Sumber: Jawa Pos |
Oleh: Muhammad Fakhri*
Dalam suasana politik nasional yang ramai (lebih tepatnya berisik ini), fenomena pembungkaman kebebasan berpendapat melalui UU ITE muncul sekali lagi. Kali ini, Robertus Robet, aktivis sekaligus dosen sosiologi Universitas Negeri Jakarta, menjadi korbannya. Penyebabnya adalah ia menyanyikan gubahan lagu MARS ABRI yang terkenal di kalangan aktivis reformasi 1998. Saat itu, Robet menyanyikannya ketika sesi refleksi pada Aksi Kamisan ke 576 dengan tema Menolak Dwi Fungsi Militer di seberang Istana Merdeka, Jakarta. Ia dianggap menghina TNI karena perbuatan itu.
Penangkapan aktivis dan pembungkaman terhadapnya bukan hanya terjadi di Indonesia. Di Vietnam, enam aktivis dipidana karena tuduhan percobaan penggulingan pemerintah komunis negara tersebut. Saat ini, setidaknya terdapat 97 tahanan politik yang sedang menjalani hukuman negara di Vietnam (Oktaviani, 2018). Hal yang serupa juga terjadi di India, Turki, sampai Arab Saudi. Aktivisme dan penangkapan seolah tidak bisa dipisahkan. Tiap aktivisme mengambil ‘harga’ dan ‘resikonya’ sendiri.
Namun, kita sudah seharusnya beranjak dari masa penangkapan aktivis tersebut sejak keruntuhan rezim Seoharto. Sejatinya, penangkapan aktivis Robertus Robet tidak hanya sekedar penangkapan aktivis dan pembungkaman kebebasan berpendapat. Kasus ini seolah menjadi cermin kecil dari sistem politik Indonesia yang masih menyisakan watak orbaisnya: ‘main hakim sendiri’ aparat negara. Tanpa ada prosedur yang jelas, seseorang akan bisa ditahan dan dipenjarakan.
Di Indonesia, tindakan main hakim sendiri tidak hanya dilakukan oleh masyarakat sipil, yang disebut Sidney Jones sebagai ‘masyarakat madani intoleran’. Tetapi, aparatus negara justru turut serta mensponsori gerakan main hakim sendiri. Bahkan, dalam konteks ini, pada dasarnya negara juga turut ‘main hakim sendiri’. Hal ini terjadi seperti yang dianalisa oleh Sana Jeffrey dalam ‘Berlagak Aparat: Telaah Dampak Kapasitas Negara terhadap Tindakan Main Hakim Sendiri’ bahwa kapasitas negara dan aparatusnya — secara ironis — sesungguhnya dalam kondisi kuat. Hubungan korelatif walaupun belum tentu kausatif ini layak ini ditelisik.
Kondisi ini juga diperparah ketika objek represi aparat negara sendiri adalah pihak-pihak yang marjinal dan/atau ‘radikal’. Radikal di sini bisa diartikan dua hal. Pertama, ia adalah kelompok yang mempertanyakan kekuasaan negara. Kedua, ia adalah kelompok yang dianggap ‘menentang negara’. Kelompok pertama bisa dimasukkan sebagai kelompok yang kritis terhadap kekuasaan negara. Kelompok ini kerap kali dianggap menganggu kekuasaan, sebab biasanya mereka ‘mengingatkan’ penguasa atas kewajibannya. Indonesia punya daftar panjang orang-orang dari kelompok ini dari mulai Munir, Marsinah, Baiq Nuril sampai terakhir Budi Pego. Robertus Robert adalah nama terakhir yang dimasukkan dalam kelompok ini. Semua daftar ini juga punya kesamaan: mereka ditindas negara secara vulgar. Kelompok kedua adalah kelompok yang dianggap ‘menentang negara’ dalam bentuknya yang paling abstrak namun hegemonik: ideologi. Contoh paling mutakhir adalah pembubaran HTI atas dasar “terbukti mengembangkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD…”.
Kasus penangkapan Robertus Robert menandakan setidaknya tiga hal yang bermasalah. Pertama, UU ITE kita makin terbukti bermasalah. Kedua, prosedur penangkapan polisi yang inkonsisten. Ketiga, tarik-menarik antara pembangunan demokrasi dan kepentingan politik oligarki, terutama oligarki berwajah militer.
Pertama, UU ITE dalam kasus Robertus Robert menunjukkan kian bermasalah dan absurd. Pasal 207 KUHP yang digunakan sebagai dasar penangkapannya juga bertentangan dengan putusan MK №013–022/PUU-IV/2006 yang isinya “dalam masyarakat demokratik yang modern maka delik penghinaan tidak boleh lagi digunakan untuk pemerintah (pusat atau daerah), maupun pejabat pemerintah (pusat atau daerah)”. Selain itu, UU ITE merupaka undang-undang yang mengatur penyebaran informasi elektronik. Sedangkan orasi Robet dilakukan dalam bentuk langsung, bukan elektronik. Tepat dititik inilah, UU ITE tidak hanya bermasalah, tetapi juga absurd. Ia beroperasi tidak lagi di ranahnya, sehingga seolah-olah sangat dipaksakan.
Kedua, prosedur penangkapan polisi yang bermasalah. Menurut Direktur Riset SETARA Institue, Halili dalam keterangan persnya mengatakan bahwa tindakan polisional tersebut tak sesuai syarat materil dan formil penangkapan sebagaimana ketentuan hukum acara pidana, terutama Pasal 17 dan Pasal 19 Ayat (2) KUHAP. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip Rule of Law dalam demokrasi sekalius melanggar ketentuan Perundang-Undangan.
