September 2015 - LPPMD Unpad

Minggu, 27 September 2015

 Resistensi Agama: Gerakan Keagamaan sebagai Resistensi Gaya Hidup
Oleh: Alfathri Adlin, editor Pustaka Matahari, mahasiswa S-2 jurusan filsafat di STF Driyarkara





Suatu ketika, ada seorang lelaki yang menyampaikan keluhannya kepada Ibn ‘Arabi ihwal kondisi zaman yang dipandangnya semakin dekaden. Menurutnya, betapa sulit mencari orang beriman di masa itu, betapa orang-orang lebih menyukai kehidupan dunia. Ibn ‘Arabi bertanya, sudah berapa banyak negeri yang didatangi lelaki tersebut, sudah berapa banyak orang yang dia jumpai di berbagai negeri. Ternyata, berbeda dengan Ibn ‘Arabi, lelaki tersebut bisa dikatakan jarang melakukan perjalanan ke berbagai negeri. Mengetahui hal tersebut, Ibn ‘Arabi kembali bertanya, bagaimana lelaki tersebut bisa mengeluhkan tentang dekadensi zaman, sementara negeri dan orang yang pernah dijumpainya hanya sedikit.
Bagaimanapun, keluhan lelaki tersebut setidaknya memperlihatkan kecenderungan yang senantiasa berulang di setiap masa, yaitu pandangan tipikal dari orang-orang yang punya perhatian lebih mendalam terhadap ajaran-ajaran agamanya dengan memandang bahwa mereka tengah hidup di zaman yang dekaden. Di Tanah Jawa, misalnya, kita juga mengenal istilah Zaman Edan yang dilontarkan oleh pujangga sufi bernama Ronggowarsito. Bukan tidak mungkin bahwa di setiap dekade selalu saja ada yang menafsirkan bahwa ramalan Ronggowarsito tersebut tengah berlangsung. Begitu pula di kalangan umat Islam secara luas, berbagai hadis tentang tanda-tanda datangnya kiamat, pada setiap masa dapat ditafsirkan juga tengah berlangsung. Dalam novel The Name of the Rose karya Umberto Eco yang berlatar Abad Pertengahan, diceritakan bagaimana serangkaian pembunuhan yang terjadi ditafsirkan memiliki pola yang sesuai dengan nubuwah Kitab Wahyu tentang kiamat. Tentu saja hal tersebut membuat para biarawan penghuni biara menjadi panik dan histeris. Karena itu, di masa kapan pun, tampaknya orang-orang yang memiliki perhatian lebih terhadap agama senantiasa merasa tengah berada di masa terburuk dari seluruh masa.
Kecenderungan seperti itu pulalah yang seringkali memicu romantisme di kalangan agama, yaitu, kecenderungan untuk melihat bahwa masa lalu lebih baik daripada masa sekarang, dan yang harus diupayakan adalah mengembalikan keadaan masa sekarang menjadi seperti masa lalu. Pemicu umum dari kecenderungan romantisme ini biasanya ditumbuhkan oleh kebiasaan untuk bercermin dan mengambil pembelajaran dari figur terpilih serta peristiwa di masa lalu. Dapat dikatakan bahwa hampir semua sendi hukum yang menyangga agama-agama besar saat ini adalah sesuatu yang dirumuskan dan dicontohkan oleh figur terpilih dan peristiwa di masa lalu, karena diyakini bahwa sendi hukum tersebut memiliki sifat-sifat perenial dalam dirinya, sehingga dapat berlaku di setiap masa. Namun, ada konsekuensi lazim dari pandangan romantisme ini—apabila terlalu berlebihan—yaitu, mengalihkan orang dari realitas yang melingkupinya; realitas bahwa dia hidup di hari dan detik ini.
Namun, di sisi lain muncul juga kesadaran akan perubahan realitas, budaya dan masa yang mendorong adanya upaya rekontekstualisasi dan reinterpretasi ajaran agama. Namun, bentuk-bentuk manifestasi rekontekstualisasi dan reinterpretasi tersebut sangat beragam, bergantung kepada model pembacaan yang dipengaruhi oleh kondisi sosial dan budaya, lingkungan, tingkat pemahaman, tingkat literasi, intelektualitas, nilai dan ideologi. Singkatnya, segala hal yang emlingkupi manusia yang mempengaruhi cara pembacaannya terhadap agama. Yasraf Amir Piliang pernah menguraikan lima jenis pembacaan atas kitab suci, yaitu:
1.      Pembacaan denotatif: membaca teks Kitab Suci melalui pembacaan lateral sehingga menghasilkan makna-makna yang langsung atau eksplisit.
2.      Pembacaan konotatif: pembacaan teks Kitab Suci secara kontekstual, dengan mengkaitkan yang tersurat secara lateral dengan berbagai bentuk emosi, perasaan, sentimen, perhatian, kepentingan, hasrat dan kepercayaan di tingkat individu maupun sosial, untuk menemukan makna implisit.
3.      Pembacaan dekontekstual: pembacaan konotatif yang tidak konstekstual dengan mengkaitkan teks kepada makna-makna implisit di luar konteks awal teks.
4.      Pembacaan fetisistik: pembacaan mistifikasi yang melepaskan teks dari konteks komunikatifnya, menetralkannya dan mengisinya dengan kekuatan mistik tertentu.
5.      Pembacaan dekonstruktif: pembacaan yang melepaskan teks dari konteks komunikatifnya dengan menjadikannya sebagai penanda baru tanpa henti untuk menghasilkan perbedaan dan permainan kultural semata[1]
Kelima bentuk pembacaan tersebut merupakan landasan dari berbagai bentuk manifestasi resistensi dan gaya hidup beragama. Namun, benarkah semua ungkapan keberagamaan yang termanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari selalu bermuatan resistensi?

