April 2020 - LPPMD Unpad

Selasa, 28 April 2020

#ArisanLiterasi - Evergreening: Kapitalisasi Dunia Kesehatan
Sumber: Médecins sans Frontières


Ditulis oleh Arby Ramadhan*
Disunting oleh Kevin Aprilio**


Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan primer yang dibutuhkan manusia untuk menjalani hidup agar kegiatan dan aktivitasnya dapat dijalankan dengan baik dan produktif. Kebutuhan akan kesehatan dapat disejajarkan dengan kebutuhan manusia akan makan, minum, serta kebutuhan primer lain. Ketika manusia tidak bisa memenuhi kebutuhannya akan kesehatan, maka obat adalah solusinya. Hal ini menjadikan obat bagi manusia sebagai kebutuhan pokok. Tetapi apa jadinya jika obat dijadikan komoditas untuk meraup keuntungan bagi segelintir orang dan menjadi mahal sehingga sulit dijangkau oleh masyarakat miskin?

Farmasi di zaman ini tak ubahnya merupakan korporasi kapitalis yang mengkomodifikasi bidang kesehatan untuk meraup keuntungan pribadi sebanyak-banyaknya. Kapitalisasi oleh perusahaan farmasi ini terlihat dari monopoli obat yang dilakukan lewat hak paten atas produksi obat yang menjadikan obat sebagai barang mahal yang tidak dapat dimiliki secara merata. Padahal, seperti yang kita tahu, kesehatan adalah kebutuhan yang menyangkut nyawa orang banyak.

Pemberian hak paten oleh negara diatur dalam Undang-undang no. 14 tahun 2001 tentang Paten, yang kemudian direvisi menjadi Undang-undang no. 13 tahun 2016 yang mengatur masa berlaku paten di Indonesia menjadi 20 tahun. Pada jangka tahun tersebut, pemegang paten memiliki hak eksklusif untuk melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya untuk membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi paten. Ini berdampak langsung pada harga obat terhadap konsumen.

Melanggengkan Monopoli melalui Evergreening

Evergreening adalah upaya perusahaan farmasi untuk memperpanjang masa hak paten yang "hanya" 20 tahun agar dapat melanggengkan monopoli. Upaya ini dilakukan dengan cara memodifikasi bentuk kimia, bentuk sediaan, dan modifikasi-modifikasi minor lain yang sebetulnya tidak memberikan signifikansi atau efektivitas baru dibandingkan obat terdahulunya. Dengan cara ini, farmasi dapat terus memperbarui hak patennya. Ketika tidak ada pesaing lain yang menciptakan obat yang sama, maka perusahaan farmasi tersebut dapat bertindak sebagai price-maker. Dengan jalan inilah farmasi dapat mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya dari orang-orang yang sakit karena tidak adanya pilihan lain.

Dampak lain dari perpanjangan hak paten yang terus-menerus adalah tertundanya keberadaan obat-obat generik yang lebih mudah didapat dan harganya lebih terjangkau. Pun jika biaya obat paten ditanggung oleh pemerintah melalui program seperti Jaminan Kesehatan Nasional, perusahaan farmasi dapat meningkatkan lagi harga jual obat tersebut sesuai yang dikehendaki sehingga terjadi pemborosan anggaran dan rentan akan praktik korupsi. Pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa masyarakat akan tetap membayar biaya obat paten yang mahal tersebut secara tidak langsung melalui pajak dan iuran premi program jaminan kesehatan peperintah.

Salah satu contoh kasus evergreening adalah kasus Novartis di India pada tahun 2013. Kasus ini berlangsung sejak tahun 1997 yang melibatkan lobi tingkat tinggi mafia-mafia farmasi untuk tetap dapat memonopoli obat untuk leukemia. Kasus ini sangat unik karena dampaknya yang besar bagi akses obat bagi orang-orang miskin di dunia. Mahkamah Agung India menyatakan bahwa Gleevec --imatinib mesylate, obat yang dimaksud dalam kasus ini-- hanyalah bentuk modifikasi minor yang tidak memberikan signifikansi atau peningkatan efektivitas dari obat yang ada sebelumnya (imatinib freebase, yang sudah habis masa patennya), sehingga tidak dapat diberikan hak paten. Bukti dari Novartis bahwa Gleevec larut dan diabsorpsi 30% lebih baik tidak mampu meyakinkan Mahkamah Agung bahwa peningkatan tersebut berdampak signifikan terhadap efikasi obat tersebut. Kini, Gleevec dapat diakses dengan harga 20 kali lebih murah oleh orang-orang yang membutuhkan di India.

Meniru Keberanian India dalam Memerangi Evergreening

Kasus Novartis di India seharusnya menjadi acuan bagi kita bahwa evergreening hanya dapat dilawan oleh negara sebagai pemilik kekuasaan tertinggi atas pembuat kebijakan. Negara seharusnya memiliki kuasa lebih untuk menghapus dominasi perusahaan farmasi serta mengontrol perusahaan farmasi dan keberadaan obat-obatan. Langkah berani India dalam menolak paten dan monopoli obat harus kita jadikan acuan, sebab salah satu tugas negara ialah menjamin kesehatan warga negaranya. Kesehatan warga negara hanya akan terjamin apabila keberadaan obat-obatan mampu diakses oleh semua kalangan terutama warga miskin.

Di samping itu, mengingat kondisi negara Indonesia dengan India yang sama-sama merupakan negara dunia ketiga sebetulnya tidak jauh berbeda. Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika kita berasumsi bahwa Indonesia akan menjadi target pasar mafia farmasi dunia berikutnya. Dari tahun 2011-2016, rata-rata pertumbuhan pasar farmasi di Indonesia mencapai 20,6% tiap tahunnya. Ada sekitar 239 perusahaan farmasi yang beroperasi di Indonesia, namun 92% bahan baku obat-obatan yang digunakan masih berasal dari impor. Untuk itu, sejak saat ini negara seharusnya tegas akan keberpihakannya terhadap dunia kesehatan. Jika negara ingin melawan dominasi perusahaan farmasi dan berpihak pada rakyat, maka negara harus meniru keberanian India dalam melawan evergreening.


*Arby Ramadhan adalah kader LPPMD angkatan XXXVIII dan mahasiswa Administrasi Publik angkatan 2019 di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Padjadjaran.
**Kevin Aprilio adalah kader LPPMD angkatan XXXVI dan mahasiswa Farmasi angkatan 2018 di Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran.


Tulisan ini bukan merupakan nasihat medis. Silakan hubungi dokter atau tenaga medis lainnya untuk informasi medis lebih lanjut, terutama terkait pemilihan obat-obatan yang Anda gunakan.

Referensi

https://www.kompasiana.com/amp/ris.tan/kasus-novartis-evergreening-dan-monopoli-raksasa-farmasi_552fc0e46ea83448308b4589

https://www.tirto.id/mengendalikan-perangkap-monopoli-obat-paten-cmyJ

Kamis, 23 April 2020

Batas Kekuasaan Pemerintah
Sampul buku bagian depan
Sumber: Penulis

Ulasan Nineteen Eighty-Four karya George Orwell, terjemahan Landung Simatupang

Oleh Kevin Aprilio*

Tidaklah banyak yang dapat dikerjakan dalam dunia di mana pemerintah mengatur segalanya: apa yang terpikir, apa yang terbayang, apa yang dilakukan, apa yang tertulis di sejarah. Inilah pesan yang agaknya berusaha disampaikan dalam 1984 karya George Orwell. Hal ini tentunya nampak sebagai fiksi belaka di abad ke-21 ini; demokrasi, entah dalam bentuk sesungguhnya ataupun turunan dari ide dasarnya, adalah titik tumpu banyak negara pada saat ini. Bagaimanapun, di tahun buku ini terbit, kekuasaan totaliter dapat dikatakan nampak sebagai teror yang nyata, yang tergambarkan melalui ketakutan dalam distopia di buku ini. Relevansi buku ini pada masa kini, sebagaimana yang disampaikan penerjemah, bergantung pada pembacanya. Paling tidak, adalah hal yang baik untuk dapat membandingkannya dengan masa ini dan menghargai keadaan saat ini, jika hal tersebut bukanlah suatu bentuk doublethink bagi Anda.

Buku ini berpusat pada seorang pekerja partai kelas menengah bernama Winston Smith. Tidak banyak yang dapat diketahui mengenainya melalui buku ini dikarenakan kecenderungan buku ini untuk berpusat pada gambaran umum dan alur cerita daripada detail tokoh ataupun keadaan, sehingga gambaran Winston Smith—ataupun, dalam hal ini, semua tokoh—tidaklah nampak dengan jelas. Benaknya mempertanyakan hal-hal yang tidak banyak orang tanyakan: “mengapa.” Terangkum dalam satu kata sederhana namun sulit untuk dituturkan, terutama di bawah spionase konstan pemerintahan otoriter Sosing melalui telescreen yang tersebar di berbagai tempat. Hal ini membuat dirinya hidup dalam dua pribadi berbeda: seorang pekerja partai yang terbilang andal dalam bidangnya, namun juga seorang crimethinker yang terus menerus mempertanyakan kekuasaan absolut partai.

Banyak pertanyaan timbul dari buku ini, yang boleh dianggap merupakan kekurangan terbesar dari penulis. Permulaan pemberontakan yang muncul dalam benak Winston, ataupun beberapa detail lainnya yang mungkin terkesan sepele, dibiarkan menggantung tanpa penjelasan, sehingga buku ini lebih terkesan sebagai sebuah esai daripada sebuah novel. Meskipun tetap berfokus pada latar pemerintahan Sosing, beberapa informasi untungnya dipaparkan dalam sebuah buku fiksi karya Emmanuel Goldstein yang ada dalam buku ini, sehingga harapan untuk dapat membaca Teori dan Praktik Kolektivisme Oligarkis sepenuhnya menjadi salah satu angan setelah selesai membaca buku ini. Paling tidak, penggambaran Newspeak—bahasa fiksi yang dibentuk oleh pemerintah Sosing guna membatasi pikiran rakyat—yang terlampir dalam buku ini merupakan tambahan yang menarik.

Meskipun begitu, patut diakui bahwa penulis mampu memusatkan perhatian pembaca pada poin-poin penting dalam alur cerita, walaupun kesan dangkal tetap sulit untuk dihilangkan. Penulis nampak terlalu berkutat dalam distopia karangannya dan mengabaikan beberapa aspek yang sebenarnya mampu mendongkrak cerita buku ini. Dengan mengabaikan beberapa bagian di mana kesan bertele-tele justru muncul, penulis memberikan suatu bentuk kompensasi yang dapat diterima, meskipun masih belum dapat memenuhi ekspektasi awal ketika mulai membaca buku ini.

