LPPMD Unpad

Selasa, 22 Agustus 2023

Press Release: LPPMD Dibredel!

Hari Selasa ini (22/08/2023), LPPMD Unpad mengalami pemberangusan kebebasan akademik. LPPMD Unpad mengalami pembredelan saat berpartisipasi dalam parade Student Festival Prabu 2023. Poster dan zine kami diambil dari kami di tengah parade tersebut.



Pembredelan tersebut dilakukan pihak keamanan panitia Prabu 2023 dengan alasan, sebagaimana disampaikan salah satu panitia, “tidak boleh membawa tulisan politis dan provokatif” dan “rektorat melarang pembahasan terkait UKT (uang kuliah tunggal)”. Poster dan zine kami yang berisikan penolakan terhadap komersialisasi pendidikan dianggap melanggar hal tersebut.


Kami menganggap kejadian tersebut merupakan represi terhadap kebebasan akademik. LPPMD Unpad sedari dulu menempatkan dirinya sebagai lembaga kajian isu sosial-politik dan tidak pernah terlibat dalam politik praktis apapun. Hasil-hasil kerja kami, termasuk poster dan zine tersebut, pada hakikatnya adalah hasil buah pikir akademis para anggota. Oleh karenanya, agitasi dan provokasi yang terdapat dalam poster dan zine kami merupakan upaya pembangunan intelektualitas para mahasiswa di Universitas Padjadjaran.


Kronologi Kejadian


Waktu

Kejadian

3 Agustus 2023

Perwakilan dari LPPMD mengikuti forum komunikasi kedua yang diinisiasi oleh panitia prabu.

3 Agustus 2023

Panitia Prabu menyampaikan nota kesepakatan dengan pasal yang  melarang penggunaan materi-materi yang provokatif dan agitatif.

3 Agustus 2023

Perwakilan LPPMD menanyakan kepada panitia prabu perihal pasal tersebut, mengingat LPPMD adalah UKM kajian sosial politik dan akan membawa tema liberalisasi pendidikan dalam pelaksanaan prabu. Panitia Prabu merespon dengan menjawab bahwa tema liberalisasi pendidikan diperbolehkan, selama tulisan diverifikasi sebelumnya oleh panitia melalui LO.

21 Agustus 2023, 11.33

Perwakilan LPPMD melalui WhatsApp mengirim zine tersebut kepada LO yang sudah ditugaskan. Hingga pelaksanaan parade Student Festival Prabu, perwakilan LPPMD tidak mendapat penerimaan atau penolakan lebih lanjut.

22 Agustus 2023, 8.30

Setelah dilaksanakannya screening & body check, bagian keamanan panitia Prabu melarang perwakilan LPPMD untuk membawa poster yang berisi tulisan "Tolak kuliah mahal! Kampus kok bisnis? Pendidikan bukan komoditi!" Karena tidak ada alasan yang jelas dari pihak panitia, kami bersikukuh untuk tetap menggunakan poster tersebut dalam pelaksanaan parade.

22 Agustus 2023, 10.15

Pihak keamanan panitia Prabu melakukan intervensi terhadap barisan parade LPPMD dengan mengambil poster dan zine dari perwakilan LPPMD dalam parade dengan dalih tidak boleh membawa isu UKT karena arahan dari rektorat.

22 Agustus 2023, 

10.30

Perwakilan LPPMD melaporkan kejadian tersebut pada perwakilan Komisi I BPM Unpad dan KPSDM Unpad. Pihak tersebut menekankan bahwa memang tidak boleh menggunakan materi-materi yang memiliki unsur politik.


Pernyataan Organisasi

Kami mengecam panitia Prabu atas kesewenangan yang dilakukan terhadap LPPMD Unpad selama Student Festival Prabu 2023. Menanggapi hal tersebut, LPPMD melayangkan tuntutan sebagaimana berikut:


  • Menolak segala bentuk represi kebebasan akademik di lingkungan Universitas Padjadjaran.

  • Menuntut panitia Prabu 2023 untuk mengembalikan semua poster dan zine yang telah diambil kepada pihak LPPMD Unpad.

