Akhir-akhir ini media memfokuskan perhatian kita
pada kasus pemberangusan buku-buku beraliran "kiri". Lantas, sebuah
media pers mewawancarai saya mengenai fenomena kebangkitan nasional dan kasus
pemberangusan buku tersebut. Ini sebuah hal yang menarik, terlebih pemusnahan
buku-buku kiri tersebut dilakukan menjelang peringatan momentum Kebangkitan
Nasional yang selalu diperingati per 20 Mei. Indikasi apakah yang
melatarbelakangi hal ini? Apakah pemerintah ingin menunjukkan bahwa buku-buku
beraliran kiri merupakan sebuah ancaman terhadap integrasi bangsa, yang mana
terbentuk dari perjuangan menanamkan kesadaran akan persatuan nasional di masa
lampau.
Berbicara golongan kiri, bangsa ini memang
diingatkan untuk selalu waspada terhadap berbagai macam makar yang dahulunya
dilakukan oleh salah satu partai dari golongan kiri. Trauma ini selalu
ditanamkan melalui berbagai medium, baik edukasi (melalui pelajaran sejarah),
literasi (salah satunya yaitu film), dan berbagai informasi yang dikeluarkan
oleh pemerintah sebagai referensi atas peristiwa terkait. Memahami akar
permasalahan ini mestilah melihat peristiwa secara universal, serta menggunakan
perspektif historis akan mempermudah menelisik kembali pangkal permasalahan
ini.
Berbicara mengenai kebangkitan nasional di
Indonesia, berdirinya Budi Utomo sebagai organisasi kepemudaan nasional
dijadikan tonggak lahirnya kebangkitan nasional. Inilah mengapa tanggal 20 Mei
diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Peringatan Kebangkitan Nasional
dengan menggunakan Budi Utomo sebagai simbol kebangkitan merupakan salah satu
upaya politik di tengah krisis yang dialami Indonesia paska kemerdekaan. Tahun
1948, republik diguncang konflik usai agresi militer kedua yang dilakukan oleh Belanda.
Kondisi sosial, politik, ekonomi menjadi tidak stabil akibat serangan tersebut.
Melihat hal ini, para petinggi negara semacam Sukarno dan jajarannya yang lain
mencari jalan untuk menguatkan ikatan bangsa di tengah huru-hara dan indikasi
perpecahan yang ada. Langkah politis yang diambil sebagai penyikapan konflik
yaitu menjadikan Budi Utomo sebagai simbol kebangkitan bangsa dan diperingati
hari berdirinya sebagai Hari Kebangkitan Nasional ke-40.
Ide ini sebetulnya merupakan hasil pemikiran
Sukarno karena secara personal menaruh penghormatan terhadap berdirinya Budi
Utomo yang memperlihatkan bersatunya seluruh elemen bangsa dengan tujuan yang
sama: melawan penjajahan. Namun karena latar belakang momentum Hari Kebangkitan
Nasional bersifat politis, hari ini peringatan tersebut hanya sebatas momentum.
Penginsafan akan nilai-nilai seputar kebangkitan nasional menjadi melemah. Poin
penting tentang kebangkitan nasional tak dapat hanya sebatas dimaknai dengan
berdirinya organisasi berbasis nasional. Ada hal yang lebih mengakar yang perlu
dipahami mengenai upaya kebangkitan nasional, yaitu terorganisirnya berbagai
komponen dari elemen yang berbeda untuk bergerak melawan pihak penjajah. Salah
satu elemen yang terlibat yaitu golongan kiri.
Kiri adalah simbol oposisi. Pada masa pergerakan
nasional, golongan kiri dianggap sebagai pemberontak. Terhadap siapa? Terhadap
kaum penjajah. Golongan kiri juga diasosiasikan sebagai kelompok yang
nonkooperatif terhadap pemerintahan saat itu. Sehingga semua pejuang yang bertentangan
dengan pemerintah kolonial dikategorikan sebagai golongan kiri, termasuk
Sukarno salah satunya. Akibatnya Sukarno mengalami penangkapan dan pembuangan.
Bila dilihat dari perspektif ini, komponen pendukung kebangkitan nasional
memang diposisikan sebagai golongan kiri; golongan yang mengupayakan
kemerdekaan dan menentang penjajahan atau intervensi dari pihak Belanda,
terlepas dari unsur apa saja yang terdapat di dalamnya.
