April 2016 - LPPMD Unpad

Kamis, 14 April 2016

Press Release Diskusi Buku  Melawan Liberalisme Pendidikan

Senin, 4 April 2016 yang lalu LPPMD Unpad melaksanakan kegiatan diskusi buku “Melawan Liberalisme Pendidikan”. Dalam diskusi buku karangan Darmaningtyas, Fahmi Panimbang, dan Edi Subkhan tersebut, hadir sejumlah mahasiswa dari kader LPPMD maupun non-LPPMD. Adapun materi yang dibahas dalam diskusi tersebut tentu saja perihal pendidikan tinggi yang pada era dewasa ini cenderung digunakan atau dijadikan oleh sebagian pihak sebagai ladang bisnis, seperti yang dinyatakan oleh Putri—salah satu peserta diskusi—yang mengatakan bahwa pendidikan kali ini selalu menekankan pada aspek investasi dan memperoleh keuntungan dari sesuatu yang diinvestasikan.
            Pendidikan Tinggi di  Indonesia sendiri sebetulnya telah mengalami liberalisasi sejak dimulainya reformasi sesuai dengan PP No. 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum, yang kemudian diperkokoh dengan UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 53 yang mengatur soal pembentukan badan hukum pendidikan dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Hal ini jualah yang kemudian menginisiasi UU No. 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). UU tentang BHP sendiri sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 31 Maret 2010. Menurut aspek hukum, UU BHP jelas inkonstitusional karena bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 31 tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab menyelengggarakan dan membiayai pendidikan anak bangsa, namun kemudian malah membebankan wewenang kepada institusi pendidikan (Febriantanto, 2010). Singkatnya, semua peraturan-peraturan tersebut dianggap sebagai segenap usaha dalam meliberalisasi pendidikan dengan dalih otonomi kampus, dan lain-lain.
            Pada dasarnya, liberalisme pendidikan tinggi mempunyai dampak negatif berupa hilangnya ‘roh’ dari pendidikan itu akibat terjadinya pergeseran orientasi yang mana hal ini disebabkan oleh suatu usaha untuk menjadikan institusi pendidikan sebagai sarana bisnis. Di sisi lain, menurut salah satu peserta diskusi, pendidikan dewasa ini dirasa lebih mengutamakan daya saing ketimbang daya guna. Sehingga, tidak heran jika banyak pelajar atau mahasiswa menjadi stress karena harus selalu mampu memenuhi tuntutan-tuntutan dalam persaingan.
            Oleh karena itu, perlu adanya pengawasan dari berbagai pihak terkait dengan jalannya proses pendidikan di tanah air terutama pengawasan oleh kalangan mahasiswa itu sendiri agar kritis dan berani bersuara terhadap kebijakan-kebijakan yang akan dilaksanakan. Hal ini tentu saja bertujuan agar kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan dapat menguntungkan semua pihak. Mari lawan liberalisasi pendidikan (tinggi)!

(Annadi M.A dan Aldo F.N.)

Sabtu, 09 April 2016

Nietzsche, Rekan Sejaman Kita


Friedrich Nietzsche, yang lahir pada 1844, terjatuh sakit dalam keheningan pada 1889, dan meninggal sebelas tahun kemudian, adalah filsuf besar pertama di abad 20. Apa yang membuat, dan terus membuatnya begitu penting adalah bahwa dia mengakui dengan kejernihan yang megah dan tinjauan pada masa depan yang mengesankan mengenai masalah yang paling mengganggu dan paling berkanjang dalam modernitas, yakni masalah nilai-nilai. Percobaan-percobaannya dalam memecahkan masalah ini memang tidak berhasil, namun hal tersebut sungguh telah membongkar kedalaman dari pokok-pokok permasalahan yang mana usaha Nietzsche tersebut masih mengalahkan usaha-usaha terbaik kita dewasa ini.