Agama sebagai Resistensi

Dikatakan bahwasanya budaya dan gaya hidup merupakan sebentuk resistensi terhadap yang natural. Demikian pula hanya dengan agama, dalam dirinya terdapat potensi resistensi, bukan pada yang natural, tapi justru lebih sering tertuju kepada budaya atau gaya hidup itu sendiri. Umumnya, agama-agama besar mengajarkan kepada para penganutnya agar resis terhadap kehidupan dunia. Bahwa banyak dosa menodai jiwa manusia diakibatkan oleh persentuhan atau hanyut dalam kehidupan duniawi. Dalam hal ini, agama banyak memberikan panduan—mulai dari yang abstrak-konseptual hingga yang konkrit-praktis—tentang bagaimana sebaiknya menjalani hidup di dunia. Umumnya, manusia ideal dalam pandangan agama adalah manusia yang hidup seperti ikan laut, yaitu, hidup dan berenang di laut yang asin namun tidak menjadikan tubuhnya seasin air laut. Dalam hal ini, agama merupakan suatu keadaan atau state yang tetap terjaga (conserve) dalam perjalanan waktu. Kepenjagaan diri ini biasanya diturunkan dari aspek-aspek hukum dan normatif agama yang dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari, serta penghayatannya. Namun, manifestasinya pun sangat beragam karena, seperti diutarakan di atas, semua itu sangat bergantung pada model-model pembacaan atas berbagai teks keagamaan.
Misalnya saja, terkait dengan penciptaan dan asal-usul manusia, umumnya agama mempunyai jawaban final yang bersifat teleologis. Bahwa manusia diciptakan dalam citra Tuhan dan menjadi wakilnya di muka bumi dengan mengemban misi hidup khusus; bahwa manusia itu terusir dari surga dan turun ke bumi dikarenakan manusia pertama—dalam tradisi Yudeo-Kristiani dan Islam adalah Adam—telah melakukan kesalahan dengan memakan buah khuldi; bahwa manusia harus bekerja keras di dunia ini agar bisa mendapatkan kehidupan yang menyenangkan di akhirat nanti, dan berbagai jawaban telelologis lainnya. Namun, jawaban seperti ini memang bersifat dogmatis dan menuntut kepercayaan penuh terlebih dahulu dari para penganutnya, dan tak jarang terkesan melarang para penganutnya untuk mempertanyakan lebih jauh hal tersebut. Misalnya, dulu ketika Zaman Kegelapan di Eropa, Gereja pernah melarang orang untuk mempelajari pengetahuan, sebab buah khuldi yang dimakan oleh Adam dan Hawa sehingga mereka berdua terusir dari surga adalah buah pengetahuan. Karena itu, misalnya, ketika Coppernicus dan Gallileo mengemukakan postulat bahwa matahari sebagai pusat peredaran planet, hal itu berlawanan dengan keyakinan Gereja bahwa bumilah yang menjadi pusatnya, maka Gereja pun berreaksi sangat keras terhadap postulat tersebut. Namun, setelah muncul Renaisans dan Gereja mulai ditinggalkan karena sikap konservatifnya terhadap pengetahuan serta doktrin-doktrin lamanya yang banyak terbukti bertentangan dengan perkembangan pengetahuan, maka perlahan-lahan Gereja pun mulai mengubah sikapnya. Namun, di abad dua puluh terjadi lagi sebuah peristiwa menarik yang menggambarkan hubungan gereja dengan pengetahuan. Pernah diceritakan bahwa suatu ketika, Vatikan mengadakan semacam pertemuan ilmiah dengan mengundang Stephen Hawking sebagai salah satu pembicaranya. Pada saat itu, Paus Yohannes Paulus berpidato bahwa Gereja tidak akan lagi menjatuhkan hukuman mati kepada para ilmuwan seperti yang dilakukannya pada Zaman Kegelapan dulu. Namun, Sri Paus menganjurkan agar para ilmuwan hanya mengutak-atik seputar permasalahan pasca penciptaan alam semesta, dan tidak mencoba mengutak-atik permasalahan pra-penciptaan. Mendengar hal tersebut, Stephen Hawking langsung berkemas untuk pulang, karena justru makalah yang hendak dia sampaikan dalam pertemuan tersebut adalah rumusannya tentang pra-penciptaan alam semesta, dan Hawking tidak mau menjadi Coppernicus dan Gallileo berikutnya di abad dua puluh.[2] Hal ini membuktikan bahwa hubungan agama dan pengetahuan (sekular) masih tidak selalu serasi.