  • Menuntut panitia Prabu 2023 untuk memberikan klarifikasi terbuka terhadap pemberantasan poster dan zine milik LPPMD Unpad dalam pelaksanaan Student Festival Prabu 2023.


Jika tuntutan tersebut tidak dipenuhi dalam waktu 7 hari kalender sejak dirilisnya press release ini, kami akan melakukan eskalasi isu lebih lanjut.


Salam pembebasan!


Zine dapat diakses di pranala ini.


Senin, 29 Mei 2023

Merefleksikan Kembali Pemilu Kita

  


Sumber Ilustrasi karya Kiagus Aulianshah/Beritagar.id; https://beritagar.id


    

            Oleh Noki Dwi Nugroho


Sebagai sebuah negara yang mendaku diri sebagai negara yang demokratis, keterlibatan warga negara dalam kehidupan politik suatu negara adalah hal yang fundamental, mengingat esensi dari demokrasi itu sendiri yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam sebuah negara. Dalam hal ini, proses Pemilihan Umum (Pemilu) seringkali digunakan sebagai indikator sebuah negara dapat dikatakan demokratis atau tidak. Hal ini mengingat Pemilu merupakan sarana di mana rakyat dapat secara langsung memilih pemimpin yang dirasa tepat untuk memimpin mereka dalam periode tertentu.


Di Indonesia sendiri, proses Pemilu sudah berlangsung sejak Indonesia berusia 10 tahun. Sejak dilaksanakan pertama kali pada 1955, Pemilu di Indonesia sudah banyak sekali mengalami dinamika, mulai dari pergantian sistem Pemilu tertutup ke terbuka, dan dinamika lainnya. Dengan diselenggarakannya Pemilu sebagai proses akumulasi kepentingan masyarakat, harapannya Pemilu dapat dijadikan momentum untuk menghasilkan pemimpin yang dapat membawa Indonesia pada kesejahteraan. Namun, melihat kenyataan di negeri ini, Pemilu yang alih-alih dapat menjadi momentum untuk membawa kesejahteraan bagi negeri ini justru hanya menjadi momentum pertarungan politisi dan pertarungan kepentingan para oligark. Hal ini dibuktikan dari data World Inequality Report pada 2022 yang menyebutkan tingkat kesenjangan ekonomi di Indonesia yang tidak mengalami perubahan yang signifikan sejak dua dekade terakhir. Permasalahan mengenai kesejahteraan yang hanya dirasakan oleh sekelompok kecil rakyat Indonesia perlu menjadi fokus perhatian mengingat hal ini akan berimplikasi kepada bagaimana proses Pemilu yang sudah berlangsung di Indonesia nyatanya merupakan medan pertempuran bagi para oligark dalam mengamankan kepentingannya.


Jeffrey Winters dalam tesisnya yang berjudul Oligarki menjelaskan bagaimana para oligark dapat menjalankan kepentingannya di pemerintahan demokrasi yang seharusnya rakyat menjadi aktor utama dalam urusan politik. Sebelumnya, menjadi sangat penting untuk memahami konsep oligarki yang dimaksud oleh Jeffrey Winters. Dalam tesisnya, Ia menjelaskan oligarki sebagai sebuah pemerintahan yang dikuasai oleh segelintir orang yang memiliki kepentingan untuk mempertahankan kekayaan (Winters, 2011). Lebih lanjut, Winters juga menyebut "oligark" sebagai subjek yang menjadi bagian oligarki. Dalam konteks negara demokrasi, oligarki dapat menjalankan kepentingannya melalui proses-proses yang "demokratis". Dalam hal ini, para oligark menjadikan momen Pemilu sebagai cara mereka untuk dapat menjalankan kepentingannya. Dalam kontestasi, para oligark dapat secara langsung terlibat atau bermain di belakang layar sebagai penyokong dana untuk seseorang agar dapat memenangkan kontestasi. Sebagai imbalannya, politisi yang dibantu pendanaanya oleh para oligark harus "mengabdi" kepadanya. Sebagai bukti nyata, Ketua Komisi III DPR RI, Bambang Pacul pada rapat kerja bersama Menko Polhukam secara gamblang menyebutkan bahwa dalam lobi-lobi politik harus terdapat persetujuan dari "juragan" para pejabat parlemen. Hal ini menjadi sebuah ironi, ketika anggota legislatif yang seharusnya mengabdi kepada masyarakat justru mengabdi kepada "juragan-juragan" mereka di atas. Partai politik yang seharusnya menjadi kendaraan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat justru dibajak oleh kekuatan oligarki.


