Maret 2016 - LPPMD Unpad

Jumat, 11 Maret 2016

Misteri Supersemar dan Kebangkitan Gerakan Kiri


Sejak kemunculannya di tahun 1966, Supersemar masih menjadi perbincangan yang memicu perdebatan panjang hingga hari ini. Sebagian masyarakat menilai Supersemar sebagai salah satu tonggak peristiwa bersejarah di Indonesia. Mungkin saja tafsiran semacam ini muncul ketika melihat pengaruh Supersemar bagi tatanan sosial dan politik di Indonesiamasyarakat menilai Supersemar membuka jalan bagi era pemerintahan yang baru.
Saat itu kondisi ekonomi politik di Indonesia dalam keadaan tidak stabil, Demokrasi Terpimpin yang digaungkan oleh Sukarno menyeret Indonesia ke berbagai macam permasalahan. Rakyat seperti begitu tak sabarnya menanti perbaikan sistem pemerintahan yang berorientasi kesejahteraan rakyat. Di sisi lain, berbagai gejala politik-sosial yang mewarnai era Demokrasi Terpimpin membuat perhatian terhadap sektor ekonomi kian terkikis. Berbicara Supersemar dan masa transisi pemerintahan  adalah berbicara mengenai pertarungan ideologi politik di Indonesia.
Informasi terkait Supersemar yang muncul dalam berbagai versi menimbulkan distorsi sejarah tersendiri. Bahkan ketika Supersemar akan melewati peringatannya yang ke-50, distorsi Sejarah ini belum mampu juga menemukan penyelesaiannya. Kalau boleh dibilang, Supersemar sifatnya sangat politis di dalam sejarah dinamika Republik Indonesia. Unsur politis ini memiliki hubung-kait dengan distorsi sejarah yang ada, ketika penulisan sejarah diarahkan kepada kepentingan pemimpin kala itu. Celakanya, Sejarah yang dikisahkan kemudian menjadi cerita yang diterima di tengah masyarakat. Pun pada kenyataannya berbeda dengan peristiwa sejarah itu sendiri. Inilah yang terjadi dengan Supersemar dan pengkisahan di balik peristiwanya. Betapa hegemoni Orde Baru mampu menyajikan kisah sejarah yang bersifat tendensius terhadap suatu paham dan menafikan paham lain di satu sisi. Kita sedang berbicara pertarungan ideologi kiri dan ideologi Pancasila.
Supersemar, dalam beberapa versi, diyakini sebagai surat mandat yang diberikan oleh Presiden Sukarno kepada Suharto untuk memulihkan ketertiban dan keamanan Negara pascagejolak 30 September 1965. Dan perintah ini ditafsirkan oleh Suharto sebagai perintah pembubaran PKI dan organisasi yang berlandaskan ideologi komunis lainnya. Suharto rupanya menafsirkan seperti itu karena menilai keamanan akan tercapai hanya jika PKI dibubarkan. Suharto pun hanya terfokus pada poin pemulihan keamanan ini sajapoin kedua di dalam Supersemar, yang berisi perintah untuk melindungi keluarga Presiden beserta seluruh harta dan karyanya, tidak dipenuhi oleh Suharto. Selepas menafsir mandat Supersemar, ia kemudian mengeluarkan Surat Keputusan Presiden No. 1/3/1966 yang ditandatanganinya pukul 04.00 Sabtu, 12 Maret 1966. Ini adalah sebuah tindakan yang sangat berani, sekaligus tidak menghormati posisi Sukarno sebagai presiden kala itu.