Memang, pada umumnya agama mengemukakan doktrin tentang hierarki alam dan realitas, serta menyatakan bahwa manusia itu berasal dari alam dan realitas yang lebih tinggi daripada alam dan realitas dunia ini. Dalam kehidupan di dunia ini, manusia harus menyiapkan dirinya guna menghadapi kematian yang akan memindahkannya ke alam dan realitas lain yang lebih tinggi. Agama juga mengajarkan manusia untuk berbuat baik, karena segala perbuatan baik itulah yang akan menjadi bekal di kehidupan berikutnya. Jawaban-jawaban eskatologis dari agama tersebut seringkali mendapatkan tantangan dan sangkalan dari kalangan ilmuwan maupun filsuf, terlebih pada awal masa Renaisans hampir semua ilmuwan dan filsuf cenderung “ateis” karena terluka oleh sikap Gereja yang anti-pengetahuan. Immanuel Kant bahkan menyatakan bahwa dengan Renaisans manusia telah keluar dari era kekanak-kanakannya ke arah era kedewasaannya. Selain itu, Kant pun berpandangan bahwa surga dan neraka itu dibutuhkan untuk konvergensi moral, karena apabila tidak ada ide tentang surga dan neraka, maka dimanakah orang-orang yang berdosa akan mendapatkan sangsinya? Selain itu, terlihat juga bahwa sikap agnostik tersebut muncul dari Barat bersamaan dengan Renaisans. Namun, sikap agnostik ini pun kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia dan kini banyak diadopsi oleh orang-orang Timur. Bisa jadi, sikap agnostik dari kalangan pemikir Barat mengalami pelunakan menjadi sikap skeptis di kalangan pemikir Timur, namun umumnya tanpa trauma luka karena agama seperti yang dialami para pemikir Barat. Ada satu uraian yang menarik dari Ernest Gellner yang banyak meneliti dan menulis tentang masyarakat Muslim. Gellner mengemukakan bahwa masyarakat Muslim itu ternyata sangat resis terhadap sekularisasi.[3] Dalam agama Islam sering mengemuka anjuran untuk mengakhiratkan kehidupan dunia. Namun, dalam sejarah Islam juga bermunculan para tokoh yang berpikiran skeptis terhadap ajaran-ajaran agama Islam, yang menafsirkan ayat-ayat Al-Quran secara rasional. Akan tetapi, pemikiran dan tafsiran mereka tidak bisa serta merta dikatakan sekular, kecuali mungkin oleh golongan yang lebih puritan atau fundamentalis. Misalnya, Ibnu Sina berpandangan bahwa pintu surga itu ada 8 sedang pintu neraka ada 7. Nah, seorang mukmin yang baik itu memiliki 8 ciri, tapi apabila kurang satu saja ciri tersebut—dan menjadi 7 ciri—maka itulah neraka.
Untuk zaman sekarang, filsafat dipandang lebih bisa mewadahi kecenderungan manusia untuk berpikir bebas, untuk mengkritisi pandangan deterministik dari agama ihwal manusia. Agama seringkali mengajarkan bahwa ada sebuah kebenaran yang sifatnya abadi, murni dan tak terubah, sementara filsafat teramat sangat meragukan klaim agama tersebut, karena menurut filsafat kebenaran itu adalah konstruksi ideologis semata. Selain itu, filsafat Barat pun banyak melahirkan pemikir-pemikir yang menyarankan keyakinan tentang kehendak bebas. Deleuze & Guattari, misalnya, merupakan pemikir abad 20 yang paling lantang menyuarakan ketidakpercayaannya tentang doktrin blue-print manusia, bahwa manusia memiliki cetakan primordial. Isu budaya vs alam (nature vs culture) memang merupakan isu yang cukup kental mewarnai filsafat abad 20. Selain itu, terkait dengan perubahan zaman, ternyata secara fenomena, sains dan teknologi lebih bisa memberikan bukti “kemajuan” secara kongkrit. Bahkan beberapa temuan sains dan teknologi malahan seperti mematahkan argumen-argumen agama tentang kuasa Tuhan. Misalnya, ketika ditemukan teknologi kloning, seakan itu menumbangkan “hak prerogatif” Tuhan untuk mencipta makhluk. Ada cetusan yang cukup menarik dari Bambang Sugiharto, bahwa seringkali Tuhan yang digambarkan para filsuf itu adalah Tuhan yang kaku, dingin, pucat; Tuhan di atas kertas. Namun, pada kenyataannya, Tuhan yang digeluti dalam kehidupan keseharian manusia tidaklah bermasalah. Baik-baik saja malah.
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, resistensi agama memang justru lebih sering tertuju kepada yang budaya ketimbang yang alami. Terlebih setelah Renaisans, secara fenomena umum, agama pun terlihat lebih sering distereotipkan sebagai penyebab penolakan, konservatifisme, bahkan peperangan, dikarenakan sikap reaktif, romantisme dan fundamentalisme dari sejumlah pengikutnya. Walaupun demikian, sejumlah pengikut lainnya malah mencoba beradaptasi dan melakukan rekontekstualisasi ajaran-ajaran agama. Di kalangan cendekiawan muslim, misalnya, marak berbagai gerakan untuk melakukan islamisasi pengetahuan. Umumnya mererka berkeyakinan bahwa ilmu itu bebas nilai, namun faktor manusianyalah yang membuat ilmu itu bisa bertentangan dengan kehendak Tuhan. Namun, apabila ditelusuri secara lebih mendalam, kebanyakan gerakan islamisasi pengetahuan itu lebih banyak klaimnya ketimbang argumentasi ilmiahnya.

