Oleh:
Aldo Fernando Nasir, Fakultas Pertanian Unpad 2013
Akhir-akhir ini
keseharian kita seringkali “diusik” oleh sejumlah pemberitaan media massa
mengenai fenomena-fenomena politik di dalam negeri. Kita disuguhi drama
pemilihan pimpinan DPR di parlemen, pengumuman kabinet presiden Jokowi, sosok
Susi Pudjiastuti—Menteri Kelautan dan Perikanan kabinet Jokowi—yang memiliki
gaya kontroversial (sekaligus mengagumkan), hingga fenomena “DPR tandingan”
yang dibentuk Koalisi Indonesia Hebat (KIH)—yang diklaim oleh para anggota KIH
sebagai bentuk mosi tidak percaya kepada pemimpin Dewan (pimpinan DPR saat ini,
sebagaimana kita ketahui, dikuasai oleh pasukan Koalisi Merah Putih [KMP]).
Problematisasi:
Yang Negatif dalam Media Massa
Fenomena-fenomenadi atas
merupakan sekelumit contoh mengenai pemberitaan politik terkini—kalau mau, kita
bisa mengambil contoh lain, misalnya, pemberitaan, dalam dunia selebritis, mengenai
pernikahan megah Raffi Ahmad dan Nagita Slavina—di negara kita yang bisa
dikatakan sebagai bukti bahwa media
massa dengan cerdas telah “mengganggu” sejumlah jalan pemikiran kita.Apakah
hanya baru-baru ini saja media massa menganggu kehidupan keseharian kita dengan
permainan banjir informasi setiap harinya? Tentunya tidak. Media massa telah
selalu, dalam sepanjang sejarah pembentukannya, berupaya menggiring pemahaman
kita sesuai dengan apa yang mereka maui dan kehendaki.
Media massa telah
mengolah alur berpikir kita, dan telah mengajak kita berpikir dan bertindak
reaktif terhadap fenomena-fenomena sosial-politik-kultural yang mereka sajikan.
Pikiran kita diperkosa oleh banyak informasi yang banal, yang hanya sepintas-lalu.
Kita benar-benar telah menjadi tong sampah tempat pembuangan informasi yang
jumlahnya begitu banyak sehingga kita tak mampu memahami dan mendalami
informasi tersebut secara mendetail.
Saat ini, kita hidup di
era informasi yang begitu cepat berlalu-lalang, yang tak mengizinkan kita untuk
benar-benar memahami realitas secara mendalam. Kita hidup dalam era kecepatan! Disadari atau tidak, kita
hidup dalam kepungan pemberitaan media massa, yang memiliki sifat seperti
pedang bermata dua: mata pertama dari pedang media massa sebagai “pembedah
fenomena yang suci”, mata keduanya sebagai “pembunuh pemikiran seseorang yang
berdarah dingin”.
Lalu, kita seolah-olah
ingindibentuk, oleh media massa, menjadi manusia
reaktif-banal-temperamental-budak, yang acapkali menanggapi pelbagai fenomena
secara naif dan terburu-buru. Emosi dalam diri kita pun dipermainkan oleh media
massa lewat pemberitaan mereka yang penuh dengan strategi jitu, manipulasi
realitas, provokasi yang subtil. Media massa telah menciptakan dilema dalam
diri kita. Media massa telah memaksakan dirinya untuk menjadi teman kita dalam
menerawang kenyataan. Media massa telah membukakan dua jalan yang abu-abu: atau
menawarkan kedalaman, atau memberikan
kebanalan. Satu hal yang perlu
disadari adalah bahwa kita, sebagai
masyarakat, merupakan conditio sine
qua non(syarat yang tidak boleh tidak; syarat yang sangat diperlukan) bagi
kehadiran dan kelangsungan hidup media massa!
Dengan sejumlah
pemberitaan yang seringkali berat sebelah—atau barangkali memang sengaja dibuat
demikian—, serampangan, media massa
telah membuat, meminjam istilah Reza AA. Wattimena dalam Dunia dalam Gelembung (2013), kumpulan-kumpulan “gelembung”
realitas. Realitas, yang sedemikian kompleksnya, diselubungi
gelembung-gelembung yang kemudianmembuat kabur pemahaman kita, yang lantas membuat
kita perlu bekerja keras untuk benar-benar dapat menemukankernel dari pelbagai fenomena yang media massa wartakan.
Tulisan ini tidak
berpretensi apapun selain mengupayakan sejumlah
tanggapan yang jauh lebih kritis dari para kawan-kawan pembaca mengenai media
massa yang ternyata benar-benar eksis
menemani kehidupan kita sehari-hari,
seperti halnya oksigen (O2) yang “menari” di atmosfer.
****
Lalu
apa?
Media massa, sebagai
salah satu distributor informasi real-timebagi
kita, menyediakan banyak sekali informasi yang dapat dengan mudah kita akses
(entah dengan membeli koran atau membaca sejumlah e-newsdi internet). Informasi-informasi yang terkandung di dalam
media massa memiliki dua kualitas: (1) sejumlah yang baik dan mendalam; (2) sejumlah
yang buruk dan banal. Lalu, bagaimana kita menyikapinya?
Jawaban
awal yang dapat diupayakan di sini: jalan yang harus kita
tempuh sekarang—apabila kita tak mau melulu menjadi manusia-lugu, yang hanya
menangkap realitas secara naif dan banal—adalah, diantaranya, dengan jalan membiasakan
diri berdiskusi dengan sejumlah teman di forums-forum diskusi yang kritis,berani
melempar argumen kritis dan menerima tanggapan kritis dalam diskusi; membaca
dan memahami secara sungguh-sungguh sejumlah buku-buku yang berbobot (misalnya
buku-buku filsafat, ekonomi-politik, sosio-kultural, bahkan sains alam yang ditulis oleh para penulis
cerdas, seperti karya-karya para filsuf, para ekonom, para sosiolog, para
fisikawan, dlsb.); dan melatih diri untuk menuliskan ide-ide yang ada di dalam
pikiran—sebagai bentuk refleksi dari
sejumlah diskusi, pembacaan, dan pengamatan kita terhadap realitas.Kita harus
berpikir kritis dalam menanggapi pelbagai fenomena yang hadir di hadapan kit.
Begitu juga dengan kehadiran media massa yang ingin “membantu” kita dalam
mencandra fenomena keseharian—kita harus teliti dalam memilah
informasi-informasi mengenai suatu fenomena dalam media massa agar tak terjebak
dalam logika “rayuan-gangguan-provokasi”, yang selalu hadir dalam “tarian”
media massa, untuk memengaruhi pemikiran kita.Demikianlah sekelumit langkah pemantik yang
dapat kita upayakan untuk menjadi manusia-aktif yang terus bergerak menembus
keabu-abuan realitas. Ini hanyalah sebuah tulisan pemantik-kesadaran—kawan-kawanlah
yang harus melanjutkan pergerakannya!
Untuk menutup tulisan
ini, saya hanya ingin mengutip kalimat milik Slavoj Zizek, filsuf Slovenia
terkemuka saat ini: “Filsafat dimulai
pada saat kita tidak lagi menerima apa yang ada sebagai yang begitu saja
diberikan”.