Melihat realitas yang terjadi di negeri ini, perlu kembali untuk merefleksikan kembali bagaimana proses Pemilu yang terjadi di negara kita. Jika kemudian Pemilu digunakan sebagai sarana pertarungan kepentingan oligarki, menjadi sebuah hal yang wajar jika terdapat kelompok masyarakat yang acuh terhadap gelaran Pemilu. Selain itu, perdebatan pemilu terbuka dan tertutup juga menjadi satu hal yang tidak berguna jika nyatanya bagaimanapun sistemnya, jika kesadaran untuk membawa rakyat kepada kesejahteraan tidak dimiliki oleh partai hal ini akan menjadi omong kosong yang besar.

Minggu, 01 Mei 2022

May Day dan Refleksi Kerja Hari Ini
Ilustrasi oleh Andien Destiani R.


Oleh: M. Diva Kafila Raudya


Selamat Hari Pekerja Sedunia!


1 Mei 1886, sepasang kekasih anarkis Lucy dan Albert Parson beserta anak-anaknya melangkahkan kaki bersama 340.000 pekerja dari 12 pabrik menuju Chicago Michigan Avenue dalam parade May Day pertama kali di dunia untuk menuntut 8 jam kerja sehari. Tuntutan tersebut merupakan sebuah usaha untuk membagikan pekerjaan pada ribuan pekerja lainnya yang menganggur akibat mesin-mesin “penghemat kerja” baru.


Tuntutan yang tak kunjung dipenuhi membuat demonstrasi berlangsung hingga hari-hari berikutnya. Tepat di tanggal 4 Mei 1886, sebuah bom dilempar lalu meledak dan melukai 70 orang polisi dan menewaskan seorang polisi. Albert Parson dan ketiga martir Haymarket lainnya harus menerima kenyataan pahit tatkala pengadilan menunjuk mereka untuk mendapatkan hukuman gantung. Kerusuhan Haymarket atau Haymarket Riot lantas diperingati menjadi hari pekerja sedunia yang jatuh pada tanggal 1 Mei (Harper, 2017).


Ratusan tahun kemudian, semangat para pekerja Haymarket masih berhembus. Di Bandung, ribuan orang baik dari pelajar dan pekerja yang mengklaim sebagai black bloc/Antifa (jika tak ingin disebut anarkis) melakukan parade dalam rangka memperingati May Day pada tahun 2019. Serupa dengan nasib para pekerja di Haymarket, massa yang tergabung dalam parade mendapatkan represi dari aparat kepolisian; setidaknya 600 orang ditahan dan puluhan mengalami luka-luka (Lazuardi, 2019).


Sekilas Soal Eksploitasi


Meski tuntutan kerja 8 jam dalam tragedi Haymarket telah terpenuhi, tak serta merta kondisi kerja di bawah kapitalisme dapat dikatakan menjadi jauh lebih baik. Praktik eksploitasi terhadap pekerja, yang bahkan telah terjadi jauh sebelum tragedi Haymarket masih tetap eksis hingga hari ini.


Untuk melihat hal tersebut, kiranya kita perlu untuk memahami terlebih dahulu apa itu eksploitasi dan bagaimana eksploitasi itu terjadi dari masa ke masa. Dalam membahas eksploitasi, tentunya tidak dapat dilepaskan dari pemikiran Karl Marx soal penciptaan nilai lebih oleh pekerja.