Resistensi dan Gaya Hidup

Gaya visual seringkali menyatu dengan gaya hidup, karena dalam hidupnya manusia tidak bisa lepas dari bahasa visual dua maupun tiga dimensi. Gaya merupakan suatu sistem bentuk dengan kualitas dan ekspresi bermakna yang menampakkan kepribadian atau pandangan umum suatu kelompok. Selain itu, gaya juga merupakan wahana ekspresi di masyarakat yang mencampurkan nilai-nilai tertentu dari agama, sosial dan kehidupan moral melalui bentuk-bentuk yang mencerminkan perasaan. Semua manusia adalah subjek gaya sehingga kecenderungan suatu masyarakat dapat dianalisis melalui spektrum gaya. Gaya biasanya menuntut bentuk yang konstan dari pemakainya, sehingga dari hal itu orang bisa menilai tentang ciri-ciri suatu gaya hidup, bahkan gaya peradaban. Namun, dalam perkembangan industri massa seperti saat ini, gaya hidup dapat diidentifikasi melalui artefak atau objek desain yang dikenakan oleh seseorang. Bahkan, gaya pun mempunyai susunan sintagmatiknya, sehingga bisa dikatakan bahwa gaya hidup adalah mosaik artefak dan ide. Gaya itu dapat dipelajari karena bersifat artifisial dan sadar diri, serta mengenal masa hidup (lahir, muda, dewasa, mati). Penggayaan (styling) merupakan ciri-ciri gaya yang dengan sengaja dilebih-lebihkan, namun penggayaan yang ekstrim akan memunculkan penolakan sebab masyarakat sangat rapuh terhadap perubahan gaya yang ekstrim.
Di kalangan masyarakat tradisional, segmentasi kelas sosial terbagi sangat jelas, baik melalui gaya visualnya yang relatif tidak banyak berubah. Peter York menyatakan bahwa dibandingkan dengan saat ini, masyarakat tradisional hidup dalam penjara gaya. Sedang dalam masyarakat modern, gaya memang berkembang pesat namun memperlihatkan ketiadaan acuan akan nilai tertinggi (sekular). Dan dalam sistem globalisasi, batas-batas budaya lokal, nasional maupun regional pun terkikis habis, sehingga arus gelombang gaya hidup global dengan mudahnya berpindah-pindah tempat dengan perantara media massa. Gaya hidup yang berkembang saat ini lebih beragam, mengambang dan tidak hanya dimiliki oleh satu masyarakat khusus, bahkan para konsumer pun dapat memilih dan membeli gaya hidupnya sendiri, karena suatu gaya hidup menawarkan identitas.
Singkatnya, gaya hidup yang berkembang dalam masyarakat yang hidup dalam zaman industri massa seperti saat ini adalah gaya hidup dan budaya pop. Sering dikatakan bahwa budaya pop itu identik dengan budaya massa, karena terlahir dari penggunaan berbagai kombinasi produk industri massa. Seperti dikemukakan oleh Heidegger, manusia itu adalah makhluk yang mendapati dirinya telah terlempar ke dunia ini, tanpa tahu dari mana dan hendak kemana. Untuk belajar bagaimana hidup, maka manusia pun melakukan peniruan-peniruan, sehingga tanpa disadarinya manusia menghasrati hal-hal yang dihasrati oleh orang banyak. Mereka menghasrati gaya hidup tertentu, obrolan tertentu, kepemilikan artefak-artefak tertentu, komunitas pergaulan tertentu, dan lain sebagainya, agar ia dapat hidup seperti manusia umumnya sambil mencoba mendefinisikan identitas dirinya. Namun, dalam budaya pop, identitas itu seringkali tidak otentik karena merupakan hasil konstruksi berbagai citraan yang ditawarkan oleh industri massa melalui komoditi-komoditi. Dalam pandangan agama, fenomena ini biasanya dinamakan sebagai perangkap kehidupan dunia.
Umumnya, untuk menghindari perangkap dunia ini, agama mengingatkan para pengikutnya tentang bahaya hasrat-hasrat yang justru malah menjebak manusia dalam perangkap kehidupan dunia sert menjauhkan mereka dari dorongan-dorongan yang bersifat ilahiah. Secara umum hasrat tersebut bisa dikategorikan menjadi dua hal, yaitu hasrat karnal dan libidinal. Karnal adalah hasrat tubuh kepada sesuatu yang sifatnya material, seperti lawan jenis, harta benda, atau makanan, dan segala hal material lainnya. Pembentukan karnal ini sangat bergantung kepada sifat dasar (nature) dari objek karnal itu sendiri (material) yang “bersentuhan” dengan tubuhnya. Sedangkan libidinal adalah hasrat tubuh kepada sesuatu yang sifatnya imaterial, seperti citraan, harga diri, status, kelas, pangkat, pujian, dan segala hal imaterial lainnya. Dalam pembentukannya, libidinal ini lebih terarah kepada dirinya sendiri, yaitu kepada dorongan dan kepentingannya akan pemuasan sang ego (aspek “otak” libidinal). Imajinasi sangat berperan penting dalam pembentukan libidinal ini, karena kepuasan libidinal sifatnya lebih imaterial, dan dalam pertumbuhannya, libidinal sangat memerlukan kehadiran yang lain sebagai apresiator. Dalam keseharian, seringkali kedua hasrat ini bersatu membentuk dorongan hasrat yang termanifestasi dalam tingkah laku manusia.
Budaya pop sering dikatakan sebagai budaya remeh temeh, banal dan bersifat melepaskan hasrat tanpa kendali. Selain itu, bentuk-bentuk gaya hidup pop pun cenderung sekular, sehingga memunculkan reaksi dari kalangan agama. Umumnya mereka berpendapat bahwa agama telah memberikan petunjuk dan panduan bagaimana seharusnya manusia memilih gaya hidup yang lebih bernuansa spiritual. Dalam beberapa agama, resistensi terhadap gaya hidup pop tersebut dinyatakan pula secara visual, misalnya dengan atribut-atribut yang melekat dari kepala hingga ujung kaki. Namun, sekali lagi, resistensi tersebut sangat bergantung pada berbagai bentuk pembacaan atas teks kitab suci dan rekontekstualisasinya.