Ketiga, kasus ini menggambarkan bagaimana tarik menarik antara pembangunan demokrasi dan kepentingan politik elit, terutama elit militer. Dalam kasus Robertus Robet yang menyeret persoalan dwi fungsi militer, kedua kubu baik oposisi maupun petahana pada dasarnya tidak memiliki posisi yang jelas, bahkan cenderung ‘diam(-diam mendukung)’. Kasus ini serupa dengan kasus Budi Pego, aktivis lingkungan yang dipenjarakan. Kasus Budi Pego tidak ditarik ke dalam isu kedua calon presiden ini karena mereka sama-sama berkepentingan dalam aktivitas pertambangan di Tumpang Pitu, tempat Budi Pego memperjuangkan hak-hak warga di sana (Mudhoffir & Robet, 2019)
Tidak jauh berbeda, kali ini, kedua kubu juga pada dasarnya memiliki kepentingan yang sama dalam dwi fungsi militer, sebab kedua belah pihak mempunyai kubu militernya sendiri. Dari Jokowi, isu ini diawali oleh Panglima TNI Hadi Marsekal Tjahjanto sebelumnya menyatakan pihaknya ingin prajurit perwira tinggi aktif bisa mengisi jabatan eselon I dan II di sejumlah kementrian. Di sisi lain, kubu Prabowo sebenarnya menolak, tetapi bukan karena cederanya supremasi sipil atas militer. Kubu Prabowo melalui Wakil Ketua Umumnya Gerindra, Sugiono, menolak karena justru TNI akan memerlukan banyak prajurit untuk bisa mengisi jabatan-jabatan di satuan-satuan baru TNI. Dari sini, jelas Sugiono bukannya mempermasalahkan masuknya militer ke ranah sipil, tapi kebutuhan militer yang dianggap kurang. Kedua kubu pada dasarnya ingin militer ‘menguat’, namun hanya berbeda gaya saja.
Pasca reformasi, Indonesia berada dalam tahap konsoidasi demokrasi yang agar berfungsi baik membutuhkan pihak militer yang tidak hanye mentolerir demokrasi, tetapi juga mendukungnya (Mietzner, 2009). Sementara itu juga, Mletzner mengatakan bahwa proses demokratisasi dapat ditunjukkan dari hubungan sipil-militernya. Dwi Fugsi Militer sendiri menunjukkan hubungan sipil-militer yang salah menempatkan militer di dalam urusan sipil. Di satu sisi, supremasi sipil juga harus ditegakkan demi tegaknya demokrasi. Supremasi sipil adalah turununan logis dari kerangka pikir ‘kedaulatan rakyat’ dalam demokrasi. Dalam proses menuju consolidated democracy, negara sebetulnya bergantung pada rezim yang berkuasa dan budaya politiknya. Dan kali ini, pihak penguasa yang tidak hanya yang ‘sedang’ berkuasa, namun juga yang mempunyai kuasa atas aset-aset negara, sama-sama berjalan menuju ke arah dwi fungsi militer, sehingga militer kembali ‘menguat’, dan demokrasi lagi-lagi terancam.
Daftar Pustaka
Friana, H. (2018, September 23). Piplres 2019 Menjadi Medan Perang Purnawirawan TNI. Retrieved from Tirto.id: https://tirto.id/pilpres-2019-menjadi-medan-perang-purnawirawan-tni-c11Q
Mietzner, M. (2009). Military, Politics, Islam, and the State in Indonesia: From Trubulent Transisiton to Democratic Consolidation. Pasir Panjang: ISEAS Publications.
Mudhoffir, A. M., & Robet, R. (2019, April 6). Mengapa Jokowi dan Prabowo diam soal Budi Pego, aktivis lingkungan yang dituduh komunis. Retrieved from The Conservation: https://theconversation.com/mengapa-jokowi-dan-prabowo-diam-soal-budi-pego-aktivis-lingkungan-yang-dituduh-komunis-105826
Oktaviani, Z. (2018, April 6). Vietnam Jatuhi Hukuman Penjara Enam Aktivis Demokrasi. Retrieved from Republika: https://internasional.republika.co.id/berita/internasional/asia/18/04/06/p6q4xv382-vietnam-jatuhi-hukuman-penjara-enam-aktivis-demokrasi
Rofii, M. S. (2016). Revisiting Pattern of Democratic Transision in Indonesia and Turkey. Jurnal Tranformasi Global, 1–18.
*Penulis adalah Ketua Umum LPPMD Unpad 2018–2019. Saat ini, ia sedang menyelesaikan Studi Hubungan Internasional di Universitas Padjadjaran, Sumedang.
Artikel ini pernah dipublikasikan sebelumnya di laman Medium LPPMD pada 8 Maret 2019 (https://medium.com/@lppmdunpad99/penangkapan-robertus-robet-dwi-fungsi-militer-dan-ancaman-demokrasi-906054a9a756)Dipublikasikan ulang untuk kepentingan edukasi dan penyebaran gagasan.
Artikel ini pernah dipublikasikan sebelumnya di laman Medium LPPMD pada 8 Maret 2019 (https://medium.com/@lppmdunpad99/penangkapan-robertus-robet-dwi-fungsi-militer-dan-ancaman-demokrasi-906054a9a756)Dipublikasikan ulang untuk kepentingan edukasi dan penyebaran gagasan.