Februari 2016 - LPPMD Unpad

Sabtu, 27 Februari 2016

Dukungan Kepada Diskusi yang Dibubarkan (Khususnya BelokKiri.Fest)

Ditulis oleh: Aldo Fernando (Ketua Umum LPPMD Unpad 2015-2016)

Melarang pemikiran-pemikiran, pendapat-pendapat, dikusi-diskusi, forum-forum, atau acara-acara yang berbau kiri dengan dalih membangkitkan komunisme, mengadu domba, berupaya menghancurkan kesatuan pemuda Indonesia, dan sebagainya tanpa kajian yang mendalam hanya akan menunjukkan gejala kemalasan berpikir, prasangka-prasangka yang menguasai nalar-jernih, pola pikir ahistoris (yang tidak kritis) orang-orang  atau sekelompok orang yang mendaku diri sebagai penentang gerakan kiri di Indonesia. Dilarangnya acara BelokKiri.Fest diadakan di Taman Ismail Marzuki adalah salah satu contoh. Untung saja acara tersebut bisa berlangsung saat ini di tempat yang berbeda, yakni di LBH Jakarta.
Jauh sebelumnya, pada masa 1965-1967, kita telah disuguhkan oleh pembantaian manusia besar-besaran, pembantaian atas sebangsa kita sendiri, karena dituduh terlibat dalam peristiwa kudeta (yang katanya ,dilakukan oleh PKI beserta pendukungnya) dengan pelbagai macam dalih, termasuk di dalamnya dlih pembunuhan ekstra-yudisial dari negara. Kita memiliki ingatan-kolektif yang sangat kelam. Negara masih menyimpan dosa besar dalam hal ini hingga hari ini. Setelah  bentuk propaganda anti-komunisme Rezim Jagal Soeharto berhasil merasuki pola-pikir masyarakat kita selama 32 tahun, saat ini kita menyaksikan gerakan antikomunisme (yang termasuk di dalamnya, anti-kiri) mulai menunjukkan peningkatan aktivitasnya. Saya khawatir akan kenyataan ini. Saya khawatir sisa-sisa nafas Orba masih mampu memegang pisau kebencian dan dengan mata tertutup dan lalu pikiran yang tidak jernih menancapkannya ke sembarang orang atau kelompok yang dituduhnya komunis.
Saya melihat peristiwa pelarangan BbelokKiri.Fest sebagai upaya pengekangan kebebasan berpendapat dan berkumpul yang selama ini telah menjadi bagian dari demokrasi itu sendiri. Padahal, proses demokratisasi, upaya pendalaman demokrasi itu sendiri dapat tercapai dengan membuka ruang publik sebesar-besarnya, yang di dalamnya pelbagai kelompok dapat memperjuangkan ideal-idealnya.
Saya mewakili, LPPMD Unpad (Lembaga Pengkajian dan Pengabdian Masyarakat Demokratis Unpad), menyatakan dukungan terhadap BelokKiri.Fest dan juga termasuk segala upaya pelurusan sejarah kelam Indonesia (Gestok/G30S), segala upaya pencerdasan dan aktivitas emansipatoris dari kaum kiri. Harapan saya dan kawan-kawan LPPMD Unpad begini: dengan semakin giatnya aktivitas kaum kiri yang progresif dan emansipatoris, kita akan mampu berkontribusi terhadap pelurusan sejarah kita, menentang rezim yang keras terhadap ide-ide kritis dan akan melakukan upaya mengubah status quo dan, mengutip komite BelokKiri.Fest, mampu “mengembangkan suatu posisi kritis terhadap dehumanisasi akibat penghisapan dan penindasan kapitalisme.”

Friedrich Nietzsche pernah menulis begini: “ Cara paling ampuh untuk merusak anak muda adalah menyuruhnya menjunjung tinggi mereka yang berpikir sama ketimbang mereka yang berpikir berbeda.”

