Mei 2018 - LPPMD Unpad

Selasa, 01 Mei 2018

Buruh Adalah Kita dan Kita Adalah (Calon) Buruh!
oleh: Muhammad Fakhri

Foto: M Aditya Fathurrahman K

Hari ini, tepat tanggal 1 Mei, adalah Hari Buruh atau biasa disebut May Day. May Day adalah hari buruh internasional yang selalu diperingati tiap tahunnya. Layaknya tiap tanggal 1 Mei sebelumnya, hari ini pun, buruh-buruh sedunia akan turun ke jalan untuk menyampaikan tuntutan-tuntutannya ke pemerintah. Hal ini pun terjadi di Indonesia. Ratusan ribu buruh akan tumpah di jalanan protokol kota. Aksi buruh ini biasanya akan terpusat di gedung-gedung pusat pemerintahan, seperti Gedung DPR, MPR, DPD, sampai di Bundaran Hotel Indonesia, di Jakarta. Tahun ini, menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), aksi unjuk rasa buruh akan diikuti oleh hampir satu juta buruh dari 25 provinsi dan 200 kabupaten di seluruh Indonesia. 
Sebelum jempol gatal untuk berkomentar soal betapa macetnya jalanan di May Day, ada baiknya kita simak terlebih dahulu sejarah Hari Buruh ini. Sejarah hari buruh adalah sejarah perjuangan yang panjang, berat, dan berdarah. Dimulai pada 1 Mei 1886, Lapangan Haymarket, Chicago, Amerika Serikat, dipenuhi oleh puluhan ribu buruh yang mogok kerja sejak satu bulan sebelumnya. Tuntutannya adalah pengurangan jam kerja dari 16 jam menjadi 8 jam sehari dan kenaikan upah yang layak. Pada tanggal 4 Mei, malamnya, 180 polisi menghampiri massa aksi dengan upaya pembubaran aksi. Saat itu juga, sebuah bom meledak di dekat barisan polisi, dan petugas pun mulai menembaki massa aksi. Tercatat, 67 aparat terluka, tujuh polisi tewas, dan 200 massa aksi terluka dan empat diantaranya tewas. Konferensi Internasional Sosialis 1889 menetapkan momentum awal mula aksi 1 Mei 1886 sebagai Hari Buruh Internasional.
Di Indonesia, sejarah hari buruh tidak terpisahkan pula dari perjuangan panjang dan berat. Sejak masa Seokarno, hari buruh selalu diperingati dengan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) sebagai motor penggeraknya. Namun, pergantian kekuasaan ke tangan Soeharto membuat perbedaan yang signifikan terhadap perayaan Hari Buruh. Orde Baru mengharamkan peringatan Hari Buruh Internasional dan menggantikannya dengan Hari Pekerja Nasional yang jatuh pada tanggal 20 Februari. Dari titik ini, mulai ada pengaruh kekuasaan terhadap penggunaan istilah atau dalam Ilmu Politik disebut sebagai ‘politik bahasa’. Orde Baru merancang istilah pekerja untuk membedakan antara ‘buruh’ dan ‘pekerja’. Buruh disematkan dengan label ‘pekerja kasar’, ‘kurang berpendidikan’, dan ‘minim skills’. Sedangkan pekerja, sebaliknya, adalah orang-orang yang memiliki Pendidikan tinggi, skillful, dan bekerja utamanya menggunakan ‘otaknya’. Pemisahan ini secara politis juga sebagai lanjutan dari episode propaganda anti komunisme yang ditiupkan sejak Seoharto naik tahta. Istilah buruh dianggap lekat dengan komunisme oleh pemerintah Orde Baru. Dan karenanya, segala hal yang lekat dengan komunisme adalah barang haram, menijiikkan, dan karenanya juga layak dihapuskan. 
Pasca Orde Baru runtuh di tahun 1998, Hari Buruh mulai menemukan nafas barunya. Di tahun 2000, Seikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) yang dulu menjadi satu-satunya serikat buruh yang dihalalkan kehadirannya oleh Orde Baru, saat ini, tidak sendiri. Kebebasan berserikat kembali hadir di tengah-tengah masyarakat, sehingga SPSI tidak lagi sendirian. Bahkan, pasca lima tahun reformasi, tercatat 80 serikat buruh yang ada di seluruh Indonesia.
