Ospek: Sebuah Pencerahan atau
Sebuah Ambivalensi?
Oleh: Aldo Fernando, Mahasiswa
Agroteknologi Fakultas Pertanian 2013, LPPMD UNPAD
“Cara paling ampuh untuk merusak anak
muda adalah menyuruhnya menjunjung tinggi mereka yang berpikir sama ketimbang
mereka yang berpikir berbeda”
—Friedrich Nietzsche, pemikir Jerman (1844-1900)—
Mahasiswa baru (maba) datang,
ospek pun menyambut. Ibarat sang putera raja yang disambut para selir yang
cantik nan menawan, ospek menjadi sebuah ‘ritual’ suci yang seksi di setiap
tahun penerimaan mahasiswa baru.
“Oh mahasiswa baru... Kami telah menunggu
kedatanganmu dengan persiapan yang mewah. Mendekatlah kepada kami, wahai raja
dan ratu baru di kampus ini! Nikmatilah pertunjukan ini!”
Begitulah kira-kira sekelumit penggambaran
mengenai rayuan simbolik dari para panitia
ospek (dan juga para dosen penanggungjawab) untuk para mahasiswa baru. Nah, sebelum kita tenggelam dalam
permainan kata “ospek” bersama dengan segala tetek-bengeknya, ada baiknya kita perlu melemparkan sebuah
pertanyaan mendasar: “apa sih ospek
itu?”
Ospek adalah singkatan dari orientasi
studi dan pengenalan kampus. Ospek, pada dasarnya, adalah rangkaian kegiatan,
masa, penyambutan mahasiswa baru dalam rangka membantu mereka untuk dapat
mengenal lingkungan akademis barunya.
Hal ini dapat dilakukan, for instance, mulai dengan memberikan pemaparan
informasi mengenai keberadaan lokasi gedung-gedung fakultas, rektorat,
fasilitas-fasilitas kampus; pengenalan struktur rektorat, BEM dan BPM tingkat
universitas (dan juga tingkat fakultas); pengenalan Unit Kegiatan Mahasiswa
(UKM); pengenalan rektor, wakil rektor dan juga segenap jajarannya
(dosen-dosen, staff fakultas, dll); sampai pada memberikan materi, diskusi
—ataupun dengan mendatangkan beberapa tokoh intelektual— yang akan mampu
merangsang minat dan kekritisan mahasiswa baru; dlsb.
Pada intinya, ospek adalah rangkaian
prosesi pengenalan mengenai ikhwal seputar kampus dengan pelbagai komponen di
dalamnya, penginjeksian nilai-nilai luhur yang mengakar dalam suatu kampus, suatu
rangkaian kegiatan pencicipan atmosfer kampus, yang ditujukan bagi para
mahasiswa baru.
Dengan demikian, tujuan dasar
dari ospek ialah, antara lain, untuk membentuk —jejaring makna dalam diri—
mahasiswa baru menjadi manusia yang berdaya intelektual yang aktif, berpola
pikir kritis, bermo-ral, dan, pada tujuan khususnya, mampu menghasilkan
angkatan yang kompak dan memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi, pun mampu memahami
ikhwal kondisi dan keadaan seputar kampus (dan pelbagai hal yang ada didalamnya—termasuk
semangat perjuangan akademik kampus!).
Jika kita memahami hakikat dari
tujuan dari kegiatan ospek seperti yang telah sedikit digambarkan di atas,
rupanya, kita kemungkinan besar akan menyetujui penyelenggaran dan penerapan
kegiatan ospek tersebut bagi para mahasiswa baru.
Lalu, pertanyaannya adalah apakah
penyelenggaraan kegiatan ospek di Indonesia, terutama di lingkungan Universitas
Padjadjaran, sudah berjalan sesuai dengan khittahnya?
Apakah ospek —sesuai dengan judul tulisan ini— merupakan sebuah pencerahan
ataukah sebuah ambivalensi? Sebuah penindasan terselubung?
Di dalam tulisan ini saya ingin mencoba
untuk men-cubit dan meng-gelitik ingatan, kekritisan dan
kesadaran kita mengenai hakikat ospek, yang selama ini telah kita andaikan
begitu saja sebagai sesuatu yang memang sesuai dengan kebutuhan mahasiwa, tanpa
cacat dan ekses-ekses negatif dalam pelaksanaannya—yang juga menjadi sebuah ritual
wajib di setiap tahun perkuliahan baru.
Seemingly, pada
kesempatan ini kita akan mencoba menyelami lautan negatif dari penyelenggaraan
ospek, dan lalu, kita juga akan mencoba memecah membran-membran naif yang menyelubungi pelbagai maksud baik dari kegiatan
ospek.
Di sini kita akan berziarah dalam
bentang areal ekses-ekses negatif yang ada dalam penyelenggaraan ospek di
kampus-kampus di Indonesia.
Penyelenggaraan ospek, yang
selalu didasari pada sejumlah tujuan luhur,
seperti: untuk menjaga kekompakan dan rasa kekeluargaan angkatan, baik dalam
tingkat fakultas maupun universitas secara keseluruhan (dan juga kekompakan
keharmonisan antarangkatan), mengenal dan memahami ikhwal kondisi dan keadaan
serta atmosfer kampus, membangun jiwa-jiwa aktif, kritis, dan kreatif, dlsb.,
nampaknya, masih mengandung ekses-ekses negatif dan simptom-simptom virus derivatif sebagai warisan dari generasi
mahasiswa sebelumnya.