Sebagai penggiat politik, buku ini merupakan bacaan yang menarik dalam memaparkan kehidupan negara totaliter dengan kendali absolut yang justru bertujuan untuk mempertahankan kesenjangan sosial dan rendahnya standar hidup masyarakatnya. Penggiat kebahasaan pun mungkin dapat menarik satu atau dua hal melalui konstruksi Newspeak yang ada dalam buku ini. Tidak seperti novel yang kebanyakan beredar pada saat ini, hal yang membuat buku ini menarik bukanlah kesedihan protagonis, bahasa indah yang menggugah, ataupun akhir cerita yang mengubah keadaan menjadi seperti sedia kala. Tidak, ini bukan novel yang seperti itu.

Pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa buku ini tetap merupakan bacaan yang relevan dan layak untuk dibaca serta direkomendasikan, meskipun tidak untuk kebanyakan orang.

Komentar Tambahan

Pada hari tulisan ini diunggah di laman ini, 23 April 2020, terjadi penangkapan Ravio Patra oleh Kepolisian Republik Indonesia, setelah sebelumnya akun WhatsApp miliknya diretas dan digunakan untuk membagikan berita provokatif. Sebuah kebetulan yang sangat mencurigakan, mengingat aktivitasnya yang kerap kali mengkritik kebijakan pemerintah[1], terutama di tengah pandemi SARS-CoV-2 yang sedang melanda Indonesia saat ini. Beberapa orang bahkan berspekulasi akan adanya orkestrasi kejadian ini, mengingat adanya situs yang telah mempersiapkan berita mengenai penangkapan Ravio bahkan sebelum ia ditangkap.

Kejadian ini mengingatkan kita terhadap bagaimana buku 1984 oleh George Orwell menjadi makin relevan pada masa ini, di mana telescreen ada di sekitar kita dalam bentuk yang tidak kita kira; ponsel pintar yang berada di saku kita dan kita gunakan setiap hari. Kejadian ini secara tidak langsung justru kembali memberitahu kita bagaimana pemerintah mampu mengekang dan mengatur persebaran informasi yang ada di sekitar kita. Crimethink berubah menjadi "hoax", dengan regulasi pemerintah yang berusaha mengatur mana informasi yang "benar" dan mana yang tidak. Post-truth dijadikan jargon baru yang berusaha menginvalidasi opini-opini masyarakat untuk tetap berada dalam konstruk yang diinginkan penguasa[2].

Jika kita berangkat dari asumsi bahwa akun Ravio benar-benar diretas dan digunakan oknum yang pada akhirnya bekerja sama dengan kepolisian --saya mengatakan terjadi kerja sama atas dasar cepatnya gerak polisi dalam melakukan tindakan berupa penangkapan, bahkan tanpa informasi yang lebih jelas--, dapat dikatakan bahwa ada usaha framing atau penggiringan opini yang dilakukan pemerintah untuk mengkambinghitamkan kelompok-kelompok tertentu. Hal yang tidak asing dilakukan oleh pemerintah Sosing. Pun ternyata apa yang disebarkan oleh akun WhatsApp Ravio benar-benar dilakukan oleh dirinya sendiri, hal ini tetap menunjukkan bagaimana pemerintah sebenarnya memiliki akses terhadap sarana komunikasi yang digunakan masyarakat; bahwa kita tidak pernah lepas dari pengawasan pemerintah. Asumsi ini saya biarkan terbuka untuk memberikan kesempatan pada para pembaca untuk menentukan pihak mana yang sebetulnya perlu menjadi perhatian.

Satu hal yang pasti bagi saya pribadi, fakta bahwa pemerintah dapat dan telah mengawasi setiap gerak-gerik rakyatnya secara aktif merupakan salah satu kebobrokan yang perlu dilawan. Dalam hal ini, saya rasa sudah banyak kasus dan ulasan yang menceritakan bagaimana pengawasan besar-besaran yang dilakukan pemerintah memberikan dampak buruk bagi masyarakat. Demokrasi tidak dapat dibangun dalam masyarakat yang hidup dalam bayang-bayang ketakutan atas pemerintahnya sendiri, terutama dalam hal menentang pemerintahnya.

Panjang umur perjuangan!

Referensi

[1] Bernie, M. (2020, 23 April). Ravio Patra Dikabarkan Ditangkap Polisi. Diambil dari Tirto.id di https://tirto.id/ravio-patra-dikabarkan-ditangkap-polisi-eQoR pada 23 April 2020.

[2] Imaduddin, F. (2020, 10 Februari). Kebohongan Post-Truth. Diambil dari Remotivi di http://www.remotivi.or.id/amatan/569/kebohongan-post-truth pada 23 April 2020.



*Kevin Aprilio adalah kader LPPMD angkatan XXXVI dan mahasiswa Farmasi angkatan 2018 di Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran.

Versi awal tulisan ini sudah dimuat sebelumnya pada laman teabagrants.blogspot.com.

Jumat, 10 April 2020

Politik di balik Wabah SARS-CoV-2
Sumber: sinarkeadilan.com

Oleh Kevin Aprilio*


Sebagai sebuah ilmu yang mempelajari hubungan sebuah masyarakat dengan tatanan yang berada di atasnya, tentunya tidak mungkin bagi manusia saat ini yang hidup di zaman modern untuk lepas dari dinamika politik. Tiap harinya, kita dihadapkan dengan pertarungan yang memperebutkan kekuasaan; baik secara horizontal antar-sesama masyarakat ataupun secara vertikal antara masyarakat dan si (atau para) penguasa. Oleh karena itu, pemahaman politik tentunya diperlukan dalam setiap pengambilan keputusan untuk mendapatkan keputusan yang rasional dalam konteks masyarakat modern di bawah sistem pemerintahan saat ini. Pernyataan tersebut pun tidak hanya berlaku pada masyarakat biasa saja dewasa ini, melainkan juga pada pemerintah dengan adanya organisasi supranasional seperti United Nations (UN), European Union (EU), dan sebagainya yang tidak hanya mengatur keberadaan negara secara tradisional--yang hanya mempertimbangkan keberadaan negara itu sendiri dalam konteks mempertahankan diri--tetapi juga keberadaan negara dalam suatu komunitas dengan segala peraturannya, selayaknya masyarakat di bawah pemerintahan.

Oleh karenanya, sebuah negara akan memiliki dua pertimbangan utama dalam menghadapi suatu permasalahan global; pertimbangan kemasyarakatan terkait masyarakat yang berada di bawah negara tersebut, dan pertimbangan pribadi untuk mempertahankan keberadaan negara tersebut di panggung internasional, terutama di bawah superstruktur seperti yang sudah dijelaskan di atas. Dalam konteks menghadapi wabah SARS-CoV-2 yang sedang terjadi sekarang ini, Indonesia berada dalam tekanan dari dua pihak dengan kepentingan yang berbeda; masyarakat pada umumnya yang membutuhkan perlindungan dan bantuan negara serta masyarakat pemangku kekuasaan dan modal yang membutuhkan kepastian dalam investasi dan usaha mereka. Kenapa dikatakan kekuasaan dan modal? Tulisan ini dibuat dengan asumsi bahwa Indonesia berada dalam pemerintahan yang bersifat neoliberal[1], di mana kepemilikan modal berkaitan erat dengan kekuasaan dan prevalensi di panggung politik. Dalam asumsi ini, dapat dengan cara kasar dikatakan bahwa pemerintah tidak lain hanyalah alat bantu pemilik modal dalam akumulasi modal untuk kepentingan kroni-kroninya. Alasan asumsi ini diambil tidak akan saya jelaskan lebih lanjut, karena saya rasa sudah cukup banyak tulisan lain yang menggambarkan perekonomian neoliberal di Indonesia[2]. Dalam tulisan ini, saya akan mencoba untuk menekankan dan membawa keilmuan medis yang sedikit banyak saya ketahui dalam menilai tindakan-tindakan yang dilakukan masyarakat, pemerintah nasional, ataupun organisasi supranasional dalam penanganan wabah yang sedang terjadi saat ini.


Salah siapa?

Dalam studi epidemiologi, penting untuk mengetahui asal muasal suatu penyakit (dalam hal ini, penyakit infeksius) untuk mengetahui moda penyebaran dan pencegahan dini dari penyakit tersebut. Konsensus utama saat ini--mengingat banyaknya teori-teori konspiratif lain yang berusaha menjelaskan asal-muasal wabah SARS-CoV-2019 ini--mengatakan bahwa virus SARS-CoV-2 merupakan hasil mutasi virus dalam keluarga Coronaviridae yang bermutasi karena konsumsi kelelawar yang diketahui merupakan reservoir keberadaan virus ini[3], dengan lokasi kejadian pertama yang dipublikasikan di Wuhan, Hubei, Tiongkok. Meskipun infeksi ini sudah diketahui pada bulan November 2019[4], pemerintah Tiongkok baru memulai upaya-upaya pencegahan yang berarti pada bulan Januari sampai Februari 2020[5] setelah sebelumnya mengkriminalisasi pada jurnalis, tenaga kesehatan, dan warga yang menyebarkan berita mengenai persebaran wabah SARS-CoV-2 di Tiongkok[6] atas dasar berita bohong atau hoaks. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun melakukan hal yang sama, setelah sebelumnya memberitakan bahwa tidak ada bukti kuat terkait penularan SARS-CoV-2 antar-manusia[7] dan bahkan menyatakan bahwa karantina wilayah (lockdown) bukanlah tindakan yang dianjurkan. Kedua pihak terkait dalam hal ini menunjukkan keterlambatan dalam penanganan dan dapat dikatakan berusaha untuk menutup-nutupi wabah yang terjadi[8][9]. Sebuah hal yang tidak mengagetkan, mengingat salah satu sumber pendanaan WHO adalah kontribusi dari negara-negara anggotanya[10] dengan Tiongkok sebagai pendonor kedua terbesar setelah Amerika Serikat[11].

Sebagaimana yang telah dijelaskan di bagian sebelumnya, tidaklah mengherankan melihat respons WHO dalam menghadapi wabah SARS-CoV-2 ini, mengingat "kedekatan" hubungan antara Tiongkok dan WHO. Beberapa argumen bahkan menyatakan bahwa situasi pandemi yang saat ini ditetapkan WHO dapat dihindari, atau paling berkurang keparahannya, jika pemerintah Tiongkok dan WHO mengambil tindakan tegas lebih awal[9]. Kebijakan Satu Tiongkok yang diberlakukan pemerintah Tiongkok pun memaksa negara-negara dan organisasi-organisasi supranasional seperti WHO untuk mengabaikan contoh dan saran yang diberikan Taiwan terkait perkembangan wabah ini[12]. Sikap WHO yang sangat berpihak pada Tiongkok pun terlihat pada wawancara yang dilakukan terhadap salah satu dari asisten direktur umum WHO, Bruce Aylward[13], yang menjadi tenar di kalangan warganet sebagai sebuah meme.

