Mei 2022 - LPPMD Unpad

Minggu, 01 Mei 2022

May Day dan Refleksi Kerja Hari Ini
Ilustrasi oleh Andien Destiani R.


Oleh: M. Diva Kafila Raudya


Selamat Hari Pekerja Sedunia!


1 Mei 1886, sepasang kekasih anarkis Lucy dan Albert Parson beserta anak-anaknya melangkahkan kaki bersama 340.000 pekerja dari 12 pabrik menuju Chicago Michigan Avenue dalam parade May Day pertama kali di dunia untuk menuntut 8 jam kerja sehari. Tuntutan tersebut merupakan sebuah usaha untuk membagikan pekerjaan pada ribuan pekerja lainnya yang menganggur akibat mesin-mesin “penghemat kerja” baru.


Tuntutan yang tak kunjung dipenuhi membuat demonstrasi berlangsung hingga hari-hari berikutnya. Tepat di tanggal 4 Mei 1886, sebuah bom dilempar lalu meledak dan melukai 70 orang polisi dan menewaskan seorang polisi. Albert Parson dan ketiga martir Haymarket lainnya harus menerima kenyataan pahit tatkala pengadilan menunjuk mereka untuk mendapatkan hukuman gantung. Kerusuhan Haymarket atau Haymarket Riot lantas diperingati menjadi hari pekerja sedunia yang jatuh pada tanggal 1 Mei (Harper, 2017).


Ratusan tahun kemudian, semangat para pekerja Haymarket masih berhembus. Di Bandung, ribuan orang baik dari pelajar dan pekerja yang mengklaim sebagai black bloc/Antifa (jika tak ingin disebut anarkis) melakukan parade dalam rangka memperingati May Day pada tahun 2019. Serupa dengan nasib para pekerja di Haymarket, massa yang tergabung dalam parade mendapatkan represi dari aparat kepolisian; setidaknya 600 orang ditahan dan puluhan mengalami luka-luka (Lazuardi, 2019).


Sekilas Soal Eksploitasi


Meski tuntutan kerja 8 jam dalam tragedi Haymarket telah terpenuhi, tak serta merta kondisi kerja di bawah kapitalisme dapat dikatakan menjadi jauh lebih baik. Praktik eksploitasi terhadap pekerja, yang bahkan telah terjadi jauh sebelum tragedi Haymarket masih tetap eksis hingga hari ini.


Untuk melihat hal tersebut, kiranya kita perlu untuk memahami terlebih dahulu apa itu eksploitasi dan bagaimana eksploitasi itu terjadi dari masa ke masa. Dalam membahas eksploitasi, tentunya tidak dapat dilepaskan dari pemikiran Karl Marx soal penciptaan nilai lebih oleh pekerja.


Dalam proses kerja, terdapat dua waktu kerja: waktu kerja perlu, sebagai sarana penyamarataan nilai dengan upah, dan waktu kerja lebih, sebagai sarana penghasilan nilai lebih yang menjadi surplus bagi kelas yang berkuasa (dalam konteks Marx disebut kelas pemodal) (Marx, 1976). Maka dari itu, ketika pemodal membayar upah atas waktu kerja dari pekerja berapapun akumulasi nilai yang ada dalam suatu komoditas menjadi sepenuhnya milik pemodal.


Pada era perbudakan dan feodalisme, eksploitasi terlihat sangat kentara. Di era perbudakan, para budak diwajibkan untuk melakukan waktu kerja lebih selama enam hari untuk menghasilkan produk surplus bagi kelas yang berkuasa. Sedangkan waktu kerja perlu untuk memenuhi kebutuhan hidup para budak, hanya dilakukan dalam waktu satu hari.


Sedangkan dalam corak produksi di bawah feodalisme, para petani hamba harus bekerja di dua tanah sekaligus, yakni tanah feodal dan tanah hamba. Waktu kerja petani hamba terbagi menjadi dua, tiga hari bekerja di tanam feodal untuk menghasilkan surplus bagi tuan tanah, dan tiga hari di tanah hamba untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarga.


Di dalam corak produksi kapitalisme, eksploitasi ini menjadi buram atau samar (jika tidak ingin disebut tidak terlihat). Eksploitasi terjadi melalui mekanisme pencurian nilai lebih. Upah, sebagai bentuk pembelian tenaga kerja oleh majikan, hanya membayar waktu kerja yang dilakukan oleh pekerja. Sedangkan, dalam proses kerja, pekerja sendiri melakukan dua waktu kerja sekaligus yakni waktu kerja perlu dan lebih.


