Ditulis oleh: Adinda Ghinashalsabilla Salman*
"He may have known who I was, but I wasn’t always me. There was a moment where I was just lily"
– Einar Weigener, The Danish Girl.
The Danish Girl merupakan film drama-biopic yang menceritakan transformasi serta perjuangan Lily Elbe (sebelumnya Einar Wegener), pelukis dan transgender Denmark, pada tahun 1920-an. Film yang terinspirasi dari kisah nyata ini tayang pertama kali pada tahun 2015 di Cannes Film Festival dan berhasil masuk nominasi pada BAFTA Awards for Best British Film. Film ini sendiri diperankan oleh beberapa aktor ternama seperti Eddie Redmayne, Alicia Vikander, serta Amber Heard.
Berlatar belakang kota Kopenhagen pada tahun 1920-an, The Danish Girl membawa kita masuk ke kehidupan pelukis Denmark Einar Wegener (yang selanjutnya adalah Lily) bersama istrinya yang juga seorang pelukis, Gerda. Rising action pada film ini muncul ketika suatu hari sang istri, seniman yang kurang diakui lingkunganya, meminta Einar untuk menggantikan Ulla sebagai model perempuan dalam lukisanya. Saat itu Einar diharuskan mengenakan pakaian perempuan dan di beberapa kesempatan kemudian menyusup ke pesta dengan identitas perempuan bernama ‘Lily’ “untuk bersenang-senang” atas bujukan isterinya. Konflik akhirnya muncul ketika Einar justru semakin lama semakin nyaman dengan identitas barunya yakni ‘Lily’, Einar versi perempuan yang mengenakan stoking, dress, dan wig palsu. Setelah kejadian itu, Einar yang diperankan Eddie Redmayne, merasa bahwa dirinya adalah perempuan yang terjebak di tubuh yang salah. Sepanjang film perjuangan demi perjuangan pun dilakukan Einar Wegener untuk bisa menjadi ‘Lily’ seutuhnya.
Kontruksi Gender, Cross Dressing, dan ‘Lily’
The Danish Girl menampilkan kepada kita dampak dari dikotomi biner terhadap gender. Mereka yang tidak fit in kepada salah satu oposisi biner dari sistem gender yang ada harus mendapatkan tantangan penolakan dari masyarakat, bahkan dari orang-orang terdekat. Pandangan ini mungkin disebabkan oleh adanya pemikiran bahwa kita terlahir, secara kodrat, dengan kategori tertentu: laki-laki atau perempuan (sex), maskulin atau feminin (gender). Padahal, jati diri kita tidak terletak pada ‘born with’ tetapi ‘to be’. Ketika dilahirkan Lily Elbe (sebelumnya Einar Wegener) dikenalkan dengan gender yang maskulin sepanjang hidupnya. Ketika akhirnya ia menemukan dan mempelejari bahwa ia memiliki ‘diri’ yang tak sesuai dengan apa yang telah di assign sejak lahir, dunia sekeliling pun menolak. Mulai hampir diborgol untuk dikirim ke rumah sakit jiwa, mengalami konflik dengan istrinya, hingga dianggap melawan kodrat, ketidakadilan hadir bagi einar. Seseorang yang tidak ‘confirm’ terhadap sesuatu yang di konstruksikan oleh sistem yang ada dianggap melawan kodrat dan jauh dari segi normal.
Film ini juga turut menampilan upaya-upaya Lily mendobrak dan mencari upaya menghidupkan Lily. Dalam film kita bisa melihat bagaimana Lily berusaha untuk menjadikan busana sebagai medium ekspresi atas gender yang ia identifikasi dalam diri. Dalam film juga kita bisa dengan jelas melihat bagaimana ia merasakan kenyamanan ketika ia berbusana dalam pakaian perempuan ketimbang pada saat ia mengenakan pakaian laki-laki. Meskipun begitu, busana sebagai medium pengasosiasian bukan hanya sekedar bentuk cross dressing, ini merupakan jalan bagi Lily untuk perlahan-lahan merubah identitas yang dulu dilekatkan kepadanya dan jalan pembuka untuk mengekpresikan diri yang baru. Dengan medium busana ini, ia berusaha menghidupkan ‘Lily Elbe’.
Hans Axgill dan Lukisan Fjele Fjord
sejauh ini penulis berpendapat film The Danish Girl sudah cukup bagus untuk membantu kita merefleksikan bagaimana konstruksi gender di masyarakat bekerja dan apa dampaknya bagi mereka-mereka yang tidak masuk kedalam sistem tersebut. Meskipun, penulis merasa ada beberapa keganjilan dalam struktur cerita.
Misalnya ketika, film ini diawali dengan Einar (yang selanjutnya adalah Lily) memandangi lukisanya dalam-dalam. Lukisan yang merupakan gambaran kampung halamanya ini seakan memberi tanda sebagai sebuah kunci penting sepanjang cerita. Rasanya sebagai penonton, ada keterkaitan yang tidak biasa antara kampung halaman Einar dengan dirinya. Sampai pada akhirnya di cerita hal ini dikonfirmasi lewat pengakuan bahwa ‘Lily’ sudah ada semenjak dulu, di Vejle Fjord, semenjak ia bertemu cinta masa kecilnya Hans Axgill. Sayangnya, kedatangan Hans Axgill pada babak-babak terakhir film seperti kunci atas pencarian Lily selama ini justru tidak menambah apa-apa kedalam narasi cerita. Pada akhir cerita, setelah berusaha membantu Einar melakukan operasi jenis kelamin, Hans Axgill justru menjalin romansa dengan Gerda. Hal ini cukup mematahkan narasi cerita semenjak awal dan meninggalkan kesan terlalu memaksa, menggantung dan ganjil disatu sisi.
Akhir kata, sejauh mana film ini sudah cukup merepresentasikan LGBT-Q tentu bisa menjadi bahasan lain dan perdebatan tersendiri. Namun setidaknya, The Danish Girl sudah cukup berhasil membawakan kisah nyata Lily Ilse Evenes ke layar lebar dengan menjelaskan situasi kondisi perjuangan Lily melepaskan ‘Einar’ dari dirinya.
*Adinda Ghinashalsabilla Salman merupakan kader LPPMD angkatan XXXIX dan mahasiswa Sastra Rusia angkatan 2020 di Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Padjadjaran