Dalam proses kerja, terdapat dua waktu kerja: waktu kerja perlu, sebagai sarana penyamarataan nilai dengan upah, dan waktu kerja lebih, sebagai sarana penghasilan nilai lebih yang menjadi surplus bagi kelas yang berkuasa (dalam konteks Marx disebut kelas pemodal) (Marx, 1976). Maka dari itu, ketika pemodal membayar upah atas waktu kerja dari pekerja berapapun akumulasi nilai yang ada dalam suatu komoditas menjadi sepenuhnya milik pemodal.


Pada era perbudakan dan feodalisme, eksploitasi terlihat sangat kentara. Di era perbudakan, para budak diwajibkan untuk melakukan waktu kerja lebih selama enam hari untuk menghasilkan produk surplus bagi kelas yang berkuasa. Sedangkan waktu kerja perlu untuk memenuhi kebutuhan hidup para budak, hanya dilakukan dalam waktu satu hari.


Sedangkan dalam corak produksi di bawah feodalisme, para petani hamba harus bekerja di dua tanah sekaligus, yakni tanah feodal dan tanah hamba. Waktu kerja petani hamba terbagi menjadi dua, tiga hari bekerja di tanam feodal untuk menghasilkan surplus bagi tuan tanah, dan tiga hari di tanah hamba untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarga.


Di dalam corak produksi kapitalisme, eksploitasi ini menjadi buram atau samar (jika tidak ingin disebut tidak terlihat). Eksploitasi terjadi melalui mekanisme pencurian nilai lebih. Upah, sebagai bentuk pembelian tenaga kerja oleh majikan, hanya membayar waktu kerja yang dilakukan oleh pekerja. Sedangkan, dalam proses kerja, pekerja sendiri melakukan dua waktu kerja sekaligus yakni waktu kerja perlu dan lebih.


Marx sendiri mengkategorikan nilai lebih menjadi dua kategori, yakni nilai lebih absolut dan nilai lebih relatif. Kategorisasi tersebut didasarkan pada cara meningkatkan nilai lebih (Marx, 1976). Nilai lebih absolut dilakukan dengan cara memperpanjang durasi waktu kerja tanpa meningkatkan nilai tenaga kerja. Sedangkan nilai lebih relatif dilakukan dengan cara mengurangi tenaga kerja dengan membuat murah konsumsi pekerja melalui peningkatan produktivitas dengan durasi waktu kerja yang sama. Kategorisasi atau pemisahan tersebut bukan berarti berlaku secara universal, kedua cara tersebut tetap dapat dikombinasikan dalam produksi riil.


Contoh penerapan dari nilai lebih absolut yakni ketika pekerja yang semula bekerja 8 jam, dengan rincian durasi 4 jam menghasilkan komoditas, dan 4 jam menghasilkan nilai lebih - ditambah 1 jam untuk menghasilkan nilai lebih absolut, dan dengan begitu durasi bekerja menjadi 9 jam. Penerapan ini biasanya melekat dalam corak produksi kapitalisme pada tahap awal.


Sedangkan dalam tahapan kapitalisme yang maju, praktik umum yang sering digunakan untuk produksi nilai lebih adalah nilai lebih relatif. Pemanfaatan ilmu pengetahuan dan penerapan teknologi maju di dalam proses produksi mampu mengurangi nilai dari tenaga kerja. Misal, dalam memproduksi komoditas pekerja semula membutuhkan waktu 4 jam. Dengan kemajuan teknologi, kini pekerja dapat menghasilkan komoditas hanya dalam waktu 3 jam, dan membuat produksi nilai lebih tentunya bertambah (Moidady et al., 2017).


Dalam pandangan Marx, nilai lebih relatif adalah asal mula dari sebagian besar perkembangan penting dalam transformasi historis organisasi kerja dan teknologi kapitalisme (Dumenil & Foley, 2021, pp. 23). Pandangan Marx ini akan digunakan untuk memahami fenomena perkembangan industri belakangan ini yang kerap disebut dengan Industri 4.0 yang dicirikan dengan kemunculan teknologi terbarukan, internet, dan mesin-mesin otomasi dan kaitannya dengan kondisi kerja hari ini.