Sumber: Taiwan News

Di luar Tiongkok dan WHO, keberadaan wabah SARS-CoV-2 ini pun memengaruhi hubungan politis Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, di mana kedua negara tersebut saling menyalahkan mengenai asal muasal keberadaan virus ini[14]. Pemimpin AS pun menunjukkan sentimen anti-Tiongkok dengan mengatakan wabah SARS-CoV-2 ini sebagai "Chinese virus" atau "Chinese flu"[15]; sebuah sentimen yang justru meningkatkan implikasi rasisme dari wabah ini dan, sebagaimana yang telah terjadi sebelumnya di awal kasus ini, menjadi kontraproduktif dalam penyelesaian kasus ini. Intel AS pun menyatakan bahwa Tiongkok selama ini malah menutup-nutupi skala wabah SARS-CoV-2 ini[16], yang berlanjut memperparah hubungan antara pemerintah AS dan Tiongkok.


Apa Kabar Indonesia?

Ironisnya, meskipun sentimen anti-Tiongkok sedang gencar-gencarnya kembali di Indonesia setelah kerusuhan yang terjadi di tahun 1998, pemerintah Indonesia dan rakyatnya bertindak dengan cara yang kurang lebih sama dengan pemerintah Tiongkok. Pemerintah bertindak seakan-akan wabah SARS-CoV-2 yang terjadi saat ini bukanlah masalah besar[17] dan, yang paling parah, malah menggenjot sektor pariwisata melalui pemotongan pajak dan berbagai macam subsidi[18]; saat pemerintah negara lain malah sibuk menutup perbatasannya dan lalu-lalang masyarakat untuk mencegah penyebaran virus lebih lanjut. Menteri-menteri lain dan berbagai pejabat pemerintah lain bahkan berusaha membuat lelucon basi mengenai bagaimana rakyat Indonesia sebenarnya "kebal" terhadap SARS-CoV-2 karena berbagai alasan. Masyarakat Indonesia yang melihat peruntungan dalam situasi ini pun mulai melakukan akumulasi modal dengan penimbunan stok masker demi mengikuti inflasi harga masker yang semula hanya berkisar Rp.50.000,- per kotak menjadi sampai Rp.350.000,- per kotak. Laporan dari berbagai negara bahkan menyatakan terjadinya praktik "daur ulang" masker yang sudah digunakan[19][20].

Indonesia yang sampai saat ini masih berada di tengah kebimbangan antara misinformasi dari pemerintah dan berbagai kabar burung yang banyak tersebar di berbagai tempat pun menyebabkan banyak orang yang memutuskan untuk mengambil metode alternatif yang bisa mereka lakukan, mulai dari jahe merah dan jamu-jamuan lain sampai obat-obat keras dengan efek samping fatal seperti klorokuin. Respons pemerintah dan akademisi yang, sayangnya, bisa dikatakan memiliki posisi strategis dan dekat pada pemerintah pun sangat normatif seakan-akan harapan masih terbuka luas dan kepanikan yang dialami masyarakat Indonesia merupakan hal yang seakan tidak relevan. Dalam hal ini, Justito Adiprasetio dalam artikelnya[21] memberikan sebuah perspektif baru dan kritik terhadap bagaimana pemerintah Indonesia menghadapi wabah ini dengan sangat lantang. Sebuah hal yang selayaknya dilakukan oleh semua orang; melihat kekelaman realitas dan menanggapinya dengan nalar yang berjalan dengan baik.

Disonansi keputusan dan perbedaan perspektif antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah pun memperparah keadaan ini. Meskipun pemerintah pusat mengklaim bahwa ancaman wabah SARS-CoV-2 ini merupakan ancaman nasional, ketiadaan penanganan resmi dari pemerintah pusat mengenai mekanisme pencegahan yang perlu dilakukan menyebabkan beberapa pemerintah daerah mengambil langkah interventif dan melakukan karantina wilayah secara mandiri[22]. Hal tersebut tentunya akan merugikan masyarakat dari berbagai aspek. Pertama, masyarakat yang berada di luar wilayah karantina wilayah yang dilakukan pemerintah kota/kabupaten tersebut akan bertanya-tanya terkait kebijakan yang perlu dilakukan di wilayahnya. Tanpa arahan ataupun mekanisme yang jelas dalam penanganan wabah ini, masyarakat tentunya menjadi korban dalam pengambilan keputusan yang sembrono; tertolak oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Kedua, tanpa intervensi dari pemerintah pusat, pemerintah daerah dipaksa untuk menangani wabah SARS-CoV-2 ini dengan dana yang mereka miliki sendiri. Dalam hal ini, permasalahan utama yang dihadapi bukanlah mengenai siapa yang membayar siapa, tapi wilayah kota/kabupaten yang memiliki pemasukan daerah kecil tentunya akan memiliki anggaran yang lebih kecil juga yang dapat dialokasikan untuk menangani wabah ini[23].

Patut diakui bahwa tidak adil jika kita menyalahkan semua beban yang diakibatkan wabah SARS-CoV-2 ini pada pemerintah Indonesia semata, mengingat bahwa pandemi dan krisis ekonomi yang dihadapi Indonesia merupakan bagian dari permasalahan global. Namun begitu, sebagaimana pendapat yang disampaikan Agraprana Pahlawan dalam tulisannya di Quora[24], pemerintah--atau secara spesifik, Jokowi--bukan hanya sekadar pemangku kekuasaan dalam tatanan masyarakat, melainkan juga ikon yang dipandang sebagai "pemimpin". Kritik ini tentunya tidak menulifikasi keresahan masyarakat atas ketidakbecusan pemerintah dalam menangani wabah dan krisis ekonomi yang sedang terjadi saat ini, malahan menjadi justifikasi tambahan terhadap segala kritik dan hujatan yang dilayangkan pada pemerintah. Tapi, apa yang dilakukan pemerintah dalam menyikapi hal ini? Kepolisian Republik Indonesia malahan menunjukkan taringnya dengan menekankan patroli siber untuk menekan segala bentuk pernyataan yang dianggap menghina presiden dalam penanganan wabah SARS-CoV-2 ini[25]. Tindakan ini tentunya membuat masyarakat bertanya-tanya, sebenarnya apa yang sedang dilakukan pemerintah Indonesia?


Pemerintah dan Keberpihakannya

Politik adalah perang kepentingan, di mana penguasa--atau pemerintah--dengan kepentingannya pribadi akan berusaha untuk melanggengkan apa yang mereka inginkan meskipun bertentangan dengan keinginan masyarakat. Kompromi yang terjadi antara kedua belah pihak ini merupakan sebuah keseimbangan ringkih yang dijaga oleh pemerintah untuk mencegah perlawanan dari masyarakatnya. Terlebih dalam konstruksi neoliberal, pemerintah dalam hal ini berperan untuk menjaga kepentingan pemilik modal untuk mempertahankan eksistensinya. Oleh karenanya, dalam setiap tindakan pemerintah, masyarakat patut bertanya; untuk siapa kebijakan ini dibuat? Dalam hal ini, masyarakat hendaknya menagih janji yang diberikan oleh penguasa atas "keadilan sosial" dan segala bentuk jargon yang biasa di dengar beberapa bulan menjelang pemilu.

Dalam melihat bagaimana pemerintah bekerja dalam menghadapi wabah SARS-CoV-2 ini, dapat diasumsikan bahwa kebanyakan kerja pemerintah saat ini merupakan upaya mereka untuk mempertahankan kepentingannya. Contoh paling konkret adalah pendekatan-pendekatan ekonomi yang sejauh ini dilakukan pemerintah bahkan di tengah wabah. Paket-paket stimulus ekonomi diberikan bagi pengusaha dalam bentuk pinjaman serta "diskon pajak" atas nama stabilisasi ekonomi, dengan alasan bahwa resesi akan menjadi berbahaya bagi para buruh yang dapat terancam pemutusan hubungan kerja (PHK) karena ketidakmampuan pengusaha untuk membayar mereka. Sebuah argumen yang sangat konyol jika kita mempertimbangkan instrumen pemerintah lain dalam Undang-undang nomor 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan menjanjikan pemenuhan kebutuhan dasar warga malah dipertanyakan; dan darurat sipil yang malahan memperkuat cengkeraman pemerintah pada rakyatnya dijadikan pertimbangan dalam mencegah persebaran wabah melalui karantina skala nasional.

Oleh karena itu, merupakan hal yang amat wajar jika masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak mengindahkan imbauan pemerintah untuk membatasi pergerakan dirinya dan diam di rumah. Pada akhirnya, perut lapar tidak akan terselesaikan dengan hanya berdiam diri di rumah, bukan? Paket stimulus ekonomi yang diberikan pemerintah saat ini pun tidak akan sampai ke tangan buruh jika buruh-buruh tersebut tidak pergi ke pabrik untuk bekerja.


Pahlawan atau Korban?

Dalam posisi saya saat ini sebagai calon buruh kesehatan, tentunya timbul rasa prihatin bagi calon-calon rekan sejawat yang harus bekerja di lingkungan yang bahkan tidak memberikan perlindungan bagi dirinya sendiri. Lalu dalam hal ini, apakah mereka menjadi pahlawan yang mati syahid atau korban yang mati konyol karena keserampangan pemerintah?

Pada tanggal 27 Maret 2020, 42 organisasi profesi melakukan pernyataan yang mengancam pemerintah akan melakukan mogok kerja apabila kebutuhan mereka atas alat pelindung diri (APD) tidak dipenuhi[26]. Meskipun pernyataan ini segera diklarifikasi oleh IDI melalui klarifikasinya[27], komentar warganet menyikapi hal ini beragam dari yang setuju sampai mengecam dokter yang melakukan pemogokan. Hal ini didasarkan pada "Sumpah Dokter" yang menyatakan bahwa dokter akan mendedikasikan dirinya bagi kepentingan masyarakat. Namun begitu, ada sebuah kecacatan logika yang muncul dalam pemikiran ini. Penekanan bahwa dokter memiliki kewajiban atas masyarakat menempatkan beban yang seharusnya ditanggung oleh pemerintah, sebagai penyedia kebutuhan-kebutuhan dokter dalam melakukan praktiknya, pada dokter-dokter tersebut secara individu. Dalam hal ini, dokter secara tidak langsung diposisikan layaknya tenaga kerja paksa (slave labor) di mana mereka harus memenuhi segala kebutuhan mereka sendiri, meskipun harus bertarung nyawa secara harfiah. Kode Etik Kedokteran Indonesia[28] sebenarnya mengatur bahwa dokter harus "...memelihara kesehatannya supaya bisa bekerja dengan baik." Dari pernyataan tersebut dapat secara deduktif dikatakan bahwa dokter dapat menolak untuk bekerja dalam lingkungan yang membahayakan dirinya.