Suharto pun menginisiasi aksi massa terkait Supersemar yang menjaring simpati dari rakyat, mahasiswa, dan para pemuda. Aksi yang digelar ini semakin memupuk keberanian Suharto untuk melakukan penyelesaian terhadap eksekusi golongan kiri di Indonesia. Selesai pembubaran, Presiden Sukarno yang dinilai dekat dengan (golongan) kiri pun disalip posisinya sehingga melalui rangkaian Sidang Umum MPRS tahun 1966, Suharto berhasil naik dan menggeser kekuasaan Sukarno. Dinamika politik yang terjadi kala itu menjadi catatan besar dalam sejarah perpolitikan Indonesia, mengingat Suharto merupakan orang biasa, namun pada akhirnya mampu menjatuhkan Sukarno yang telah memiliki nilai integritas di tengah kehidupan rakyatnya.
Hegemoni Suharto di masa Orde Baru membuat banyak penulisan sejarah tak sesuai dengan peristiwa yang sebenarnya, terutama peristiwa sejarah menjelang lengsernya Sukarno. Banyak terjadi perombakan alur pengkisahan yang disandarkan pada kepentingan Orde Baru dalam menjaga stabilitas dan pertahanan Negara, kalau tidak bisa dibilang sebagai upaya pembungkaman terhadap kebenaran.
Rakyat Indonesia menikmati cerita-cerita rekaan terutama dalam kisah pemberontakan 30 September, peristiwa yang menghantarkan Supersemar. Ketika rezim Suharto akhirnya tumbang—meski masih tersisa kelompok Orde Baru di masa Reformasi ini—sejarah yang dulu diyakini sebagai kebenaran mutlak perlahan mulai diragukan karena munculnya tulisan-tulisan yang mengungkapkan kisah dari perspektif yang berbeda. Golongan kiri mulai dapat bernapas lega ketika akhirnya Suharto lengser, karena pembungkaman akhirnya berakhir. Banyak aktivitas upaya pelurusan sejarah yang digalakan oleh aktivis kiri. Berakhirnya rezim Suharto seperti memberikan semangat bagi golongan kiri untuk melanjutkan pembangunan ideologi kiri di Indonesia. Dan, sebagian orang beranggapan, aktivis kiri dapat membantu pelurusan sejarah yang selama ini dibelokkan oleh kepentingan Orde Baru.
Permasalahan dalam hal ini saya pikir adalah mengenai historiografi atau penulisan sejarah. Memang betul, adagium yang menyatakan “Sejarah adalah milik pemenang”, hal ini terbukti dari kendali Suharto atas setiap penulisan sejarah yang diterbitkan. Akan tetapi, hari ini banyak upaya untuk meluruskan sejarah yang digalakkan berbagai pihak, terutama golongan kiri, yang memiliki banyak singgungan dengan pembelokan sejarah yang dilakukan semasa Orde Baru. Ini dapat menjadi momentum kebangkitan gerakan kiri—mengingat pertarungan politik di Indonesia adalah tentang pertentangan golongan kiri melawan golongan di luarnya.