Eksploitasi 4.0


Lagi-lagi, kelas pekerja harus kalah cepat dengan perkembangan industri dalam melakukan revolusi. Setelah Revolusi Industri 1.0 pada abad 18, lalu Revolusi Industri 2.0 pada ke abad 19, Revolusi Industri 3.0 pada dekade 70-an, dan kini kelas pekerja dihadapkan dengan Revolusi Industri 4.0 yang setidaknya terjadi lebih dari satu dekade silam.


Revolusi Industri 4.0 tentunya memiliki pengaruh karena menuntut manusia untuk beradaptasi dengannya. Tidak hanya mempengaruhi cara manusia berpikir, hidup, atau berhubungan, secara menyeluruh tentunya Revolusi Industri 4.0 akan mendisrupsi berbagai bidang mulai dari sosial, politik, dan ekonomi.


Dalam Industri 4.0, Internet memiliki peran sentral. The Internet of Things (IoT) berfungsi untuk menghubungkan semua perangkat komputasi menggunakan teknologi tertentu. Selain IoT, muncul pula dataraya (big data), kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI), pencetakan 3D, rekayasa genetik, robot dan mesin pintar (Bahrin et al., 2016), sebagaimana yang seringkali digaungkan oleh orang yang hendak menunjukkan kemajuan zaman melalui teknologi bleeding-edge saat ini.


Perkembangan teknologi ini tentunya tak bisa dilepaskan dari sejarah teknologi itu sendiri. Penelitian Polimpung (2018) mengenai historio revolusi teknologi mengidentifikasi bahwa perkembangan teknologi selalu muncul di tiga sektor, dengan dua motivasi, dan satu tujuan utama. Tiga sektor tersebut yakni militer, industri, dan personal. Dengan dua motivasi yakni menyakiti tubuh manusia dan mengekstraksi tubuh manusia. Dengan mengarahkan pada satu tujuan utama yakni efisiensi. Di sektor industri, tentu perkembangan teknologi ditujukan untuk melakukan efisiensi produksi. Bagaimana teknologi dapat mencari cara paling mudah, cepat, dan tepat dalam memproduksi komoditas.


John Maynard Keynes (1930) sempat memprediksi bahwa pada abad ke-21, para pekerja hanya akan bekerja 15 jam dalam seminggu berkat perkembangan teknologi. Dengan melihat kondisi saat ini, dimana teknologi digital dan mesin-mesin otomasi berkembang pesat, seharusnya ramalan Keynes terjadi. Tentunya tidak dapat dinafikan bahwa dalam kondisi ideal, perkembangan teknologi seharusnya mampu membawa lebih banyak waktu luang bagi pekerja.


Tetapi, jika melihat kondisi dunia saat ini terutama saat pandemi, data yang dihimpun oleh World Economy Forum (WEF) menunjukkan bahwa 31 juta pekerja dari 21 ribu perusahaan malah mengalami pemanjangan waktu kerja, dengan peningkatan rata-rata 48,5 menit (Yoshio, 2020). Dalam konteks Indonesia, laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa rata-rata penduduk usia 15 tahun ke atas justru menjalankan waktu kerja lebih dari 40 jam dalam seminggu sebagaimana yang diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan (Pusparisa, 2020).


Berbeda dengan ramalan Keynes, mendiang David Graeber menyatakan bahwa perkembangan teknologi malah membuat manusia bekerja lebih banyak daripada sebelumnya. Bahkan, Graeber (2018) menyebut pekerjaan-pekerjaan tersebut sebagai tugas yang membuang waktu dan tidak perlu, yang secara tegas ia katakan sebagai bullshit jobs. Salah satu contoh yang Graeber berikan yakni duct tapers. Duct tapers merujuk pada pekerja yang bekerja hanya untuk mengatur ritme kerja dan menyalin file excel yang sebenarnya bisa diotomatisasi jika berkaca pada perkembangan teknologi saat ini.