Marx sendiri mengkategorikan nilai lebih menjadi dua kategori, yakni nilai lebih absolut dan nilai lebih relatif. Kategorisasi tersebut didasarkan pada cara meningkatkan nilai lebih (Marx, 1976). Nilai lebih absolut dilakukan dengan cara memperpanjang durasi waktu kerja tanpa meningkatkan nilai tenaga kerja. Sedangkan nilai lebih relatif dilakukan dengan cara mengurangi tenaga kerja dengan membuat murah konsumsi pekerja melalui peningkatan produktivitas dengan durasi waktu kerja yang sama. Kategorisasi atau pemisahan tersebut bukan berarti berlaku secara universal, kedua cara tersebut tetap dapat dikombinasikan dalam produksi riil.


Contoh penerapan dari nilai lebih absolut yakni ketika pekerja yang semula bekerja 8 jam, dengan rincian durasi 4 jam menghasilkan komoditas, dan 4 jam menghasilkan nilai lebih - ditambah 1 jam untuk menghasilkan nilai lebih absolut, dan dengan begitu durasi bekerja menjadi 9 jam. Penerapan ini biasanya melekat dalam corak produksi kapitalisme pada tahap awal.


Sedangkan dalam tahapan kapitalisme yang maju, praktik umum yang sering digunakan untuk produksi nilai lebih adalah nilai lebih relatif. Pemanfaatan ilmu pengetahuan dan penerapan teknologi maju di dalam proses produksi mampu mengurangi nilai dari tenaga kerja. Misal, dalam memproduksi komoditas pekerja semula membutuhkan waktu 4 jam. Dengan kemajuan teknologi, kini pekerja dapat menghasilkan komoditas hanya dalam waktu 3 jam, dan membuat produksi nilai lebih tentunya bertambah (Moidady et al., 2017).


Dalam pandangan Marx, nilai lebih relatif adalah asal mula dari sebagian besar perkembangan penting dalam transformasi historis organisasi kerja dan teknologi kapitalisme (Dumenil & Foley, 2021, pp. 23). Pandangan Marx ini akan digunakan untuk memahami fenomena perkembangan industri belakangan ini yang kerap disebut dengan Industri 4.0 yang dicirikan dengan kemunculan teknologi terbarukan, internet, dan mesin-mesin otomasi dan kaitannya dengan kondisi kerja hari ini.


Eksploitasi 4.0


Lagi-lagi, kelas pekerja harus kalah cepat dengan perkembangan industri dalam melakukan revolusi. Setelah Revolusi Industri 1.0 pada abad 18, lalu Revolusi Industri 2.0 pada ke abad 19, Revolusi Industri 3.0 pada dekade 70-an, dan kini kelas pekerja dihadapkan dengan Revolusi Industri 4.0 yang setidaknya terjadi lebih dari satu dekade silam.


Revolusi Industri 4.0 tentunya memiliki pengaruh karena menuntut manusia untuk beradaptasi dengannya. Tidak hanya mempengaruhi cara manusia berpikir, hidup, atau berhubungan, secara menyeluruh tentunya Revolusi Industri 4.0 akan mendisrupsi berbagai bidang mulai dari sosial, politik, dan ekonomi.


Dalam Industri 4.0, Internet memiliki peran sentral. The Internet of Things (IoT) berfungsi untuk menghubungkan semua perangkat komputasi menggunakan teknologi tertentu. Selain IoT, muncul pula dataraya (big data), kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI), pencetakan 3D, rekayasa genetik, robot dan mesin pintar (Bahrin et al., 2016), sebagaimana yang seringkali digaungkan oleh orang yang hendak menunjukkan kemajuan zaman melalui teknologi bleeding-edge saat ini.


Perkembangan teknologi ini tentunya tak bisa dilepaskan dari sejarah teknologi itu sendiri. Penelitian Polimpung (2018) mengenai historio revolusi teknologi mengidentifikasi bahwa perkembangan teknologi selalu muncul di tiga sektor, dengan dua motivasi, dan satu tujuan utama. Tiga sektor tersebut yakni militer, industri, dan personal. Dengan dua motivasi yakni menyakiti tubuh manusia dan mengekstraksi tubuh manusia. Dengan mengarahkan pada satu tujuan utama yakni efisiensi. Di sektor industri, tentu perkembangan teknologi ditujukan untuk melakukan efisiensi produksi. Bagaimana teknologi dapat mencari cara paling mudah, cepat, dan tepat dalam memproduksi komoditas.


