pers menjadi terbatas. Bahkan, fungsi dan peran pers seakan-akan memang menjadi sekedar alat politik bagi penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Konsekuensinya, Media Massa yang tidak menaati berbagai peraturan di atas akan dikenakan sanksi bahkan mengalami pembredelan.
Pada pemerintahan order baru, peran RRI sedikit tergesarkan dengan hadirnya beberapa radio komersial. Hal ini disadari oleh pemerintah order baru sehingga restriksi dengan regulasi mulai diperktetat oleh pemerintah. Radio komersial tersebut hanya boleh memuat konten hiburan, dan tidak diperbolehkan untuk konten-konten politik. Dan izin siaran juga harus diperbarui setiap tahun melalui Departemen Perhubungan dan Departemen Penerangan. Bahkan, pemerintah order baru mengstimulasi beridirinya Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI). Sehingga pemerintah orde baru dapat megontrol radio swasta nasional dengan lebih mudah. Tidak berhenti di situ, Radio swasta juga diharuskan untuk menyiarkan berbagai siaran RRI yang mengandung pesan-pesan politik dan pembangunan dengan frekuensi beberapa kali dalam sehari.

TVRI Dalam Orde Lama Dan Orde Baru
TVRI sebagai lembaga penyiaran pemerintah dan bukan sebagai lembaga penyiarn swasta atau publik didasarkan pada kondisi dan pertimbangan tertetun. Pertama, Negara yang baru merdeka biasanya memilki sumber daya yang cukup disbanding sector swasta dalam mendirikan fasilitas Negara tertentu, termasuk lembaga penyiaran. Kedua, mempertimbangkan stabilitas politik di tahap awal yang rentan, maka dibutuhkan media nasional di bawah kendali pemerintah untuk tetap menjaganya. Ketiga, dibutuhkan cara untuk menggerakkan massa yang dari transisi tradisional ke moderen, salah satunya melalui lembaga penyiaran pemerintah yang dapat dikendalikan (Armando, 2016).
Selain dari itu, lembaga penyiaran pemerintah memiliki keuntungan yang lain, yaitu: 
        1. Tidak ada dependensi stasiun televisi terhadap iklan
        2. Tidak harus mengikuti “logika pasar” 
        3. Dapat berafiliasi secara harmonis dengan pemerintah (Armando, 2016).

