Desember 2021 - LPPMD Unpad

Minggu, 26 Desember 2021

Mendobrak Konstruksi Gender ala Lily Elbe: Memahami Dampak Dikotomi Biner Gender Terhadap Mereka yang 'Melawan Kodrat'

Ditulis oleh: Adinda Ghinashalsabilla Salman*



"He may have known who I was, but I wasn’t always me. There was a moment where I was just lily"

– Einar Weigener, The Danish Girl.

The Danish Girl merupakan film drama-biopic yang menceritakan transformasi serta perjuangan Lily Elbe (sebelumnya Einar Wegener), pelukis dan transgender Denmark, pada tahun 1920-an. Film yang terinspirasi dari kisah nyata ini tayang pertama kali pada tahun 2015 di Cannes Film Festival dan berhasil masuk nominasi pada BAFTA Awards for Best British Film. Film ini sendiri diperankan oleh beberapa aktor ternama seperti Eddie Redmayne, Alicia Vikander, serta Amber Heard. 

Berlatar belakang kota Kopenhagen pada tahun 1920-an, The Danish Girl membawa kita masuk ke kehidupan pelukis Denmark Einar Wegener (yang selanjutnya adalah Lily) bersama istrinya yang juga seorang pelukis, Gerda. Rising action pada film ini muncul ketika suatu hari sang istri, seniman yang kurang diakui lingkunganya,  meminta Einar untuk menggantikan Ulla sebagai model perempuan dalam lukisanya. Saat itu Einar diharuskan mengenakan pakaian perempuan dan di beberapa kesempatan kemudian menyusup ke pesta dengan identitas perempuan bernama ‘Lily’ “untuk bersenang-senang” atas bujukan isterinya. Konflik akhirnya muncul ketika Einar justru semakin lama semakin nyaman dengan identitas barunya yakni ‘Lily’, Einar versi perempuan yang mengenakan stoking, dress, dan wig palsu. Setelah kejadian itu, Einar yang diperankan Eddie Redmayne, merasa bahwa dirinya adalah perempuan yang terjebak di tubuh yang salah. Sepanjang film perjuangan demi perjuangan pun dilakukan Einar Wegener untuk bisa menjadi ‘Lily’ seutuhnya.

Kontruksi Gender, Cross Dressing, dan ‘Lily’ 

The Danish Girl menampilkan kepada kita dampak dari dikotomi biner terhadap gender. Mereka yang tidak fit in kepada salah satu oposisi biner dari sistem gender yang ada harus mendapatkan tantangan penolakan dari masyarakat, bahkan dari orang-orang terdekat. Pandangan ini mungkin disebabkan oleh adanya pemikiran bahwa kita terlahir, secara kodrat, dengan kategori tertentu: laki-laki atau perempuan (sex), maskulin atau feminin (gender). Padahal, jati diri kita tidak terletak pada ‘born with’ tetapi ‘to be’.  Ketika dilahirkan Lily Elbe (sebelumnya Einar Wegener) dikenalkan dengan gender yang maskulin sepanjang hidupnya. Ketika akhirnya ia menemukan dan mempelejari bahwa ia memiliki ‘diri’ yang tak sesuai dengan apa yang telah di assign sejak lahir, dunia sekeliling pun menolak. Mulai hampir diborgol untuk dikirim ke rumah sakit jiwa, mengalami konflik dengan istrinya, hingga dianggap melawan kodrat, ketidakadilan hadir bagi einar. Seseorang yang tidak ‘confirm’ terhadap sesuatu yang di konstruksikan oleh sistem yang ada dianggap melawan kodrat dan jauh dari segi normal.

Film ini juga turut menampilan upaya-upaya Lily mendobrak dan mencari upaya menghidupkan Lily. Dalam film kita bisa melihat bagaimana Lily berusaha untuk menjadikan busana sebagai medium ekspresi atas gender yang ia identifikasi dalam diri. Dalam film juga kita bisa dengan jelas melihat bagaimana ia merasakan kenyamanan ketika ia berbusana dalam pakaian perempuan ketimbang pada saat ia mengenakan pakaian laki-laki.  Meskipun begitu, busana sebagai medium pengasosiasian bukan hanya sekedar bentuk cross dressing, ini merupakan jalan bagi Lily untuk perlahan-lahan merubah identitas yang dulu dilekatkan kepadanya dan jalan pembuka untuk mengekpresikan diri yang baru. Dengan medium busana ini, ia berusaha menghidupkan ‘Lily Elbe’.





Hans Axgill dan Lukisan Fjele Fjord

 

sejauh ini penulis berpendapat film The Danish Girl sudah cukup bagus untuk membantu kita merefleksikan bagaimana konstruksi gender di masyarakat bekerja dan apa dampaknya bagi mereka-mereka yang tidak masuk kedalam sistem tersebut. Meskipun, penulis merasa ada beberapa keganjilan dalam struktur cerita.

 

Misalnya ketika, film ini diawali dengan Einar (yang selanjutnya adalah Lily) memandangi lukisanya dalam-dalam. Lukisan yang merupakan gambaran kampung halamanya ini seakan memberi tanda sebagai sebuah kunci penting sepanjang cerita. Rasanya sebagai penonton, ada keterkaitan yang tidak biasa antara kampung halaman Einar dengan dirinya. Sampai pada akhirnya di cerita hal ini dikonfirmasi lewat pengakuan  bahwa ‘Lily’ sudah ada semenjak dulu, di Vejle Fjord, semenjak ia bertemu cinta masa kecilnya Hans Axgill.  Sayangnya, kedatangan Hans Axgill pada babak-babak terakhir film seperti kunci atas pencarian Lily selama ini justru tidak menambah apa-apa kedalam narasi cerita. Pada akhir cerita, setelah berusaha membantu Einar melakukan operasi jenis kelamin, Hans Axgill justru menjalin romansa dengan Gerda. Hal ini cukup mematahkan narasi cerita semenjak awal dan meninggalkan kesan terlalu memaksa, menggantung dan ganjil disatu sisi.