Ucu Feni (Sekretaris Umum LPPMD Unpad 2015-2016, mahasiswi Ilmu Sejarah 2014)

Rabu, 09 Maret 2016

Krisis Ekologi dan Tragedi Komoditas

Dewasa ini kita hidup dalam era krisis ekologi, yang merupakan akibat langsung dari tindakan manusia. Para ilmuwan alam masih berdebat apakah masa historis dewasa ini seharusnya disebut Antroposen[1], untuk menandai sebuah periode dimana aktivitas manusia menjadi pendorong utama dalam perubahan ekologi global.[i]

Pada mulanya, diusulkan bahwa  zaman (epoch) baru ini, berhubungan dengan kemunculan kapitalis modern dan perkembangan industri, dimulai sejak abad kedelapan belas. Imperatif perkembangan dari kapitalisme, sebagaimana perubahan sosio-kultural lainnya, merupakan faktor utama yang menghasilkan masalah-masalah lingkungan yang utama, yang memuncak dalam bentuk krisis ekologi.[ii]

Telah menjadi semakin jelaslah bahwa manusia sedang menghadapi sebuah krisis eksistensial. Penulis dan aktivis lingkungan Bill McKibben menjelaskan:
Bumi sudah berubah dengan cara-cara yang begitu mendalam, lewat cara-cara yang telah membawa kita keluar dari tempat nyaman yang di dalamnya manusia sejak lama tumbuh-baik.... Dunia belum berakhir, kecuali dunia yang sebagaimana kita ketahui—sekalipun kita belum sungguh-sungguh mengetahuinya. Kita membayangkan bahwa kita masih hidup di atas planet tua itu, bahwa guncangan-guncangan yang kita lihat di sekeliling kita adalah macam-macam hal lama yang ganjil dan acak. Tetapi tidak demikian. Ia merupakan tempat yang berbeda. Sebuah planet yang berbeda.... Ini merupakan salah satu momen langka, awal dari sebuah perubahan yang jauh lebih besar dan sempurna ketimbang apapun yang dapat kita baca dalam catatan sejarah manusia, sejajar dengan bahaya-bahaya terbesar yang dapat kita baca dalam catatan sejarah perihal batu dan es.[iii]

Banyak masalah ekologi modern dirujuk sebagai sebuah tragedi kepemilikan bersama[2] (tragedy of the commons), sebuah konsep yang dikembangkan oleh Garrett Hardin pada tahun 1960-an untuk menggambarkan eksploitasi-berlebihan atau perampasan (despoliation[3]) sumber daya alam.[iv] Kami berpendapat bahwa masalah ekologi modern tersebut berhubungan dengan tragedi komoditas. Ketika kami menggunakan dengan seksama konsep Hardin, pendekatan ini menawarkan, menurut kami, sebuah analisis mengenai poros-penggerak degradasi ekologi yang terapropriasi secara historis dan jauh lebih komprehensif.

Ilustrasi klasik mengenai tragedi kepemilikan bersama yang digunakan oleh Hardin melibatkan dinamika penggembala dan ternaknya. Ia menegaskan bahwa masing-masing penggembala akan bertindak terutama menurut kepentingannya sendiri dengan menambahkan ternak tambahan ke lahan penggembalaan umum (common grazing land), ketika lahan tersebut mampu meningkatkan keuntungan individual. Karenanya, Hardin berpendapat, masing-masing penggembala mencoba untuk mendapatkan manfaat-manfaat yang ditawarkan oleh yang-umum (the commons), sementara memasyarakatkan ongkos untuk semuanya. Sebagai contoh, dengan menambahkan hewan tambahan ke padang rumput penggembala memperoleh semua manfaat, tetapi hanya membayar sebagian kecil biaya lingkungan, seperti penipisan lahan penggembalaan. Masing-masing aktor, didorong oleh maksimalisasi keuntungan individual, yang memasukkan, dengan kecenderungan peningkatan di dalamnya, ternak-ternak ke dalam sebuah sistem sumberdaya terbatas, akan menyebabkan destruksi lahan yang tragis. Dalam hal ini Hardin berkesimpulan bahwa “kebebasan dalam yang-umum (kepemilikan bersama, pen.) membawa kehancuran bagi semua.”[v] Bagi Hardin, dan juga bagi orang-orang yang mengambil perspektif ini, memperluas milik-pribadi ditawarkan sebagai sebuah solusi kebijakan yang terdepan untuk menghindari tragedi-tragedi ekologi.[vi]

Teori tragedi kepemilikan bersama menjelaskan perilaku aktor individu di dalam keadaan sosial yang terberi (given). Meskipun demikian, teori tersebut tidak membahas bagaimana kondisi-kondisi historis dan sistem sosio-ekonomi memengaruhi para aktor individu. Dengan perkataan lain, konteks sosial yang ada diterima begitu saja (taken for granted). Kondisi dan relasi sosial yang ada dianggap sebagai yang selalu-kekinian, universal dan permanen. Model ini lalai untuk mengakui bahwa interaksi dan pertukaran manusia dengan sistem-sistem ekologi berubah melalui waktu dan diatur oleh kondisi-kondisi institusional khusus. Ketika diperiksa dari perspektif sosiologis, teori tragedi kepemilikan bersama bersifat simplistik dan berat sebelah dalam upaya menjelaskan perilaku sosial manusia, atau agensi manusia, tanpa sebuah pemahaman yang seksama atas organisasi sosial-historis.[vii] Simplifikasi ini menghasilkan sebuah mistifikasi atas sistem produksi dan konsumsi modern dan atas efek ekosistem tertentu yang historis.