Mari memulai dengan pernyataan Nietzsche yang terkenal (dengan nama buruk, pen.) bahwa “Tuhan telah mati” (pertama kali muncul dalam The Gay Science, Pengetahuan yang Mengasyikkan, 1872). Pemikiran sekuler merupakan hal yang lumrah dewasa ini, namun pada masa Nietzsche pernyataan ini—dengan cara yang mencolok—bersifat profetik. Inti dari klaim tersebut sungguh tidak untuk menekankan ateisme: kendatipun Nietzsche tentu saja merupakan seorang ateis, dia bukan pelopor ateisme Eropa. Sebaliknya, observasinya bersifat sosiologis, dalam hal: ia bermaksud bahwa kebudayaan Barat tidak lagi menempatkan Tuhan sebagai pusat dari segala hal. Dengan cara yang lain, istilah ‘sosiologis’ sungguh menyesatkan, karena tidak ada yang ‘bebas-nilai’ dalam penekanan Nietzsche tersebut. Kematian Tuhan telah mencerabut keluar tiang-penopang dari bawah sistem nilai Barat, dan menyingkapkan jurang-ngarai yang ada di bawahnya. Nilai-nilai yang masih terus kita hidupi tersebut telah kehilangan maknanya, dan kita terombang-ambing, baik kita sadari atau tidak. Lalu pertanyaannya adalah, apa yang kita lakukan sekarang? 

Kita awalnya mungkin berpikir bahwa ‘kematian Tuhan’ merupakan persoalan yang terlalu familiar. Umat Kristiani konservatif berpendapat bahwa jika Tuhan tidak eksis (ada, pen.), maka nilai-nilai moral objektif tidak eksis pula, dan lalu para humanis sekuler membalas dengan marah bahwa eksistensi Tuhan sungguh tidak berhubungan dengan keabsahan putusan-putusan moral yang kita buat. Nietzsche setuju dengan pendapat para kaum beriman tersebut bahwa kematian Tuhan menandakan akhir dari objektivitas sebagai ciri-ciri nilai moral, namun berbeda dengan mereka Nietzsche tidak mengusung pendapat ini sebagai alasan untuk mempercayai Tuhan. Akan tetapi, dia tidak berpikir bahwa nilai-nilai bersifat subjektif dalam makna pada umumnya, bahwa keyakinan setiap orang sama absahnya dengan keyakinan orang lain. Sebaliknya, bagi Nietzsche, nilai memiliki kuasa, dan bersumber dari kuasa: seperti halnya karya-karya seni, keagungannya berada dalam kuasanya untuk menggerakkan kita. Tetapi manipulasi media atas sentimen umum bukanlah indikator dari kuasa yang menciptakan nilai, karena hampir setiap orang hanyalah anggota kawanan bagi Nietzsche. Setiap hal yang berhubungan dengan nilai bagi preferensi umum (bahkan preferensi atas aristokrasi) adalah percobaan untuk menyokong objektivitas nilai-nilai. Namun apabila objektivitas nilai berada pada sebuah akhir, maka sebuah sumber nilai individualistik yang sungguh baru dan radikal harus dicari. Konsepsi Nietzsche mengenai kuasa sungguh elitis: hanya orang yang agung yang dapat menciptakan nilai-nilai.

Nietzsche berpendapat bahwa pada masa kuno, nilai-nilai dimiliki oleh orang-orang yang menciptakannya:
“Sebuah lembaran nilai-nilai yang baik  tergantung di atas setiap orang. Lihatlah, itu merupakan lembaran mengenai penaklukan mereka; lihatlah, itu merupakan suara dari kehendak akan kuasanya... ‘Kau harus senantiasa menjadi yang pertama dan mengungguli yang lainnya: jiwamu yang cemburu tidak akan mencintai siapapun, kecuali sahabatmu’—Hal itu membuat jiwa Yunani gemetar: demikianlah ia menyusuri jalan keagungannya... ‘Menjalankan kesetiaan dan, demi kesetiaan tersebut, mempertaruhkan kehormatan dan nyawa bahkan demi hal-hal yang jahat dan berbahaya’—dengan ajaran inilah orang lain menaklukan diri mereka sendiri, dan melalui penaklukan-diri ini mereka mengandung dan berat dengan harapan-harapan agung...”
Thus Spake Zarathustra, I, 1883