 

Akhir kata, sejauh mana film ini sudah cukup merepresentasikan LGBT-Q tentu bisa menjadi bahasan lain dan perdebatan tersendiri. Namun setidaknya, The Danish Girl sudah cukup berhasil membawakan kisah nyata Lily Ilse Evenes ke layar lebar dengan menjelaskan situasi kondisi perjuangan Lily melepaskan ‘Einar’ dari dirinya.

 

*Adinda Ghinashalsabilla Salman merupakan kader LPPMD angkatan XXXIX dan mahasiswa Sastra Rusia angkatan 2020 di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran  

Sabtu, 25 Desember 2021

Kejamnya Standardisasi Kecantikan dan Bagaimana Kapitalisme Memperburuknya

Gambar: Berbagai sumber

Ditulis Oleh: Fikri Haikal Lubis*



Setiap hari, setiap saat, kita sering berpapasan dengan berbagai rupa manusia. Ada yang bertubuh langsing, ada yang gemuk, ada yang berkulit putih, ada yang berkulit sawo matang, ada yang tinggi, dan juga ada yang pendek. Semua hal tersebut tentunya ciptaan Tuhan yang tidak bisa kita request apalagi kita custom. Kita terlahir, ya sudah seperti ini. Bisa jadi kita memiliki gigi yang tidak beraturan, atau mungkin tanda lahir yang menghitam di bagian pipi, hidung yang besar, bibir yang gelap, semuanya sudah ada sejak kita lahir dan kita tidak pernah meminta hal-hal tersebut untuk menghiasi wajah kita. Namun, seperti apa sih sebenarnya kecantikan itu? Mengapa sih cantik itu selalu identik dengan kulit putih? Bukannya cantik itu relatif ya? Mari kita simak penjelasan dibawah

 

Berbicara soal kecantikan, perlu didefinisikan dahulu apa yang sebenarnya yang disebut sebagai sebuah beauty. Dikutip dari Philosophy Talk, kecantikan didefinisikan sebagai sesuatu yang dapat membawa kebahagiaan atau kenikmatan bagi seseorang yang memandang ataupun memikirkannya. Dari definisi ini, cantik juga dimaknai sebagai sebuah ungkapan yang intersubjektif. Artinya, seseorang cenderung menginginkan orang lain untuk setuju terhadap apa yang mereka sebut sebagai sebuah kecantikan.(Jurnal Perempuan, 2017) Di Indonesia sendiri, kulit putih sering disandingkan sebagai warna kulit yang ideal. Secara umum, hal ini sering disandingkan sebagai pengaruh kolonialisme di Indonesia yang memiliki ras kaukasian. Namun jika ditelusuri lebih jauh sebelum masuknya kolonialisme bangsa Eropa, sebenarnya tuntutan untuk memiliki kulit putih bagi perempuan sudah ditemukan dalam karya Ramayana yang menganggap perempuan terlihat cantik apabila berkulit terang serupa cahaya bulan. Hal ini mendorong obsesi perempuan pada saat itu untuk memiliki kulit putih. Walaupun pengaruh kolonialisme bangsa Eropa juga tidak bisa dipisahkan dari proses konstruksi kecantikan bagi bangsa Indonesia, namun pada nyatanya mereka tidak bisa disebut sebagai aktor tunggal yang membentuk konstruksi tersebut.1

 

Melihat Standar Kecantikan di Berbagai Belahan Dunia



Berbicara soal standar kecantikan, sebenarnya dunia sudah memiliki standar kecantikan mereka masing-masing. Misalnya saja di Thailand di mana suku Kayan menganggap bahwa wanita yang cantik adalah yang memiliki leher panjang. Maka, setiap wanita Kayan pun memanjangkan leher mereka dengan cara memakai gelang kuningan yang jumlahnya bertambah setiap tahunnya. Selanjutnya kita bisa melihat standar kecantikan suku Dayak dimana wanita yang cantik adalah yang memiliki telinga panjang. Hal ini menjadikan wanita Dayak tradisional menggunakan anting yang banyak di telinga agar telinga mereka memanjang. Lalu ada pula suku Bagobo di Filipina yang memandang bahwa wanita cantik adalah yang memiliki gigi runcing, dan lain sebagainya.

 

Standar kecantikan sangat beragam sebenarnya dan hal tersebut diterima oleh masing-masing suku dan bangsa yang mengonstruksinya. Mereka menciptakan sendiri standar kecantikan mereka dan standar tersebut diterima oleh masyarakat yang menjadi bagian dari suku atau bangsa tersebut. Beginilah proses terjadinya konstruksi sosial.

 

Globalisasi dan Pengerucutan Standar Kecantikan



Saat ini, standar kecantikan tersebut kian mengerucut. Hal ini tidak terlepas dari peran globalisasi yang memungkinkan manusia untuk mendapat berbagai informasi dari belahan dunia manapun dengan sangat cepat. Fenomena ini telah mengubah perspektif masyarakat tentang standar kecantikan. Apabila awalnya standar kecantikan hanya terbatas pada suku dan daerah-daerah tertentu, maka di era globalisasi ini standar kecantikan menjadi tidak terbatas pada wilayah-wilayah tertentu (mengerucut). Di Indonesia sendiri, pengerucutan standar kecantikan mulai terlihat pada masa Orde Baru dimana produk-produk kosmetik semakin memenuhi pasar. Para wanita pun berbondong-bondong mencari produk pemutih demi mendapatkan kecantikan ala-ala iklan televisi. Kulit putih pada masa ini dijadikan sebagai dominasi pasar untuk menarik “seeing is believing”. Memandang bahwa perempuan putih dapat dipercaya dalam segala aspek kehidupan.2

 