Berlawanan dengan itu, pendekatan tragedi komoditas (the tragedy of the commodity approach) menekankan peran dari imperatif perkembangan kapitalisme dan komodifikasi dalam menghasilkan aturan-aturan institusional yang olehnya alam dan, misalnya, yang-umum (kepemilikan bersama, the commons, pen.) diatur dan secara historis ditransformasikan. Sistem-sistem ekologi tidak pernah sama sekali bebas dari pengaruh-pengaruh sosial. Sebaliknya, sistem-sistem ekologi tersebut dibentuk oleh kondisi-kondisi sosial termasuk di dalamnya norma, tradisi, aturan ekonomi, organisasi kerja, tatanan politico-legal, dll.[viii] Aksi-aksi sosial yang telah muncul bersamaan dengan perkembangan kapitalis didominasi oleh apa yang Adam Smith sebut “kecenderungan untuk mengangkut, membarter, dan menukar,” sesuai dengan utilitarianisme-bersahaja, dimana individu-individu mengikuti kepentingan-diri murni tanpa pembatas sosial. Sungguh sial, secara tidak tepat aksi-aksi tersebut seringkali dianggap berasal dari perilaku bawaan manusia (innate).[ix] 

Dengan demikian, apa yang mungkin menampak kepada pengamat sambil-lalu menjadi sebuah sistem yang diatur oleh ketamakan dasariah dan insting manusia, pada kenyataaannya, diatur oleh dorongan atas akumulasi kapital (modal, pen.) dan apa yang Immanuel Wallerstein sebut “komodifikasi progresif atas segala sesuatu” (“commodification of everyting”).[x] Di antara hasil-hasil yang lain, proses komodifikasi menghasilkan sebuah tatanan metabolis sosial—simpangan dan hubungan timbal balik sosio-ekologis—yang menciptakan konsekuensi-konsekuensi sosial dan ekologi yang berkelanjutan.

Di dalam sebuah masyarakat yang diatur dalam lingkaran logika kapital, aktivitas-aktivitas manusia cenderung diarahkan menuju produksi komoditas. Dalam hal ini, kapitalisme dapat dipahami, dalam artian yang luas, sebagai sebuah sistem produksi komoditas yang umum. Susunan institusional menghasilkan susunan sosial khusus dan menimbulkan tipe-tipe aksi sosial manusia yang berbeda-beda. Komoditas berfungsi sebagai unit dasar untuk memahami relasi kultur-natur (kebudayaan-alam, pen.) yang lebih besar dan juga untuk memahami kapitalisme itu sendiri. Komoditas merupakan elemen dasar dari proses pasar kapitalis.

Alam merupakan sumber esensial dari nilai-pakai, atau kegunaan kualitatif dari barang. Sebagai contoh, sistem biogeokimiawi bumi menyediakan syarat-syarat dan cara-cara yang mumungkinkankan adanya produksi makanan. Karl Marx menekankan bahwa di bawah relasi kapitalis, alam dilihat sebagai hadiah cuma-cuma; alam tidak dianggap sebagai bagian dari kekayaan.[xi] Ia dengan amat baik menjelaskan hal ini berdasarkan sebuah “formula umum kapital”—dengan mana kapital dipahami sebagai “transformasi kapital-sebagai-uang ke dalam kapital-sebagai-komoditas secara terus-menerus, yang diikuti oleh sebuah transformasi-ulang kapital-sebagai-komoditas ke dalam kapital-sebagai-uang (lagi).”[xii] Sekalipun nilai-pakai menyatakan sifat yang berguna dari sebuah barang atau jasa, adalah nilai-tukar, atau nilai-pasarlah yang hanya mengetahui peningkatan kuantitatif dan menggerakkan aktivitas ekonomi kapitalis.