Selepas dari belenggu intervensi Belanda,
unsur-unsur yang dulu bersatu dan dipandang kiri oleh Belanda, mulai berpisah
dengan menegaskan identitas antar golongan dari peespektif bangsa Indonesia
sendiri. Kiri bukan lagi kesatuan golongan pelawan penjajah. Paska hengkangnya
Belanda melalui Perjanjian KMB, golongan kiri tinggalah kelompok sosialis,
terpisah dari kelompok lainnya. Setelah tidak adanya musuh bersama, golongan
kiri kemudian diwaspadai berdasarkan ingatan atas tragedi Madiun yang
diinisiasi oleh PKI kala itu. Padahal kiri tidak selalu PKI, namun ingatan
tersebut tak dapat dikompromi, terlebih ketika terjadi kembali konflik di 1965.
Gerakan 1965 direkonstruksikan sebagai ancaman
terhadap kesatuan bangsa. Keyakinan ini menimbulkan kekhawatiran dan trauma
akan segala macam gerakan kiri. Padahal ada permasalahan yang lebih krusial,
yaitu paska gerakan PKI 1965, ketika terjadi pembantaian besar-besaran terhadap
siapapun yang dituduh terlibat PKI. Hingga hari ini negara belum bisa
mempertanggungjawabkan tragedi kemanusiaan tersebut.
Akibat trauma yang ditanamkan, sebagian besar
masayarakat Indonesia menyimpan ketakutan tersendiri akan eksistensi golongan
kiri. Di sisi lain, pemerintah yang bersifat neoliberal ini memperkeruh
persoalan gerakan kiri di Indonesia. Pemerintah entah masih khawatir akan
ancaman yang mungkin diberikan oleh gerakan kiri atau hanya berusaha menegaskan
pelarangan peredaran paham kiri yang termaktub dalam Tap MPRS No. XXV tahun
1966. Melihat posisi gerakan kiri di tengah masa reformasi memang menarik,
karena kebebasan reformasi terbentur oleh ketetapan MPRS tadi.
Ada satu hal yang harus kita cermati betul
mengenai pergerakan golongan kiri hari ini. Adanya pelarangan penyebaran paham
Marxisme-Leninisme tidak lantas membuat pergerakan kaum kiri padam. Penyebaran
paham tetap terjadi melalui literasi-literasi yang telihat melonjak jumlahnya
beberapa tahun terakhir, utamanya di sekitar kampus. Akan tetapi pemerintah
tidak melakukan tindakan apapun walaupun pihak intelijen pasti tahu mengenai
hal ini. Kasus pembakaran buku dan penangkapan mahasiswa beratribut PKI lantas menimbulkan
tanya, kenapa baru hari ini. Padahal aktivitas kaum kiri tidak mulai digalakan
kembali hari ini. Saya jadi berpikir, respon pemerintah seperti ini dikarenakan
banyak upaya penafsiran ulang dari perspektif lain mengenai sejarah gerakan
kiri dan berbagai polemik di dalamnya.
Pertentangan ideologi di Indonesia selalu menarik
untuk disoroti. Menegasnya batas antar ideologi ataupun golongan memicu gesekan
yang sekecil apapun dapat menyebabkan konflik. Situasi ini diperkeruh oleh
pihak pemerintah yang menunjukkan tendensi terhadap golongan kiri. Tendensi
pemerintah yang belakangan menjadi bahan perbincangan adalah pemberangusan buku
kiri. Hal ini menunjukkan adanya upaya represi terhadap akses ilmu pengetahuan.
Bila menurut kawan saya itu merupakan penghinaan intelektual, saya lebih senang
menyebutnya sebagai cermin demokrasi yang semu. Bangsa ini masih dirundung
ketakutan dan kekhawatiran hasil indoktrinasi rezim lama. Menjelang 108 tahun
peringatan Kebangkitan Nasional, dibutuhkan refleksi dan kesadaran sejarah.
Dibutuhkan perluasan perspektif dalam melihat satu peristiwa karena sejarah tak
dapat dilihat dalam bentuk hitam putih saja.
Oleh: Ucu Feni (Sekretaris Umum LPPMD Unpad 2015-2016)