Tentunya anggapan diskriminatif ini jelas merugikan perempuan yang berkulit gelap. Hasilnya, semakin banyak wanita yang berbondong-bondong berjuang untuk mendapatkan kulit putih sebagaimana definisi ‘cantik’ yang terkonstruksi di dalam masyarakat demi mendapatkan berbagai privilege-nya. Sayangnya, tidak semua dari mereka bisa mendapatkan paras yang cantik setelah menggunakan berbagai produk yang menjanjikan ‘kulit cerah dalam 2 minggu’ ini. Di sisi lain, perusahaan kosmetik dan kecantikan meraup untung yang besar dari jumlah konsumsi krim pemutih wajah yang meningkat drastis. Padahal jelas, setiap konsumen tidak bisa mendapatkan hasil yang sama dari penggunaan produk kecantikan yang mereka bayar dengan harga yang sama. Di sisi lain, harga yang dipatok untuk sebuah kosmetik juga terbilang mahal. Hal ini membuat kosmetik dan perawatan kulit yang berkualitas hanya dapat dimiliki oleh “orang-orang berada”.

 

Kapitalisme dan Strategi Pemasaran yang Diskriminatif



Konstruksi sosial jelas memegang andil yang besar dalam pembentukan standar kecantikan dan hal ini merupakan sesuatu yang tak dapat dihindari. Namun ditengah kejamnya standardisasi kecantikan yang seharusnya dihilangkan, kapitalisme justru memanfaatkannya dengan berbagai strategi pemasaran yang mempromosikan kulit putih sebagai standar kecantikan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya produk kosmetik yang dipasarkan - terutama di Indonesia - selalu memiliki komposisi pemutih kulit. Obsesi masyarakat negara tropis seperti Indonesia untuk memiliki kulit putih yang seharusnya di destruksi justru dimanfaatkan demi menunjang kepentingan pasar. Dari sini, kaum kapitalis telah berhasil membentuk standar kecantikannya sendiri dan mendukung penjualan produknya.3

 

Kapitalisme melanggengkan standar tersebut melalui berbagai cara, salah satunya adalah melalui iklan. Iklan sendiri adalah sebuah strategi meyakinkan konsumen sehingga diperlukan cara khusus dalam penyajiannya.4 Dalam penyajian iklannya pun, dapat kita lihat pula sebagaimana halnya iklan-iklan kosmetik yang ditayangkan baik di televisi maupun di billboard. Secara umum, iklan-iklan tersebut menampilkan aktris wanita yang memenuhi kriteria standar kecantikan — bertubuh langsing, berkulit putih, mengenakan pakaian yang menonjolkan lekuk tubuh tertentu, berhidung mancung, dsb. Penayangan iklan yang berulang-ulang ini juga dapat berdampak pada anggapan masyarakat bahwa wanita yang cantik adalah wanita yang sedemikian rupa. Terlebih lagi, tak jarang pula mereka menggunakan kata-kata atau ilustrasi yang bernada merundung dan berbau rasis seperti ‘White is Purity’ yang pernah diiklankan oleh N*vea, atau mungkin ilustrasi perubahan before-after penggunaan produk kecantikan yang menampilkan model berkulit hitam berubah menjadi model berkulit putih dalam sebuah iklan yang ditayangkan oleh D*ve. Hal ini mendorong konsumen untuk memenuhi kriteria kecantikan tersebut — walaupun tidak semua dari mereka dapat mencapai hasilnya — demi mempertahankan eksistensinya di tengah masyarakat.5  Apabila seseorang tidak dapat memenuhi kriteria-kriteria tersebut, maka mereka tidak akan merasakan berbagai privilege-nya. Hasilnya, ketimpangan pun akan timbul dimana orang yang gagal mencapai standar kecantikan tersebut akan cenderung mendapat tindakan diskriminatif.

 

Standardisasi kecantikan memang telah banyak memberikan privilege bagi setiap orang yang mampu memenuhinya. Namun di sisi lain, ternyata hal ini dapat memberikan kerugian bagi orang yang berada di luar kriterianya. Dari sini, sudah seharusnya kita menyadari bahwa standardisasi kecantikan merupakan sebuah konstruksi sosial yang seharusnya didestruksi dan mengembalikan lagi makna kecantikan sebagai sebuah hal yang relatif bagi setiap individu.

Referensi

https://www.jurnalperempuan.org/wacana-feminis/obsesi-kulit-putih-di-indonesia

Chusnul, T. (2020, 4 2). Standar Kecantikan adalah Alat Diskriminasi Kapital. Retrieved from ibtimes.id: https://ibtimes.id/standar-kecantikan-adalah-alat-diskriminasi-kapital/

Oktaviani, A. (2016). MAKNA CANTIK IKLAN WARDAH EXCLUSIVE SERIES VERSI DEWI SANDRA IN PARIS. Banten: UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA.

Wolf, N. (2002). Beauty Myths: How Images of Beauty Used Against Women. New York: Morrow.

Worotitjan, H. G. (2014). Konstruksi Kecantikan Dalam Iklan. JURNAL E-KOMUNIKASI.

[1] https://www.philosophytalk.org/shows/what-beauty

[2] https://ibtimes.id/standar-kecantikan-adalah-alat-diskriminasi-kapital/

[3] Konstruksi Kecantikan Dalam Iklan Kosmetik Wardah. Hlm. 8

[4] Makna Cantik Iklan Wardah Exclusive Series Versi Dewi Sandra In Paris. Hlm. 13

[5] Konstruksi Kecantikan Dalam Iklan Kosmetik Wardah. Hlm. 7

 

*Fikri Haikal Lubis merupakan kader LPPMD angkatan XXXVI dan mahasiswa Ilmu Politik angkatan 2018 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran 

Bertanya Pada Tuhan Yang Bisu: Shusaku Endo, Lompatan Iman, dan Jalan Ketiga

Gambar: Wikipedia, Teller Report

Ditulis oleh: Raffyanda Muhammad Indrajaya



“Aku berdoa dengan penuh kekuatanku. Tapi tuhan tidak berbuat apa-apa.”