Maksudnya, kegiatan ospek, sayangnya, dari dulu sampai saat ini, masih
mengandung sejumlah virus menular yang mengakar dan berkembangbiak, di dalam
‘tubuh’ kegiatan ospek, yang lalu membuat ospek selalu terjangkit penyakit (dan
berarti tidak sehat!).
Lantas, apa saja gejala-gejala
yang menunjukkan bahwa kegiatan ospek terjangkit penyakit turunan?
Untuk
mendiskusikan pertanyaan di atas saya
akan mencoba meminjam pemaparan Bayu Rian Ardiyansyah ketika Ia menjelaskan
pemikiran Rizky Abdurachman, seorang pengacara di kantor Adiwilaga & Co.,
dalam sebuah berita on-line yang
berjudul Diskusi MLI: Kupas Permasalahan
Hukum Ospek di Perguruan Tinggi Indonesia[1].
Menurut Rizky, dalam
Ardiyansyah (2014), pelaksanaan ospek di
Indonesia, dalam gerak perkembangannya, seringkali berganti nama, berganti
topeng, namun, tanpa ada perubahan dalam metodenya. Hal tersebut dapat kita
telisik dari gejala masih adanya —saya masih mengikuti alur pemikiran Rizky— “aspek kekerasaan
di dalam ospek yang entah disadari atau tidak telah melanggar hukum yang berlaku.”
Apa yang dimaksud dengan
“melanggar hukum yang berlaku”? Mari kita simak penggalan dari pemikiran Rizky,
dalam Ardiyansyah (2014) di bawah ini,
“Ospek
memang akan selalu berkaitan dengan hukum karena sejak lahir setiap manusia
merupakan subjek hukum dengan segala hak dan kewajibannya, termasuk mahasiswa.
Pelanggaran akan Hak Asasi Manusia (HAM) berupa tindakan penyiksaan jasmani
maupun rohani bisa diproses secara hukum pidana dengan pasal penganiayaan atau
kelalaian.
Adapun metode ospek yang berpotensi melanggar HAM di
antaranya termasuk kegiatan yang membebani fisik atau menekan psikologis
pesertanya di luar batas kewajaran daya tubuh manusia, seperti misalnya long march atau
jurit malam yang digabung dengan wide game. “
Sekarang, kita perlu mendiskusikan dua frase yang sengaja saya comot dari kutipan di atas: 1) “kegiatan yang membebani fisik” atau 2) “menekan psikologis peserta di luar batas
kewajaran daya tubuh manusia”
Kita akan membahas poin pertama terlebih dahulu: “kegiatan yang membebani
fisik”. Dalam pelaksanaan ospek di banyak universitas di Indonesia —termasuk di
Unpad— masih dijangkiti virus “pembalasan dendam senior atas junior”. Mulai
dari aras rendah sampai pada aras ekstrem.
Pada aras rendah (yang tetap saja disebut sebagai “kegiatan yang membebani
fisik”), misalnya yang terjadi di Unpad, masih terdapat beberapa manifestasi
kekerasan fisik, entah itu dengan dalih untuk membuat maba (mahasiswa baru)
memiliki fisik dan mental kuat, entah sebagai hasil dari konsekuensi akibat
maba melanggar tata tertib dalam pelaksanaan ospek (perlu diingatkan lagi di
sini bahwa ospek di pelbagai fakultas dan universitas di Indonesia memiliki manifestasi-nama
yang berbeda-beda, namun tetap dijangkiti gejala penyakit yang sama: penyakit turunan!).
For instance, di beberapa fakultas di Unpad, dalam pelaksanaan ospek, masih terdapat
adanya penerapan hukuman push up
sampai puluhan kali yang begitu melelahkan, yang dalam beberapa momen, tidak
memiliki alasan yang jelas selain sebagai konsekuensi —sebagaimana diklaim para
panitia ospek— dari kesalahan yang dibuat oleh kelompok atau bahkan satu
angkatan ospek. Dan hal tersebut disertai dengan nada-nada keras yang, menurut saya, di-setting untuk tegas dan menguji psikologis (hal ini akan dijelaskan
setelah ini).
Lalu, pada aras tinggi (ekstrem), tentu masih segar dalam ingatan kita
contoh terbaru mengenai kasus kekerasan fisik yang, ini sangat menyesakkan,
menewaskan seorang mahasiswa baru bernama Fikri Dolasmantya
Surya, dalam pelaksanaan Orientasi Kemah Bakti Desa yang dilaksanakan pada Oktober tahun 2013 (berita tewasnya Fikri merebak
pada sekitar bulan Desember di tahun yang sama) lalu di kawasan Goa
Cina, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Malang, Jawa Timur, yang digelar jurusan
Planologi ITN Malang.[2]
Mengingat-ingat kembali kasus-kasus kekerasan fisik yang terjadi dalam
pelaksanaan ospek di banyak kampus di Indonesia, membuat kita bertanya penuh heran,
dengan hati yang sesak, “apa yang kehendak
para panitia pelaksana ospek maui
ketika mereka menindas (baik secara terang-terangan ataupun secara terselubung) para mahasiswa baru?”
