November 2020 - LPPMD Unpad

Sabtu, 28 November 2020

Seputar Kekerasan Seksual, Pentingnya #SahkanRUUPKS, Serta Cara Pendampingan Kasus Kekerasan Seksual

Foto: Media Indonesia

Ditulis oleh: Arby Ramadhan* dan Silvi Wilanda**

 

 

***Isu kekerasan seksual saban tahun mengalami peningkatan kasus. Dikutip dari Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat sebesar 6% dari yang semula berjumlah 406.178 kasus pada tahun 2018 meningkat menjadi 431.471 pada tahun 2019. Kasus kekerasan terhadap perempuan ini terbagi menjadi 75% (11.105 kasus) terjadi di ranah personal, 24% (3.602 kasus) terjadi di ranah publik, sedangkan 0,1% terjadi di ranah negara. 25% (2807 kasus) dari kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah personal dan 58% dari kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah publik adalah kekerasan seksual.

Mirisnya lagi, kasus kekerasan seksual juga menjadi sulit dan kompleks untuk ditangani. Pertama, adanya konsep dalam masyarakat yang menganggap perempuan sebagai objek seksual sehingga perempuan (korban utama dari kekerasan seksual)  dianggap bertanggung jawab atas kejadian kekerasan seksual yang dialaminya. Kedua, kasus kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja termasuk di lingkungan kampus, bahkan terjadi pula pada organisasi yang mengaku diri sebagai organisasi progresif sekalipun.

Namun, sebelum lebih jauh membedah kekerasan seksual, alangkah baiknya jika kita membekali pikiran dengan pengetahuan yang komprehensif mengenai kekerasan seksual itu sendiri. Kekerasan seksual adalah segala bentuk tindakan, baik ucapan atau perbuatan, yang dilakukan oleh seseorang atau lebih untuk mengintimidasi, menguasai, memaksa, dan/atau memanipulasi orang lain untuk melakukan aktifitas seksual yang tidak dikehendaki atau diinginkan.

 

Berdasarkan temuan dari Komnas Perempuan, setidaknya ada 15 bentuk kekerasan seksual, yaitu :

1.    1. Pemerkosaan

2.    2. Pencabulan

3.    3. Intimidasi seksual

4.    4. Pelecehan seksual

5.    5. Eksploitasi seksual

6.    6. Perdagangan perempuan tujuan seksual

7.    7. Perbudakan seksual

8.    8. Pemaksaan perkawinan

9.    9. Pemaksaan kehamilan

10.  10. Pemaksaan aborsi

11.  11. Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi

12.  12. Penghukuman tidak manusiawi bernuansa seksual

13.  13. Tradisi bernuansa seksual yang mendiskriminasi perempuan

14.  14. Penyiksaan seksual

15.  15. Kontrol seksual

Sedangkan didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), hanya ada dua bentuk kekerasan seksual, yakni pemerkosaan dan pencabulan. Pendefinisian mengenai pemerkosaan di dalam perundang-undangan pun masih sangat sempit. Dalam KUHP, pemerkosaan hanya terjadi apabila terjadi penetrasi penis kedalam vagina. Nyatanya, banyak pula terjadi tindakan pemerkosaan yang menggunakan benda lain atau bukan penis. Di Indonesia, salah satu contoh kasus pemerkosaan yang sempat ramai di media adalah kasus pelaku memasukan gagang cangkul kedalam vagina korban hingga korban meninggal[1]. Lantas jika mengacu pada definisi didalam KUHP tersebut, kasus ini berpotensi tidak termasuk kedalam kasus pemerkosaan. Pelaku dikenai pasal pencabulan. Selain itu, sempitnya pendefinisian ini juga membuat korban pemerkosaan hanya terbatas pada perempuan saja. Padahal, korban pemerkosaan dan kekerasan seksual dapat menyasar kepada siapapun, tanpa memandang jenis kelamin, usia, suku, ataupun ras. Usia termuda dari korban kekerasan seksual yang pernah terjadi di Indonesia adalah bayi berusia dua minggu. Lalu banyak pula korban kekerasan seksual yang sudah lanjut usia.