--Shusaku Endo, Silence (halaman 264).

 

“Ia Tuhan, Zat yang Maha Kuasa, tapi Tak Berdaya”

 

Bagi mereka yang meyakini adanya Tuhan, dewa-dewi, ataupun entitas maha agung lainnya. Kehidupan manusia dan takdir-takdir yang mengikatnya, hanyalah satu kesatuan yang harus diterima sebagai bagian dari gerak semu alam semesta. Dengan Tuhan menjabat sebagai ‘arsitek’ dari segala sesuatu yang telah, sedang, dan akan menimpa kita.

 

Kita didogma untuk menerima bahwa ‘kebenaran’ ada dan hanya bersumber pada Tuhan. Dimana kebijaksanaan dan welas asihnya, bersifat tak terhingga serta kekal menyertai kita. Lantas begitu, mengapa Tuhan membiarkan adanya penderitaan maupun ketidakadilan? Dan meski kita telah ‘diperintahkannya’ untuk berdoa, mengapa ia hanya berdiam diri?

 

Sekiranya ada banyak jawaban untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut, mulai dari ‘keapatisan’ Tuhan sebagai suatu kebijaksanaannya tersendiri, hingga sanggahan sinis yang meneriakan bahwa semua ini merupakan bukti tidak adanya Tuhan, dan semisalnya pun ‘Ada’, hal itu malah menjadi bukti bahwa Tuhan adalah entitas sadistik yang menciptakan semua penderitaan untuk hiburannya semata.

 

Apapun itu jawabannya, penulis disini tidak dalam kapasitas untuk menjawab kedua pertanyaan tadi. Selain karena penulis bukan ahli teologi, penulis tidak sekurang kerjaan itu untuk memulai perdebatan teolog amatir. 

 

Kembali pada pertanyaan di awal, sekiranya kalimat pemantik tadi benar-benar penulis lontarkan dengan rasa penasaran yang tulus. Tanpa ada niat sedikitpun untuk menghardik mereka yang menempatkan keyakinan pada konsep ketuhanan. Semuanya diawali oleh pertemuan penulis dengan sebuah novel fiksi-sejarah karya penulis Jepang, Shusaku Endo, yang berjudul “Hening”. Sebuah novel yang mengantarkan penulis untuk mempertanyakan kembali makna ‘iman’ dan ‘mengimani’.

 

Mengangkat latar belakang Jepang di abad ke-17, tepatnya pada masa-masa awal implementasi kebijakan Sakoku (Isolasi) oleh pemerintahan Keshogunan Tokugawa yang baru saja menang kudeta. Hening berfokus pada persekusi kaum Kristiani Jepang yang terjadi di era tersebut.

 

Mengambil sudut pandang seorang misionaris Yesuit Portugis bernama Rodrigues. Hening diawali dengan perjalanan Rodrigues ke Jepang setelah mendengar kabar bahwa mentornya, seorang misionaris senior yang ditugaskan ke Jepang, telah disiksa dan kemudian memilih murtad.

 

Ketidakpercayaanya pada berita tersebut mendorong Rodrigues untuk langsung pergi ke Jepang dan bertemu Gurunya. Pikirnya, “tidak mungkin seseorang yang teramat soleh dan baik hati memilih murtad hanya karena disiksa”. Selain itu, dia yang merasa mengenal sang Guru lebih dari orang lain, berteguh bahwa kabar yang ada hanyalah suatu kebohongan. Dengan begitulah, perjalanan Rodrigues yang dipenuhi siksaan fisik dan spiritual dimulai.

 

Penulis tidak akan banyak memberikan ringkasan mengenai nasib Rodrigues atau Guru terkasih yang sedang dicarinya. Namun sekiranya penulis akan cukup membahas mengenai topik besar yang terus menerus diulang dalam novel ini. Topik utama yang diwakili oleh sebuah pertanyaan sederhana, “Bagaimana seseorang memaknai heningnya tuhan?”.

 

Bagi masyarakat Jepang yang menganut ajaran Kristiani saat itu, hidup dipenuhi kesulitan dan marabahaya. Ajaran Kristiani dipandang dapat menodai nilai-nilai luhur bangsa Jepang, dan penganutnya disebut-sebut sebagai agen dari imperialisme bangsa Barat. Orang-orang Jepang yang telah melakukan konversi ke ajaran Katolik segera ditangkap, disiksa, dan dipaksa murtad. Para misionaris Eropa yang telah bermukim pun diperintahkan untuk pergi dari Jepang. 

 

Beberapa yang menolak perintah murtad harus mengalami siksaan bertubi-tubi, tidak sedikit bahkan, yang dalam prosesnya mati sebagai martir. Tak terkecuali bagi para rohaniawan Eropa yang tidak kabur, dan secara sembunyi-sembunyi terus menjalankan tugasnya di tanah Jepang. Semua ini menjadi ujian yang besar bagi kaum Kristiani Jepang saat itu. Terlebih ketika doa-doa yang mereka lanturkan dalam misa-misa tertutup hanya dijawab dengan 'hening'.

 

Tulisan Endo menjelajahi keraguan-keraguan terdalam kita akan hakikat Tuhan. Endo tidak menunjukan rasa malu atau upaya menahan diri untuk menempatkan Tuhan di kursi terdakwa dalam pengadilan yang penuntutnya adalah umat manusia. Mengejutkannya, Shusaku Endo sendiri merupakan seorang pengikut ajaran Katolik yang taat. Namun, hal ini tidak menghentikannya untuk melayangkan berbagai pertanyaan dan tuduhan yang memberatkan superioritas moral Tuhan. Tetapi tentunya Endo tidak menulis buku hanya untuk menyudutkan Tuhan saja. Karena dalam novel ini Endo berperan sebagai penuntut, sekaligus pembela bagi ‘terdakwa’. 

