November 2014 - LPPMD Unpad

Senin, 10 November 2014

Senin, November 10, 2014

Mengerling ke Sudut Lain

by
Mengerling ke Sudut Lain


Oleh: Aldo Fernando Nasir, Fakultas Pertanian Unpad 2013

Akhir-akhir ini keseharian kita seringkali “diusik” oleh sejumlah pemberitaan media massa mengenai fenomena-fenomena politik di dalam negeri. Kita disuguhi drama pemilihan pimpinan DPR di parlemen, pengumuman kabinet presiden Jokowi, sosok Susi Pudjiastuti—Menteri Kelautan dan Perikanan kabinet Jokowi—yang memiliki gaya kontroversial (sekaligus mengagumkan), hingga fenomena “DPR tandingan” yang dibentuk Koalisi Indonesia Hebat (KIH)—yang diklaim oleh para anggota KIH sebagai bentuk mosi tidak percaya kepada pemimpin Dewan (pimpinan DPR saat ini, sebagaimana kita ketahui, dikuasai oleh pasukan Koalisi Merah Putih [KMP]).

Problematisasi: Yang Negatif dalam Media Massa
Fenomena-fenomenadi atas merupakan sekelumit contoh mengenai pemberitaan politik terkini—kalau mau, kita bisa mengambil contoh lain, misalnya, pemberitaan, dalam dunia selebritis, mengenai pernikahan megah Raffi Ahmad dan Nagita Slavina—di negara kita yang bisa dikatakan sebagai bukti bahwa media massa dengan cerdas telah “mengganggu” sejumlah jalan pemikiran kita.Apakah hanya baru-baru ini saja media massa menganggu kehidupan keseharian kita dengan permainan banjir informasi setiap harinya? Tentunya tidak. Media massa telah selalu, dalam sepanjang sejarah pembentukannya, berupaya menggiring pemahaman kita sesuai dengan apa yang mereka maui dan kehendaki.
Media massa telah mengolah alur berpikir kita, dan telah mengajak kita berpikir dan bertindak reaktif terhadap fenomena-fenomena sosial-politik-kultural yang mereka sajikan. Pikiran kita diperkosa oleh banyak informasi yang banal, yang hanya sepintas-lalu. Kita benar-benar telah menjadi tong sampah tempat pembuangan informasi yang jumlahnya begitu banyak sehingga kita tak mampu memahami dan mendalami informasi tersebut secara mendetail.
Saat ini, kita hidup di era informasi yang begitu cepat berlalu-lalang, yang tak mengizinkan kita untuk benar-benar memahami realitas secara mendalam. Kita hidup dalam era kecepatan! Disadari atau tidak, kita hidup dalam kepungan pemberitaan media massa, yang memiliki sifat seperti pedang bermata dua: mata pertama dari pedang media massa sebagai “pembedah fenomena yang suci”, mata keduanya sebagai “pembunuh pemikiran seseorang yang berdarah dingin”.
Lalu, kita seolah-olah ingindibentuk, oleh media massa, menjadi manusia reaktif-banal-temperamental-budak, yang acapkali menanggapi pelbagai fenomena secara naif dan terburu-buru. Emosi dalam diri kita pun dipermainkan oleh media massa lewat pemberitaan mereka yang penuh dengan strategi jitu, manipulasi realitas, provokasi yang subtil. Media massa telah menciptakan dilema dalam diri kita. Media massa telah memaksakan dirinya untuk menjadi teman kita dalam menerawang kenyataan. Media massa telah membukakan dua jalan yang abu-abu: atau menawarkan kedalaman, atau memberikan kebanalan. Satu hal yang perlu disadari adalah bahwa kita, sebagai masyarakat, merupakan conditio sine qua non(syarat yang tidak boleh tidak; syarat yang sangat diperlukan) bagi kehadiran dan kelangsungan hidup media massa!
Dengan sejumlah pemberitaan yang seringkali berat sebelah—atau barangkali memang sengaja dibuat demikian—, serampangan, media massa telah membuat, meminjam istilah Reza AA. Wattimena dalam Dunia dalam Gelembung (2013), kumpulan-kumpulan “gelembung” realitas. Realitas, yang sedemikian kompleksnya, diselubungi gelembung-gelembung yang kemudianmembuat kabur pemahaman kita, yang lantas membuat kita perlu bekerja keras untuk benar-benar dapat menemukankernel dari pelbagai fenomena yang media massa wartakan.
Tulisan ini tidak berpretensi apapun selain mengupayakan sejumlah tanggapan yang jauh lebih kritis dari para kawan-kawan pembaca mengenai media massa yang ternyata benar-benar eksis menemani kehidupan kita sehari-hari, seperti halnya oksigen (O2) yang “menari” di atmosfer.

****

Lalu apa?
Media massa, sebagai salah satu distributor informasi real-timebagi kita, menyediakan banyak sekali informasi yang dapat dengan mudah kita akses (entah dengan membeli koran atau membaca sejumlah e-newsdi internet). Informasi-informasi yang terkandung di dalam media massa memiliki dua kualitas: (1) sejumlah yang baik dan mendalam; (2) sejumlah yang buruk dan banal. Lalu, bagaimana kita menyikapinya?
Jawaban awal yang dapat diupayakan di sini: jalan yang harus kita tempuh sekarang—apabila kita tak mau melulu menjadi manusia-lugu, yang hanya menangkap realitas secara naif dan banal—adalah, diantaranya, dengan jalan membiasakan diri berdiskusi dengan sejumlah teman di forums-forum diskusi yang kritis,berani melempar argumen kritis dan menerima tanggapan kritis dalam diskusi; membaca dan memahami secara sungguh-sungguh sejumlah buku-buku yang berbobot (misalnya buku-buku filsafat, ekonomi-politik, sosio-kultural, bahkan sains alam yang ditulis oleh para penulis cerdas, seperti karya-karya para filsuf, para ekonom, para sosiolog, para fisikawan, dlsb.); dan melatih diri untuk menuliskan ide-ide yang ada di dalam pikiran—sebagai bentuk refleksi dari sejumlah diskusi, pembacaan, dan pengamatan kita terhadap realitas.Kita harus berpikir kritis dalam menanggapi pelbagai fenomena yang hadir di hadapan kit. Begitu juga dengan kehadiran media massa yang ingin “membantu” kita dalam mencandra fenomena keseharian—kita harus teliti dalam memilah informasi-informasi mengenai suatu fenomena dalam media massa agar tak terjebak dalam logika “rayuan-gangguan-provokasi”, yang selalu hadir dalam “tarian” media massa, untuk memengaruhi pemikiran kita.Demikianlah sekelumit langkah pemantik yang dapat kita upayakan untuk menjadi manusia-aktif yang terus bergerak menembus keabu-abuan realitas. Ini hanyalah sebuah tulisan pemantik-kesadaran—kawan-kawanlah yang harus melanjutkan pergerakannya!

Untuk menutup tulisan ini, saya hanya ingin mengutip kalimat milik Slavoj Zizek, filsuf Slovenia terkemuka saat ini: “Filsafat dimulai pada saat kita tidak lagi menerima apa yang ada sebagai yang begitu saja diberikan”.