Hal yang harus diperhatikan dalam mencermati kekerasan seksual adalah relasi kuasanya[2]. Tindakan kekerasan seksual seringkali terjadi pada kondisi relasi kuasa yang timpang antara korban dan pelaku. Seperti misalnya kekerasan seksual yang dilakukan oleh tenaga pendidik kepada siswinya, oleh atasan di tempat kerja, atau pimpinan dalam organisasi. Pelaku adalah pihak yang memiliki kuasa dalam suatu hubungan/relasi dan korban menjadi pihak yang terdominasi.

 Tindakan kekerasan seksual juga terjadi karena adanya rape culture di dalam masyarakat itu sendiri. Rape culture adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu masyarakat yang terkesan menyepelekan tindak pelecehan seksual. Rape culture meliputi berbagai perilaku, keyakinan, dan norma yang lebih luas dari pemerkosaan itu sendiri. Ada tiga komponen yang membentuk rape culture di dalam masyarakat;

1.     Hyper-maskulinitas, yakni terminologi psikologis untuk menggambarkan perilaku stereotype terhadap laki-laki yang dilebih-lebihkan, seperti kekuatan fisik, kejantanan, kepemimpinan. Ini membentuk pemikiran bahwa laki-laki memiliki superioritas terhadap perempuan yang pada akhirnya menempatkan wanita ke dalam relasi kuasa yang lemah.

2.     Objektifikasi tubuh perempuan, yaitu adanya anggapan bahwa tubuh perempuan merupakan objek seksual semata. Dengan anggapan ini, perempuan kerap kali disalahkan dalam terjadinya kasus kekerasan seksual karena dianggap sebagai pemicu, seperti cara berpakaian, cara berbicara, atau cara berjalan.

3.     Dukungan sistem dan lembaga, yaitu sistem nilai didalam masyarakat yang terintegrasi kedalam nilai-nilai dalam lembaga atau institusi.

Respon dari korban kekerasan seksual pun sering kali disalahartikan oleh masyarakat akibat adanya rape culture tersebut. Diamnya korban pada saat terjadi pelecehan seksual atau pemerkosaan sering diartikan sebagai respon korban yang menikmati tindak kekerasan seksual tersebut. Pada akhirnya, korban kembali disalahkan. Padahal, ada gejala kelumpuhan sementara yang dialami sebagian korban pemerkosaan atau tindak kekerasan seksual lain. Gejala kelumpuhan ini disebut dengan tonic immobility. Menurut Dr. Anna Moller, ini merupakan reaksi defensif dari tubuh yang bersifat alami. Biasanya, reaksi yang tidak disengaja ini terjadi saat seseorang merasakan ketakutan luar biasa[3].

Dampak Korban Kekerasan Seksual

            Sekurang-kurangnya, ada tiga dampak aspek yang akan dialami oleh korban kekerasan seksual, yakni aspek psikologis, aspek sosial, dan aspek hukum.

1.    Aspek Psikologis

Ada tiga gangguan psikologis yang dialami oleh korban kekerasan seksual, yaitu gangguan perilaku, gangguan kognisi, dan gangguan emosional. Gangguan perilaku ditandai dengan malas melakukan aktifitas sehari-hari. Gangguan kognisi ditandai dengan sulitnya berkonsentrasi, tidak fokus, dan sering melamun atau termenung sendiri. Sedangkan gangguan emosional ditandai dengan adanya gangguan suasana hati dan rasa menyalahkan diri sendiri (Fuadi, 2011). Korban kekerasan seksual akan diliputi perasaan dendam, marah, penuh kebencian yang tadinya ditujukan kepada orang yang melecehkannya dan kemudian menyebar kepada obyek-obyek atau orang-orang lain disekitarnya. Setelah mengalami kekeraan seksual, berbagai macam penilaian terhadap masalah yang dialami oleh korban bermacam-macam, muncul perasaan sedih, tidak nyaman, lelah, kesal dan bingung hingga rasa tidak berdaya muncul.

2.    Aspek Sosial

Situasi didalam masyarakat dapat juga memberikan dampak buruk kepada korban kekerasan seksual. Stigma ddalam masyarakat yang memandang bahwa perempuan korban pemerkosaan atau tindak kekerasan seksual adalah perempuan yang hina dapat berujung pada pengucilan korban dalam lingkungan masyarakat. Ada pula pandangan yang mengatakan bahwa dalam sebuah kasus, yang salah adalah pihak perempuan. Perempuan korban pemerkosaan seringkali dipojokkan dan disalahkan dengan pandangan masyarakat ataupun mitos-mitos yang salah mengenai kekerasan seksual atau victim blaming (Taslim, 1995).