Baik, setelah mencoba memahami pemaparan poin pertama (1. “kegiatan yang
membebani fisik”), kita akan beranjak ke pembahasan poin kedua (2. “menekan psikologis peserta di luar batas
kewajaran daya tubuh manusia”).
Pada poin kedua ini, pelanggaran dalam pelaksanaan ospek mengarah pada
aspek kejiwaan, aspek psikologis. Nada-nada keras berbau ancaman yang keluar
dari bibir seorang panitia ospek di
bidang tata tertib, misalnya, akan membuat si Grace (sebagai contoh) trauma dan
tertekan. Grace menjadi menganggap bahwa ospek lebih menyajikan kekerasan
ketimbang pengarahan menuju hal yang positif. Ia, lalu, mengutuk ospek dengan
penuh luka trauma, penuh luka diri. Ini adalah sekelumit contoh kecil yang seringkali
terjadi di sekitar kita.
Dan juga, dalam penyelenggaraan ospek di suatu fakultas (nama tak
disebutkan) terdapat suatu sesi di mana para panitia yang diberi tugas khusus
(misalnya, di bidang tata tertib) memarahi, memainkan nada kasar sambil
menunjuk ke arah wajah mahasiswa baru. Dan aksi marah-memarahi ini dilakukan dengan posisi mulut panitia
ospek tepat di depan hidung mahasiswa
baru (maba). Hal yangmenjijikkan! Sebuah gambaran penyelenggaraan ospek yang, pada
akhirnya, malah menghasilkan manusia traumatis dan sinis. Ironis!
Plus, ditambah dengan pelbagai bentuk ancaman para panitia ospek —entah bernada
halus, entah kasar— kepada para maba yang tidak mematuhi aturan main ospek dan fakultas, yang lagi-lagi terkadang kurang
jelas dasarnya. Saya akan mengutip kembali pemaparan Ardiyansyah (2014, ibidem),
“Bahkan,
ancaman pengucilan dari himpunan mahasiswa, apabila tidak mengikuti ospek bisa
dinilai sebagai pelanggaran persamaan harkat dan martabat.”
Dengan demikian, pelanggaran
dalam pelaksanaan ospek, mengikuti pemaparan Ardiyansyah, terancam masuk ke
dalam lingkaran pelanggaran hukum.
“Aku” tak bisa menggunakan ruang
gerak kebebasan eksistensial-ku secara otonom karena yang lain, yang berada di
luar diri-ku (manusia lain, panitia ospek) telah membatasi diri-ku secara berlebihan
dengan menindas kebebasan sosial-ku. “Aku”, saat ini, laiknya robot yang selalu
menurut dengan apa yang mereka, suatu hal lain dalam realitas eksternal, maui,
apa yang mereka (panitia ospek dan dosen penanggungjawab) kehendaki. Aku
menjadi se-bentuk tubuh-tanpa-organ “body-without-organs”—seperti yang
dikatakan Deleuze-Guattari (pemikir kontemporer Perancis) dalam karya mahsyur mereka.
Ospek dan Pencerahan
Max Horkheimer dan Theodore Adorno, dua orang pemikir
Jerman mazhab Frankfurt, dalam karyanya Dialectic
of Enlightenment, tepatnya pada bagian Excursus I: Odysseus
or Myth and Enlightenment, memaparkan sebuah interpretasi mengenai pencerahan
dann mitos.[3]
Horkheimer-Adorno,
sebagaimana dipaparkan oleh Sumarwan (2009: 56-57), menggunakan Oddyseus, karya Homeros (penyair besar
Yunani kuno), yang ditafsirkan sebagai epos (cerita kepahlawanan) untuk
mengurai problem mitos dan pencerahan. Bagi mereka berdua, karya Homeros
tersebut mengandung mitos yang sekaligus pencerahan.
Pada kesempatan ini saya akan mencoba
untuk meringkaskan alur kisah Odysseus (tokoh utama dalam epos Homeros) seturut
dengan pemaparan Sumarwan. Namun sebelum itu, ada baiknya kita terlebih dahulu
memperjelas pemahaman kita mengenai pengertian pencerahan dan mitos menurut
tafsiran Horkheimer dan Adorno dalam Dialectic
of Enlightenment.
Menurut Horkheimer-Adorno —yang
dalam penafsiran mengenai pencerahan amat dipengaruhi oleh Friedrich Nietzsche,
pemikir besar asal Jerman—merupakan sebentuk antitesis atas segala perwujudan
dominasi. Pencerahan menjadi semacam pergerakan melawan dominasi mitos yang mengungkung
kebebasan-diri manusia.[4]
Sedangkan mitos, menurut mereka
berdua, adalah sebuah representasi dari dominasi dewa-dewi di dunia-seberang ataupun
kekuatan adikodrati atas hidup manusia (Sumarwan, 2009: 58).
