Mei 2016 - LPPMD Unpad

Jumat, 20 Mei 2016

Heroisme Kebangkitan Nasional vs Kekhawatiran Kebangkitan Kiri


Akhir-akhir ini media memfokuskan perhatian kita pada kasus pemberangusan buku-buku beraliran "kiri". Lantas, sebuah media pers mewawancarai saya mengenai fenomena kebangkitan nasional dan kasus pemberangusan buku tersebut. Ini sebuah hal yang menarik, terlebih pemusnahan buku-buku kiri tersebut dilakukan menjelang peringatan momentum Kebangkitan Nasional yang selalu diperingati per 20 Mei. Indikasi apakah yang melatarbelakangi hal ini? Apakah pemerintah ingin menunjukkan bahwa buku-buku beraliran kiri merupakan sebuah ancaman terhadap integrasi bangsa, yang mana terbentuk dari perjuangan menanamkan kesadaran akan persatuan nasional di masa lampau. 

Berbicara golongan kiri, bangsa ini memang diingatkan untuk selalu waspada terhadap berbagai macam makar yang dahulunya dilakukan oleh salah satu partai dari golongan kiri. Trauma ini selalu ditanamkan melalui berbagai medium, baik edukasi (melalui pelajaran sejarah), literasi (salah satunya yaitu film), dan berbagai informasi yang dikeluarkan oleh pemerintah sebagai referensi atas peristiwa terkait. Memahami akar permasalahan ini mestilah melihat peristiwa secara universal, serta menggunakan perspektif historis akan mempermudah menelisik kembali pangkal permasalahan ini.

Berbicara mengenai kebangkitan nasional di Indonesia, berdirinya Budi Utomo sebagai organisasi kepemudaan nasional  dijadikan tonggak lahirnya kebangkitan nasional. Inilah mengapa tanggal 20 Mei diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Peringatan Kebangkitan Nasional dengan menggunakan Budi Utomo sebagai simbol kebangkitan merupakan salah satu upaya politik di tengah krisis yang dialami Indonesia paska kemerdekaan. Tahun 1948, republik diguncang konflik usai agresi militer kedua yang dilakukan oleh Belanda. Kondisi sosial, politik, ekonomi menjadi tidak stabil akibat serangan tersebut. Melihat hal ini, para petinggi negara semacam Sukarno dan jajarannya yang lain mencari jalan untuk menguatkan ikatan bangsa di tengah huru-hara dan indikasi perpecahan yang ada. Langkah politis yang diambil sebagai penyikapan konflik yaitu menjadikan Budi Utomo sebagai simbol kebangkitan bangsa dan diperingati hari berdirinya sebagai Hari Kebangkitan Nasional ke-40. 

Ide ini sebetulnya merupakan hasil pemikiran Sukarno karena secara personal menaruh penghormatan terhadap berdirinya Budi Utomo yang memperlihatkan bersatunya seluruh elemen bangsa dengan tujuan yang sama: melawan penjajahan. Namun karena latar belakang momentum Hari Kebangkitan Nasional bersifat politis, hari ini peringatan tersebut hanya sebatas momentum. Penginsafan akan nilai-nilai seputar kebangkitan nasional menjadi melemah. Poin penting tentang kebangkitan nasional tak dapat hanya sebatas dimaknai dengan berdirinya organisasi berbasis nasional. Ada hal yang lebih mengakar yang perlu dipahami mengenai upaya kebangkitan nasional, yaitu terorganisirnya berbagai komponen dari elemen yang berbeda untuk bergerak melawan pihak penjajah. Salah satu elemen yang terlibat yaitu golongan kiri.

Kiri adalah simbol oposisi. Pada masa pergerakan nasional, golongan kiri dianggap sebagai pemberontak. Terhadap siapa? Terhadap kaum penjajah. Golongan kiri juga diasosiasikan sebagai kelompok yang nonkooperatif terhadap pemerintahan saat itu. Sehingga semua pejuang yang bertentangan dengan pemerintah kolonial dikategorikan sebagai golongan kiri, termasuk Sukarno salah satunya. Akibatnya Sukarno mengalami penangkapan dan pembuangan. Bila dilihat dari perspektif ini, komponen pendukung kebangkitan nasional memang diposisikan sebagai golongan kiri; golongan yang mengupayakan kemerdekaan dan menentang penjajahan atau intervensi dari pihak Belanda, terlepas dari unsur apa saja yang terdapat di dalamnya.