 

“Dekonstruksi Iman: Mempertanyakan dan Memahaminya Kembali”

 

Endo sendiri sebenarnya tidak melakukan pembelaan terhadap Tuhan melalui pemberian jawaban eksplisit atas paradoks yang dia berikan. Pembelaan Endo justru berada pada dekonstruksinya atas iman. Anna GÅ‚Ä…b (2018) dalam tulisannya, “Moral Dilemmas, The Tragic And God’s Hiddenness. Notes On Shusaku Endo’s Silence”, menggunakan pemikiran Søren Aabye Kierkegaard untuk membagi perjalanan spiritual yang dihadapi oleh Rodrigues ke dalam tiga pembabakan. Namun sebelum lebih lanjut, penulis hendak memperkenalkan terlebih dahulu pembaca pada konsep yang digunakan oleh GÅ‚Ä…b. Kierkegaard sendiri merupakan filsuf eksistensialisme asal Denmark yang terkenal akan upayanya dalam mengeksplorasi makna dari hakikat iman dan kehidupan. Dalam salah satu upayanya tersebut, Kierkegaard memperkenalkan kita “tiga tahapan kehidupan”.

 

Tahap pertama dikenal sebagai tahap aesthetic, pada tahap ini kehidupan dijalankan oleh seseorang, baik secara sadar maupun tidak sadar, hanya untuk memenuhi ‘kenikmatan’ lahirnya semata; Tahap kedua adalah tingkatan ethic, tahap ini terjadi ketika seseorang telah memiliki kesadaran akan tuntutan ethic, yang kemudian mendorongnya untuk mengikuti logika dalam memaknai apa yang baik dan apa yang buruk; Terakhir adalah tahap religius atau tahap iman. Dalam tingkatan tertinggi ini, manusia berserah diri kepada Tuhan dan telah melaksanakan apa yang Kierkegaard sebut sebagai  leap of faith atau ‘lompatan iman’. Iman dalam pemaknaan Kierkegaard bukanlah hanya sekedar mempercayai belaka, karena iman lebih dari itu. Jika ‘mempercayai’ mengisyaratkan akan perlunya suatu bukti atau alasan rasional (tidak peduli apakah bukti tersebut benar atau tidak), iman tidak butuh bukti sama sekali. Keberadaannya ada begitu saja tanpa butuh fondasi apapun selain subjek di mana iman tersebut ditempatkan.

 

Ketiga tahap tadi menurut Kierkegaard dijalankan seseorang manusia untuk mencapai ‘kelengkapan’ eksistensial. Mereka yang berada dalam tahap estetika tidak akan memiliki nilai-nilai ethic, dan mereka yang telah mencapai tahap ethic, meski memiliki nilai yang ada pada tahapan estetika, belum memiliki keimanan murni yang berada pada tahap religius. Dengan begitu, hanya mereka lah yang berada di tahapan religius yang telah menjadi manusia ‘utuh’.

 

Kembali pada pembahasan seputar Hening.  Bagi GÅ‚Ä…b awal perjalanan yang dilakukan oleh Rodrigues diisi konsepsi atas iman yang bersifat sempit. Ia melihat iman sebagai sesuatu yang heroik dan dipenuhi oleh anggapan bahwa dirinya hadir sebagai ‘juru selamat’. Dalam dirinya, Rodriguez berusaha mengimitasi hidup dari Kristus. Dia berusaha hidup layaknya Kristus yang dikelilingi penderitaan. Awal perjalanannya ini dapat kita lihat sebagai perwujudan dari tahap estetika. Karena Rodrigues sekiranya tidak benar-benar memiliki ‘iman’, Ia menjalankan perjalanannya semata-mata untuk memuaskan egonya sendiri. Rodrigues kemudian mencapai tahap ethic ketika Ia mulai mempertanyakan keadilan Tuhan dari semua persekusi yang dialami oleh kaum Kristiani Jepang. Rodrigues merasakan pertanggungjawaban karena keteguhannya untuk tidak murtad ketika dipaksa, menyebabkan tahanan lainnya disiksa dan dieksekusi. Namun, seperti yang dituturkan oleh GÅ‚Ä…b, pada tahap tersebut Rodrigues masih belum sanggup untuk melakukan lompatan iman. Batinnya masih disiksa oleh berbagai asumsi-asumsi atas iman yang berfondasikan ego, dan kesadarannya akan segala penderitaan yang disebabkan olehnya. 

 

Siksaan batin yang dialami oleh Rodrigues ini kemudian berubah menjadi batu lompatan untuk proses menuju tahap religius. Dalam tidur-tidurnya yang dipenuhi erangan kesakitan, berbagai lamunan dan bisikan mengisi kupingnya dengan pertanyaan untuk Tuhan. Ia bertanya dan terus bertanya akan makna dari semua bencana dan penderitaan ini. Titik puncaknya adalah ketika pada suatu malam, Rodrigues diangkat dari tempat tidurnya menuju lapangan. Pembaca mungkin akan menebak bahwa tahap ketiga, atau lompatan iman bagi Rodrigues akan terjadi ketika Ia memilih untuk menjadi martir dan meninggal di tanah Jepang. Namun, ekspektasi ini sekiranya dibalik oleh Endo, karena Rodrigues tidak mati. 