Mitos, yang sering kita anggap
sebagai sebentuk irrasionalitas (dan pencerahan sebagai sebuah rasionalitas),
menurut Max Horkheimer dan Theodore Adorno mengandung pula aspek “disiplin dan
kekuasaan” yang—menurut Francis Bacon— adalah
sebagai ciri pengetahuan (Sumarwan, 2009: 57).
Menurut Horkheimer-Adorno, ciri
terpenting dari mitos adalah “prinsip keharusan nasib (fatal necessity)[5],
maksudnya, para tokoh sudah digariskan nasibnya, sudah dideterminasi sejak awal
(Sumarwan, Loc. cit.).
Shortly, mitos, bagi duet
Horkheimer-Adorno, adalah sebagai bentuk dominasi dan pencerahan, persis
sebagai oposisi dari mitos, sebagai perlawanan.
Petualangan Odysseus
Sekarang kita akan mencoba
memahami kaitan Odysseus dengan
pencerahan dan mitos dengan mengikuti penggambaran Sumarwan (2009: 58-67).
Epos Odysseus ini merupakan kisah individu manusia yang berupaya melawan
nasib yang telah digariskan.
Petualangan Odysseus dimulai ketika ia meninggalkan istri (Panelope) dan
kampung halamannya (Ithaca) untuk berlayar menuju Troya guna membalas dendam
atas kekalahan Yunani dari Troya.
Setelah berperang selama beberapa
gtahun yang panjang, ia —berkat bantuan Poseidon, sang Dewa Laut— berhasil
mengalahkan Troya. Namun, setelah hanyut dalam euforia kemenangan atas Troya, Odysseus dengan congkaknya berteriak
ke langit dengan mengatakan bahwa inilah kemenangan manusia. Manusia, kata Odysseus, tak butuh bantuan Dewa lagi. Odysseus bangga menjadi manusia. Kemudian,
sejurus dengan itu, Poseidon yang mendengar nada kesombongan Odysseus merasa tersinggung dan naik
pitam. Ia mengutuk Odysseus dan
bersumpah untuk tidak akan membiarkan Odysseus
dapat kembali ke Ithaca. Di sini nasib Odysseus digariskan. Ia, sekarang, perlu
mencari jalan keluar yang cerdik untuk dapat memutuskan tali-nasib dari
Poseidon yang diberikan kepadanya.
Odysseus, singkatnya, berhasil
melewati pelbagai godaan perwujudan mitis dari para dewa-dewi dan kekuatan
adikodrati dengan mencoba mengorbankan dirinya (nah, pengorbanan-diri inilah
yang akan kita bahas dalam kaitannya dengan ospek nanti). Ia, selama
pelayarannya menuju kampung halaman, berhasil melewati godaan suara merdu yang
mematikan dari Siren, sekelompok
figur mitologis yang tinggal di sebuah pulau, dengan nekat melewati pulau tersebut dan mengorbankan dirinya
diikat di tiang kapal (hal ini dilakukannya dengan cara membagi dua golongan
kerja: ia diikat di tiang dengan kedua telinga terbuka dan para anak buah kapalnya yang, ia haruskan
untuk, menyumbat lubang telinganya sehingga tak mendengar alunan
merdu-mematikan dari Siren dan juga Odysseus memerintahkan para anak buah
kapalnya untuk mendayung lebih cepat apabila Odysseus menjerit, meronta untuk meminta diarahkan ke pulau Siren. Dan, sesuai dengan kesepakatan
awal, mereka berhasil lolos dari para Siren)[6].
Lalu, ia pun berhasil lolos dari
jeratan berbahaya Polyphemus —raksasa
penunggu gua mitis yang akan memakan manusia manapun yang memasuki guanya. Ia
memperdaya Polyphemus dengan
mengajaknya meminum anggur hingga mabuk dan lalu membutakan mata Polyphemus. Ia mengatakan, untuk
menyamarkan identitasnya dengan memperkenalkan diri —dan juga merupakan jawaban
dari pertanyaan-wajib Polyphemus—
sebagai nobody kepada Polyphermus.[7]
Hal tersebut mengakibatkan ia lolos dari
jeratan para raksasa ganas penunggu gua tersebut, karena ketika para saudara raksasa
Polyphemus menanyakan siapa yang
telah melukai matanya, Polyphemus
menjawab nobody. Well, berarti, bagi
mereka, para saudara Polyphemus, tak
seorang pun yang telah melukai Polyphemus.
Lalu kemudian, secara singkat, Odysseus berhasil menaklukan hati Dewi Circe yang memiliki hak untuk menyihir
manusia tanpa obat penawar. Odysseus
mengikuti kemauan Circe untuk
memuaskan hasrat seksualnya (yang menawarkan kebahagiaan sekaligus
kehancuran-diri) demi membebaskan teman-teman Odysseus yang dikutuk menjadi binatang.
Setelah ia mengikuti hasrat Circe, teman-temannya pun dibebaskan.
Namun, Odysseus berusaha mengingkari
hasrat instingnya dan menolak untuk larut dalam Circe. Sementara itu, Circe malah terlanjur jatuh cinta kepada Odysseus dan, kemudian, membebaskan Odysseus dan memberi ke mana Odysseus harus berlayar.