Selepas dari belenggu intervensi Belanda, unsur-unsur yang dulu bersatu dan dipandang kiri oleh Belanda, mulai berpisah dengan menegaskan identitas antar golongan dari peespektif bangsa Indonesia sendiri. Kiri bukan lagi kesatuan golongan pelawan penjajah. Paska hengkangnya Belanda melalui Perjanjian KMB, golongan kiri tinggalah kelompok sosialis, terpisah dari kelompok lainnya. Setelah tidak adanya musuh bersama, golongan kiri kemudian diwaspadai berdasarkan ingatan atas tragedi Madiun yang diinisiasi oleh PKI kala itu. Padahal kiri tidak selalu PKI, namun ingatan tersebut tak dapat dikompromi, terlebih ketika terjadi kembali konflik di 1965.

Gerakan 1965 direkonstruksikan sebagai ancaman terhadap kesatuan bangsa. Keyakinan ini menimbulkan kekhawatiran dan trauma akan segala macam gerakan kiri. Padahal ada permasalahan yang lebih krusial, yaitu paska gerakan PKI 1965, ketika terjadi pembantaian besar-besaran terhadap siapapun yang dituduh terlibat PKI. Hingga hari ini negara belum bisa mempertanggungjawabkan tragedi kemanusiaan tersebut.

Akibat trauma yang ditanamkan, sebagian besar masayarakat Indonesia menyimpan ketakutan tersendiri akan eksistensi golongan kiri. Di sisi lain, pemerintah yang bersifat neoliberal ini memperkeruh persoalan gerakan kiri di Indonesia. Pemerintah entah masih khawatir akan ancaman yang mungkin diberikan oleh gerakan kiri atau hanya berusaha menegaskan pelarangan peredaran paham kiri yang termaktub dalam Tap MPRS No. XXV tahun 1966. Melihat posisi gerakan kiri di tengah masa reformasi memang menarik, karena kebebasan reformasi terbentur oleh ketetapan MPRS tadi.

Ada satu hal yang harus kita cermati betul mengenai pergerakan golongan kiri hari ini. Adanya pelarangan penyebaran paham Marxisme-Leninisme tidak lantas membuat pergerakan kaum kiri padam. Penyebaran paham tetap terjadi melalui literasi-literasi yang telihat melonjak jumlahnya beberapa tahun terakhir, utamanya di sekitar kampus. Akan tetapi pemerintah tidak melakukan tindakan apapun walaupun pihak intelijen pasti tahu mengenai hal ini. Kasus pembakaran buku dan penangkapan mahasiswa beratribut PKI lantas menimbulkan tanya, kenapa baru hari ini. Padahal aktivitas kaum kiri tidak mulai digalakan kembali hari ini. Saya jadi berpikir, respon pemerintah seperti ini dikarenakan banyak upaya penafsiran ulang dari perspektif lain mengenai sejarah gerakan kiri dan berbagai polemik di dalamnya.

Pertentangan ideologi di Indonesia selalu menarik untuk disoroti. Menegasnya batas antar ideologi ataupun golongan memicu gesekan yang sekecil apapun dapat menyebabkan konflik. Situasi ini diperkeruh oleh pihak pemerintah yang menunjukkan tendensi terhadap golongan kiri. Tendensi pemerintah yang belakangan menjadi bahan perbincangan adalah pemberangusan buku kiri. Hal ini menunjukkan adanya upaya represi terhadap akses ilmu pengetahuan. Bila menurut kawan saya itu merupakan penghinaan intelektual, saya lebih senang menyebutnya sebagai cermin demokrasi yang semu. Bangsa ini masih dirundung ketakutan dan kekhawatiran hasil indoktrinasi rezim lama. Menjelang 108 tahun peringatan Kebangkitan Nasional, dibutuhkan refleksi dan kesadaran sejarah. Dibutuhkan perluasan perspektif dalam melihat satu peristiwa karena sejarah tak dapat dilihat dalam bentuk hitam putih saja.

Oleh: Ucu Feni (Sekretaris Umum LPPMD Unpad 2015-2016)

Senin, 02 Mei 2016

Wajah Pendidikan Tinggi Indonesia: Pendidikan sebagai Alat Pembebasan atau Penindasan?