Resistensi Gaya Hidup Gerakan Keagamaan

Berbagai resistensi agama—baik secara visual maupun gaya hidup—terhadap kondisi budaya pop yang banal dan miskin kedalaman spiritual, tidaklah selalu terjaga murni tujuan dan maksud awalnya. Permasalahannya, kapitalisme dengan sentuhan tangan Raja Midasnya mampu menyulap apa pun menjadi komoditi. Misalnya, ketika sekte Shaker, sebuah gerakan keagamaan Kristen yang puritan, membuat seperangkat furnitur sederhana yang mencerminkan asketisme, kapitalisme melihatnya sebagai peluang sehingga kemudian memproduksi dan memasarkannya secara massal. Hasilnya, furnitur tersebut pun laku keras. Fenomena itu memunculkan pertanyaan apakah masih ada celah bagi kalangan agama melakukan resistensi? Salah satu fenomena umum yang khas dari kalangan agama dalam melakukan resistensi adalah gerakan keagamaan yang bersifat komunal dan masing-masing memiliki model pembacaan kitab sucinya.
Pembacaan denotatif atas teks kitab suci biasanya melahirkan bentuk-bentuk sikap yang harfiah dalam menampilkan agama secara gaya hidup maupun visual. Misalnya, bahwa seorang penganut agama harus memperlihatkan secara visual, mulai dari ujung kepala hingga kaki, segala atribut keagamaan. Tidak jarang pembacaan denotatif ini berujung pada sikap-sikap fundamentalistik, karena mereka cenderung menolak makna konotatif dari teks kitab suci. Selain itu, salah satu cita-cita umum yang seringkali muncul dari pembacaan denotatif ini adalah semangat mewujudkan negara teokrasi. Agama diklaim sebagai satu-satunya jalan keselamatan, dan jalan keselamatan itu akan paripurna apabila dimanifestasikan dalam bentuk tata negara. Umumnya pembacaan denotatif ini lebih banyak muncul pada orang-orang yang baru pertama kali mulai punya keinginan untuk belajar agama secara serius. Namun, dalam perjalanan waktu, biasanya ada juga yang mulai bersikap kritis dan beralih ke model pembacaan lain, tapi ada juga yang tetap bertahan dan memilih model pembacaan denotatif ini sebagai landasan gaya hidup dan resistensinya terhadap kondisi zaman. Selain itu, gerakan-gerakan keagamaan yang lahir dari model pembacaan denotatif ini umumnya memiliki pandangan romantisme yang cukup kuat. Dan, dalam tingkatan yang lebih eksplisit, pembacaan ini juga lebih sering berlandaskan pada klaim semata. Resistensi di tingkatan ini bisa muncul bahkan hanya dari suatu fenomena yang secara denotatif tidak sejalan.
Pembacaan konotatif atas kitab suci umumnya dapat melahirkan sikap-sikap yang lebih moderat dari kalangan agama. Suatu fenomena tidak serta merta dihukumi secara harfiah begitu saja melalui sebuah teks, karena ada banyak pertimbangan, upaya rekontekstualisasi serta adaptasi terhadap perubahan budaya dan kondisi zaman. Umumnya, pembacaan konotatif ini lebih banyak digandrungi oleh kalangan yang memiliki landasan keilmuan dan kesadaran kritis yang memungkinkannya untuk membaca permasalahan lebih kontekstual dan terbuka. Pembacaan konotatif ini, setidaknya, dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu pembacaan konotatif budaya dan pembacaan konotatif mistis. Pembacaan konotatif budaya biasanya mencoba mencari makna dari teks Kitab Suci—secara rasional—yang merupakan kaidah dasar yang adaptif dalam menghadapi perubahan serta kondisi zaman yang berbeda sambil tetap mempertimbangkan faktor pengaruh budayanya. Sedangkan, pembacaan konotatif mistis adalah pembacaan yang diperoleh dengan jalan non-rasional, dan seringkali menghasilkan tafsiran yang terkesan melompat—ketimbang makna konotatif budaya—tapi banyak mengungkap hal-hal yang tersembunyi dari agama. Akan tetapi, pembacaan konotatif ini seringkali mendapat tentangan dari kalangan pembaca denotatif, bahkan bisa sampai termanifestasi hingga tingkat kekerasan. Tampaknya, perbedaan mendasar dari cara pembacaan denotatif dengan pembacaan konotatif adalah yang pertama umumnya bertanya bagaimana, sementara yang kedua bertanya kenapa.