Saya kembali mencoba untuk menguji ramalan Keynes; mungkin pekerja yang dimaksud Keynes adalah pekerja-pekerja fleksibel yang kebetulan saat ini marak seiring dengan berkembangnya korporasi start up dan agensi kreatif sebagai turunan dari Industri 4.0. Memang di satu sisi narasi kebebasan dan independensi menjadi lekat pada pekerja industri ini, karena dapat mengatur waktu kerja secara fleksibel. Tetapi, di sisi lain, pekerja menjadi dapat bekerja di luar kontrak yang sudah disepakati oleh pihak pekerja dan majikan, melampaui jam normal kerja pada umumnya, bahkan di jam yang seharusnya dipakai untuk beristirahat (Tuckman, 2005).


Dalam penelitian yang dilakukan Izzati et al. (2021) terhadap 16 pekerja agensi kreatif di Bandung, DKI Jakarta, dan Surabaya, fleksibilitas waktu kerja yang selalu di glorifikasi dalam Industri 4.0 ini justru menjadi sumber kerentanan para pekerja. Para pekerja bahkan bisa bekerja hingga 24 jam demi mengejar deadline yang tak jarang datang secara mendadak. Hal ini menunjukkan kombinasi dari praktik penciptaan nilai lebih melalui mekanisme apropriasi nilai lebih absolut dan nilai lebih relatif.


Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa Rramalan Keynes sepenuhnya omong kosong belaka. Dalam corak produksi kapitalisme, yang selalu diutamakan tentunya bagaimana meraup profit sebesar mungkin. Jika memang kondisi ideal saat ini mampu membuat pekerja bekerja 15 jam dalam satu minggu, tentunya hal tersebut tak akan diimplementasikan begitu saja oleh pemodal.


Peraupan profit sebesar mungkin, tentunya harus diimplementasikan dalam peningkatan produksi dan penurunan nilai tenaga-kerja. Lantas, bagaimana cara meningkatkan produksi sembari menurunkan nilai tenaga-kerja? Tentunya dengan cara apropriasi nilai lebih relatif.


Dalam konteks Indonesia, perkembangan teknologi mampu menghantarkan peningkatan produksi. Salah satu contohnya ada didalam industri alas kaki yang mengalami peningkatan produksi hingga 5% pada tahun 2019. Peningkatan produksi alas kaki di Indonesia tidak diiringi dengan peningkatan jumlah pekerja di pabrik-pabrik. Teknologi membantu pekerja untuk lebih produktif dalam menghasilkan nilai lebih sebagai surplus bagi pemodal.


Simpulan


Perkembangan teknologi yang sangat pesat, terutama setelah fajar milenium baru menyingsing dua dekade lalu, ternyata tidak mampu membuat pekerja terbebas dari eksploitasi. Bahkan di kondisi saat ini, pekerja dihadapkan dua hal sekaligus, yakni pemanjangan jam kerja sekaligus pemproduktifan waktu kerja itu sendiri yang ditopang dengan kemajuan teknologi.


Perkembangan teknologi, sebagai turunan dari perkembangan ilmu pengetahuan, tak bisa dilihat secara naif. Ilmu pengetahuan tidak dapat dilihat sebagai sesuatu yang datang dari ruang hampa dan dengan begitu dianggap sebagai sesuatu yang tidak mengandung muatan politis.


Dalam hal Industri 4.0, perkembangan teknologi sebagai penunjangnya tentu tak dapat dilepaskan dari tujuan-tujuan untuk mengakumulasi kapital. Maka dari itu selama agenda perkembangan teknologi dipegang oleh kelas pemodal yang dominan saat ini, jangan harap kondisi kerja tanpa eksploitasi akan terjadi hari ini dan di masa depan. Apa yang dilakukan oleh para demonstran Haymarket tentu saja tidak cukup, karena tuntutan kerja 8 jam bukanlah akhir dari tujuan kelas pekerja itu sendiri, yakni terciptanya dunia baru dengan corak produksi tanpa eksploitasi. Hal tersebut memang bukanlah suatu hal yang akan datang di esok hari atau bulan depan. Tetapi merupakan kerja jangka panjang, yang tetap mesti dicoba oleh pekerja itu sendiri. Keep putting the impossible into a test!