Media saat ini dengan mudahnya mendeskripsikan korban-korban yang meninggal karena wabah ini sebagai angka dalam statistik; sebuah pendekatan Orwellian yang berusaha memisahkan fatalitas kasus ini dari makna sebenarnya. Dalam hal ini, masyarakat dijauhkan dari fakta bahwa tiap bertambahnya angka orang yang menjadi korban wabah ini berarti bertambahnya keluarga yang kehilangan anggotanya, orang yang kehilangan pasangannya, dan sebagainya. Usaha ini pun tidak berhenti sampai di sini; fakta bahwa Kementerian Kesehatan hanya memproses kisaran 150 sampel per hari menjadi pertanyaan baru bagi beberapa pihak yang menuding pemerintah Indonesia berusaha memanipulasi statistik pengidap SARS-CoV-2[29]. Namun begitu, tanpa bukti yang kuat, asumsi ini pun masih dipertanyakan.


Tindakan yang Diambil

Di tengah ketidakpastian yang dihadapi masyarakat saat ini, pemerintah Indonesia sudah mengganti anggapannya mengenai penggunaan masker di ruang publik. Dalam hal ini, pemerintah akhirnya mengeluarkan rekomendasi untuk menggunakan masker pada semua orang yang sedang berada di luar ruangan; tidak hanya untuk mereka yang sakit saja[30]. Hal ini menuai kritik dari masyarakat yang mengatakan bahwa pemerintah seakan-akan lamban dalam menentukan tindakan yang hendak dilakukan. Tentunya keputusan in sebenarnya merupakan tindakan yang berdasar, mengingat kelangkaan masker dan alat-alat kesehatan lainnya justru membuat mereka yang benar-benar membutuhkan masker dan alat-alat kesehatan ini--seperti tenaga kesehatan dan orang-orang sakit--kesulitan untuk mendapatkan apa yang mereka butuhkan. Dalam hal ini, tentunya terjadi pertimbangan utilitarian yang berusaha memaksimalkan daya guna sumber daya yang ada dalam penanganan wabah ini. Namun begitu, pertimbangan ini tidak pernah dirincikan oleh pemerintah secara jelas; Menteri Kesehatan malahan menyampaikan pesan ini dengan nada mengolok dengan mengatakan orang sehat tidak perlu masker.

Dalam hal ini, hemat saya sebenarnya menyetujui narasi awal yang meminta masyarakat untuk tidak menumpuk masker dan memberikan "ruang" untuk tenaga kesehatan yang benar-benar membutuhkan. Namun begitu, beberapa argumen justru menyatakan kebalikannya, bahwa prevalensi penggunaan masker di negara-negara Asia justru membantu mengurangi penyebaran virus SARS-CoV-2 ini[31]. Argumen ini muncul dari berbagai macam data baru, termasuk fakta bahwa kebanyakan orang yang menularkan SARS-CoV-2 ini justru tidak menunjukkan gejala apapun. Dari sisi perkembangan ilmu medis, perubahan paradigma seperti ini sebenarnya adalah suatu hal yang sangat umum dan seharusnya diterima oleh orang-orang dalam mencari metode pencegahan dan pengobatan yang paling efektif.

Namun begitu, dalam berbagai waktu masyarakat pun dihadapkan pada pernyataan beberapa orang yang tidak berdasar mengenai SARS-CoV-2 ini, seperti misalnya penggunaan jahe ataupun tanaman lain yang diklaim dapat mencegah atau bahkan menyembuhkan SARS-CoV-2[32] serta penggunaan daun sirih sebagai antiseptik[33]. Meskipun beberapa tanaman tersebut memang memiliki khasiat sebagaimana yang dikatakan oleh para "ahli" tersebut, baik manfaat immunomodulator--dapat meningkatkan sistem imun tubuh--atau antiseptik, pernyataan seperti ini memberikan false sense of security yang akan memiliki dampak lebih luas, mengingat seperti yang sudah dinyatakan sebelumnya bahwa orang-orang yang menularkan SARS-CoV-2 ini cenderung tidak menunjukkan gejala apapun. Lebih lanjut lagi, pernyataan seperti ini tanpa adanya riset yang memadai secara spesifik terhadap SARS-CoV-2 menunjukkan sikap gegabah yang menghasilkan pernyataan yang tidak lebih dari sekadar iklan.

Meskipun keadaan saat ini sering kali tidak memungkinkan masyarakat untuk mendapat penanganan yang tepat karena keterbatasan sumber daya, seperti masker sekali pakai ataupun antiseptik tangan yang diformulasikan secara benar, ketepatan pelayanan kesehatan (clinical excellence) tetap harus menjadi standar utama dalam penanganan suatu penyakit. Dalam hal ini, masyarakat sebaiknya berhati-hati dalam menerima informasi baru yang masih dipertanyakan keabsahannya, terutama dari segi keamanan dan efektivitas. Dalam hal ini, seharusnya pemerintah berperan dalam edukasi masyarakat guna menyampaikan informasi yang berguna dan tepat. Namun, jika pemerintah pun bahkan perlu dipertanyakan, bagaimana masyarakat mendapat informasi?


Akhir Kata

Perlu diingat bahwa pemerintah bukanlah Tuhan yang bekerja secara ajaib, memiliki jalan rahasia-Nya sendiri, dan hanya membutuhkan iman. Perlu ada pengawasan secara proaktif dari rakyat untuk memastikan bahwa sistem pemerintahan yang berjalan saat ini benar-benar berjalan untuk kepentingan masyarakat. Dalam hal ini, keengganan pemerintah untuk dikritik selama penanganannya dalam menghadapi wabah SARS-CoV-2 ini menimbulkan tanda tanya baru bagi masyarakat; apakah pemerintah benar-benar bekerja untuk masyarakat ataukah hanya menggunakan masyarakat sebagai alat?

Wabah SARS-CoV-2 ini menunjukkan bahwa politik tidak dapat dihindarkan dari berbagai aspek kehidupan manusia; dan dampak dari kesalahan dalam mengambil tindakan yang diwarnai motif politis lain akan berakibat fatal dalam jangka panjang. Semoga pemerintah dapat mengerti maksud pernyataan ini dan belajar dengan cepat.

Panjang umur perjuangan!


*Kevin Aprilio merupakan kader LPPMD angkatan XXXVI dan mahasiswa Farmasi angkatan 2018 di Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran.


Tulisan ini bukan merupakan nasihat medis. Silakan hubungi dokter atau tenaga medis lainnya untuk informasi medis lebih lanjut.


Referensi

[1] Boas, T. C., & Gans-Morse, J. (2009). Neoliberalism: From New Liberal Philosophy to Anti-Liberal Slogan. Studies in Comparative International Development, 44(2), 137-161.


[2] Pribadi, A. (2010). Hegemoni Ideologi Neoliberalisme dan Diskursus Demokrasi Indonesia. Studi Politik, 1 ed., 1(1), 23-35.


[3] Zhou, P., Yang, X., Wang, X., et al. (2020). A pneumonia outbreak associated with a new coronavirus of probable bat origin. Nature. 579(7798), 270-273.


[4] Ma, J. (2020, Maret 13). Coronavirus: China’s first confirmed Covid-19 case traced back to November 17. Diambil dari South China Morning Post di https://www.scmp.com/news/china/society/article/3074991/coronavirus-chinas-first-confirmed-covid-19-case-traced-back pada 06 April 2020.


[5] Secon, H., Woodward, A., Mosher, D. (2020, 27 Maret). A comprehensive timeline of the new coronavirus pandemic, from China’s first COVID-19 case to the present. Diambil dari Business Insider di https://www.businessinsider.sg/coronavirus-pandemic-timeline-history-major-events-2020-3?r=US&IR=T pada 06 April 2020.


[6] Boxwell, R. (2020, 04 April). How China’s fake news machine is rewriting the history of Covid-19, even as the pandemic unfolds. Diambil dari Politico di https://www.politico.com/news/magazine/2020/04/04/china-fake-news-coronavirus-164652 pada 06 April 2020.


[7] World Health Organization. (2020, 14 Januari). --. Diambil dari Twitter di https://twitter.com/WHO/status/1217043229427761152 pada 06 April 2020.


[8] Ebrahimian-Allen, B. (2020, Maret 2018). Timeline: The early days of China's coronavirus outbreak and cover-up. Diambil dari Axios di https://www.axios.com/timeline-the-early-days-of-chinas-coronavirus-outbreak-and-cover-up-ee65211a-afb6-4641-97b8-353718a5faab.html pada 06 April 2020.


[9] Zhang, P. (2020, 17 Maret). Whom does WHO care For?. Diambil dari Belt & Road News di https://www.beltandroad.news/2020/03/17/whom-does-who-care-for/ pada 06 April 2020.


[10] World Health Organization. --. Assessed contributions.. Diambil dari About WHO di https://www.who.int/about/finances-accountability/funding/assessed-contributions/en/ pada 06 April 2020.


[11] Raul. (2019, 21 Februari). Visualize the World’s Funding for the United Nations. Diambil dari HowMuch.net di https://howmuch.net/articles/united-nations-budget-contributions-by-country-2019 pada 06 April 2020.


[12] Rasmussen, A. F. (2020, 18 Maret). Taiwan Has Been Shut Out of Global Health Discussions. Its Participation Could Have Saved Lives. Diambil dari Time di https://time.com/5805629/coronavirus-taiwan/ pada 06 April 2020.


[13] Formosa TV English News. (2020, 30 Maret). Senior WHO official dodges questions about Taiwan’s WHO membership; praises China [Video]. Diambil dari YouTube di https://www.youtube.com/watch?v=UlCYFh8U2xM pada 06 April 2020.


[14] Kuo, L. (2020, 13 Maret). 'American coronavirus': China pushes propaganda casting doubt on virus origin. Diambil dari The Guardian di https://www.theguardian.com/world/2020/mar/12/conspiracy-theory-that-coronavirus-originated-in-us-gaining-traction-in-china pada 07 April 2020.


[15] Rogers, K., Jakes, L., & Swanson, A. (2020, 18 Maret). Trump Defends Using ‘Chinese Virus’ Label, Ignoring Growing Criticism. Diambil dari The New York Times di https://www.nytimes.com/2020/03/18/us/politics/china-virus.html pada 07 April 2020.