 

Di lapangan tersebut Ia diminta untuk menginjak fumi-e, sebuah ukiran kayu bergambar salib, di mana jika diinjak maka Ia akan dianggap murtad. Hal ini sebenarnya telah menjadi rutinitas yang terjadi sejak awal Rodrigues ditangkap oleh pemerintah Jepang. Namun yang berbeda untuk kali ini adalah keteguhan ‘lain’ yang telah mengendap dalam dirinya. Ketika dihadapkan dengan fumi-e, Ia tidak menolaknya begitu saja. Kali ini, terdapat suara dalam kepalanya yang memintanya untuk menginjak salib beserta wajah Kristus tersebut. Suara di kepalanya terasa seperti percakapan personal dengan Tuhan. Dalam pikirnya, Tuhan berkata bahwa Ia memahami semua keresahan Rodrigues, Ia memahami semua penderitaan umatnya, dan Ia--dalam wujud Kristus--ada untuk diinjak-injak oleh manusia. Dengan begitulah, lompatan iman bagi Rodrigues tidak terjadi melalui kematiannya sebagai martir, justru ‘kemurtadannya’ yang dilakukan dengan perasaan berat hati dan  berserah diri, menjadi suatu leap of faith tersendiri.

 

Ketiga proses tahapan yang turut dielaborasikan oleh GÅ‚Ä…b tersebut mengantarkan Rodrigues mencapai titik baru dalam memahami keheningan Tuhan dan iman. Ia mulai memahami bahwa kisah dari Kristus bukanlah kisah maskulin yang dipenuhi ego dan pertunjukan heroik. Kristus tidak hanya menyaksikan penderitaan, tetapi juga hidup dan menjalankan penderitaan tersebut bersama manusia. Ia kini memahami iman, sebagai perasaan berserah diri, sesuatu yang pada hakikatnya berada dalam jiwa, dan bukan sesuatu yang dapat ditunjukan secara fisik maupun diteriakan secara lantang. Dalam momen kakinya menginjak fumi-e tersebut, terjadi suatu koneksi intim antara Ia dengan Tuhan. Hal ini mengantarkan Rodrigues kepada tingkatan iman yang murni dan jauh dari belenggu-belenggu lahiriah.

 

Melalui pembacaan tersebut, kita dapat memahami bahwa eksplorasi Endo terhadap keheningan Tuhan dijawabnya melalui pertanyaan akan makna dari iman. Bagi Endo, kita melihat Tuhan sebagai entitas yang bisu, karena kita ‘memilih’ untuk melihatnya sebagai entitas yang bisu. Semua keheningan ilahiah tersebutm menurut Endo, hanya dapat terjawab ketika kita memahami Tuhan sebagai zat yang intim sekaligus tersembunyi. Akan tetapi, di luar jawaban Endo dan analisis yang disampaikan GÅ‚Ä…b, apakah ‘melompat’ hanya satu-satunya jalan yang dapat ditempuh dalam memahami heningnya Tuhan?

 

“Camus dan Alternatif Ketiga”

 

Sekiranya pertanyaan perihal iman tidak dapat ditanggapi sebagai suatu permasalahan 'mempercayai’ semata. Karena untuk dapat menggugat keimanan dan mendekonstruksikannya, kita secara tidak langsung juga tengah mengeksplorasi hakikat dari kehidupan itu sendiri. Maka dari itu, pertanyaan akan “apakah ‘melompat’ hanya satu-satunya jalan yang dapat ditempuh dalam memahami heningnya Tuhan?”, sejatinya merupakan pertanyaan eksistensial. Dengan demikian, penulis disini akan mencoba untuk menyajikan sebuah ‘jalan ketiga’, suatu jalan yang dapat saja kita bayangkan dipilih oleh Rodrigues ketika tengah melamun dalam sel tahanannya.

 

Salah satu konsep yang akan membatu penulis dalam mengelaborasikan jalan alternatif ini hadir dalam pemikiran Albert Camus, khususnya dalam tulisan “The Myth of Sisyphus”. Di dalamnya, Camus memperkenalkan kita dengan konsep ‘absurditas’. Absurditas sendiri dapat dipahami sebagai kehampaan yang terdapat dalam pencarian manusia akan makna kehidupan. Suatu pencarian yang sia-sia, karena seperti halnya diskusi Rodrigues dengan Tuhan yang sebelumnya dibahas, semua pertanyaan yang ada hanya akan dijawab oleh keheningan. 

 

Lantas, apa yang dapat dilakukan? Dalam rangka menghadapi keheningan tersebut, maka Camus menawarkan kita tiga jalan. Jalan pertama adalah jalan paling sederhana sekaligus paling muram, bunuh diri secara fisik; Jalan kedua adalah bunuh diri secara filosofis, di mana seseorang melakukan ‘lompatan’ pada jurang absurditas dalam rangka memberikan penjelasan kepada semua keheningan yang ada; Terakhir, Jalan ketiga, manusia memiliki pilihan untuk, tidak lagi mencari arti maupun penjelasan, melainkan menyadari semua keabsurdan ini dengan lapang dada. Penjelasan Camus bagi pilihan terakhir tersebut dielaborasikannya melalui pengisahan kembali mitos dari Sisfus. Dalam mitologi Yunani, Sisifus dihukum oleh para dewa untuk mendorong batu ke atas bukit, yang mana kemudian batu tersebut kembali menggelinding ke dasar, dan Sisifus harus kembali mendorongnya sampai ke atas. Tragedi yang terdapat pada mitos Sisifus bukanlah hukuman yang harus dideritanya, melainkan kesadaran Sisifus sendiri pada penderitaan tak bermakna yang akan terus dihadapinya. Kisah tadi menjadi semacam analogi dari kehidupan manusia dan segala penderitaan absurd. Akan tetapi, Camus tidak melihat semua kesadaran akan penderitaan ini sebagai sesuatu yang mengerikan, justru sebaliknya. Dengan menyadari sifat dari kehidupan dan alam semesta yang absurd, maka seseorang menjadi bebas dari semua rantai-rantai yang mengikat kita untuk mencari atau mengharapkan makna. Manusia yang ‘sadar’ ini tidak lagi terkekang pada konsepsi makna yang kaku, seseorang dapat dengan bebas membangun makna untuk dirinya sendiri. Dan dalam aksinya, orang tersebut telah memberikan perlawanan kepada ‘keabsurdan’ kehidupan.