Saat itu, buruh juga menuntut tanggal 1 Mei untuk dijadikan sebagai hari libur nasional. Sayangnya, tuntutan ini tidak diamini mulai dari pemerintahan Gusdur, Megawati, sampai SBY. Baru pada akhir tahun 2013, SBY mengambulkan tuntutan ini. Walaupun, keputusan ini dinilai politis. Sebab, beberapa bulan setelahnya dilangsungkan pemilu legislatif, dan massa buruh yang besar tentu sangat potensial untuk meraup suara.
Tentu saja perjuangan buruh di Indonesia tidak hanya soal hari menuntut hari libur saja. Namun, lebih dari itu, tuntutannya melintang dari mulai Batasan jam kerja, batasan umur pekerja anak, upah minimum regional (UMR), upah lembur, tunjangan hari raya, cuti haid, cuti melahirkan, dana pensiun, dan jaminan sosial. Seluruh hasil kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan persoalan di atas adalah hasil tuntutan dari buruh-buruh yang tumpah di jalanan tiap tanggal 1 Mei setiap tahunnya. 
Penting bagi kita untuk menyadari bahwa buruh adalah kita. Dan kita adalah buruh. Maksudnya, jika kamu adalah orang-orang bekerja dan diupah, maka kamu adalah buruh. Tidak peduli jenis apa profesimu, tempat kerjamu, besar gajimu, dan status sosialmu. Seorang pekerja media juga buruh, seorang pegawai negeri sipil juga buruh, pegawai swasta juga buruh, dosen juga buruh, dan terakhir, mahasiswa adalah calon buruh.
Soal yang terakhir itu perlu dijelaskan lagi karena tidak semua kita nyatanya sadar. Bahwa kampus menyiapkan kita untuk menjadi buruh yang handal, kompetitif, dan siap kerja. Berbagai wejangan dari dosen sampai rektor di berbagai kesempatan tidak jarang selalu mengingatkan kita bahwa kompetisi global akan menuntut kita untuk dapat bersaing dengan tenaga kerja asing. Untuk itu, mempersiapkan diri untuk menjadi pekerja yang baik adalah soal utamanya. 
Maka dari itu, coba bayangkan ketika, kita, calon buruh, misalnya, sudah menjadi buruh (baca: pekerja, jika kamu masih enggan atau denial menyebutnya) memasuki dunia kerja. Bayangkan kita akan bekerja 16 jam sehari. Hasil lembur kita tidak dibayar. Jaminan kesehatan tidak ada. Upah tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari. Tidak ada waktu untuk beristirahat atau sekadar berkumpul dan ngobrol santai bersama keluarga. Bayangkan jika tiap hari hidup kita hanya dihabiskan untuk bekerja, ditambah kondisi kerja yang tidak manusiawi. Hal-hal di atas mungkin saja masih terjadi jika buruh-buruh tidak menuntut dan memadati jalanan tiap 1 Mei, misalnya. Dan sayangnya, tindakan buruh-buruh ini dinyinyiri oleh sesama buruh lainnya yang merasa tidak nyaman atau terganggu dengan aksi 1 Mei ini. Tentu, hal ini lagi-lagi bukan personalan individu saja, melainkan hasil hegemoni propaganda Orde Baru yang masih melekat di kita. Bahwa seorang buruh yang berada di jalan di tanggal 1 Mei seakan-akan berbeda dengan seorang Pegawai Negeri Sipil yang mengoceh di dalam mobil karena jalanan yang macet akibat aksi 1 Mei. Padahal, kedua-duanya adalah buruh, berbeda profesi saja.
Sekali lagi, penting bagi kita untuk menyadari bahwa buruh adalah kita dan kita adalah (calon) buruh. Maka berhentilah menyinyir aksi buruh 1 Mei ini, sebab yang diperjuangkan oleh buruh adalah masa depan kita. Dan satu hal lagi, karena selemah-selemahnya iman adalah tidak menyinyir. Maka jika kita benar-benar beriman, berhentilah nyinyir dan segeralah bertobat ~

Selamat Hari Buruh buat semua (calon) buruh di dunia dan di Indonesia!