Pendidikan merupakan salah satu upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, begitu pesan yang tersirat dalam UUD 1945. Mengapa kecerdasan menjadi sebuah kebutuhan yang harus difasilitasi? Karena pada hakikatnya kecerdasan adalah salah satu upaya menghapuskan penjajahan dan penindasan. Begitulah para pendiri bangsa ini merasa bangsa Indonesia mesti mendapatkan pendidikan agar pedihnya kebodohan yang berujung penindasan serta penjajahan tak lagi dirasakan generasi berikutnya. Oleh karena itu, pendidikan yang nantinya akan didapatkan, diharapkan tidak untuk membodohi yang lain. Berangkat dari kebutuhan akan hak pengajaran, UUD 1945 kemudian mengatur hak warga Negara untuk mendapatkan pendidikan melalui Pasal 31 UUD 1945. Di dalam pasal tersebut, terdapat pula aturan yang menyebutkan bahwa Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Menyadari kebutuhan akses pendidikan bagi bangsanya, setiap pimpinan Negara ini lantas membuat berbagai kebijakan yang mengatur teraksesnya pendidikan di semua lapisan dan tingkatan. Dibentuklah Sistem Pendidikan Nasional yang merupakan keseluruhan unsur komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Pendidikan nasional juga merupakan pendidikan yang didasarkan pada Pancasila & UUD 1945 yang bersumber pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia & tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Melihat pengertian Sistem Pendidikan Nasional, setidaknya ada dua dasar yang dijadikan sandaran, yaitu UUD 1945 dan Pancasila. Hal ini menunjukkan bahwa penyelenggaraan pendidikan di Indonesia sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan amanat dan cita-cita Negara Indonesia itu sendiri. Setiap amanat tentunya harus dijalankan dengan baik, namun kita melihat ada masalah dalam praktik pendidikan di Indonesia. Dalam tulisan ini, penulis akan membatasi permasalahan pendidikan di lingkup pendidikan tinggi saja.
Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan terakhir di Indonesia yang aksesnya masih terbatas meskipun pemerintah telah menyediakan berbagai macam beasiswa. Rendahnya partisipasi dalam pendidikan tinggi membuat akses pendidikan di Indonesia berbentuk piramida, yang menunjukkan semakin tinggi level pendidikan, semakin rendah akses yang dimiliki. Hal ini menjadi sebuah ironi, mengingat pendidikan adalah tanggung jawab Negara namun pada pelaksanaannya masih banyak warga Negara yang tidak terpenuhi haknya untuk memperoleh pendidikan. Rendahnya angka partisipasi di dalam pendidikan tinggi kini semakin bertambah besar seiring dengan kebijakan mengenai pendidikan tinggi yang disesuaikan dengan kondisi sosial-politik hari ini.
Dunia pendidikan tinggi kini makin jauh dari apa yang dicita-citakan pendiri bangsa sebagaimana tertuang dalam UUD 1945. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa telah terjadi praktik liberalisasi dalam pendidikan di Indonesia, khususnya dunia pendidikan tinggi. Frasa praktik liberalisasi banyak dipakai pengamat pendidikan sebagai upaya menyebut praktik-praktik pemberian otonomi terhadap kampus yang pada tahapan selanjutnya memberikan kebebasan sepenuhnya atas pengelolaan kampus. Isu ini berkembang seiring berubahnya status perguruan tinggi negeri menjadi badan hukum. Pemberian kebebasan sepenuhnya ini mengindikasikan lepasnya tanggung jawab Negara dalam hal memberikan akses pendidikan, karena pada praktiknya universitas sebagai lembaga pendidikan tinggi dibebankan pengelolaan keuangan secara mandiri. Penyimpangan praktik pendidikan ini termaktub dalam UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). Poin-poin di dalamnya menunjukkan ada upaya liberalisasi dan komersialisasi sehingga pada 2010 UU ini digugurkan oleh Mahkamah Konstitusi karena dianggap tidak sesuai dengan amanat UUD 1945 dalam hal penyelenggaraan pendidikan.