3.    Aspek Hukum

Diskriminasi hukum masih sering didapatkan oleh para korban kekerasan seksual di Indonesia. Victimisasi atau dipersalahkan oleh aparat penegak hukum ketika mencoba membawa kasus itu ke ranah hukum, tidak adanya perlindungan korban dalan perundang-perundangan seperti pemulihan psikologis dan hak-hak korban, serta proses hukum yang tidak berspektif korban adalah wajah hukum di Indonesia kepada para korban kekerasan seksual. Pertanyaan diskriminatif dari aparat kepada para korban seperti, “apakah kemaluan kamu basah saat melakukannya” dan “apa kamu berontak saat kejadian” masih sering ditanyakan kepada korban.

 

Selain minimnya pengetahuan aparat penegak hukum terkait kekerasan seksual, KUHP yang ada pun tidak mampu memayungi para korban kekerasan seksual dengan baik. Untuk itu, sebenarnya diperlukan payung hukum baru yang memihak kepada korban dan mampu memutus rantai kekerasan seksual di Indonesia.

 

Mengapa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Penting?

            Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, masalah kekerasan seksual di Indonesia diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun, secara garis besar, didalam KUHP kekerasan seksual hanya terbatas pada pemerkosaan dan pencabulan. Padahal Komnas Perempuan menemukan setidaknya ada 15 jenis kekerasan seksual. Selain itu, KUHP belum sepenuhnya menjamin perlindungan dan pemenuhan hak korban. KUHP juga menempatkan kasus kekerasan seksual pada tindak pidana kesusilaan.

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual berusaha mengisi ketiadaan rumusan spesifik tentang pendefinisian kekerasan seksual dalam KUHP. Ada banyak jenis kekerasan seksual yang tidak diatur dalam KUHP, seperti pelecehan seksual, pemaksaan pelacuran, dan penyiksaan seksual. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan mengatur definisi, unsur dan pemidanaan terhadap bentuk-bentuk kekerasan seksual sehingga dapat memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan korban. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bukan hanya membicarakan mengenai urusan pidana, tapi juga mengenai pencegahan dan pemutusan rantai kekerasan seksual serta pemulihan dan pemenuhan kebutuhan korban.

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual penting untuk mengubah cara pandang masyarakat terhadap kekerasan seksual. Selama ini kekerasan seksual dianggap selalu menggunakan alat kelamin, dan dorongan birahi, padahal tidak selalu demikian. Kekerasan seksual dalam KUHP juga hanya mengatur mengenai tindakan diluar pernikahan. Padahal, kekerasan seksual juga dapat terjadi didalam pernikahan antara suami-istri.

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual membawa sudut pandang sexual consent kedalam hukum. Sesuatu dapat disebut sebagai kekerasan seksual ketika seseorang dalam melakukan hal tersebut merasa terancam, terpaksa, atau tidak berdaya. Jika kegiatan seksual dilakukan secara sadar dan sukarela, itu disebut sebagai consent seksual. Pernikahan tidak dapat diartikan sebagai pemberian consent seumur hidup. Kegiatan seksual harus dilakukan dengan consent kedua belah pihak meskipun dalam status pernikahan. Hal ini yang luput dari pandangan hukum kita hari ini dan mengabaikan fakta bahwa kekerasan seksual juga terjadi didalam rumah tangga.

Rancangan Undang-Undang tersebut juga dianggap mampu menjamin penyelesaian kasus-kasus kekerasan seksual dengan jauh lebih baik, yakni tidak hanya berfokus pada penghukuman pelaku, tetapi memperhatikan pemulihan dan pemenuhan kebutuhan korban. Sehingga kekerasan seksual di Indonesia tidak menjadi fenomeona bola salju, dimana para korbannya seringkali bungkam dan memilih jalan “damai” yang sebenarnya tidak memberikan kedamaian sama sekali.

Bagaimana melakukan upaya pendampingan bagi korban kekerasan seksual?