Rabu, 17 Februari 2016

Pendidikan Bukan untuk Eksklusivitas


Oleh: Annadi Muhammad Alkaf (Kepala Divisi Pendidikan LPPMD UNPAD)


Dalam Sosiologi dikenal istilah stratifikasi sosial, yaitu pembagian masyarakat berdasarkan kelas-kelas. Terdiri dari kelas atas, kelas bawah, dan kelas menengah (Pitirim A. Sorokin). Stratifikasi sosial sendiri bisa diperoleh secara alami ataupun melalui usaha-usaha. Salah satunya adalah melalui jalur pendidikan.
Idealnya, seorang terpelajar yang berpendidikan tinggi akan lebih dipercaya dalam masyarakat karena dianggap memiliki ilmu pengetahuan yang mumpuni. Orang yang terpelajar juga akan dianggap lebih bijaksana dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya tersebut sehingga pendapat, masukan, ataupun kata-katanya akan lebih didengarkan oleh masyarakat umum. Seorang terpelajar akan lebih dihormati dalam masyarakat.
Tapi, itu jika kita berbicara keadaan ideal. Sayangnya, kenyataan tidak selalu menunjukkan hal demikian. Tidak semua memang, tapi ada saja—jika tidak dibilang banyak—orang-orang atau individu yang telah mengenyam pendidikan (formal) tinggi namun justru menjadikannya semakin jauh dari masyarakat.
Sering kita temui orang-orang terpelajar dengan prestasi gilang-gemilang dalam bidang akademik, pandai berbahasa asing, dan lain-lain tapi cenderung memisahkan diri dalam pergaulan. Membentuk kelompok sendiri, eksklusif! begitu kesannya. Baiklah, sampai disini mungkin pendapat saya terlalu subjektif, tanpa didukung dengan data-data berupa sederetan angka dalam tabel atau grafik. Tapi saya yakin, banyak dari kita melihat hal yang sama ditengah-tengah masyarakat hari ini.
Yang kemudian menjadi persoalan bukanlah semata-mata bagaimana cara mengubah atau menghilangkan orang-orang eksklusif semacam itu, tapi mari kita berkaca pada diri sendiri terlebih dahulu. Apakah diri ini sendiri telah benar-benar membaur dan menyatu dengan masyarakat? Sebaiknya jangan terlalu terburu-buru menjawab pertanyaan ini. Ada bagusnya, untuk membantu menjawab pertanyaan tersebut kita renungkan beberapa hal.
Pertama, seberapa banyak waktu yang kita gunakan dengan hanya berkutat pada tugas-tugas sekolah atau kampus? Lalu, seberapa banyak waktu pula yang telah kita gunakan cuma untuk mengurusi berbagai kegiatan sekolah atau kampus? Berapa banyak waktu yang kita habiskan untuk sekadar nongkrong bersama teman-teman sekelas di kafe-kafe mahal? Atau seberapa banyak waktu yang kita habiskan bersama pacar, misalnya? Jangan-jangan selama ini kita hanya sibuk dengan kegiatan sendiri, tanpa menyadarinya. Asik dengan lingkaran pertemanan sendiri, juga tanpa menyadarinya. Terpisah dengan masyarakat pada umumnya.
Sampai disini, boleh jadi tujuan pendidikan itu justru tidak tercapai. Seperti yang tercantum di dalam UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II pasal 4 dikemukakan bahwa Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Pertanyaannya pun sederhana, bagaimana bisa mencerdaskan kehidupan bangsa atau memberantas kebodohan di masyarakat jika golongan kaum terpelajar justru meng-eksklusif-kan diri atau tanpa sadar asik dengan lingkaran pergaulannya sendiri. Maka dari itu, perlu jua kiranya  hal ini untuk direnungkan sebagai sarana refleksi diri.
Sebagai penutup, saya ingin mengutip kata-kata dari Tan Malaka, beliau pernah berkata: “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali!”
Salam.