Dan, Petualangan paling
menentukan adalah ketika Odysseus
mencoba memasuki Hades (alam bawah —tempat arwah orang yang sudah mati) untuk
menanyai Teiresias bagaimana cara memadamkan amarah Poseidon. Setelah memberikan
korban seekor kambing, Tereias pun langsung memberitahu Odysseus cara
memadamkan bara amarah Poseidon.
Seperti yang diuraikan Sumarwan (Ibid., hal. 64), Tereias, kemudian, “memberitahu
bahwa Odysseus harus memanggul dayung
di pundaknya dan terus bertualang sampai ia menjumpai orang ‘yang tidak
mengetahui laut dan tak pernah makan makanan yang diberi garam’”. Tindakan
konyol Odysseus ini sontak membuat
orang-orang heran dan menertawainya. Namun, kekonyolan ini, oleh Odysseus dipersembahkan untuk Poseidon. Ia mengorbankan dirinya menjadi bahan tertawaan orang dan aktor pilon
sehingga Poseidon pun, akhirnya, tertawa terbahak-bahak dan lupa atas
kemarahannya dan lalu membiarkan Odysseus pulang ke kampung halamannya.[8]
Lalu, Apa
Maksudnya?
Sekilas ketika kita membaca
dengan penuh rasa kantuk (mungkin di antara kita bisa saja ada yang menganggap
karya mahsyur dari penyair besar Yunani Kuno ini, Homeros, sebagai sebuah
dongeng sebelum tidur!) dan mencoba memahami bagian mengenai Odysseus dan
Petualangannya di atas, kita menjadi kurang menangkap apa maksud dan apa
hubungan antara Odysseus dan (pelanggaran) ospek?
Buku Dialectic of Enlightenment hasil karya patungan dari Horkheimer dan
Adorno adalah sebentuk upaya untuk memetakan kemajuan pencerahan yang, secara
ironis, malah menjadi mitos baru (setelah berupaya menghajar mitos lama) dan
kebusukan sistem kapitalisme masyarakat modern.
Saya meminjam alur pembahasan sebuah
ekskursus (Odysseus or Myth and Enlightenment) yang terlampir
di dalam buku tersebut —via pemaparan Sumarwan—
untuk memetakan kondisi pelaksanaan ospek yang berupaya mencerahkan,
namun malah terjebak sistem abstrak-rumit yang membuat ospek malah menjadi
sebentuk dominasi-hegemoni para panitia ospek (dan para dosen penanggungjawab).
Kita bisa mengambil beberapa
intisari dari Epos Odysseus di atas
untuk menguraikan problem ospek dan, kemudian, menghubungkannya dengan semangat
manusia modern.
Mari kita padatkan inti
permasalahan, hasil dari penggambaran kita mengenai perjuangan Odysseus di atas, menjadi tiga poin penting:
1.
Pengorbanan diri demi kemajuan (pencerahan),
2.
Menegakkan identitas-diri sebagai subjek aktif yang
kemudian, secara paradoksal, malah mengaburkan identitas-diri dalam sistem
abstrak, dan
3.
Menipu-diri dengan berubah menjadi diri yang lain demi mencapai
pencerahan.
Kita
akan mulai dari poin nomor satu (1). Salah satu semangat pencerahan, seperti yang ditafsirkan oleh
Horkheimer-Adorno dalam karya mereka, adalah slogan “korbankan dirimu demi memeluk kemajuan”. Saya pikir hal ini
memiliki gemanya dalam hal pelaksanaan ospek di kampus-kampus (terutama di Unpad).
Para panitia ospek mendengungkan nyanyian-nyanyian merdu nan memabukkan yang
isi liriknya tak lain adalah rayuan-rayuan yang menjurus kepada pemaksaan-sikap yang mana
mahasiswa baru (maba) dijajah kesadarannya untuk mempercayai slogan pencerahan
ospek: ““korbankan dirimu demi memeluk kemajuan!”
Kira-kira
bunyi wejangan-wejangan para panitia ospek kepada para mahasiswa baru (maba)
seperti ini: “Kalian harus patuhi segala peraturan dan ketentuan pola
penerimaan mahasiswa baru (ataupun dapat disebut juga sebagai pola pembinaan
—nama alias dari ospek). Jika kalian melanggar kalian harus penuhi
konsekuensinya: push up, kami marahi,
kami tekan secara psikologis... Pokoknya, kalian harus nikmati ini. Kalian
harus korbankan beberapa momen dalam diri kalian. Kalian harus tanggalkan
sejenak kekritisan kalian.”
Poin
nomor satu (1) ini adalah sebentuk representasi
yang menjadi salah satu simptom
penyakit turunan dalam ospek yang hampir selalu ditularkan dari para panitia
ospek menuju darah-darah dan syaraf-syaraf mahasiswa baru.
Hal
tersebut, karena terinjeksi virus penyakit turunan, membuat mahasiswa baru
(maba) harus cenderung mengalami gejala yang sama seperti seniornya, para
panitia ospek, dan lalu, hal ini
kemungkinan besar, jika para maba tidak berani, sadar dan menyembuhkan dirinya
untuk mengembalikan kekritisan mereka terhadap suatu problem, akan kembali diturunkan kepada mahasiswa yang berada di
bawah mereka (di bawah para maba). Dan, yang pasti hal ini akan menjadi hal
yang menyedihkan —kecuali bagi mereka yang masih terkungkung, masih terjangkiti
virus turunan yang secara tak sadar telah menjajah kesadaran mereka!