Menyikapi pengguguran UU BHP, pemerintah lalu mengeluarkan UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Berbeda dengan BHP yang secara implisit mengindikasikan lepasnya tanggung jawab pemerintah dalam menjamin akses pendidikan bagi setiap warga Negara, dalam UU ini disebutkan bahwa negara harus memastikan anak bangsa mendapat pendidikan tinggi secara tidak diskriminatif dan berkeadilan melalui ketersediaan layanan pendidikan, keterjangkauan layanan pendidikan, dan jaminan kepastian bagi mahasiswa untuk menyelesaikan studi tanpa diberatkan masalah ekonomi. Dalam hal ini, pemerintah menunjukkan sikap tanggung jawabnya untuk tidak melepas kewajiban dalam menjamin penyelenggaraan pendidikan bagi setiap warga Negara. Akan tetapi, pada praktiknya, imbas dari kebijakan ini justru memperlihatkan praktik komersialisasi, alih-alih menghapuskan praktik liberalisasi. Bukti dari praktik komersialisasi dalam dunia pendidikan tinggi melalui kebijakan ini yaitu dikeluarkannya kebijakan kenaikan uang kuliah yang pada akhirnya menjadi tanggung jawab yang dibebankan pada mahasiswa. Sebagai akibat dari naiknya biaya kuliah, bukankah akses pendidikan tinggi semakin dipersempit secara tidak langsung? Bukankah hal ini kian menegaskan bahwa pendidikan tinggi seperti halnya barang mewah yang hanya bisa diakses oleh golongan menengah ke atas? Realita seperti ini menggiring pada keyakinan bahwa telah terjadi pula praktik privatisasi pendidikan.
Berbicara mengenai tata kelola dan mekanisme pendanaan pendidikan tinggi, pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.4/2014 tentang Penyelenggaraan PendidikanTinggi dan Pengelolaan Pendidikan Tinggi, serta PP No.58/2013 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan PTN BH sebagai peraturan pelaksana ketentuan pasal 89 ayat (3) UU DIKTI. Di dalam kedua peraturan tersebut, kembali dibuat aturan yang pada hakikatnya tidak mendorong penyelenggaraan pendidikan tinggi ke arah komersialisasi. Akan tetapi, pada praktiknya justru terjadi praktik komersialisasi ketika sebuah kampus beralih status menjadi badan hukum. Praktik komersialisasi yang paling terlihat adalah kebijakan menaikkan kembali uang kuliah melalui sistem bernama UKT (Uang Kuliah Tunggal). Di Universitas Indonesia (sebagai kampus PTN BH gelombang pertama), terlihat jelas peningkatan uang kuliah setiap tahunnya sebagai imbas dari beralihnya status menjadi badan hukum. Misalnya saja, sebelum tahun 2008, uang kuliah di UI ditetapkan sebesar 1,75 juta tiap semesternya. Setelah muncul kebijakan UKT, terjadi penggolongan biaya kuliah yang disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki oleh mahasiswa. Kebijakan yang terakhir adalah biaya kuliah naik menjadi 7,5juta rupiah untuk progam eksakta dan 5 juta rupiah untuk rumpun humaniora.
Beralihnya status perguruan tinggi negeri di Indonesia ke suatu badan hukum yang kini dinamakan PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum) telah mendorong penyelenggaraan pendidikan ke dalam praktik liberalisasi, privatisasi, komersialisasi, hingga swastanisasi. Keseluruhan praktik tersebut kian menjauhkan filosofi pendidikan Indonesia yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan telah dijadikan barang komersial dengan mahasiswa yang ditempatkan sebagai produk yang dipersiapkan untuk bersaing di pasar global. Dengan fenomena yang ada, kampus tak lagi menjalankan fungsi sebagai wadah mencari citra dan sarana berdiskusi. Kini kampus telah mengganti wajahnya menjadi pabrik buruh dan wadah pencitraan itu sendiri. Betapa ironinya kenyataan ini, mengingat pendidikan semestinya dijadikan salah satu upaya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Kini dengan segala praktik yang menjauhkan dari hakikat pendidikan itu sendiri, masih bisakah bangsa ini menjadi cerdas?