Uang yang dimasukkan ke dalam sirkulasi agar kembali menjadi uang (keuntungan, pen.), kuantitas untuk kuantitas, “daya penggerak dan pendorongnya, karenanya, adalah nilai-tukar.”[xiii] Dengan demikian, kapital meluas secara konstan ke dalam kapital yang lebih banyak, yang didorong oleh nilai-lebih atau laba, yang merupakan “hukum absolut dari modus produksi ini.”[xiv] Di bawah logika ini, uang mendominasi organisasi sosial dan hubungan alamiah. Menunjukkan kemeresapan (pervasiveness) dari logika ini, Karl Polanyi mengatakan, “Semua transaksi diubah ke dalam transaksi uang.”[xv] Munculnya pasar yang mencakup-semua (all-encompassing) dan swatata (self-regulating) mencerabut aktivitas praktis manusia dari fondasinya di dalam kondisi-kondisi sosiokultural dan lingkungan yang lebih luas. Aktivitas pasar yang diatur oleh produksi komoditas demi akumulasi kapital tak berujung memperoleh daya-dorong tak tertahankan dari “proses alam.”[xvi] Karena itu, organisasi aktivitas produksi dan konsumsi secara fundamental ditransformasikan dari pertukaran kualitas ke dalam pertukaran kuantitas. Alienasi dari satu sama lain dan alam meningkat, sebagaimana relasi kualitatif dari produksi dan metabolisme alam universal dimasukkan ke dalam imperatif perkembangan kuantitatif dari kapitalisme dan kultur kuantitas.[xvii] Tegangan fundamental antara keniscayaan ekspansi kuantitatif untuk menopang relasi ekonomi dan konsekuensi-konsekuensi ekologi yang berkelanjutan secara kualitatif ini menandai ciri khas krisis ekologi modern dan tragedi komoditas.

Kapital cenderung menyederhanakan proses-proses alam dan ekosistem-ekosistem yang ada, menekankan sebuah pembagian atas alam untuk meningkatkan efisiensi ekonomi. Kapital mengarahkan siklus hidup tanaman dan hewan ke dalam siklus pertukaran ekonomis. Relasi sosial kualitatif—seperti penggunaan subsisten (sekadar menyambung hidup, pen.) dalam sebuah ekosistem—bukanlah bagian dari sistem perhitungan kapitalis dan dapat mengidap bermacam bentuk destruksi sebagai akibatnya. Nilai-pakai, seperti cara-cara kualitatif untuk memenuhi kebutuhan hidup, dibatasi oleh sifat-sifat biofisik yang  terberi. Berlawanan dengan itu, tidak ada batas bagi ukuran kekayaan kuantitatif. Dengan kata lain, meningkatkan laba pada investasi tidak memiliki akhir, namun kebutuhan manusia yang nyata dibatasi oleh batas-batas material tertentu yang dapat diketahui.
Dorongan yang tanpa henti untuk akumulasi yang melekat dalam produksi komoditas kapitalis meningkatkan metabolisme sosial. Hal tersebut mengakibatkan penipisan sumberdaya secara lebih cepat, berasal dari meningkatnya permintaan untuk bahan-material, dan generasi yang menghasilkan lebih banyak limbah. Hal tersebut mendegradasi syarat-syarat yang menyokong ekosistem yang kokoh. Sistem kapitalis menciptakan banyak kontradiksi antara alam dan komoditas; sistem tersebut memperdalam dan menciptakan retakan ekologi.[xviii]