Selanjutnya
kita akan fokus pada poin nomor dua (2). Poin ini merupakan bentuk representasi
dari penyelenggaraan ospek yang memiliki paradoks.
Pelaksanaan
ospek yang —kembali saya ulang— membawa virus-virus penyakit turunan malah
telah membentuk diri mahasiswa baru (maba) sebuah ke-tidak-jelas-an-identitas—karena
ospek mengajarkan mahasiswa baru untuk terus menurut dan lantas tak
mempertanyakan lagi mengapa ia harus berbuat demikian.
“Mengapa
Aku harus melakukan hal ini?”; “Apa yang Aku dapatkan setelah Aku mengikuti hal
ini?”; “Tidak adakah cara lain, yang lebih baik, ketimbang hukuman konsekuensi push up seperti ini?”; “Apakah benar
jika ospek yang diselenggarakan selama ini, entah di universitas, entah di
tingkat fakultas (ataupun jurusan), telah membentuk mahasiswa otentik, telah
membentuk manusia yang memiliki identitas-diri?”; “Ataukah hanya ritual tahunan
yang dianggap sakral yang di dalamnya Aku akan terjangkiti virus
pencerahan-palsu, yang akan membuatku menjadi mahasiswa pembalas dendam?”;
“Apakah para panitia ospek memang benar-benar menginginkan Aku menjadi manusia
kreatif, inovatif dan kritis? Bukannya menjadi robot-robot yang menghabiskan
daya-daya baterai yang dipasang di dalam tubuhnya?”; “Apakah Aku bisa percaya
bahwa ospek ini bukanlah sebuah senioritas terselubung, sebuah ajang balas
dendam yang dihaluskan dan dilegalkan?”; “Apakah, sekarang, Aku dapat yakin
bahwa Aku adalah Aku? Bahwa Aku otentik? Bahwa Aku otonom? Bahwa kebebasan
eksistensial dan kebebasan sosialku tidak direpresi sedemikian rupa oleh
lembaga resmi di kampus untuk mengarahkan diriku dengan pelbagai pengetahuan
dan kekuasaan ynag mereka miliki secara legal?”; dan “Apakah aku sekarang
benar-benar yakin bahwa kesadaranku telah dijajah oleh semacam hegemoni yang
memiliki relasi eksternal yang legal yang benar-benar cerdas dan berkuasa atas
diriku selam aku menjadi mahasiswa baru di kampus ini?”.
Pertanyaan-pertanyaan
reflektif di atas sengaja saya tulis
untuk mencubit kesadaran-kritis kita
dalam menanggapi pelaksanaan ospek di lingkungan terdekat kita.
Para
panitia ospek yang mencoba membantu kita untuk membentuk dan memiliki identitas
yang kuat, yang otentik, justru, secara paradoks, malah membuat kita kehilangan
daya kritis dan menerima begitu saja apa yang diberikan (given). Sokrates, sekitar
2500 tahun lalu, telah memperingatkan kita mengenai sikap menerima-hal-yang-given-secara-naif me-lalui quote mahsyur miliknya (sebagaimana
dikutip oleh Platon, sang murid), “hidup yang tidak direnungkan adalah hidup yang tak layak untuk dijalani.” So?
Poin nomor tiga (3)
mengajak kita untuk memikirkan implikasi terakhir dari serangan virus turunan
ospek yang dibawa oleh para agennya, yaitu para panitia ospek (dan, lagi-lagi,
para dosen penanggungjawab).
Dengan
atmosfer yang sengaja diciptakan dan dikondisikan oleh para panitia
penyelenggara kegiatan ospek sedemikian rupa, yang terus-menerus mewariskan
virus “pengorbanan-diri” dan “pembalasan dendam terselubung”, mahasiswa baru (maba)
akan mencoba menipu-diri, mencoba membuat dirinya menjadi diri-yang-lain,
menghilangkan daya-daya kritisnya, agar mereka mampu mengikuti dan mematuhi
segala peraturan kegiatan ospek (mulai dari tingkat jurusan, fakultas, sampai
tingkat universitas).
Mahasiswa
baru (maba) yang pada awalnya ingin mengkritisi ospek, karena memahami atmosfer
ospek yang tidak akan menguntungkan dirinya, yang akan membekap dirinya
penuh-sesak, akan menjadi kerdil, menjadi takut dan lalu memasukkan dirinya ke
dalam massa (masses), mahasiswa baru
(maba) tersebut akan mengubah diri dan lalu menceburkan diri ke dalam lautan
kawanan, lautan mahasiswa kawanan, agar membuat dirinya sama dengan mahasiswa baru (maba) yang lain dan akan membuat dirinya aman-aman saja hingga
kegiatan ospek —yang didengung-dengungkan sebagai pencerahan (enlightenment)— selesai digelar.
Demikianlah
tiga poin penting yang kita telah coba bahas dengan berdiskusi dengan teks
Sumarwan, duet Horkheimer-Adorno, berdiskusi dengan keadaan sekitar, plus berdiskusi dengan diri kita
sendiri, yang menunjukkan beberapa keberatan kita terhadap ospek yang menjajah
kesadaran mahasiswa baru (maba) lewat hegemoni dan ideologi bekunya yang legal
miliknya.