Demikianlah dalam era antik, adalah kuasa melalui mana orang mendefinisikan dirinya sebagai yang menciptakan nilai-nilai bagi dirinya sendiri. Lalu datanglah apa yang Nietzsche anggap sebagai kompleksitas Kristiani yang merosot, dalam mana kelemahan alih-alih kuasa yang dipakai untuk mendefinisikan nilai: “Orang yang lemah lembut akan memiliki bumi.” (Matius 5:5) Kenyataannya, kelas pendeta Kristiani benar-benar melakukan kehendak akan kuasanya sendiri, dalam kemenangannya atas orang-orang pagan, namun dalam prosesnya kebanggaan instingtual hewani milik manusia direndahkan melalui upaya disiplin untuk hidup dalam kemiskinan, menahan nafsu, rasa berdosa; sebuah moralitas yang menggemakan pesan Tuhan yang menderita di kayu salib. Pesan eksplisitnya adalah bahwa nilai tidaklah terwujud dalam manusia yang suci secara duniawi, melainkan melampaui hal tersebut. Akan tetapi kebenarannya bertentangan dengan hal tersebut: bahwa kuasa para pendeta telah diwujudkan dalam kemenangan mereka atas jenis kepatuhan pesaingnya yang lain. Namun kemenangan ini diraih melalui wabah penyangkalan-diri Kristiani—apa yang Nietzsche sebut sebuah “ungkapan-tidak” untuk kehidupan.

Tetapi dengan kematian Tuhan, modus penciptaan-nilai yang anti-kekuatan milik Kristen runtuh, dan manusia modern tidak memiliki keyakinan yang kokoh untuk menggantikannya. ‘Nilai’ kita merupakan campuran inkoheren atas potongan-potongan dari ratusan sumber. Nietzsche menyebutnya “lembu warna-warni.” Hamparan keyakinan yang ditawarkan di Barat dewasa ini secara menakjubkan menggambarkan apa yang Nietzsche ramalkan: nilai-nilai sebagai barang baur-cocok (mix-and-match) milik konsumen. Hal ini menggelikan, dan hasilnya adalah sejenis pucat yang menyedihkan; tapi bagaimana dan dimana kehendak akan kuasa (the will to power) manusia  keluar dengan tiba-tiba bersama kumpulan nilai-nilai yang baru? Hal tersebutlah yang menjadi dilema Nietzsche, dan itu telah menjadi dilema eksplisit dari kemanusiaan modern, sebagaimana telah Nietzsche prediksi sebelumnya.

Seperti halnya semua filsuf besar lainnya, Nietzsche membuat percobaan heroik untuk memberikan solusi atas masalah ini. Ia memberikan solusinya dengan nama Übermensch, yang secara harfiah dialihbahasakan menjadi ‘overman’[1], walaupun lebih sering dialihbahasakan (dengan agak menyakitkan bagi kita) sebagai ‘superman’. Manusia belaka bukanlah seorang pencipta nilai; individualitasnya ternyata tidak cukup untuk meraih nilai tersebut. Martabat satu-satunya miliknya adalah bahwa ia (manusia, pen.) bisa menjadi jembatan untuk sesuatu yang lebih tinggi. “Kera adalah hal yang memalukan bagi manusia; dan demikian pula manusia menjadi hal yang memalukan bagi Manusia-yang-Melampaui.” (‘overman’; penerjemah mengikuti alihbahasa A.Setyo Wibowo, 2004). Manusia-yang-Melampaui (the overman) adalah jenis individu yang lebih tinggi yang memiliki kepercayaan-diri absolut dalam kuasanya, dan melalui tuntutan yang sangat kuat atas individualitasnya, nilai-nilai mungkin sekali lagi diciptakan: bukan oleh orang-orang, bukan dengan berpakaian otoritas lancung dari sesuatu yang lain ( a beyond), melainkan untuk pertama kali secara khusus dalam tuntutan atas nilai-nilai individual melalui aksi yang terjustifikasi-secara individual. Dan nilai-nilai ini harus diciptakan, bukan diapropriasi dari sesuatu yang sudah ada (already existent).