Pembacaan dekontekstual biasanya dikemukakan oleh kalangan yang, secara serampangan, dapat dikatakan memiliki sikap ambivalen, yaitu spiritual-enggan-sekular tak mau. Kadang cara pembacaan ini muncul juga dari kalangan mereka yang memiliki kepentingan untuk menunjukkan bahwa agama memiliki dimensi-dimensi keilmuan yang ilmiah seperti dalam ilmu-ilmu modern. Namun, tak jarang pula yang terjadi justru adalah utak-atik-gatuk paradigma ilmiah modern dengan teks Kitab Suci. Bisa jadi, motivasi dasar dibalik pembacaan ini adalah justifikasi kepentingan atau sikap inferior dalam menghadapi perubahan zaman. Dalam tingkatan yang lebih halus, pembacaan dekontekstual ini juga lebih sering didasarkan pada klaim ketimbang argumen dan landasan rasional.
Pembacaan fetisistik adalah pembacaan yang umumnya paling sering berkembang di negara-negara dunia ketiga. Secara umum, adalah lazim bagi kalangan agama untuk menggunakan berbagai atribut simbol keagamaan dalam kehidupan sehari-harinya, entah berupa kalung, cincin, pakaian, dan lain sebagainya. Namun, yang menjadi unik adalah ketika atribut-atribut tersebut dipercaya dapat mendatangkan kekuatan, keberuntungan atau kesucian bagi yang memakainya. Ada yang menjadikan tulisan-tulisan ayat suci sebagai jimat untuk kekuatan tertentu. Ada juga yang menjadikan tulang figur suci atau barang kepunyaannya sebagai sesuatu yang akan mendatangkan kekuatan dan keuntungan tertentu. Kepercayaan seperti ini sering diidentikkan dengan tingkat intelektualitas dan kelas sosial yang rendah dari suatu kelompok masyarakat. Akan tetapi, sebenarnya banyak juga kalangan yang memiliki intelektualitas dan kelas sosial lebih tinggi yang juga memiliki kepercayaan seperti ini. Pembacaan ini mengesankan bahwa dengan menggunakan sesuatu yang material, manusia dapat mengatasi kehidupan secara imaterial melalui kekuatan dari objek-objek fetis tersebut. Di samping itu, pembacaan ini memiliki potensi resis terhadap berbagai hal rasional yang mementahkan tafsir yang dihasilkan.
Pembacaan dekonstruktif adalah pembacaan yang paling lazim muncul dalam komunitas budaya pop. Pembacaan ini lebih banyak didasarkan pada segala hal yang bersifat populer, seperti imajinasi, cara berpikir dan argumen yang dangkal (common sense). Salah satu kekuatan budaya pop adalah mengarahkan perhatian manusia hanya kepada aspek-aspek permukaan dari segala hal, kepada hal-hal yang remeh lagi banal. Cara pembacaan dekonstruktif ini tidaklah sama dengan dekonstruksi, karena cara pembacaan ini umumnya justru lahir dari keawaman, ketaksadaran, serta hasrat komunal. Aspek citraan dan kemasan merupakan faktor utama yang digunakan dalam pembacaan ini. Ketimbang melakukan resistensi terhadap aspek-aspek budaya pop yang memiliki banyak sifat duniawi, para pelaku pembacaan dekonstruktif malah menceburkan dirinya dalam kancah budaya pop sembari meyakini bahwa agama pun mengajarkan hal seperti itu. Atau, dengan kata lain, sifat dasar agama yang cenderung resis terhadap yang budaya justru malah dinetralisir oleh pembacaan ini dengan melabeli yang budaya (pop) itu sendiri sebagai agama.