TVRI pada awalnya didirikan dengan sangat terburu-buru dengan kepentingan tertentu. Kepentingan ini tentu bersinggungan dengan rezim yang sedang berkuasa. Chomsky menjelaskan bahwa hal seperti bekerja pada tatanan sistem doktrinal. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa system ini memiliki nilai-nilai dasar, berupa kepasifan, ketertundukan kepada pemerintah, menolak ketamakan terhadap kekayaan dan pencapaian pribadai, kurangnya perhatian kepada orang lain, dan ketakutan pada musuh yang nyata maupun yang tidak (Chomsky, 2015)
Awalnya, Maladi—mentri penerangan—sudah mengusulkan gagasan pembentukan media televisi Indonesia pada tahun 1952. Hal ini ditujukan untuk tujuan politik untuk berkampanye bagi Soekarno pada pemilu 1955. Namun, karena mempertimbangkan biaya, maka usulan ini tidak bisa dilaksanakan. 
Pada tahun 1962, MPRS mencapai keputusan atas dasar perstujua Soekarmo untuk stasiun televsi nasional, yaitu TVRI. Ketika itu juga, proyek Asian Games sedang berlangsung. Hal ini terlihat jelas bahwa Soekarno ingin menunjukkan eksistensi Indonesia di mata Internasional lewat media televisi. Dan juga sebagai media pemersatu bangsa di bawah rezim otoriter yang keadaan negaranya lagi terpecah belah. 
Pada masa orde baru, TVRI kembali menjadi media propaganda dalam konteks pembangunan nasional. TVRI sudah seperti menyatu dalam kepentingan politik pemerintahan order baru. Alih-alih menyampaikan suara rakyat, TVRI justru menyampaikan suara pemerintah (saja). Hal ini tertuang dalam Keputusan Mentri Penerangan No. 34/1996, yang menyebutkan fungsi TVRI:
“Butir 1: memberi penerangan seluas-luasnya dan menamkan pengertian serta kesadaran yang sedalam-dalamnya mengenai Pancasila sebagai ideoloi dan dasar Negara Republik Indonesia kepada seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Butir 3: memberi penerangan kepada masyarakat tentang program-program pemerintah, peraturan-peraturan Negara serta tindakan-tindakan pelaksanaannya yang dilakukan baik oleh pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah.
Butir 4: membimbing pendapat umum ke arah terwujudnya social support, social control, da social participation yang positif terhadapa pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah dalam rangka memperpendek jarak waktu tercapainya masyarkat adil dan makmur berdasarkan pancasila dan pembentukan dunia baru yang bebas dari penindasan dan penjajahan.” (Armando, 2016)
Cara pandang media pada saat itu diharuskan untuk membuat intonasi dan bentuk berita yang tidak menimbulkan ekskalasi krisis. Jika tidak dilakukan, maka sikap pemerintah menjadi represif, seolah-olah pers tanpa power tertentu dan hanya bisa bersikap pasif. Buktinya, setelah peristiwa malari (malapetaka 15 Januari) 1974, 12 surat kabar dan majalah dibredeil, Sebagian wartawan bahkan dibui karena dituduh mendukung aksi mahasiswa tanpa proses pengadilan, dan tahun 1978 karena dianggap berlawanan dengan agenda rezim order baru yang sedang berkuasa, sebanyak tujuh media massa dilarang terbit (Haryanto, 2008).
Tindakan-tindakan diatas adalah bentuk reprsifitas pemerintahan order baru yang berusaha mempertahankan kekuasaannya dengan metode apapun. Media sebagai lembaga independen, ternyata masih bisa menjadi sasaran reprisifitas dan tindakan anti-kritik oleh rezim orde baru. Media Massa pada saat itu tidak memiliki ruang gerak untuk mengekspresikan berbagai gagasan dan ide dalam bentuk apapun. Pers dikekang oleh peratura-peraturan pemerintah yang hanya mementingkan kepentingan kelompok dan kekuasaannya sendiri.
Media Massa pada dasarnya tidak hanya berperan menjadi alat penyedia informasi, tetapi juga sebagi alat, aktor, dan institusi politik. Hubungan yang ketergantungan antara media Massa dan politik sebenarnya adalah hal yang lumrah. Media Massa Indonesia sendiri berkali-kali menjadi alat politik bagi rezim yang sedang berkuasa. 
McQuail (1989) menjelaskan bahwa keterikatan antara Negara dan media dalam lingkungan system politik dan sosial menimbulkan peran dan fungsi tertentu dalam berbagai unsur bangsa. Lebih lanjut, dalam system kenegaraan, media massa ditentukan oleh pemegang otoritas kebijakan Negara dalam hal operasional—semata-mata untuk kepentingan Negara. Berbeda dengan Negara, pemilik media memandang bahwa media itu sendiri sebenarnya hanyalah sebagai alat bisnis untuk mendapatkan profit. Sedangkan, publik menginginkan peran media ini sebagai alat control sosial dan perubahan (Haryanto, 2008).
Perbedaan peran ini menimbulkan dilemma tersendiri bagi para media massa. Dilemma ini jika dan hanya jika terjadi apabila media menginginkan kepentingan dari seluruh pihak dapat diakomodasikan tanpa merugikan pihak yang lain. Untuk menjawab dilemma ini, McQuail menjelaskan bahwa ada enam system media massa, yaitu system pers bebas, system pers otoriter, system pers tanggungjawab sosial, system pers soviet, system pers pembangunan, dan system pers demokratik partisipan.
Seperti pembahasan sebelumnya bahwa pers Indonesia dari waktu ke waktu memiliki model system pers yang juga berbeda sesuai dengan kepentingan dan kondisi politk pada saat itu. Diuraikan kembali, system pers pada masa orde lama cenderung system pers otoriter, system pers orde baru lebih mengarah kepada pers pembangunan walaupun juga diwarnai dengan pers otoriter, dan pada era eformasi, pers cenderung memiliki system teori pers bebas.

Menimbang dan mengamati kondisi politik Indonesia, Indonesia adalah Negara yang menganut demokrasi. Sehingga arah system pers yang sangat cocok adalah system pers demokratis partisipan. Dalam kondisi ini, pers memiliki kebebasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dan juga menolak adanya komersialisasi, sentraliasi dan monopoli pers oleh swasta. System ini mekankan pada prinsip egalitarian dalam permberdayaan masyarakat. Secara lebih detil, Prinsip-prinsip system pers demokratik partisipan, yaitu:
  1. Setiap orang dan kaum minoritas berhak mendapatkan akses terhadap media, hak berkomunikasi, dan hak untuk dilayani sesuai dengan kebutuhan yang ditentukan sendiri
  2. Institusi media secara prosedur dan substansial tidak perlu tunduk terhadap pengendalian birokrasi Negara
  3. Media hanya untuk kepentingan umum
  4. Organisasi, komunitas, dan kelompok hendaknya memiliki media sendiri\
  5. Media yang berskala kecil namun interaktif dan komunikatif lebih baik disbanding berskala besar tetapi hanya satu arah
  6. Kebutuhan sosial media tidak cukup hanya dikemukakan melalui konsumen secara individual
  7. Komunikasi terlalu penting jika hanya diserahkan kepada kalangan professional saja (Haryanto, 2008).

Dengan berbagai prinsip pers media tersebut secara teoritis, maka disimpulkan system pers tersebut sangat ideal seuai dengan kondisi sosial, politik, dan ekonomi Indoesia sekarang. Sehingga peran-peran media tidak lagi hanya berpaku pada kepentingan pemerintah saja atau kepada kepentingan swasta saja, melainkan untuk kepentingan rakyat.