 

Dalam pembahasan seputar pilihan yang dapat diambil oleh Rodrigues, sekiranya alternatif ketiga yang penulis maksud ada dalam penerimaan terhadap keabsurdan. Dalam sel tahanannya, berkali-kali Rodrigues berkontemplasi terhadap makna dari kesunyian Tuhan. Pada tahap ini, sebenarnya Rodrigues secara tidak langsung berada pada proses untuknya menyadari segala keabsurdan dari penderitaan yang dirinya dan seluruh pengikut ajaran Kristianitas di Jepang hadapi. Rodrigues bahkan beberapa kali sempat mempertanyakan hakikat dari kehidupan yang dipenuhi kesedihan dan kesia-siaan. Akan tetapi, Dia selalu gagal untuk mencapai jalan alternatif ini karena satu hal. Dia bukannya tidak sadar akan posisinya yang berhadapan langsung dengan kehampaan. Rodrigues gagal karena ia terus menerus mencari makna, dan makna tersebut ia ‘dapatkan’ melalui kaki yang ‘melompat’ ketika harus menginjak salib dan wajah Kristus.

 

“Kita dan Tuhan Yang Bisu”

 

Melihat semua ini melalui perspektif Camus, jawaban yang didapatkan oleh Rodrigues tidak berbeda jauh dengan secara sengaja membutakan diri dari hakikat kehidupan. Jika Rodrigues memilih menggunakan jalan ketiga, sekiranya dia tetap akan memilih untuk menginjak fumi-e dan mendapatkan ketenangan hati karena telah memahami absurdnya semua keadaan sulit yang dihadapinya. Namun, penulis tidak dalam posisi untuk mendiktekan apa jalan terbaik yang dapat diambil seseorang dalam menghadapi keabsurdan ini. Bagi beberapa pihak, pertanyaan akan keheningan Tuhan perlu dimakani melalui dekonstruksi iman dan sebuah lompatan. Di sisi lain, keheningan Tuhan justru bukan menjadi sesuatu yang harus dicari maknanya, melainkan sebagai sebuah pertanda untuk menciptakan makna bagi kita sendiri.

 

Bagi kalian yang dari tadi menunggu jawaban melegakan dari paradoks ini, sayangnya harus dipuaskan dengan kenyataan bahwa penulis tidak punya jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut. Endo sendiri memberikan ruang terbuka terhadap interpretasi bagi paradoks kebisuan Tuhan melalui tokoh-tokoh yang terdapat dalam novelnya. Kita dibiarkan untuk menghakimi para tokoh, mulai dari mereka yang menganggap diri layaknya nabi, hingga para ‘pengecut’ yang murtad berkali-kali. Bagi penulis personal, seluruh dialog dan pertanyaan yang Endo hadirkan terasa bagai percakapan satu arah antara penulis dengan Tuhan pada malam-malam yang sunyi. Suatu percakapan, yang meski pada awalnya diarahkan pada Nya, sejatinya ditujukan pada diri penulis sendiri. Dan jawaban-Nya yang dipenuhi keheningan, ada sebagai sesuatu yang perlu dinikmati.


*Raffyanda Muhammad Indrajaya merupakan kader LPPMD angkatan XXXIX dan mahasiswa Hubungan Internasional angkatan 2019 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran 






Minggu, 19 Desember 2021

Mereka yang Tertidur di  Jalan Keheningan

Gambar: Fikri Haikal Lubis

Ditulis oleh: I Putu Gede Rama Paramahamsa



Mereka yang memilih tidur di jalan keheningan

Menjelma manusia-manusia yang abadi dalam keingarbingaran

Padi milik rakyat menjelma gedung-gedung kapitalis

Senyum-senyum manis nan semu

Senyum-senyum bajingan bajingan lugu


Mereka yang memilih melebur di jalan keheningan

Tertembus pelatuk di istana negara

Hutan milik Tuhan menjelma pabrik milik tuan

Kata-kata tak lagi berguna

Bagi mereka yang telah lebur di jalan keheningan

Kata-kata tak lagi mengartikan apa-apa


Mereka yang memilih tidur di jalan keheningan tidak lagi menjelma manusia

Di setiap persimpangan jalan, mereka menjelma bising kota

Atau gerimis Desember, lampu merah, puisi-puisi melankolis Soe Hok Gie

Atau binatang jalan Chairil Anwar


*I Putu Gede Rama Paramahamsa merupakan kader LPPMD angkatan XLI dan mahasiswa Jurnalistik angkatan 2020 di Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran  

Hoedjan di Stasioen Radio Kootwijk

Keterangan foto tidak tersedia.

Gambar: Facebook.com

Ditulis oleh: Muhammad Restu Alfarisy* 

Saban hari itoe, saja moesti tinggalken saja ada indekos menoedjoe kantor telegraaf di Delft—kota di Nederland tempat saja merantau dari Fort de Kock goena mentjari ilmoe jang soepaja djadi orang bergoena bagi kaoem boemipoetra di Hindia nanti—oentoek mengirim telegram ke teman pena saja di Soerabaja. 

Di djalanan, orang koelit poetih melirik saja saat naik trem listerik seroepa melihat pertoendjoekan ronggeng monjet. Djika saja boleh mendoega-doega, lirikan mata terseboet sebab badjoe jang saja pakai—seperti ada jang aneh djika boemipoetra berpakaian lajaknja Eropah—moengkin karna iapoenja pikiran boemipoetra ada dibawah orang Eropah dalam hal peradaban.

Djika memang itoe alasannja, saja tida tahoe haroes berperilakoe apa. Perloe pembatja ketahoei, saja tida setoedjoe apalagi mendoekoeng terdjadinja kolonialisme di boemi ini, bagi saja semoea manoesia jang ada di mana poen itoe meroepaken tjiptaan Sang Hjang Widhi atau Jang Toenggal jang berarti semoeanja setara—tida pedoeli apa warna koelitnja—penindasan adalah barang jang haram oentoek dikerdjaken. 