Catatan Akhir
[1] Yasraf Amir Piliang, ‘Tafsir Atas Tafsir Al-Qur’an: Sebuah Pendekatan Cultural Studies’, makalah yang disampaikan dalam acara Seminar & Mukernas Forum Komunikasi Mahasiswa Tafsir Hadis Se-Indonesia (FKMTHI), dengan tema “Living Quran: Al-Quran Dalam Fenomena Sosial dan Budaya”, diselenggarakan oleh FKMTHI, BEMJ Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 13-17 Maret 2005.

[2] Lihat Stephen Hawking, Riwayat Sang Kala (Grafiti, 1994)

[3] Lihat Ernest Gellner, Menolak Posmodernisme: Antara Fundamentalisme Rasionalis dan Fundamentalisme Religius, terbitan Mizan (1994).



N.B. Naskah ini diterbitkan atas izin penulis sendiri (Pak Alfathri Adlin) setelah kami meminta beliau untuk ikut menyumbangkan ide-ide lewat tulisan beliau di blog LPPMD ini.
 
Siapkah Indonesia Menghadapi MEA?
Oleh: Ucu Feni, Mahasiswi Sejarah Unpad angkatan 2014, kader LPPMD



    Arus globalisasi yang menjadi bagian dari dinamika kehidupan ekonomi, sosial, politik, dan budaya masyarakat dunia semakin menyeret masyarakat global pada persaingan yang ketat sebagai imbas keterbukaan. Sejak era globalisasi menjadi jiwa zaman masyarakat di awal abad 21 ini, arus pertukaran terjadi sangat deras sehingga menuntut kesiapan tiap individu untuk mampu mengimbangi arus ini dengan menyiapkan kemampuan yang bersifat universal. Dampak dari arus globalisasi ini pun menjangkiti masyarakat Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN untuk semakin “saling membuka diri” yang diimplementasikan dalam berbagai bentuk kerja sama—terutama dalam bidang ekonomi. Bentuk kerja sama antar anggota ASEAN yang terbaru adalah MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN).
MEA yang akan resmi dijalankan mulai Januari 2016 sudah melewati tahap sosialisasi sepanjang tahun 2015. Sosialisasi yang digalakan oleh pemerintah berimbas pula pada dunia kependidikan Perguruan Tinggi. Dalam upaya menyambut MEA, lulusan Perguruan Tinggi sudah dirancang agar mampu bersaing dalam arena persaingan MEA. Atmosfir ini boleh jadi kian berpotensi melunturkan peran dan fungsi yang dimiliki mahasiswa. Mahasiswa secara persuasif dituntun untuk menjadi individu yang memiliki skill kompetitif agar mampu berkontribusi ketika MEA sudah mulai berjalan. Secara tidak langsung, mahasiswa-mahasiswa yang terikat kebijakan kampus ini dihadapkan pada kondisi untuk menyiapkan diri sebaik mungkin ketika lulus nanti dan menjadi lupa akan peran dan fungsi sesuai keilmuan yang dimilikinya. Maka ketika MEA nanti mulai berlangsung, jangan heran bila para sarjana kebanyakan hanya menjadi ahli dalam bidang ekonomi, sedangkan bidang lainnya seperti saintek mungkin saja hanya dikuasai oleh segelintir orang yang benar-benar berkonsentrasi di bidang tersebut.