Pertama, untuk melakukan pendampingan, penting sekali bagi pendamping untuk mengetahui teori dan konsep dasar dari kekerasan seksual itu sendiri. Dalam ranah teknis, pendamping juga perlu menegtahui identitas korban (nama, gender, umur, domisili, dll), serta kronologis lengkap kasus kejadian. Semua hal ini diperlukan pendamping dalam melakukan dasar proses pendampingan, seperti memetakan strategi, memetakan kebutuhan korban, dan lain sebagainya. Kendati demikian, data-data yang diperoleh oleh pendamping tidak boleh disebarkan secara sembarang. Data-data tersebut ketika ingin digunakan harus berdasarkan izin dari korban dan pertimbangan matang akan dampak yang nantinya akan diterima.

Kedua, setelah memperoleh data identitas dan kronologis, pendamping bersama-sama dengan korban melakukan diskusi bersama untuk memetakan kebutuhan korban. Terdapat 5 jenis kebutuhan korban yang mendasar, yaitu kebutuhan penerimaan, kebutuhan akan harga diri, kebutuhan aktualisasi diri, kebutuhan akan rasa aman, serta kebutuhan akan keadilan. Selain 5 kebutuhan mendasar ini, terdapat kebutuhan tambahan lain yang dibutuhkan korban, yaitu pendampingan psikologis bagi korban yang mengalami trauma, pendampingan hukum bagi korban yang membutuhkan upaya dan proses hukum, rumah yang aman, kebutuhan ekonomi, atau lain sebagainya.

Ketiga, pendamping perlu sekali memperhatikan prinsip pendampingan. Jenis pendampingan yang digunakan (litigasi ataupun non-litigasi) serta strategi pendampingan yang dipilih harus disesuaikan dengan kebutuhan korban, kasus yang dihadapi oleh korban, serta kapasitas dari pendamping itu sendiri. Semua aktivitas dan pengambilan keputusan juga harus disesuaikan dengan persetujuan korban. Barangkali, dari keseluruhan proses pendampingan, bagian ini adalah hal yang paling penting mengingat penananganan kasus kekerasan seksual yang terjadi biasanya kurang memahami perspektif korban dan justru malah menyalahkan korban. 

Selain ketiga hal di atas, pendamping juga perlu melakukan koordinasi dengan berbagai mitra organisasi pendampingan lain agar memperkuat upaya pendampingan yang dilakukan. Pendamping juga diharapkan dapat memberikan penguatan pada korban sehingga kesiapan mental dan fisik korban juga perlu diperhatikan oleh pendamping.

Terakhir, perlu diketahui juga baik oleh pendamping ataupun korban bahwa proses pendampingan  juga dapat berhenti. Hal-hal yang menyebabkan suatu proses pendampingan dihentikan antara lain adalah kebutuhan korban sudah terakomodasi, korban tidak dapat dihubungi, dan korban tidak mengikuti kesepakatan yang telah dibuat bersama pendamping.

 

 

  *Arby Ramadhan merupakan kader LPPMD angkatan XXXVIII dan mahasiswa Administrasi Publik angkatan 2019 di FISIP, Universitas Padjadjaran.

        **Silvi Wilanda merupakan Kepala Divisi Pengabdian LPPMD 2020 dari angkatan XXXVIII dan mahasiswa Antropologi angkatan 2017 di FISIP, Universitas Padjadjaran.

***Tulisan ini adalah hasil notulensi dari Kelas Advokasi dengan tema kekerasan seksual yang diadakan LPPMD bersama Samahita Bandung pada 31 Oktober dan 1 November 2020 lalu. Kelas advokasi merupakan agenda rutin tahunan yang diadakan divisi Pengabdian LPPMD guna mengembangkan kapasitas organisasi terkait isu-isu sosial, politik, dan ekonomi melalui jalur advokasi, baik dalam kerangka pemahaman teori serta pengalaman mengenai langkah dan tahapan advokasi.  
 



[2] Relasi Kuasa adalah relasi yang bersifat hierarkis, ketidaksetaraan dan/atau ketergantungan status sosial, budaya, pengetahuan/pendidikan dan/atau ekonomi yang menimbulkan kekuasaan pada satu pihak terhadap pihak lainnya dalam konteks ini bisa relasi antar gender sehingga merugikan pihak yang memiliki posisi lebih rendah.

[3] Lihat Møller et al. Microb Cell Fact  (2017) 16:11, Human β-defensin-2 production from S. cerevisiae using the repressible MET17 promoter, BioMed Central.