Jalan ke depan, menuju sebuah dunia yang lebih berkelanjutan, membutuhkan perubahan radikal dalam kondisi sosial yang telah secara historis membentuk sistem produktif dan konsumsi kapitalisme. Tindakan kolektif harus merebut kembali yang-umum (commons) bagi publik dan meletakkannya dalam kontrol orang yang paling dekat berinteraksi dengannya dan bergantung padanya demi kesejahteraan masyarakat. Agar tercapai, tindakan-tindakan ini harus (sebagai akibatnya) mendekomodifikasi alam. Yang-Umum (apa-apa yang ada di alam yang menjadi kepemilikan bersama, seperti atmosfer, oksigen, air. Bahasa Inggris: Commons—Pen.) harus didesentralisasi dan didemokratisasi, ketimbang, dalam pandangan neoliberal yang baku, diprivatisasi. Lahan pertanian dan perikanan harus diatur secara sosial untuk meningkatkan bahan makanan dan kesehatan. Hutan harus dinilai sebagai cadangan biodiversitas, air bersih, dan kebudayaan. Aktivitas ekonomi harus tertanam di dalam masyarakat sebagai suatu keseluruhan dan metabolisme universal dari dunia biofisik, yang memperkenankan keberlanjutan proses-proses reproduktif, siklus nutrien, dan aliran energi yang menyokong semua kehidupan. Masyarakat-manusia harus mentransendensi logika kapital, menciptakan tatanan metabolis sosial yang baru yang meningkatkan kualitas kehidupan dan memperbesar potensi pengembangan ekologi dan kebebasan manusia universal.

Baru-baru ini, Paus Fransiskus menyoroti apa yang kita sebut tragedi komoditas. Dalam ensiklik[4]-nya yang dipublikasikan—mengenai lingkungan—ia menyebut “efek tragis dari degradasi lingkungan.” Dia melanjutkan dengan mengatakan: “Dimana laba sendiri yang dihitung, tidak dapat ada pemikiran mengenai irama alam, fase-fase pembusukan dan regenerasinya, atau kompleksitas ekosistem yang mungkin diganggu oleh intervensi manusia. Lebih lanjut, biodiversitas dianggap paling-paling sebagai deposit dari sumberdaya ekonomi yang tersedia untuk dieksploitasi, tanpa pemikiran serius mengenai nilai riil dari hal-ihwal, signifikansinya untuk orang-orang dan kebudayaan, atau perhatian dan kebutuhan orang-orang miskin.”[xix] Ia berpendapat bahwa sebuah “revolusi kebudayaan” dibutuhkan untuk mengatasi krisis ekologi.

Menariknya, Paus Fransiskus membatasi tanggapan-sarannya kepada revolusi kebudayaan ketika jelas di dalam seluruh dokumen tersebut dimana ia sedang menggambarkan masalah politiko-ekonomi. Kami setuju bahwa sebuah pendekatan revolusioner diperlukan untuk mengatasi krisis ekologi. Tak ada jalan pintas yang cukup untuk menantang tragedi komoditas ini.
***

Stefano B. Longo dan Brett Clark
(Penerjemah: Aldo Fernando)

Esai ini berdasarkan pada buku baru Stefano B. Longo, Rebecca Clausen dan Brett Clark yang berjudul The Tragedy of the Commodity: Oceans Fisheries and Aquaculture, yang diterbitkan oleh Rutgers University Press (2015).
tragedycommodity

Stefano B. Longo, Ph.D adalah seorang Assistant Professor Sosiologi di North Carolina State University.Brett Clark adalah seorang associate professor sosiologi dan sustainability studies di University of Utah. Beberapa KaryanyaThe Science and Humanism of Stephen Jay Gould (with Richard York), The Ecological Rift (with John Bellamy Foster and Richard York), and Critique of Intelligent Design: Materialism versus Creationism from Antiquity to the Present (with John Bellamy Foster and Richard York).
Aldo Fernando (Nasir) adalah Ketua Umum LPPMD Unpad perioder 2015-2016. Ia adalah seorang mahasiswa agroteknologi semester enam di Fakultas Pertanian Unpad. Bisa dihubungi lewat twitter (@aldofernandons) dan di surel (aldo.path@gmail.com).