Daftar Pustaka

Dumenil, G., & Foley, D. (2021). Analisa Marx Atas Produksi Kapitalis. Indo Progress. https://indoprogress.com/download/analisa-marx-atas-produksi-kapitalis/

Harper, C. (2017). Anarki: Panduan Grafis (Kedua ed.). Daun Malam.

Izzati, F. F., Larasati, R. S., Laksana, B., Apinino, R., & Azali, K. (2021). Pekerja Industri Kreatif Indonesia: Flexploitation, Kerentanan, dan Sulitnya Berserikat. Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi.

Marx, K. (1976). Capital I : Critique of Political Economy.

Moidady, N. I., Soetarto, E., & Agusta, I. (2017, Desember 3). Eksploitasi Tenaga Kerja Cadangan pada Kapitalisme Pedalaman: Studi Perkebunan Kelapa Sawit di Kecamatan Bualemo, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Jurnal Studi Sosiologi Pedesaan IPB, 5, 184-190. https://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/download/19391/13492/

Polimpung, H. Y. (2018, June 4). Teknopolitika Kemudahan Hidup – IndoPROGRESS. IndoPROGRESS. Retrieved May 1, 2022, from https://indoprogress.com/2018/06/teknopolitika-kemudahan-hidup/

Tuckman, A. (2005). Employment Struggles and the Commodification of Time: Marx and the Analysis of Working Time Flexibility. Philosophy of Management, 47-56. https://link.springer.com/article/10.5840/pom20055221?noAccess=true

Bahrin, M. A., Othman, M. F., Azli, N. H., & Talib, M. F. (2016). INDUSTRY 4.0: A REVIEW ON INDUSTRIAL AUTOMATION AND ROBOTIC. Jurnal Teknologi (Sciences & Engineering) UTM, 137-143.

Graeber, D. (2018). Bullshit Jobs: A Theory. London: Penguin Allen Lane.

Keynes, J. M. (1930). Economic Possibilities For Our Grandchildren. New York: W.W. Norton & Co.

Lazuardi, I. T. (2019). Hari Buruh di Bandung Ricuh, Polisi Tangkap Ratusan Orang. Bandung: Tempo.

Pusparisa, Y. (2020). Rata-rata Penduduk Indonesia Bekerja Melebihi Batas 40 Jam per Minggu. Katadata. From https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/10/09/rata-rata-penduduk-indonesia-bekerja-melebihi-batas-40-jam-per-minggu

Saputra, W. (2018, November 22). Kolom: Tempo. From Tempo: https://kolom.tempo.co/read/1148503/upah-buruh-perkebunan-sawit/full&view=ok Yoshio, A. (2020, November 8). Nasional: Katadata. Retrieved April 30, 2022 from Katadata: https://katadata.co.id/ariemega/berita/5fa7cf815a0e8/survei-work-from-home-picu-jam-kerja-bertambah-dan-kelelahan-mental

Jumat, 22 April 2022

Press Release Kegiatan “Mengaktifkan Kembali Kebebasan Masyarakat Sipil” Bersama KontraS

Koleksi Pribadi Aditya

Oleh: Aditya Bagja Wicaksono (Kader LPPMD 41)


Akhir April lalu, KontraS mengadakan sebuah pelatihan dengan tema “Mengaktifkan Kembali Kebebasan Masyarakat Sipil”. Kegiatan ini membahas perihal kebebasan masyarakat sipil dalam pembelaan HAM dan berfokus pada isu Myanmar yang sedang terjadi pelanggaran HAM, terutama membahas mengenai krisis kemanusiaan dan junta militer yang terjadi di Myanmar.


Kegiatan ini berlangsung pada tanggal 28 – 30 Maret di CO&CO Space, Dipatiukur, Kota Bandung. Dalam kegiatan tersebut, dilibatkan pula berbagai organisasi baik organisasi mahasiswa maupun organisasi masyarakat sipil lainnya. LPPMD merupakan salah satu organisasi yang diundang untuk hadir dalam pelatihan tersebut.