Namoen patoet kita akoei djoega dengan hati lapang bahwasanja kedatangen kaoem koelit poetih—sedikitnja—membawa negri djadjahannja menoedjoe kemewahan moderenitas, seperti trem listerik jang ada di Hindia dan jang saban hari itoe saja naiki jang memoedahken saja pergi menoedjoe kantor telegraaf tanpa haroes djadi pajah. Pembatja jang boediman, patoet saja tegasken kembali bahwa apa-apa jang saja toeliskan ini tiadalah bertoedjoan oentoek membenarken perilakoe kaoem koelit poetih oentoek mendjadjah.  

Saja samboeng kembali sadja ini toelisan. Ketika saja mendoega-doega kenapa mereka orang lirik saja aneh betoel, tida terasa trem jang saja naiki soedah tiba di tempat toedjoean saja. Selepas keloear dan berdjalan-djalan ketjil, tibalah saja di dalam kantor telegraaf Delf dengan soeasana jang ramai, banjak orang siboek berlaloe-lalang. Waktoe itoe saja haroes menoenggoe beberapa saat, maka saja memoetoeskan oentoek doedoek rehat sedjenak. Dari dekat sini saja dapat lihat seorang mevrouw jang soedah toea siboek di hadapan petoegas, ketika saja bertanja kepada petoegas lain diketahoei bahwasanja ia hendak menghoeboengi poetranja di Hindia.

    Mevrouw toea itoe doedoek dengan gemetar. Petoegas dengan ramah bitjara padanja, “Mevrouw, Bandoeng sebentar lagi akan mendjawab,” dengan kaki jang gemetar, ia mendekat dan mengambil mikrofon. Maka didengarnja lah soeara poetranja itoe dari sebrang samoedra, “Soenggoeh keadjaiban!” oetjap sang Mevrouw saat itoe djoega dengan haroe. 

    “Hallo anakkoe jang manis, bagaimana kabarmoe di sana?” tanja sang Mevrouw kepada poetranja dengan tangan gemetar memegang mikrofon.

    Terdengar sekilas oleh saja soeara sapa anaknja terseboet bergetar seperti memendam perasaan rindoe jang lama tersimpan. Pada saat itoe poela dapat saja bajangkan begitoe haroe dan menjedihkannja masa perpisahan seorang anak dengan iboenja, dan seketika itoe poela saja takdjoeb bahwasanja moderenitas dapat menghoeboengkan kembali ikatan iboe-anak, begitoe takdjoeb dan haroe saja diboeatnja. 

    “Anakkoe jang manis, iboe menaboeng selama berboelan-boelan oentoek bisa bitjara denganmoe. Iboe rela memberikan goelden iboe jang terakhir, hanja demi dengar soeara anak iboe,” oetjap kemoedian sang Mevrouw dengan sendoe jang mendajoe-dajoe. Terdengar poetranja mendjawab “Bila eik soedah bisa kembali ke Nederland nanti, eik djandji akan gendong iboe di atas poenggoeng eik sembari berkeliling di sekitar taman,” seketika djoega tangan sang Mevrouw gemetar tak tertahankan.

    “Anakkoe bagaimana kabar estrimoe jang berkoelit sawo matang itoe?” tanja sang Mevrouw. Poetranja mendjawab dengan soeara jang sopan, “Kabar baik Boe, setiap harinja kami selaloe berbintjang bersama tentang iboe, berdoa bersama, dan anak-anak selaloe mentjioem potret opoengnja jang beloem pernah mereka temoei.”  

“O ja Boe toenggoe sebentar!” oetjap poetranja terseboet. Maka terdengarnja lah tjeloteh soeara anak ketjil dari telegram itoe, roepanja sang poetra itoe membawa anaknja di dekatnja. “Ini eik bawa anak eik paling boengsoe,” oejarnja kepada sang Mevrouw.

“Opoeng… tabee… tabee…” keloear tjeloteh anak boengsoe terseboet dari telegram. 

Disaksikannja oleh saja air mata jang soedah tak dapat dibendoeng lagi, sang Mevrouw menangis jang sedjadi-djadinja memboeat soeasana kantor telegraaf mendjadi senjap oentoek sesaat. Dengan aloenan soearanja jang rintih ia berkata, “Terima kasih Bapak akoe bisa mendengar soearanja,” kemoedian ia djatoeh bersimpoeh sembari menangis tersedoe, lajaknja roesa rindoe aliran soengai.

 “Tabee…” soeara tjeloteh itoe masih teroes terdengar, namoen—di hadapan mata saja sendiri—sang Mevrouw soedah tak berdaja lagi dan para petoegas poen bergegas membantoe memboeatnja tersadar kembali.

Pembatja jang boediman, di tempat saja menoelis ini toelisan, apa-apa jang pernah saja alamken itoe masih sangat berkesan dalam sanoebari saja, begitoe moderenitas jang meroepakan salah satoe hasil poela dari kolonialisme meroepakan lajaknja keping koin dengan doea sisi dan semoeanja diserahkan sepenoehnja kepada perorangan. Pesan saja bagi para pembatja adalah agar tetap mendjadi bidjak terhadap segala hal dan tida bertingkah sepihak. 

Pembatja jang berbahagia, ada satoe hal terakhir jang ingin saja kataken dan djoega sebagai penoetoep ini toelisan, perloe saja ingatken kembali bahwasanja toelisan dari apa jang saja alamken ini saja toelis tida dimaksoedkan oentoek hal jang boeroek dan boekan-boekan, melainkan agar dapat dipoengoet goenanja bagi siapa sadja barangkali ada didalamnja satoe doea jang bergoena.

 

*Muhammad Restu Alfarisy merupakan kader LPPMD angkatan XLI dan mahasiswa Agroteknologi angkatan 2020 di Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran