Oleh:
Ucu Feni, kader LPPMD UNPAD
Kampus memiliki citra sebagai medium penyampaian pesan. Hal ini
melahirkan realita budaya kampus, yaitu sebagai tempat pertukaran ide (diskusi)
serta didominasi oleh kekuatan intelektual. Realitas kampus tersebut melahirkan
perspektif bahwa akademisi yang berada di kampus memiliki intelektualitas yang
baik. Dengan kata lain, intelektual merupakan salah satu citra yang dimiliki
oleh kampus. Namun, telah terjadi pergeseran dalam realitas budaya kampus ke
arah ekstesi dan histeria. Realitas budaya kampus digantikan oleh kekuatan gaya
dan pertukaran citra. Kampus yang semula
berfungsi sebagai medium citra, perlahan bertransformasi menjadi citra itu
sendiri.
Ekstesi (mabuk), histeria (berlebih-lebihan), libidinal (gairah), seduction (rayuan) muncul menjadi gaya
hidup mahasiswa sekaligus menjadi atmosfir budaya kampus. Dominasi intelektual yang
mulai luntur dan tergantikan oleh budaya tersebut mencerminkan adanya fenomena
‘absurditas budaya’. Jean Baudrillard dalam In
The Shadow of the Silent Majorities menggunakan istilah ‘patafisika budaya’
untuk menyebut kondisi dunia kampus yang kini mulai didonimasi oleh kekuatan
citra. Patafisika budaya, absurditas budaya, serta realita kampus yang baru
menunjukkan gejala adanya distorsi budaya di dalam kampus. Distorsi budaya yang
paling disoroti adalah aspek libidinal yang menjadi bagian dari kehidupan
mahasiswa kini. Seksualitas menjadi hal yang menarik untuk diperhatikan,
terlebih ketika seksualitas menjadi salah satu bagian dari atmosfir budaya
kampus.
Persoalan seksualitas yang terjadi di dalam kampus sangat beragam,
sehingga penelitian akan kehidupan seksual di dalam kampus menjadi salah satu
hal yang menarik. Belakangan telah dilakukan penelitian terhadap praktik
seksual mahasiswa, dan hasilnya cukup mencengangkan.[1] Praktik seksual yang
bersifat sakral seolah luntur kesakralannya bila melihat kehidupan seksualitas
mahasiswa. Salah satu fenomena yang sudah menjadi rahasia umum adalah
eksistensi “ayam kampus”. Fenomena ayam kampus menunjukkan telah terjadi
degradasi moral di dalam kampus, melahirkan kontradiksi akan citra kampus yang
memiliki dominasi intelektual. Eksistensi ayam kampus ini sangat disayangkan
terjadi di dunia yang semestinya menjadi tempat bertukar ide dengan iklim
akademis. Ayam kampus menjadi salah satu
catatan hitam di dalam dunia kampus, di samping catatan-catatan hitam
lainnya yang terjadi di dalam kampus terkait persoalan seksualitas.[2]
Eksistensi ayam kampus lahir bersamaan dengan masuknya budaya
ekstesi dan histeria di dalam kehidupan mahasiswa masa kini. Penelitian
terhadap gaya clubbing di kalangan
mahasiswa menunjukkan adanya ruang dan kesempatan untuk melakukan praktik
seksual.[3] Aspek libidinal yang
menjadi salah satu atmosfir budaya kampus telah mendukung eksistensi ayam
kampus. Mengapa ayam kampus ada dan menjadi salah satu cerita yang mewarnai
kehidupan kampus? Eksistensi ayam kampus menunjukkan ada yang salah dengan
kehidupan kampus, telah terjadi pergeseran besar-besaran di dalam budaya
kampus. Sebuah hal yang sangat kontradiktif dengan peran dan citra yang
dimiliki kampus pada awalnya. Eksistensi ayam kampus bukan hanya menodai citra
kampus yang sesungguhnya, lebih dari itu, eksistensi ayam kampus telah menodai
kesakralan seksualitas serta derajat para pelakunya.
Fenomena ayam kampus sebagai salah satu wajah distorsi budaya di
kampus tentunya memiliki latar belakang. Seperti halnya pergeseran makna kampus,
kehadiran ayam kampus dan budaya kampus yang lainnya merupakan fenomena yang
sengaja dilahirkan; budaya yang sengaja diciptakan. Siapa yang sengaja
melahirkan dan membudayakan fenomena tersebut? Berbicara mengenai kajian
budaya, praktik kebudayaan selalu terkait dengan praktik kekuasaan. Budaya
kampus yang eksis hari ini menunjukkan adanya pergeseran nilai yang biasa
dianut karena masuknya gaya kehidupan baru seiring terbukanya jendela
globalisasi. Arus globalisasi membawa gaya hidup Barat ke dalam tatanan budaya
kita, melahirkan banyak akulturasi—dan tak jarang adopsi kultur tanpa
filtrisasi sedikitpun, sebagai imbas dari keterbukaan informasi.
Globalisasi bukan hanya soal ekonomi, namun juga terkait dengan
masalah makna kultural. Kendati nilai dan makna yang melekat pada suatu tempat tetap
berarti, kita semakin terjerat dalam jaringan yang meluas jauh ke luar lokasi
fisik kita. Kita tentu saja bukan bagian dari negara dunia atau kebudayaan
dunia yang satu, namun kita dapat mengidentifikasikan proses kultural global,
integrasi dan disintegrasi kultural,
yang terlepas dari hubungan antarnegara.[4]
Peran globalisasi dalam mengubah makna kultural turut melahirkan
banyak kultur baru yang diadopsi dari gaya hidup Barat, salah satunya aspek
libidinal yang kini menjadi bagian dari kehidupan dunia kampus. Di samping
pengaruh globalisasi, kekuatan penguasa pun menjadi pendorong lahirnya budaya
kampus tersebut. Kampus memiliki peran dalam melahirkan budaya tersebut, karena
kekuatan yang dimiliki oleh para birokrat kampus yang telah melakukan
persekongkolan dengan kapitalis. Arah pendidikan tinggi telah berubah seiring
munculnya kebijakan yang meyiratkan bahwa dunia pendidikan tak ubahnya sebuah
pasar yang akan melahirkan komoditas. Pada perkembangannya, hal tersebut
dipertegas dengan kebijakan PTN BH yang dirancang mulai tahun 2007. Kebijakan
tersebut menunjukkan bahwa kampus memiliki wewenang sendiri yang terlepas dari
kebijakan pemerintah. Tak mengherankan bila kini orientasi nilai dalam dunia
pendidikan bergerak ke arah nilai pasar, bukan nilai kehidupan atau nilai
moral.
Pergeseran orientasi ini turut mendukung lahirnya iklim libidinal
sebagai pengganti iklim akademis di dalam kampus. Hal ini merupakan salah satu sisi
gelap modernitas yang dibawa oleh arus globalisasi. Ayam kampus hadir menjadi
salah satu bentuk distorsi budaya seiring pergeseran nilai budaya sebagai imbas
hadirnya modernitas di era globalisasi. Modernisme menolak ide tentang
kemungkinan mempresentasikan ‘keadaan sebenarnya’ secara lugas.[5] Hal tersebut menggiring
pada ‘kesadaran palsu’ karena representasi yang ditampilkan bukanlah tentang
‘keadaan yang sebenarnya’. Arus globalisasi yang begitu deras ditambah kuasa
penguasa dalam menetapkan budaya mana yang mesti dipertahankan atau dihapuskan
membuat berbagai nilai atau budaya tergerus digantikan kepentingan untuk dapat
bersaing dalam era globalisasi.
SUMBER REFERENSI:
Barker, Chris. 2009 (cet V). Cultural Studies. Yogyakarta: Kreasi
Wacana.
Darmaningtyas, dkk.. 2009. Tirani Kapital dalam Pendidikan: Menolak UU
BHP. Damar Press.
Dienaputra, Reiza D. 2007. Sejarah Lisan: Metode dan Penelitian. Bandung:
Balatin Pratama.
Lessig, Lawrence. 2004. Budaya Bebas: Bagaimana Media Besar Memakai
Teknologi dan Hukum untuk Membatasi Budaya dan Mengontrol Kreativitas.
KUNCI Cultural Studies Center.
[1] Penelitian ini dilakukan oleh tim yang terdiri dari beberapa orang
dosen Fikom Unpad, mereka menemukan banyak sampah kondom yang tersebar di
sekitar kampus yang terbawa arus hujan. Frekuensi sampah kondom ini meningkat
di hari libur (weekend).
[2] Persoalan seksualitas di dalam kampus sangat beragam; fenomena ayam
kampus merupakan salah satu hal yang paling populer di antara fenomena
seksualitas lainnya. Ayam kampus merupakan istilah untuk menyebut mahasiswi
yang memperjualbelikan tubuhnya demi kepentingan yang dimiliki. Bentuk
transaksi ini beragam jenisnya, tak
hanya terkait persoalan uang. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa praktik seksual
di dalam kampus bisa juga berkaitan dengan persoalan nilai akademis. Di samping
itu, praktik seksual di dalam kampus bukan hanya menyangkut hubungan
seksualitas antar lawan jenis. Telah ditemukan beberapa kasus yang menunjukkan
telah terjadi pelecehan seksual sesama lawan jenis yang dilakukan baik oleh sesama mahasiswa, maupun yang
dilakukan oleh dosen terhadap mahasiswa. Adapula kasus pelecehan seksual saat
kegiatan ospek.
[3] Penelitian dilakukan oleh mahasiswa Sejarah Unpad.
[5] Op.cit, h. 144