Ospek dan Ambivalensi
Pada bagian ini kita akan
membahas kata “ambivalensi” yang hinggap dalam diri mahasiswa baru selama
kegiatan ospek berlangsung.
Ambivalensi?
Istilah aneh apa lagi ini? Secara sederhana, ambivalensi adalah percabangan dua hal yg saling bertentangan dalam
satu momen—mencintai sekaligus membenci atas suatu hal ataupun seseorang (dan sekelompok orang) dalam satu garis
lurus!
Setelah kita melakukan
penelusuran dan pembacaan sejak awal bagian dalam tulisan ini, menceburkan diri
ke dalam lautan negatif mengenai ospek, kita telah sampai pada pembahasan yang
menjadi implikasi-lanjut dari pelaksanaan ospek yang membawa virus turunan,
pelaksanaan ospek yang menindas kesadaran secara terselubung[9].
Mahasiswa baru (maba) yang selama
pelaksanaan ospek disodorkan oleh pelbagai peraturan yang berisi perintah “kamu harus” (dan tak boleh membalas “Aku mau”) akan mengalami, dalam dirinya,
suatu sikap yang ambivalen.
Ia, dalam kegiatan ospek,
sebenarnya ingin mengkritisi pelaksanaan ospek yang menjajah
kesadaran-kekritisan diri , ia membenci ospek yang menindas (entah secara
halus, entah secara kasar), namun karena para panitia ospek mencoba menyelimuti
kegiatan ospek yang bersimptom
penyakit ini dengan selubung emas nan luhur —kekeluargaan, kekompakan kelompok
(atapun angkatan), rasa kebersamaan, kreativitas, bekerja sama satu sama lain—,
sikap mahasiswa baru tersebut bercabang menjadi dua. Sikap yang saling
bertentangan satu sama lain: ambivalensi!
Ia membenci pelaksanaan ospek
yang penuh virus turunan
tersebut, namun ia mencintai kebersamaan bersama kawan-kawan mahasiswa lain. Ia
benar-benar berada di persimpangan jalan yang penuh godaan.
Ospek telah membentuk sikap yang
ambivalen bagi mahasiswa baru lewat penjajahan kesadaran dan hasrat.
Quo vadis
ospek?
Di bagian akhir tulisan ini saya
akan mencoba mengajak kita bertanya kembali, meninjau kembali gagasan-gagasan
pejal dalam isi kepala kita mengenai ospek.
Mau di bawa ke mana ospek yang
telah menjadi ritual sakral tahunan
ini? Akankah kita terus-menerus berkutat pada serangan penyakit turunan
ospek ini —penyakit penindasan kesadaran dan ambivalensi?
Di dalam tulisan ini saya tidak
hanya ingin membuat para panitia ospek perlu meninjau dan merefleksikan kembali
alur gagasan mengenai pelaksanaan ospek yang selama ini telah (dan tetap)
menindas mahasiswa baru, tetapi juga ingin mengajak para mahasiswa baru untuk
menjadi agen perubahan (the agents of
change) untuk mengembalikan semangat pencerahan ospek ke khittahnya, yaitu semangat antidominasi,
semangat perlawanan atas ospek yang, akhirnya kita harus simpulkan, telah
menjadi mitos.[10]
Well, semangat pencerahan dalam
ospek harus dibarengi oleh semangat antidominasi yang terus mempertanyakan diri
dan gagasan dalam diri secara kritis, terus-menerus menghargai dan merayakan yang liyan (orang lain; atau dalam
kesempatan ini mahasiswa baru dan para panitia ospek), terus-menerus
mendengarkan dan menanggapi kritik dari yang
liyan, terus-menerus melakukan pergerakan diri dan tarian-tarian yang terus
berubah secara aktif agar mencegah semangat pencerahan ospek berhenti seperti air yang menggenang.
Sumber Referensi:
Sumarwan,
“Odysseus, Mitos, dan Pencerahan: Bayang-bayang Nietzsche dalam Pemikiran
Horkheimer dan Adorno”, dalam Setyo Wibowo, A., dkk., Para Pembunuh Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hal. 55-67.
Horkheimer, Max and Theodore W. Adorno,
“Excursus I: Odysseus or Myth and Enlightenment”, in Horkheimer, Max and
Theodore W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, New York: The Continuum
Publishing Company, 1989, p. 43-80.
Sumber Internet:
Http://www.itb.ac.id/news/4213.xhtml (diakses pada 18/06/2014 pukul 22:34).
Http://news.liputan6.com/read/778200/foto-kekerasan-ospek-itn-malang-kembali-beredar (diakses pada 19/06/2014 pukul 00:43).
Http://www.tribunnews.com/regional/-2013/12/10/mahasiswa-baru-itn-disuruh-berhubungan-badan-saat-ospek (diakses pada 19/06/2014 pukul 00:56).
[1] Lih. Ardiyansyah, B.R.,
2014, “Diskusi MLI: Kupas Permasalahan
Hukum Ospek di Perguruan Tinggi Indonesia”, dalam Http://www.itb.ac.id/news/4213.xhtml (diakses pada 18/06/2014 pukul 22:34).