                      Kehadiran MEA di tengah ketidakstabilan perekonomian Indonesia seakan menambah daftar tantangan sekaligus pekerjaan rumah yang baru bagi jajaran kementrian perekonomian. Bila kita melihat kondisi kehidupan ekonomi, sosial, politik, dan budaya rakyat Indonesia,  MEA boleh dikatakan merupakan suatu tantangan yang harus diterima sebagai imbas dari globalisasi yang turut menyeret Indonesia ke dalam suatu desa global. Indonesia sebagai negara yang memiliki banyak penduduk, masih menyembunyikan kesenjangan sosial di antara satu daerah dengan daerah lainnya. Ketika kesenjangan sosial ini belum menemukan jalan keluarnya, bayang-bayang MEA hadir—menyadarkan kita semua bahwa hal ini seperti dua mata pisau; di satu sisi mampu menjadi peluang untuk meningkatkan perekonomian Indonesia, namun di sisi lain hal ini justru sangat berpotensi menambah beban ekonomi yang sudah ada. Kesenjangan sosial menjadi salah satu hal yang krusial di tengah masyarakat Indonesia. Ketika wacana mengenai MEA mulai digembor-gemborkan, kesenjangan sosial yang mengancam Indonesia bukan lagi antar sesama warga negara Indonesia, melainkan antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing.
                      MEA merupakan pintu bagi setiap negara di kawasan ASEAN untuk menempatkan tenaga kerja yang dimilikinya untuk bekerja di negara tetangga, sesama anggota ASEAN. Artinya, siap tidak siap, Indonesia pun harus membuka pintu bagi warga negara asing yang merupakan anggota ASEAN untuk bekerja di dalam negeri. Seperti pernah dilansir oleh sebuah media, di daerah Banten sudah tercatat sekitar 24.000 warga Tiongkok terdaftar sebagai pekerja di daerah tersebut. Bupati yang memiliki wewenang terhadap daerah tersebut menerangkan, dirinya tak mampu membendung laju warga negara asing yang memasuki wilayah tersebut karena secara de jure, pemerintah Indonesia sudah membuka pintu bagi warga-warga asing tersebut. Sebuah tantangan baru bagi setiap warga negara Indonesia ketika MEA berlangsung: mesti mampu bersaing dengan lulusan sarjana dari luar negeri. Hal ini merupakan tantangan yang cukup berat, meski untuk lulusan sarjana. Lantas bagaimana dengan para lulusan yang tidak mampu melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi? Apakah mereka hanya bisa berpasrah diri tergerus oleh laju zaman yang bahkan oleh pemerintah sendiri tak mampu terbendung?
                      Kasus jumlah tenaga kerja asing yang angkanya sangat tinggi di Banten merupakan salah satu studi kasus untuk mencermati wacana MEA. Masih banyak wilayah negara Indonesia yang tentunya sudah menjadi sasaran lulusan luar negeri untuk turut meraup rezeki di sana. Melihat fenomena ini, apakah Indonesia mampu menghadapi MEA di awal 2016 mengingat jumlah lulusan sarjana menempati angka pengangguran yang tinggi bahkan sebelum persaingan dengan lulusan asing dimulai. Perguruan tinggi yang ada nampak tak mampu mengatasi berbagai permasalahan yang ada di negeri ini melalui lulusan yang mereka cetak. Sebab apa? Sebab dunia pendidikan menjadi sarana liberalisasi ekonomi yang sangat menjanjikan. Orientasi di dalam dunia pendidikan Indonesia bergeser ke arah liberalisasi dan privatisasi sehingga keilmuan yang didapat tak lebih dari bentuk formalitas atas setiap rupiah yang dikeluarkan. Semakin banyak saja permasalahan yang menanti penyelesaian ini. Lantas, siapkah Indonesia menghadapi MEA dengan kondisi kehidupan sosial-ekonomi-politik dan budayanya tengah semrawut?
***