[16] Wadhams, N., & Jacobs, J. (2020, 01 April). China Concealed Extent of Virus Outbreak, U.S. Intelligence Says. Diambil dari Bloomberg di https://www.bloomberg.com/news/articles/2020-04-01/china-concealed-extent-of-virus-outbreak-u-s-intelligence-says pada 07 April 2020.


[17] Setiawan, R. (2020, 17 Maret). Dianggap Gagal Tangani Corona, Menkes Terawan Didesak Mundur. Diambil dari Tirto.id di https://tirto.id/dianggap-gagal-tangani-corona-menkes-terawan-didesak-mundur-eFKs pada 07 April 2020.


[18] Prasetia, A. (2020, 17 Februari). Genjot Pariwisata di Tengah Corona, Jokowi Beri Turis Diskon. Diambil dari Detik.com di https://news.detik.com/berita/d-4903193/genjot-pariwisata-di-tengah-corona-jokowi-beri-turis-diskon pada 07 April 2020.


[19] Leung, C. (2020, 29 Januari). China coronavirus: Fears of recycled protective masks prompt Hong Kong customs officers to launch checks in stores. Diambil dari South China Morning Post di https://www.scmp.com/news/hong-kong/law-and-crime/article/3048126/china-coronavirus-hong-kong-customs-officers-launch pada 07 April 2020.


[20] Scher, I. (2020, 10 Maret). A store in Thailand repackaged and sold up to 200,000 used face masks for coronavirus, police chief says. Diambil dari Business Insider di https://www.businessinsider.sg/thailand-vendor-recycled-and-sold-up-to-200000-face-masks-2020-3?r=US&IR=T pada 07 April 2020.


[21] Adiprasetio, J. (2020, 23 Maret). Covid-19: Saat Ini Kita Membutuhkan Paranoia, Lebih dari Kapanpun. Diambil dari Remotivi di http://www.remotivi.or.id/amatan/578/covid-19-saat-ini-kita-membutuhkan-paranoia-lebih-dari-kapanpun pada 07 April 2020.


[22] --. (2020, 28 Maret). Lockdown Daerah, Simbol Karut-marut Penanganan Corona. Diambil dari CNN Indonesia di https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200327161721-20-487625/lockdown-daerah-simbol-karut-marut-penanganan-corona pada 07 April 2020.


[23] Idris, M. (2020, 07 April). Melihat Anggaran Penanganan Corona Anies, RK, Ganjar, dan Khofifah. Diambil dari Kompas.com di https://money.kompas.com/read/2020/04/07/091847826/melihat-anggaran-penanganan-corona-anies-rk-ganjar-dan-khofifah?page=all pada 07 April 2020.


[24] Pahlawan, A. (2020, 06 April). Mengapa masih saja ada yang menyalahkan ke pemerintah (Jokowi) terkait pandemi yg terjadi, padahal hal tersebut merata di seluruh negara di dunia?. Diambil dari Quora di https://id.quora.com/Mengapa-masih-saja-ada-yang-menyalahkan-ke-pemerintah-Jokowi-terkait-pandemi-yg-terjadi-padahal-hal-tersebut-merata-di-seluruh-negara-di-dunia pada 07 April 2020.


[25] --. (2020, 06 April). Kapolri Terbitkan Instruksi Patroli Siber Ujaran Penghinaan Terhadap Presiden. Diambil dari Mojok.co di https://mojok.co/red/rame/kilas/kapolri-terbitkan-instruksi-patroli-siber-ujaran-penghinaan-terhadap-presiden/ pada 07 April 2020.


[26] --. (2020, 31 Maret). Minim APD, 42 Organisasi Profesi Ancam Mogok Tangani Pasien COVID-19. Diambil dari Farmasetika.com di https://farmasetika.com/2020/03/27/minim-apd-42-organisasi-profesi-ancam-mogok-tangani-pasien-covid-19/ pada 07 April 2020.


[27] Ekarina. (2020, 28 Maret). IDI Klarifikasi Soal Imbauan Mogok Tenaga Medis Akibat Kekurangan APD. Diambil dari katadata.co.id di https://katadata.co.id/berita/2020/03/28/idi-klarifikasi-soal-imbauan-mogok-tenaga-medis-akibat-kekurangan-apd pada 07 April 2020.


[28] Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. (2012). Kode Etik Kedokteran Indonesia. Ikatan Dokter Indonesia.


[29] --. (2020, 03 April). Delusi Statistik Covid-19 Indonesia. Diambil dari Pinter Politik di https://www.pinterpolitik.com/delusi-statistik-covid-19-indonesia/ pada 07 April 2020.


[30] --. (2020, 05 April). Ganasnya COVID Bikin RI Tak Lagi Minta Pakai Masker Hanya untuk Si Sakit. Diambil dari Detik.com di https://news.detik.com/berita/d-4966246/ganasnya-covid-bikin-ri-tak-lagi-minta-pakai-masker-hanya-untuk-si-sakit pada 07 April 2020.


[31] Griffiths, J. (2020, 02 April). Asia may have been right about coronavirus and face masks, and the rest of the world is coming around. Diambil dari CNN di https://edition.cnn.com/2020/04/01/asia/coronavirus-mask-messaging-intl-hnk/index.html pada 07 April 2020.


[32] Pradipha, F. C. (2020, 03 April). Tanaman Herbal dapat Mencegah Virus Corona (Covid 19), Hasil Penelitian ITB, UGM, IPB, UI. Diambil dari Tribun News di https://www.tribunnews.com/corona/2020/04/03/tanaman-herbal-dapat-mencegah-virus-corona-covid-19-hasil-penelitian-itb-ugm-ipb-ui?page=4 pada 07 April 2020


[33] --. (2020, 23 Maret). Cara Membuat Hand Sanitizer dari Daun Sirih untuk Cegah Virus Corona. Diambil dari Kumparan di https://kumparan.com/berita-hari-ini/cara-membuat-hand-sanitizer-dari-daun-sirih-untuk-cegah-virus-corona-1t50CeTvbLV pada 07 April 2020.


http://dx.doi.org/10.13140/RG.2.2.32682.03525

Minggu, 05 April 2020

Film Imperfect: Sebuah Gambaran Bagaimana Konstruksi Sosial Terjadi
Sumber: The Jakarta Post

Oleh Azka Khaerun Nadi*

Film Imperfect menceritakan kisah hidup Rara (Jessica Milla); seorang perempuan yang memiliki badan gendut, kulit berwarna gelap dan rambut yang agak tidak terurus. Penampilan itu dilengkapi dengan pakaian baju yang berwarna pucat dan sepatu kets yang selalu Rara gunakan. Penampilan ini berusaha ditunjukkan dalam film ini sebagai penampilan yang tidak menarik (bagi perempuan) sehingga mengundang komentar-komentar yang menyudutkan Rara dari orang di sekitarnya.

Film yang disutradai oleh Ernest Prakasa ini menggambarkan bagaimana Rara yang sedari kecil sudah mendapatkan komentar tentang penampilannya. Bahkan komentar tersebut terucap dari salah satu anggota keluarganya, yaitu Ibunya Debby (Karina Suwandi) seperti ucapan “Kak, kurangin nasinya.,” atau “Kak, ingat paha.,” menjadi kalimat pengingat yang seringkali diutarakan oleh Ibunya, dan tidak lupa juga sebuah kalimat “Jangan lupa pakai sunblock.,” yang diucapkan pada Rara sebelum ia pergi keluar rumah bersama Dika (Reza Rahadian) pacarnya.

Dalam keluarganya tersebut sang Ayah memerankan sebagai tokoh baik yang justru mengajarkan Rara untuk tidak terlalu peduli pandangan orang lain terhadap penampilannya. Sang Ayahlah yang bisa memberi restu kepada Rara untuk menambah nasi disaat makan, bahkan memberikan coklat sebagai penghibur saat Rara terluka sehabis terjatuh dari sepeda. Karena memang, bentuk fisik Rara digambarkan turun dari bentuk fisik ayahnya yang gendut, berkulit gelap dan rambut keriting. Berbeda dengan Lulu (Yasmin Napper) yang bentuk fisiknya mengikuti gen dari Ibunya yang berkulit cerah, langsing dan ‘cantik’.

Tidak cukup komentar dari keluarganya, teman-teman di lingkungan kerjanya pun tidak luput dari keikutsertaannya dalam memberikan komentar. Komentar yang diberikan berkisar pada model pakaian Rara yang berbeda dengan penampilan perempuan di tempat kerjanya, sebuah perusahaan kosmetik. Hal ini menunjukkan perempuan tersebut yang terlihat cantik, sangat modis, dan sangat berbeda dengan penampilan Rara.

Komentar yang dikeluarkan oleh teman-temannya pun berkisar pada pakaian yang digunakan oleh Rara atau bahkan sebuah ajakan untuk memakai sepatu hak tinggi yang katanya nyaman dipakai. Ajakan yang disertai dengan keinginan untuk mengejek, tentunya. Pandangan orang-orang di sekitar Rara tentang penampilan perempuan tersebut merupakan sebuah hasil dari proses sosial individu yang berinteraksi dengan lingkungannya. Individu saling berinteraksi, sehingga memiliki pemahaman tentang penampilan yang menarik itu seperti apa. Hingga nantinya interaksi yang dilakukan secara terus-menerus tersebut menciptakan sebuah realitas subjektif yang dirasakan bersama. Dalam hal ini proses tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah konstruksi sosial atas realitas. Salah satu pencetus dari teori konstruksi sosial ini adalah Peter L. Berger dan Thomas Luckmann.

Menurut Berger dan Luckmann manusia sebagai pencipta kenyataan sosial yang objektif setidaknya mengalami tiga momen dialektis yang simultan yaitu fase eksternalisasi, objektifikasi, dan internalisasi. Dalam tahap eksternalisasi individu berusaha beradaptasi dengan lingkungannya. Lalu dalam tahap objektivasi individu akan berinteraksi dengan lingkungan di luar dirinya, dalam tahap ini individu akan merasakan dua realitas yang berbeda yakni realitas subjektif dari dirinya dan realitas objektif yang berada di luar dirinya. Kemudian ada tahap internalisasi, dimana individu melakukan proses penarikan realitas sosial ke dalam dirinya. Ketiga fase ini bersifat simultan yang berarti ada proses menarik keluar (eksternalisasi) sehingga seolah-olah hal tersebut berada di luar (objektif) dan ada juga proses penarikan kembali kedalam sehinga seolah-olah sesuatu yang berada di luar tersebut seperti berada di dalam diri individu atau kenyataan subjektif.