[2] Lih.Http://news.liputan6.com/read/778200/foto-kekerasan-ospek-itn-malang-kembali-beredar (diakses pada 19/06/2014 pukul 00:43). Dan lih.
juga Http://www.tribunnews.com/regional/-2013/12/10/mahasiswa-baru-itn-disuruh-berhubungan-badan-saat-ospek (diakses pada 19/06/2014 pukul 00:56).
[3] Saya
akan mengikuti pemaparan Sumarwan, dalam
artikelnya, “Odysseus, Mitos, dan Pencerahan: Bayang-bayang Nietzsche dalam
Pemikiran Horkheimer dan Adorno”, dalam Setyo Wibowo, A., dkk., Para Pembunuh Tuhan, Yogyakarta:
Kanisius, 2009, hal. 55-67, sembari mengecek terjemahan dari karya Horkheimer-Adorno,
Dialectic of Enlightenment (Dialektika
Pencerahan), tersebut dalam bahasa Inggris (ditranslasikan oleh John Cumming, 1989, New York: The Continuum
Publishing Company).
[4] Lih. Sumarwan, “Odysseus, Mitos, dan Pencerahan:
Bayang-bayang Nietzsche dalam Pemikiran Horkheimer dan Adorno”, ibid.
Hal. 56-57.
[5] Horkheimer
dan Adorno menulis, “The principle
of fatal necessity, which brings low the heroes of myth and derives as a
logical consequence from the pronouncement of the oracle, does not merely, when
refined to the stringency of formal logic, rule in every rationalistic system
of Western philosophy, but Itself dominates the series of systems which begins
with the hierarchy of the gods and, in a permanent twilight of idols, hands down an identical content:
anger against insufficient righteousness.” Lih. Horkheimer, Max and Theodore W. Adorno, Dialectic of
Enlightenment, New
York: The Continuum Publishing Company,
1989, hal. 11.
[6] Mengenai hal ini,
Horkheimer-Adorno menafsirkannya sebagai sebuah hubungan antara tuan yang
terikat (Odysseus) dan para buruh (para ABK) yang adalah bentuk awal dari
pembagian kerja masyarakat kapitalis. Lih. Sumarwan, ibid., hal. 62.
[7] Hal ini ditafsirkan oleh Horkheimer-Adorno sebagai ciri manusia pencerahan
yang mencoba memperkokoh identitas-diri, namun terjerat jejaring sistem-busuk
yang membuat manusia pencerahan tersebut kehilangan identitas-diri. Lih.
Sumarwan, ibid., hal. 63.
[8] Seperti yang ditulis oleh
Sumarwan dalam catatan kaki no. 17 dalam artikelnya, “Tertawa di satu sisi
menunjukkan kekuasaan atas orang yang ditertawakan, tetapi di sisi lain tertawa
juga membuat buta.”
[9] Kita bisa menghubungkan
penjajahan kesadaran terselubung dalam ospek ini dengan konsep ideologi Louis
Althusser, seorang pemikir kontemporer Perancis. Me-nurut Althusser, ideologi bergerak di ranah ketidaksadaran (unconsciousness), yang lalu membentuk ‘Kesediaan kultural’ dalam diri manusia yang
dijajah yang diwujudkan lewat pelbagai inilah aparatus
negara dalam bentuk ideologi. Salah satu efek dari ideologi dalam terang kegiatan ospek adalah naturalisasi kesadaran-diri yang ada nampak alamiah,
seolah sudah seharusnya demikian. Manusia, lalu, terancam menjadi robot-massa!
[10] Mitos yang seolah-olah
alamiah dan tak boleh dipertanyakan lagi dasar terciptanya. Perlu kita ingat bahwa
semangat pencerahan yang pada mulanya membawa semangat antidominasi, jika
kemudian kita malah membuat semangat pencerahan itu mandeg dan membeku dan lalu memeliharanya secara membuta, kita akan
mendapati semangat pencerahan itu berubah wujud menjadi mitos yang angkuh.
Tulisannya bagus. Lanjutkan nulis ya. Insyaallah di FH Unpad tahun ini tdk ada lagi praktik2 kekerasan (fisik &non-fisik) baik terhadap Maba maupun panitia.
BalasHapusBagus kak tulisannya tapi sekedar saran dalam pemilihan kata-katanya jangan yg terlalu tinggi/ribet, penulis yg baik itu membuat tulisan memposisikan seakan2 yg baca gak tau apa-apa sehingga kata dan kalimat yg dipakai mudah dicerna seluruh pembaca :)
BalasHapusOiya ini sekedar kutipan dari soe hok gie: "Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi."
Hello everyone we will show the latest news and the latest news on a cool and popular. We provide an updated information that comes with the new version on the website news.
BalasHapusAisha Populer News
Aisha News Internasional
Aisha News Nasional
Aisha News Regional
Aisha News Finance
Aisha News Lifestyle
Aisha News Hiburan
Aisha News Sport
Aisha News Teknologi
Medische Drug
Tips Manfaat dan Khasiat
Cara-cara Master Untuk Sehat
This web will tell da latest news updates with different styles on AishaNews.com please open and read the information.