Kesadaran akan pentingnya pendidikan sebagai hak bagi seluruh warga Negara tentunya membuat kita terfokus untuk memperjuangkan akses pendidikan. Sehingga ketika terjadi praktik komersialisasi pendidikan yang membuat kaum miskin sulit menjangkau pendidikan tinggi, mahasiswa lantang menyuarakan aspirasinya. Namun kita juga tidak boleh lupa, bahwa persoalan dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, bukanlah soal duit semata. Ada hal-hal yang lebih fundamentalis yang perlu kita perjuangkan juga seiring beralihnya status beberapa universitas negeri menjadi PTN-BH, yaitu hakikat pendidikan tinggi. Apa yang membedakan jenjang pendidikan tinggi dengan pendidikan dasar dan menengah? Spesifikasi keilmuan. Hal tersebut menjadi sebuah ciri yang membedakan kesemua jenjang pendidikan di Indonesia. Seiring dengan berubahnya status perguruan tinggi, kurikulum yang dipakai pun turut berubah. Setelah menjadi PTN-BH, kurikulum di setiap keilmuan menjadi diperluas ke muatan-muatan keilmuan yang sebetulnya tidak menjadi konsentrasi keilmuan bidang tersebut. Sebagai contoh, penulis sebagai mahasiswa Sejarah, dikenalkan pada mata kuliah Kewirausahaan yang sebetulnya menjadi ruang lingkup bidang ekonomi dan bisnis. Hal ini dinilai sebagai salah satu upaya untuk membekali para mahasiswa kesiapan untuk persaingan di dunia global, karena saat ini setiap ilmu menjadi multi disiplin. Memperluas wawasan boleh saja, akan tetapi sayangnya hal ini justru berimbas pada kurangnya konsentrasi pada keilmuan sehingga kemampuan mahasiswa justru hanya berada di tataran permukaan, tidak menjadi spesialis atau ahli di suatu bidang.
Contoh yang dikemukakan di atas hanyalah sebagian kecil dari fenomena yang terjadi seiring berubahnya status perguruan tinggi negeri menjadi badan hukum. Pudarnya nilai-nilai filosofi pendidikan dan hakikat pendidikan telah melahirkan komersialisasi di berbagai ranah, termasuk ranah penelitian. Penelitian dan pengembangan sebagai poin kedua dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, tak lagi ditujukan guna kemajuan teknologi yang bermanfaat bagi hajat hidup orang banyak. Kini penelitian dilakukan semata-mata untuk bersaing di pasar dan bertujuan untuk meraih keuntungan personal semata. Inilah mengapa berbagai penelitian diasosiasikan sebagai proyek, sehingga hasil penelitian pun akan sangat politis.
Berbagai fenomena di lapangan terkait praktik liberalisasi mengingatkan penulis pada sepenggal sajak yang ditulis oleh W. S. Rendra: “kita ini dididik untuk memihak yang mana? Ilmu-ilmu yg diajarkan di sini akan menjadi alat pembebasan ataukah alat penindasan? Penggalan sajak tersebut selalu menarik untuk dibicarakan terlebih bila melihat praktik pendidikan hari ini yang kian jauh dari apa yang diamanatkan oleh UUD 1945. 
Pada hakikatnya pendidikan diajarkan sebagai alat pembebasan dari kebodohan agar terbebas dari segala bentuk penjajahan dan penindasan. Akan tetapi orientasi pendidikan hari ini sudah tak lagi mencerminkan hal yang sama. Melalui berbagai praktik yang kian menjauhkan cita-cita dan amanat yang termaktub dalam UUD 1945, pendidikan bisa jadi menciptakan orang-orang yang akan memanfaatkan pengetahuannya untuk kepentingannya semata. Penanaman kesadaran akan kebutuhan untuk mampu bersaing di pasar global akan membuat mahasiswa lupa apa yang menjadi tujuan dan hakikat pendidikan tinggi. Tri Dharma Perguruan Tinggi serta Peran dan Fungsi Mahasiswa yang dikenalkan ketika awal memasuki dunia perkuliahan akan menjadi cerita usang saja. Kesadaran bahwa subsidi dana pendidikan diambil dari keringat setiap rakyat tak akan  lebih diingat dari keharusan untuk mampu bersaing di pasar ketika lulus nanti.
Akankah semua mahasiswa yang menyaksikan praktik liberalisasi pendidikan tinggal diam dan menunggu momentum penindasan terjadi? Sudikah kiranya kita membayar mahal uang pendidikan hanya untuk melanggengkan praktik liberalisasi, komersialisasi, privatisasi, serta swastanisasi yang berimplikasi pada terbatasnya akses pendidikan tinggi bagi seluruh warga Negara? Hati nurani dibutuhkan di sini, untuk menajamkan kepekaan sosial terhadap neo-kolonialisme dan neoliberalisme yang telanjur merangsek ke dalam kehidupan sosial kita. Sudah saatnya mahasiswa merenungi kembali hakikat pendidikan dan bergerak bersama melawan seluruh upaya komersialisasi di bidang pendidikan. Kita semua tinggal memilih: mau menggunakan pendidikan sebagai alat pembebasan atau alat penindasan?