Dalam film ini Rara melihat gambaran-gambaran tentang masyarakat di sekitarnya, Rara melihat bagaimana pandangan masyarakat terhadap orang (perempuan) yang gendut, berkulit gelap dan pakaian yang tidak menarik. Rara sebagai individu memiliki pandangan subjektif terhadap pandangan atau penilaian di luar dirinya (objektif). Namun seiring berjalannya waktu dan proses interaksi yang dilakukan secara terus menerus akhirnya nilai objektif dari luar dirinya dipertimbangkan oleh Rara.

Setelah berinteraksi dengan lingkungan diluar dirinya nilai objektif tersebut akhirnya dapat diterima oleh Rara dan dia menginternalisasikan nilai yang ada di masyarakat tersebut kepada dirinya. Dilihat dari bagaimana Rara melakukan diet untuk terlihat cantik sebagai sebuah ‘syarat’ agar bisa menjadi manajer riset di perusahaan kosmetik tempat dia bekerja. Perlu dicatat, bahwa individu yang telah menginternalisasikan nilai-nilai masyarakat kolektif terhadap dirinya akan melakukan proses eksternalisasi seperti sosialisasi terhadap lingkungan diluar dirinya.

Dalam film ini dilihat bagaimana Rara saat berhasil menurunkan berat badannya dan penampilannya lebih menarik memiliki pandangan untuk menjaga kulitnya. Sehingga saat Dika mengajaknya pergi ke sekolah tempatnya mengajar sukarela, dia lebih memilih untuk pergi menaiki taksi ketimbang naik motor bersama Dika. Terlihat bagaimana Rara melakukan proses sosialiasi terhadap Dika dengan mengatakan serangkaian alasan demi menjaga kulit dan penampilannya sebelum pergi ke sekolah tersebut.

Bagi individu yang telah menginternalisasikan nilai-nilai masyarakat di dalam dirinya maka proses sosialisasi ini akan dengan mudah dilakukan. Proses inilah yang nantinya akan dilihat sebagai proses eksternalisasi, dimana nilai-nilai ini akan dilihat oleh masyarakat lain. Hal inilah yang akhirnya menjadi sebuah realitas dalam masyarakat sebagai sebuah hasil dari proses interaksi serta tindakan-tindakan yang simultan dilakukan terhadap nilai-nilai yang berlaku.

Berger dan Humann dalam penjelesannya tentang konstruksi sosial ini berangkat dari kajiannya tentang pandangan masyarakat terhadap realitas dan pengetahuan yang berlaku di masyarakat. Kemudian dari sinilah lalu Berger menjabarkan bagaimana proses konstruksi sosial tersebut terjadi pada masyarakat.

Dalam Film Imperfect ini, begitu terlihat bagaimana pandangan tentang perempuan yang cantik itu harus berkulit cerah, kurus dan peduli akan pakaiannya dilanggengkan oleh masyarakat. Proses konstruksi sosial ini terjadi dalam kurun waktu tertentu, namun melalui film ini setidaknya kita dapat melihat bagaimana sesungguhnya proses penekanan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat seringkali justru menekan psikologis indvidu. Proses dialektis antara nilai subjektif dalam diri individu dengan nilai objektif yang berada diluar dirinya seringkali justru menjadi sebuah tekanan yang menjadi masalah terhadap psikologis inidividu.

Perasaan Rara tentang dirinya yang seolah-olah tidak pernah dimengerti oleh orang terdekatnya terjadi saat nilai subjektif tersebut berinteraksi dengan nilai objektif yang ada. Sehingga pilihan individu untuk ‘menyelamatkan’ dirinya dari pandangan objektif tersebut adalah dengan menerima nilai objektif tersebut dan menginternalisasikannya terhadap dirinya, menolaknya dengan tidak lagi mendengarkan nilai objektif tersebut bagi dirinya, atau bahkan bisa mengambil langkah ekstrim dengan bunuh diri sebagai bentuk tanda menyerah dengan nilai di masyarakat yang berbeda dengan bentuk kodrati yang ada dalam dirinya. Hingga akhirnya saya hanya berharap semoga pandangan orang lain terhadap perempuan bisa seperti pandangan Dika yang melihat perempuan tidak hanya dari permukaannya saja, tapi dari dalam diri perempuan tersebut. Dan ya, sepertinya dunia membutuhkan banyak Dika yang berani menentang dan memiliki pandangan yang berbeda tentang perempuan dari masyarakat lainnya.


*Azka adalah kader LPPMD angkatan XXXVI dan mahasiswa Sosiologi angkatan 2018, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Padjadjaran.

Tulisan ini sudah ditayangkan sebelumnya pada laman azkakhaerun.blogspot.com.

Jumat, 03 April 2020

Kampus Merdeka, Liberalisasi Pendidikan, dan Skema Penciptaan Tenaga Kerja Murah
Sumber: China Daily

Oleh Pandu Sujiwo*


Pendahuluan

Pada tataran ideal, pendidikan haruslah diartikan sebagai serangkaian usaha untuk memperhalus budi, mempertajam akal, dan meningkatkan peradaban. Berkaitan dengan memperhalus budi, pendidikan dimaksudkan untuk membuat seseorang menjadi rendah hati, memiliki pertimbangan moral, dan memiliki kecakapan untuk bisa bersosialisasi dengan baik di masyarakat. Sementara pendidikan untuk mempertajam akal bisa dimaknai secara sederhana sebagai proses untuk membikin orang yang semula tidak tahu menjadi tahu, melalui pendidikan pula seseorang dikenalkan dengan berbagai perspektif untuk memahami sebuah permasalahan─dengan kata lain pendidikan melatih seseorang untuk berpikir secara kritis. Adapun pendidikan sebagai alat untuk meningkatkan peradaban erat kaitannya dengan peran pendidikan dalam pembangunan. Menurut John Dewey, pendidikan difungsikan sebagai jembatan untuk mengisi gap pengetahuan tentang pengalaman antara generasi saat ini dengan generasi terdahulu. Apa yang kita ketahui saat ini merupakan serangkaian akumulasi dari pengetahuan yang diperoleh oleh generasi sebelumnya, hal ini yang dikatakan oleh Isaac Newton sebagai ‘standing on the shoulders of giant’. Serangkaian akumulasi pengetahuan tersebut ditujukan tak lain agar umat manusia bisa hidup secara lebih baik kedepannya. Dengan bantuan pendidikan, manusia bisa menciptakan berbagai teknologi yang memudahkan kehidupan, pendidikan juga mengajarkan kita tentang toleransi, untuk menghargai hak satu sama lain, dan sebagainya.

Sayangnya, konteks pendidikan yang begitu mulia sebagaimana disebutkan diatas─untuk memanusiakan manusia, membuat orang semakin beradab─telah berubah seiring dengan berkembangnya kapitalisme. Sebagai sebuah sistem yang berwatak rakus dan eksploitatif, kapitalisme menghendaki komodifikasi segala aspek kehidupan manusia, termasuk didalamnya pendidikan. Dihadapan kapitalisme global, pendidikan tak ubahnya menjadi semacam kacang goreng atau sendal jepit─sama-sama sekadar komoditas, ia tak lain merupakan barang dagangan untuk dipertukarkan di pasar bebas. Bentuknya bisa beragam, mulai dari yang kasat mata seperti praktik jual beli ijazah dan pembukaan tempat bimbel, hingga yang sistemik seperti praktik liberalisasi pendidikan yang masif terjadi di Indonesia beberapa tahun kebelakang ini. Tulisan ini dimaksudkan untuk membahas salah satu bentuk praktik liberalisasi pendidikan di Indonesia yang kali ini hadir dalam bentuk yang lebih vulgar daripada sebelumnya: program kampus merdeka.


Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka

Merdeka belajar adalah konsep bagi kebijakan baru yang dikeluarkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terkait dengan penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia. Menurut Nadiem Makarim selaku mendikbud sekaligus insiator, kebijakan merdeka belajar ditujukan untuk “melepaskan belenggu kampus agar lebih mudah bergerak”. Bentuk konkrit dari kebijakan ini adalah dikeluarkannya program Kampus Merdeka.

Program Kampus Merdeka ini setidak-tidaknya berisi empat poin: Pertama, kampus diberikan wewenang untuk membuka program studi baru dengan syarat perguruan tinggi tersebut (baik PTN maupun PTS) memiliki akreditasi A atau B dan sudah menjalin kerja sama dengan perusahaan, organisasi nirlaba, institusi multilateral, atau universitas yang termasuk kedalam peringkat 100 besar QS, selain itu program studi yang baru dibuka tidak boleh merupakan disiplin ilmu di bidang kesehatan dan pendidikan. Sebelumnya, otonomi untuk membuka program studi baru hanya dimungkinkan bagi perguruan tinggi negeri yang sudah berbadan hukum (PTN-BH). Kedua, melalui program Kampus Merdeka, akreditasi akan dilakukan secara otomatis, bukan lagi kewajiban yang dilakukan tiap lima tahun sekali seperti sekarang. Ketiga, perizinan PTN-BLU untuk menjadi PTN-BH akan dipermudah dan tidak terbatas hanya pada PTN yang berakreditasi A saja. Keempat, definisi sistem kredit semester (SKS) yang semula adalah jam belajar, diganti menjadi jam kegiatan, dengan begitu SKS mengalami perluasan makna, bukan lagi sekedar kegiatan belajar di kelas, tetapi bisa berupa magang, kegiatan pertukaran pelajar, wirausaha, riset, maupun pengabdian di daerah terpencil. Dengan adanya perubahan definisi ini, mahasiswa menjadi memiliki keleluasaan untuk mengambil mata kuliah diluar program studinya sebanyak dua semester.

Untuk menyegerakan pelaksanaan program Kampus Merdeka ini pemerintah sudah menyediakan lima payung hukum diantaranya Permendikbud Nomor 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, Permendikbud Nomor 4 Tahun 2020 tentang Perubahan Perguruan Tinggi Negeri menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum, Permendikbud Nomor 5 Tahun 2020 tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi, Permendikbud Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penerimaan Mahasiswa Baru Program Sarjana pada Perguruan Tinggi Negeri, dan Permendikbud Nomor 7 tentang Pendirian, Perubahan, Pembubaran Perguruan Tinggi Negeri dan Pendirian, Perubahan, dan Pencabutan Izin Perguruan Tinggi Swasta.

Banyak universitas di Indonesia menyambut baik program Kampus Merdeka ini. Untuk menyikapi kelima payung hukum diatas, banyak perguruan tinggi yang perlahan mulai menyesuaikan diri, khusunya dalam hal kurikulum agar sesuai dengan logika ‘link and match’ antara pendidikan dengan industri agar memudahkan skema pemagangan kedepannya. Dengan begitu diharapkan mahasiswa tidak hanya memiliki pemahaman teoritis, tetapi juga pengalaman praktis berkaitan dengan apa yang dipelajarinya.