John Maynard Keynes (1930) sempat memprediksi bahwa pada abad ke-21, para pekerja hanya akan bekerja 15 jam dalam seminggu berkat perkembangan teknologi. Dengan melihat kondisi saat ini, dimana teknologi digital dan mesin-mesin otomasi berkembang pesat, seharusnya ramalan Keynes terjadi. Tentunya tidak dapat dinafikan bahwa dalam kondisi ideal, perkembangan teknologi seharusnya mampu membawa lebih banyak waktu luang bagi pekerja.


Tetapi, jika melihat kondisi dunia saat ini terutama saat pandemi, data yang dihimpun oleh World Economy Forum (WEF) menunjukkan bahwa 31 juta pekerja dari 21 ribu perusahaan malah mengalami pemanjangan waktu kerja, dengan peningkatan rata-rata 48,5 menit (Yoshio, 2020). Dalam konteks Indonesia, laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa rata-rata penduduk usia 15 tahun ke atas justru menjalankan waktu kerja lebih dari 40 jam dalam seminggu sebagaimana yang diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan (Pusparisa, 2020).


Berbeda dengan ramalan Keynes, mendiang David Graeber menyatakan bahwa perkembangan teknologi malah membuat manusia bekerja lebih banyak daripada sebelumnya. Bahkan, Graeber (2018) menyebut pekerjaan-pekerjaan tersebut sebagai tugas yang membuang waktu dan tidak perlu, yang secara tegas ia katakan sebagai bullshit jobs. Salah satu contoh yang Graeber berikan yakni duct tapers. Duct tapers merujuk pada pekerja yang bekerja hanya untuk mengatur ritme kerja dan menyalin file excel yang sebenarnya bisa diotomatisasi jika berkaca pada perkembangan teknologi saat ini.


Saya kembali mencoba untuk menguji ramalan Keynes; mungkin pekerja yang dimaksud Keynes adalah pekerja-pekerja fleksibel yang kebetulan saat ini marak seiring dengan berkembangnya korporasi start up dan agensi kreatif sebagai turunan dari Industri 4.0. Memang di satu sisi narasi kebebasan dan independensi menjadi lekat pada pekerja industri ini, karena dapat mengatur waktu kerja secara fleksibel. Tetapi, di sisi lain, pekerja menjadi dapat bekerja di luar kontrak yang sudah disepakati oleh pihak pekerja dan majikan, melampaui jam normal kerja pada umumnya, bahkan di jam yang seharusnya dipakai untuk beristirahat (Tuckman, 2005).


Dalam penelitian yang dilakukan Izzati et al. (2021) terhadap 16 pekerja agensi kreatif di Bandung, DKI Jakarta, dan Surabaya, fleksibilitas waktu kerja yang selalu di glorifikasi dalam Industri 4.0 ini justru menjadi sumber kerentanan para pekerja. Para pekerja bahkan bisa bekerja hingga 24 jam demi mengejar deadline yang tak jarang datang secara mendadak. Hal ini menunjukkan kombinasi dari praktik penciptaan nilai lebih melalui mekanisme apropriasi nilai lebih absolut dan nilai lebih relatif.


Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa Rramalan Keynes sepenuhnya omong kosong belaka. Dalam corak produksi kapitalisme, yang selalu diutamakan tentunya bagaimana meraup profit sebesar mungkin. Jika memang kondisi ideal saat ini mampu membuat pekerja bekerja 15 jam dalam satu minggu, tentunya hal tersebut tak akan diimplementasikan begitu saja oleh pemodal.


Peraupan profit sebesar mungkin, tentunya harus diimplementasikan dalam peningkatan produksi dan penurunan nilai tenaga-kerja. Lantas, bagaimana cara meningkatkan produksi sembari menurunkan nilai tenaga-kerja? Tentunya dengan cara apropriasi nilai lebih relatif.


Dalam konteks Indonesia, perkembangan teknologi mampu menghantarkan peningkatan produksi. Salah satu contohnya ada didalam industri alas kaki yang mengalami peningkatan produksi hingga 5% pada tahun 2019. Peningkatan produksi alas kaki di Indonesia tidak diiringi dengan peningkatan jumlah pekerja di pabrik-pabrik. Teknologi membantu pekerja untuk lebih produktif dalam menghasilkan nilai lebih sebagai surplus bagi pemodal.