Nietzsche tidak mengklaim tahu secara rinci akan seperti apa kehadiran sang Manusia-yang-Melampaui tersebut. Nietzsche berpikir bahwa  sang Manusia-yang-Melampaui akan memiliki kawan, saudara (laki-laki) metaforis, namun dia harus terus menerus menjadi individu: jenius masa depan adalah seorang yang tidak memiliki genus[2]. Hal tersebut telah menjadi alasan mengapa apropriasi Nazi atas konsep Übermensch untuk ras unggul merupakan hal yang keterlaluan menurut semua sarjana ahli pemikiran Nietzsche. Nietzsche mengungkapkan rasa jijik untuk semua anti-Semit dan untuk semua ahli propaganda keunggulan ras Jerman. Manusia modern, manusia masa, apapun hubungan ras yang ia sombongkan, merupakan hal laknat bagi Nietzsche. Anehlah mimpi kebudayaan kontemporer bahwa kita—kita semua—hanya dengan ‘menjadi diri kita sendiri’ dapat melampaui kreativitas semua orang di era kuno. Kebanyakan individu terlalu kecil untuk tugas tersebut (Orang banyak menyanyikan ‘Kita semua individual!’—Monty Python, Life of Brian). Siapapun bisa mencoba menjalani hidup berdasarkan apa yang ia sebut ‘nilai-nilai milikku,’ tetapi mereka biasanya tidaklah memiliki nilai-nilai milik sendiri: nilai-nilai mereka hanyalah serpihan potongan yang dipunguti dari bazaar modernitas, dan orang tersebut tidak memiliki ide dari mana nilai-nilai tersebut berasal. Tidak ada yang lebih jelas bagi Nietzsche ketimbang fakta bahwa orang-orang pada galibnya tidak tahu cara menciptakan nilai-nilai.

Saya pikir Nietzsche memberikan dakwaan yang sangat kuat terhadap modernitas. Tentu saja, Nietzsche mungkin sama sekali keliru bahwa satu-satunya nilai bersama nilai apapun lainnya (katakanlah demikian) adalah nilai-nilai yang diciptakan oleh individu yang sangat kuat. Secara pribadi, saya yakin bahwa Nietzsche keliru. Maksudnya, Saya menerima klaim Nietzsche bahwa nilai-nilai harus diciptakan oleh para individu, tetapi saya menyangkal bahwa individu yang menciptakan nilai harus menjadi Manusia-yang-Melampaui khas Nietzschean (Nietzschean overman). Lebih jauh, saya berpikir bahwa ada nilai-nilai yang berhubungan dengan menjadi manusia yang keabsahannya merentang melampaui konteks penciptaan-diri manusia itu sendiri, untuk menjadi makhluk rasional pada umumnya. Dalam hal tersebut, saya adalah seorang Kantian. Tentu, seorang individu sebagai individu modern yang sensitif secara multikultural tidak bisa menciptakan nilai; tetapi saya pikir mungkinlah untuk mempertahankan makna bagi nilai-nilai yang mengatur para individu sementara tetap menumpahkan makna keterpisahan absolut dari para individu raisonal lain a la Manusia-yang-Melampaui.

Mengapa manusia modern masih begitu menderita batin? Saya tidak tahu. Namun saya tidak akan sepenuhnya heran jika Nietzsche juga berhasil menjadi filsuf besar pertama di abad kedua puluh satu.
***
Eric Walther
(Penerjemah: Aldo Fernando Nasir)



Sumber Terjemahan: Walther, Eric. 2012. Nietzsche, Our Contemporary.  Diakses dari https://philosophynow.org/issues/93/Nietzsche_Our_Contemporary[Online/Daring] (Pada 09/04/2016 pukul 11: 54 WIB)
Penulis: Dr. Eric Walther pernah mengajar filsafat sejak 1967 dan ilmu komputer sejak 1983 di C.W. Post Campus of Long Island University. Lalu ia pensiun pada 2003. Walther meraih PhD di bidang Filsafat dari Yale University, dan sebagai MS di ilmu komputer dari Polytechnic University.
Penerjemah: Aldo Fernando Nasir adalah Ketua Umum LPPMD Unpad periode 2015-2016. Ia adalah seorang mahasiswa agroteknologi semester enam di Fakultas Pertanian Unpad. Bisa dihubungi lewat twitter (@aldofernandons) dan di surel (aldo.path@gmail.com).




[1] di Indonesia sendiri, terdapat beberapa versi terjemahan: manusia unggul, manusia atas, manusia super, manusia yang melampaui, atau tetap menggunakan bahasa Jerman asli ‘Übermensch’, atau ada pula yang mengikuti terjemahan bahasa Inggris ‘superman’ atau ‘overman’, dlsb. [Catatan Penerjemah]
[2] Penerjemah tidak dapat menangkap permainan bahasa dalam kalimat ini: the future genius is a non-genus.