Pendidikan Sebagai Bagian dari Ideological State Apparatuses

Sebelum lebih jauh membahas mengenai kebijakan Merdeka Belajar, pada bagian ini kita akan sedikit mengulas pemikiran Louis Althusser, seorang filsuf sekaligus sosiolog Perancis yang memiliki pengaruh besar pada khazanah teori Marxist di dekade 1960-an. Pemikiran Althusser ini kiranya akan sangat relevan untuk dijadikan sebagai pisau analisa dalam memahami program Kampus Merdeka yang dikeluarkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Salah satu inti utama dari pemikiran Althusser adalah tentang reproduksi formasi sosial kapitalisme. Agar bisa bertahan sebagai sebuah sistem, kapitalisme mengharuskan dirinya untuk senantiasa melakukan reproduksi syarat-syarat produksi secara terus-menerus. Adapun yang termasuk kedalam syarat produksi dalam hal ini mencakup dua hal: Pertama, kekuatan-kekuatan produktif, yaitu faktor produksi yang terdiri dari alat-alat produksi dan tenaga kerja. Kedua, relasi produksi, yaitu hubungan eksploitatif diantara pemilik alat produksi (borjuis) dengan tenaga kerja (ploletariat). Althusser lebih memfokuskan pembahasannya pada syarat produksi yang kedua, yaitu relasi produksi. Menurutnya, kapitalisme bisa hidup secara berkelanjutan sebab ia tidak sekadar mereproduksi tenaga kerja─selain dari alat-alat produksi tentu saja─lewat serangkaian pemberian “keterampilan” yang akan berguna pada proses produksi, tetapi ia juga mereproduksi ketundukan kelas pekerja terhadap aturan-aturan kapitalisme itu sendiri melalui berbagai aparatus di wilayah suprastruktur. Dalam hal ini, Althusser menolak determinasi satu arah antara basis ekonomi (corak produksi) dan suprakstruktur (politik, budaya, hukum, pendidikan, moralitas, ideologi, dsb) dimana basis ekonomi senantiasa menentukan suprastruktur yang berada diatasnya. Althusser memandang bahwa pada tingkatan tertentu, suprastruktur memiliki otonomi relatif untuk menentukan basis, tetapi dengan efektivitas yang berbeda selayaknya basis menentukan suprastruktur. Hal ini yang ia sebut sebagai ‘indeks efektivitas’.

Kembali kepada persoalan penundukan kelas pekerja melalui aparatus yang berada di wilayah suprastruktur. Untuk menjelaskan hal ini, Althusser kemudian mengemukakan konsepnya yang terkenal tentang Repressive State Apparatus (RSA) dan Ideological State Apparatuses (ISA). Menurut Althusser Repressive State Apparatus bisa diartikan sebagai institusi negara yang bertugas untuk memastikan keberlangsungan kapital lewat dominasi kelas borjuis atas kelas pekerja melalui cara-cara yang represif atau kasar. Bentuk daripada RSA ini bisa terlihat dalam kehidupan sehari-hari seperti ketika polisi membubarkan aksi demonstrasi atau ketika pengadilan menggagalkan gugatan terhadap perusahaan yang merusak lingkungan. Sementara itu Ideological State Apparatuses merupakan kebalikan daripada Repressive State Apparatus, ISA bertugas untuk menghambat pengambilalihan kekuasaan negara oleh kelas pekerja melalui cara-cara yang lebih halus dan tak kasat mata, yaitu melalui selubung ideologis. Adapun yang termasuk ke dalam ISA ini diantaranya adalah institusi agama, institusi pendidikan, lembaga kebudayaan, pers, dan sebagainya.

Oleh karena itu, dengan mengacu pada analisa Marxist tentang basis-suprastruktur dan pemikiran Althusser sebagaimana telah dipaparkan di atas, kita bisa berkesimpulan bahwa pendidikan tidak mengada untuk dirinya sendiri, dia bukan merupakan sesuatu yang bersifat netral, tetapi dipengaruhi oleh basis ekonomi dan merupakan bagian daripada Ideological State Apparatuses yang senantiasa berfungsi untuk mengamankan kepentingan kapital. Penjelasan tentang institusi pendidikan sebagai Ideological State Apparatuses ini akan berguna untuk memahami program Kampus Merdeka sebagai salah satu praktik liberalisasi pendidikan di Indonesia.



Selayang Pandang tentang Liberalisasi Pendidikan di Indonesia

Liberalisasi pendidikan secara singkat bisa dimaknai sebagai proses untuk membuat pendidikan menjadi liberal dengan tujuan menghilangkan segala bentuk intervensi sehingga dalam praktiknya pendidikan bisa diselenggarakan sebebas-bebasnya. Dalam konteks ini term ‘liberal’ memiliki pengertian yang sama dengan istilah ‘liberalisme’ yang dipergunakan oleh pemikir seperti Adam Smith dan Friedrich Hayek, yaitu hilangnya intervensi negara terhadap kebebasan sipil, terkhusus dalam bidang perekonomian, fungsi negara tak lain hanya untuk menyediakan seperangkat aturan hukum untuk menjaga kepemilikan pribadi, sisanya akan diserahkan kepada mekanisme pasar bebas. Pengertian semacam ini pula yang kiranya diamini oleh Nadiem Makarim selaku mendikbud ketika mengeluarkan kebijakan Merdeka Belajar.

Adapun pengertian yang lebih terperinci tentang liberalisasi pendidikan dikemukakan oleh Dave Hill, menurutnya liberalisasi pendidikan bisa dipahami melalui keterkaitannya dengan deregulasi dan desentralisasi jasa pendidikan dari sektor publik yang mengakibatkan munculnya privatisasi, komersialisasi, dan penggunaan manajemen bisnis dalam penyelenggaraan pendidikan. Melalui liberalisasi pendidikan, negara bisa memangkas anggarannya untuk sektor pendidikan sebab institusi pendidikan menjadi memiliki hak untuk mencari sumber pendanaan lain selain daripada yang diberikan pemerintah. Singkatnya, institusi pendidikan bukan lagi menjadi perpanjangan tangan pemerintah untuk menyejahterakan rakyatnya, tetapi menjadi bagian dari sirkulasi kapital dalam pasar bebas. Liberalisasi pendidikan yang terjadi di Indonesia sejatinya bukanlah fenomena yang muncul secara tiba-tiba, ia adalah proses yang menyejarah dan dipengaruhi oleh beragam faktor. Selain itu liberalisasi pendidikan juga terjadi melalui tahapan-tahapan tertentu yang saling berkelindan satu dengan yang lainnya seperti privatisasi, komersialisasi, dan persaingan antar perguruan tinggi. Sebagaimana yang telah disinggung pada bagian sebelumnya, penyelenggaraan pendidikan tidaklah bisa dilepaskan dari sistem ekonomi yang menjadi basisnya, untuk konteks Indonesia, sistem ekonomi yang digunakan adalah sistem ekonomi yang bercorak neoliberal. Oleh karenanya upaya untuk menciptakan pendidikan Indonesia yang liberal tidak bisa dilepaskan dari kerjasama yang dilakukan Indonesia dengan lembaga-lembaga yang menjadi pilar neoliberalisme dunia seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank, dan World Trade Organization (WTO). Kerjasama-kerjasama dengan lembaga semacam inilah yang akhirnya akan melahirkan kebijakan yang mendorong dicipatakannya liberalisasi pendidikan seperti perubahan konsep pendidikan yang semula merupakan barang publik menjadi barang privat, pemotongan anggaran negara untuk subsidi pendidikan, dan serangkaian regulasi yang pro terhadap pasar bebas.

Puncak dari skema liberalisasi pendidikan di Indonesia adalah dengan disahkannya UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang merupakan implementasi dari proyek Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (IMHERE) antara pemerintah Indonesia dengan Bank Dunia. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi atau yang lebih sering disebut sebagai UU Dikti ini merupakan bentuk lain daripada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan yang sebelumnya telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 31 Maret 2010 karena dianggap inkonstitusional dan menghadirkan diskriminasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Semangat yang diusung kedua undang-undang tersebut serupa, salah satunya adalah terciptanya suatu otonomi kampus yang bukan hanya bergerak pada dimensi keilmuan, tetapi juga pengelolaan, termasuk didalamnya pengelolaan keuangan secara mandiri yang meminimalisir campur tangan pemerintah. Konsekuensi dari hadirnya otonomi semacam ini adalah perubahan paradigma pengelolaan kampus yang semula sebagai institusi pendidikan kini tak ubahnya menjadi semacam perusahaan yang bertujuan untuk menggenjot produktifitas (membuka program studi baru, menambah kuota mahasiswa, memperbanyak publikasi karya ilmiah, dsb), melakukan efisiensi (percepatan studi, penyatuan kelas, mata kuliah, bahkan hingga penyatuan penelitian dosen dan mahasiswa), dan menghasilkan profit (membuka jalur mandiri, mendirikan badan usaha, kerja sama dengan perusahaan, dsb). Bentuk dari otonomi semacam itu lah yang kemudian kita kenal dengan nama Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH).

Pembahasan lebih lanjut soal praktik liberalisasi pendidikan di Indonesia telah banyak diulas secara apik dan komprehensif oleh buku-buku seperti Melawan Liberalisasi Pendidikan yang ditulis oleh Darmaningtyas, Edi Subkhan, dan Fahmi Panimbang atau buku Kuliah Kok Mahal?: Pengantar Kritis Memahami Privatisasi, Komersialisasi, dan Liberalisasi Pendidikan Tinggi karangan Panji Mulkiah. Oleh karenanya kita tidak akan memperbincangkannya lebih jauh. Tulisan ini selanjutnya akan berfokus kepada bentuk liberalisasi pendidikan dalam bentuknya yang paling terbaharukan, yaitu program Kampus Merdeka, khususnya poin keempat tentang perubahan definisi sistem kredit semester (SKS) yang semula adalah jam belajar menjadi jam kegiatan dan kaitannya dengan skema penciptaan tenaga kerja murah melalui kegiatan pemagangan.