[1] Antroposen (Anthropocene) adalah periode kala geologi terkini yang di dalamnya tindakan manusia memiliki pengaruh global terhadap sistem biosfer, hidrologi, geologi, atmosfer yang ada di bumi. Kata tersebut merupakan kombinasi antara  akar kata “anthropo”, yang berarti “manusia” dengan akar kata “-cene”, akhiran (sufiks) baku untuk “zaman” dalam waktu geologi. Antroposen dibedakan sebagai periode baru baik setelah atau di dalam Holosen (Holosen), zaman terkini, yang dimulai kira-kira 10.000 tahun lalu (sekitar 8000 SM)—akhir dari zaman es akhir. Sumber:  http://www.anthropocene.info/ diakses pada 09/03/2016 pukul 14:47 WIB (Catatan penerjemah: Aldo Fernando Nasir)
[2] Berikutnya, dalam beberapa bagian, istilah The Commons saya alihbahasakan menjadi Yang-Umum (Catatan Penerjemah)
[3] Berasal dari Late Latin dēspoliātiō, dēspoliātiōn-, dari Latin dēspoliātus, bentuk past participle dari dēspoliāre, to despoil. Sumber: www.thefreedictionary.com/despoliation (diakses pada 09/03/2016 pukul 15:36 WIB) (Catatan penerjemah)
[4] Surat edaran atau pesan tertulis dari Paus kepada semua uskup yang sifatnya umum, berisi masalah penting dalam bidang keagamaan atau bidang sosial (KBBI—Cat. Penerjemah).




Catatan Akhir:

[i] Paul J. Crutzen, “Geology of Mankind,” Nature 415, no. 6867 (2002): 23; Jan Zalasiewicz et al., “The New World of the Anthropocene,” Environmental Science & Technology 44, no. 7 (2010): 2228-31.
[ii] Will Steffen et al., “The Anthropocene: Conceptual and Historical Perspectives,” Philosophical Transactions of the Royal Society 369, no. 1938 (2011): 842–67.
[iii] Bill McKibben, Eaarth: Making Life on a Tough New Planet (New York: Times Books, 2010), 2-3.
[iv] Garrett Hardin, “The Tragedy of the Commons,” Science 162, no. 3859 (1968):
1243–1248.
[v] Hardin, “The Tragedy of the Commons,” 1244.
[vi] Para ahli teori tragedi kepemilikan bersama juga mengakui potensi dari aksi dan pengelolaan negara sebagai penataan alternatif untuk memajukan konservasi sumberdaya. Lih. Elinor Ostrom et al., The Drama of the Commons (Washington, DC: National Academies Press, 2002).
[vii] Bonnie J. McCay and Svein Jentoft, “Uncommon Ground: Critical Perspectives on Common Property” in Human Footprints on the Global Environment: Threats to Sustainability, ed. Eugene A. Rosa et al. (Cambridge, MA: MIT Press, 2010), 207.
[viii] Thomas Dietz et al., “The Struggle to Govern the Commons,” Science 302, no. 5652 (2003): 1907–1912; Elinor Ostrom et al., “Revisiting the Commons,” Science 284, no. 5412 (1999): 278–282.
[ix] Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, 2 Volumes (London: Methuen & Co., 1930); Karl Marx, Capital, Vol. 1 (New York: Vintage, 1976); Karl Polanyi, The Great Transformation (Boston: Beacon Press, 2001).
[x] Immanuel Wallerstein, Historical Capitalism with Capitalist Civilization (London: Verso, 1983).
[xi] [11]. John Bellamy Foster, Brett Clark, and Richard York, The Ecological Rift: Capitalism’s War on the Earth (New York: Monthly Review Press, 2010).
[xii] Robert L. Heilbroner, The Nature and Logic of Capitalism (New York: W. W. Norton, 1985), 36.

[xiii] Marx, Capital, Vol. 1, 250.
[xiv] Ibid., 769.

[xv] [15]. Polanyi, The Great Transformation, 44.
[xvi] Ibid., 132.
[xvii] István Mészáros, Marx’s Theory of Alienation (London: Merlin Press, 1986), 35.
[xviii] Brett Clark and Richard York, “Rifts and Shifts: Getting to the Roots of Environmental Crises,” Monthly Review 60, no. 6 (2008): 13–24.
[xix] Pope Francis, Encyclical Letter Laudato Si’ of the Holy Father Francis on Care for Our Common Home (Vatican Press, 2015), 12, 139.