Simpulan


Perkembangan teknologi yang sangat pesat, terutama setelah fajar milenium baru menyingsing dua dekade lalu, ternyata tidak mampu membuat pekerja terbebas dari eksploitasi. Bahkan di kondisi saat ini, pekerja dihadapkan dua hal sekaligus, yakni pemanjangan jam kerja sekaligus pemproduktifan waktu kerja itu sendiri yang ditopang dengan kemajuan teknologi.


Perkembangan teknologi, sebagai turunan dari perkembangan ilmu pengetahuan, tak bisa dilihat secara naif. Ilmu pengetahuan tidak dapat dilihat sebagai sesuatu yang datang dari ruang hampa dan dengan begitu dianggap sebagai sesuatu yang tidak mengandung muatan politis.


Dalam hal Industri 4.0, perkembangan teknologi sebagai penunjangnya tentu tak dapat dilepaskan dari tujuan-tujuan untuk mengakumulasi kapital. Maka dari itu selama agenda perkembangan teknologi dipegang oleh kelas pemodal yang dominan saat ini, jangan harap kondisi kerja tanpa eksploitasi akan terjadi hari ini dan di masa depan. Apa yang dilakukan oleh para demonstran Haymarket tentu saja tidak cukup, karena tuntutan kerja 8 jam bukanlah akhir dari tujuan kelas pekerja itu sendiri, yakni terciptanya dunia baru dengan corak produksi tanpa eksploitasi. Hal tersebut memang bukanlah suatu hal yang akan datang di esok hari atau bulan depan. Tetapi merupakan kerja jangka panjang, yang tetap mesti dicoba oleh pekerja itu sendiri. Keep putting the impossible into a test!



Daftar Pustaka

Dumenil, G., & Foley, D. (2021). Analisa Marx Atas Produksi Kapitalis. Indo Progress. https://indoprogress.com/download/analisa-marx-atas-produksi-kapitalis/

Harper, C. (2017). Anarki: Panduan Grafis (Kedua ed.). Daun Malam.

Izzati, F. F., Larasati, R. S., Laksana, B., Apinino, R., & Azali, K. (2021). Pekerja Industri Kreatif Indonesia: Flexploitation, Kerentanan, dan Sulitnya Berserikat. Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi.

Marx, K. (1976). Capital I : Critique of Political Economy.

Moidady, N. I., Soetarto, E., & Agusta, I. (2017, Desember 3). Eksploitasi Tenaga Kerja Cadangan pada Kapitalisme Pedalaman: Studi Perkebunan Kelapa Sawit di Kecamatan Bualemo, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Jurnal Studi Sosiologi Pedesaan IPB, 5, 184-190. https://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/download/19391/13492/

Polimpung, H. Y. (2018, June 4). Teknopolitika Kemudahan Hidup – IndoPROGRESS. IndoPROGRESS. Retrieved May 1, 2022, from https://indoprogress.com/2018/06/teknopolitika-kemudahan-hidup/

Tuckman, A. (2005). Employment Struggles and the Commodification of Time: Marx and the Analysis of Working Time Flexibility. Philosophy of Management, 47-56. https://link.springer.com/article/10.5840/pom20055221?noAccess=true

Bahrin, M. A., Othman, M. F., Azli, N. H., & Talib, M. F. (2016). INDUSTRY 4.0: A REVIEW ON INDUSTRIAL AUTOMATION AND ROBOTIC. Jurnal Teknologi (Sciences & Engineering) UTM, 137-143.

Graeber, D. (2018). Bullshit Jobs: A Theory. London: Penguin Allen Lane.

Keynes, J. M. (1930). Economic Possibilities For Our Grandchildren. New York: W.W. Norton & Co.

Lazuardi, I. T. (2019). Hari Buruh di Bandung Ricuh, Polisi Tangkap Ratusan Orang. Bandung: Tempo.

Pusparisa, Y. (2020). Rata-rata Penduduk Indonesia Bekerja Melebihi Batas 40 Jam per Minggu. Katadata. From https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/10/09/rata-rata-penduduk-indonesia-bekerja-melebihi-batas-40-jam-per-minggu

Saputra, W. (2018, November 22). Kolom: Tempo. From Tempo: https://kolom.tempo.co/read/1148503/upah-buruh-perkebunan-sawit/full&view=ok Yoshio, A. (2020, November 8). Nasional: Katadata. Retrieved April 30, 2022 from Katadata: https://katadata.co.id/ariemega/berita/5fa7cf815a0e8/survei-work-from-home-picu-jam-kerja-bertambah-dan-kelelahan-mental