Kampus Merdeka dan Skema Penciptaan Tenaga Kerja Murah

Untuk bisa mempertahankan keberlangsungannya, kapitalisme sebagai sebuah sistem mengharuskan diri untuk terus mereproduksi syarat produksinya. Pada pembahasan sebelumnya kita mengetahui bahwa syarat produksi ini terdiri mencakup dua hal yaitu kekuatan produktif dan relasi produksi. Kekuatan produktif sendiri terbagi lagi kedalam dua bentuk yaitu alat-alat produksi dan tenaga kerja. Reproduksi dari kekuatan produktif ini dapat berwujud perawatan dan pembelian alat produksi oleh pemodal serta pemberian gaji kepada buruh untuk memenuhi kebutuhan biologisnya agar dapat bekerja keesokan harinya dan bekal untuk menciptakan tenaga kerja baru ketika buruh tersebut mati. Penciptaan tenaga kerja baru ini biasanya melibatkan institusi pendidikan melalui serangkaian proses pemberian pengetahuan yang akan dipergunakan ketika bekerja nanti. Untuk menjaga stabilitas pasar kerja, sistem pendidikan sengaja dibuat hierarkis atau berjenjang-jenjang. Mereka yang berhasil menamatkan SD dengan kemampuan baca tulis hitung selanjutnya akan dipekerjakan sebagai buruh kasar yang umumnya didominasi oleh kerja-kerja otot seperti satpam, supir, cleaning service, dan sebagainya. Sementara mereka yang memiliki ijazah SMP hingga SMA akan bekerja pada sektor-sektor yang berkaitan dengan administrasi remeh-temeh. Adapun mereka yang beruntung dan berkesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi di universitas akan diarahkan untuk mengisi posisi semacam manajer atau HRD dalam sebuah perusahaan. Intinya mayoritas orang yang mendapat akses terhadap pendidikan─maupun yang tidak─apapun jenjangnya, memang dikondisikan untuk menjadi tenaga kerja upahan. Argumen ini tentu saja mengesampingkan kondisi-kondisi tertentu, misalnya jika orang tersebut memang kaya dari lahir sebagaimana keturunan Aburizal Bakrie, atau secara ajaib mendirikan perusahaan start-up dan berhasil bertahan lalu menjadi decacorn dengan nilai valuasi lebih dari 10 miliar dollar seperti Nadiem Makarim.

Bagian lain dari tulisan ini juga sudah membahas bagaimana kapitalisme bertahan melalui reproduksi ketundukan kelas pekerja dalam kaitannya dengan relasi produksi─yang lagi-lagi melibatkan institusi pendidikan didalamnya sebagai bagian dari Ideological State Apparatuses. Melalui proses pembelajaran di institusi pendidikan tersebut, peserta didik secara tidak sadar dicekoki bahwa kapitalisme adalah keniscayaan dan satu-satunya cara untuk bisa bertahan hidup adalah dengan menjadi tenaga kerja upahan. Sekali lagi, argumen ini mengesampingkan kondisi-kondisi tertentu sebagaimana yang sudah disebutkan diatas. Adalah melalui selembar kertas bernama ijazah reproduksi syarat-syarat produksi berupa tenaga kerja sekaligus relasi produksi yang menundukan tersebut dipertemukan. Hal ini kemudian akan dipertegas dengan hadirnya program Kampus Merdeka.

Salah satu poin yang terkandung dalam program Kampus Merdeka adalah perubahan definisi sistem kredit semester (SKS) dari awalnya ‘jam belajar’ menjadi ‘jam kegiatan’. Bentuk kegiatan tersebut bisa bermacam-macam seperti berwirausaha, riset, ataupun melakukan pengabdian ke daerah terpencil, namun tentu saja, yang paling ditekankan adalah pemagangan. Melalui program Kampus Merdeka, mahasiswa didorong─meskipun bukan diharuskan─untuk melakukan pemagangan yang durasinya bisa mencapai tiga semester. Kegiatan pemagangan ini sejatinya mengandung dua fungsi didalamnya: Pertama, fungsi manifest yang memang diharapkan, yaitu dicetaknya lulusan kuliah yang bukan hanya dibekali pengetahuan teoritis, tetapi juga pengalaman praktis untuk mengaplikasikannya di dunia kerja. Kedua, fungsi laten yang seringkali tidak disadari keberadaannya, praktik pemagangan nyatanya melahirkan tenaga kerja murah, tak jarang bahkan gratis tanpa dibayar sepeserpun. Di Indonesia sendiri, kegiatan pemagangan sudah memiliki payung hukum berupa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (yang kemudian akan diganti oleh Omnimbus Law RUU Cipta Kerja) dan turunanya berupa Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 36 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri. Namun nyatanya regulasi tersebut justru melegitimasi perusahaan untuk mempekerjakan tenaga magang dibawah Upah Minimum Kabupaten/Kota dan Upah Minimum Regional. Regulasi yang ada juga gagal untuk menjamin tenaga magang agar tidak dieksploitasi berlebihan oleh pihak perusahaan. Realita di lapangan seringkali menunjukan bahwa praktik pemagangan tak ubahnya seperti perbudakan modern: (calon) buruh ditindas dengan cara dipekerjakan melebihi jam kerja yang ditentukan dan diupah alakadarnya, bahkan tidak sama sekali, ini belum termasuk tekanan psikologis yang diterima selama proses magang. Sudah menjadi rahasia umum pula bahwa tak jarang pelajar atau mahasiswa yang tengah menempuh magang justru ditempatkan pada posisi-posisi yang oleh David Graeber dikatakan sebagai bullshit jobs-pekerjaan yang sebetulnya tidak berkontribusi apapun pada sektor produksi sehingga apabila dihilangkan tidak akan menjadi masalah berarti-mulai dari menjadi bagian administrasi remeh-temeh, hingga bahkan menjadi tukang fotokopi belaka.

Dari pemaparan tersebut, sekilas kita bisa melihat bahwa alih-alih memberikan pengalaman yang berarti, tenaga magang justru hanya diperas keringatnya dengan pekerjaan-pekerjaan yang tidak perlu. Lebih lanjut lagi, dalam kerangka kapitalisme, program Kampus Merdeka melalui dorongan pemagangan bagi mahasiswa nyatanya ditujukan untuk menciptakan tenaga kerja murah. Program Kampus Merdeka seolah-olah mempertegas keniscayaan bahwa seorang mahasiswa memang ditujukan untuk menjadi tenaga kerja upahan dan kampus sebagai institusi pendidikan yang merupakan bagian dari Ideological State Apparatuses diperuntukan untuk memastikan keniscayaan tersebut tetap terjaga demi keberlangsungan kapitalisme.


Kesimpulan dan Saran

Berbicara tentang pendidikan memang tidak pernah sederhana dan mudah sebab tujuan yang diembannya begitu berat dan mulai. Oleh karenanya diskursus menyoal pendidikan (pedagogi) baik pada tataran teoritis melalui penelusuran kembali tentang hakikat pendidikan dengan cara membaca dan mendiskusikan pemikiran tokoh-tokoh pendidikan seperti Paulo Freire, Henry Giroux, Ivan Illich, dsb harus terus digalakan. Begitu pula dengan diskursus pendidikan pada tataran praksis yang berwujud kebijakan pemerintah seperti halnya program Kampus Merdeka juga harus terus dikaji dan dipertanyakan. Dan karena maksud yang demikian pulalah tulisan ini ada.

Alih-alih menyerahkan pendidikan ke tangan pasar bebas melalui liberalisasi pendidikan, Indonesia harusnya mengadopsi pendidikan sebagaimana yang menjadi semboyan Universitas Leiden: Praesidium Libertaris atau Benteng Kebebasan yaitu pendidikan yang ditujukan untuk membuka ruang demokrasi dan menyuarakan kebenaran kepada penguasa. Kebijakan Merdeka Belajar harusnya diartikan bahwa mereka yang belajar bukan hanya sekadar menjadi objek yang pasif, tetapi subjek yang mampu berpikir secara kritis. Seperti kata Freire, pendidikan harusnya berguna untuk memanusiakan manusia, ia adalah jalan menuju pembebasan dari segala macam penindasan yang ada. Kampus Merdeka idealnya adalah kampus dimana setiap orang dari segala lapisan ekonomi, gender, etnis, dan agama memiliki kesempatan yang sama untuk mengaksesnya tanpa adanya diskriminasi. Kampus yang merdeka juga adalah kampus yang menjadi wadah bagi pertukaran bermacam ide tanpa musti khawatir terhadap relasi kuasa yang timpang antara mahasiswa dan dosen, mahasiswa juga harusnya memiliki kebebasan untuk mempelajari apa saja yang menjadi minatnya tanpa harus terpaku pada kurikulum yang menjemukan dan ditujukan semata-mata untuk kepentingan industri. Apabila kondisi ideal seperti yang diimpi-impikan tersebut belum juga terwujud, maka sudah saatnya revolusi dilakukan, dan itu dimulai dari ruang-ruang kelas. (Calon) buruh sedunia bersatulah!



*Pandu adalah kader LPPMD angkatan XXXVI dan mahasiswa Sosiologi angkatan 2018, Fakultas Ilmu Ssosial dan Politik, Universitas Padjadjaran.

Referensi

Ahmad, P. M. (2019). Kuliah Kok Mahal?: Pengantar Kritis Memahami Privatisasi, Komersialisasi, dan Liberalisasi Pendidikan Tinggi. Yogyakarta: Best Line Press.


Althusser, L. (2015). Ideologi dan Aparatus Ideologi Negara. Indoprogress.


CNN Indonesia. (2020, Februari 10). Nadiem Buat Lima Payung Hukum untuk Kebijakan Kampus Merdeka. Diambil dari CNN Indonesia: https://m.cnnindonesia.com/nasional/20200210100210-20-473163/nadiem-buat-lima-payung-hukum-untuk-kebijakan-kampus-merdeka


Darmaningtyas, Subkhan, E., & Panimbang, F. (2014). Melawan Liberalisasi Pendidikan. Malang: Madani.


Dewey, J. (1916). Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy of Education. New York: Macmilian.


Freire, P. (1985). Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3ES.


Graeber, D. (2018). Bullshit Jobs: A Theory. London: Penguin Allen Lane.


Hussein, M. Z. (2012, Januari 11). Ideologi dan Reproduksi Masyarakat Kapitalis. Retrieved from Indoprogress.com: https://indoprogress.com/2012/01/ideologi-dan-reproduksi-masyarakat-kapitalis/


Kresna, M., & Sumandoyo, A. (2017, Mei 1). Melanggengkan Pemerasan dan Upah Murah lewat Buruh Magang. Diambil dari tirto.id: https://tirto.id/melanggengkan-pemerasan-dan-upah-murah-lewat-buruh-magang-cnNn


Prabowo, H. (2020, Januari 29). Pro dan Kontra atas Kebijakan 'Kampus Merdeka' Nadiem. Diambil dari tirto.id: https://tirto.id/pro-dan-kontra-atas-kebijakan-kampus-merdeka-nadiem-evs2