Kawan-kawan di LPPMD menyarankan saya (Aditya) sebagai perwakilan LPPMD di acara pelatihan yang diadakan oleh KontraS tersebut. Status saya sebagai mahasiswa Fakultas Hukum, merupakan salah satu alasan mengapa saya dipilih menjadi perwakilan dari LPPMD. Jujur saja tawaran tersebut membuat saya dilematik karena saya masih merasa belum siap untuk mewakilkan LPPMD. Bukan hanya pengetahuan saya yang masih kurang, tetapi ketakutan saya dalam merepresentasikan LPPMD kepada orang-orang yang hadir dalam kegiatan tersebut merupakan kekhawatiran saya yang utama.


Tetapi, saya merasa tertantang atas tawaran tersebut. Terlebih lagi, saya sepakat dengan kawan-kawan LPPMD dimana saya merupakan mahasiswa Fakultas Hukum, yang mana pembahasan dalam kegiatan tersebut sangat bersangkutan dengan pendidikan yang saya jalankan. Saya juga perlu membuktikan kepada kawan-kawan LPPMD bahwa saya memiliki niat untuk berkontribusi dalam organisasi ini. Bermodalkan kenekatan dan bahan bacaan yang diberikan oleh kawan-kawan, akhirnya saya memutuskan untuk menjalankan amanah organisasi.


Pada hari pertama 28 Maret 2022, saya cukup dikagetkan dengan kedatangan Kak Fatia, yang mana seperti kita ketahui ia sedang menghadapi sebuah kasus yang tidak sepele. Namun saya mengapresiasi betul atas sikap santai beliau yang masih menyempatkan untuk memberi pelatihan kepada kami. Agenda hari pertama berupa konsolidasi yang berisi pembukaan acara, meliputi: alasan kegiatan tersebut dilangsungkan, situasi pasca junta di Myanmar, dan membahas sedikit tentang materi seperti apa yang akan dipaparkan pada hari-hari berikutnya.


Setelah pembukaan acara, rangkaian selanjutnya merupakan agenda rencana tindak lanjut. Pada rangkaian ini, para peserta dibagi kelompok dengan cara menghitung 1 sampai 5, hingga terbentuk 3 kelompok yang beranggotakan 5 orang. Setiap kelompok ditugaskan untuk merancang langkah kampanye seperti apa yang akan dilangsungkan kemudian hari.


Setelah diskusi kelompok usai, setiap kelompok harus mempresentasikannya di depan kawan-kawan yang lain. Buah hasil diskusi tersebut, rencananya akan dibagi secara merata kepada organisasi-organisasi yang perwakilannya hadir dalam acara tersebut. Setelah acara selesai, kami –para peserta, diberi buah tangan berupa zip dan buku catatan dari KontraS. Tentunya, buah tangan tersebut cukup berkesan bagi saya.

Pada Selasa, 29 Maret 2022 merupakan hari kedua dari rangkaian kegiatan pelatihan yang diadakan oleh KontraS. Agenda hari berisi pemaparan materi yang disampaikan langsung oleh dua perwakilan KontraS, yaitu Fatia Maulidiyanti dan Rozy Brilian. Pematerian terbagi menjadi 3 sesi, yaitu “Pengenalan Dasar-Dasar HAM” yang diisi oleh Fatia Maulidiyanti, “Pengantar Kebebasan Sipil” dan “Mengenal Fenomena Penyusutan Kebebasan Sipil” yang diisi oleh Rozy Brilian.


Pada materi pertama, Fatia memaparkan pembahasan berjudul “Pengenalan Dasar-Dasar HAM” yang menjelaskan definisi HAM, perbedaan hak dan HAM, kewajiban hak dan kewajiban negara, sejarah perkembangan dan pelanggaran HAM di Indonesia, dan jenis-jenis HAM. Materi kedua disampaikan oleh Rozy Brilian dengan materi yang berjudul “Pengantar Kebebasan Sipil”. Pada materi ini Rozy menjelaskan mengenai kondisi kebebasan sipil di Indonesia, ancaman dari kebebasan sipil di Indonesia, dan akar dari kemerosotan kebebasan sipil Indonesia. Materi ketiga sekaligus menjadi paparan materi terakhir juga disampaikan oleh Rozy Brilian yang membahas mengenai “Mengenal Fenomena Penyusutan Kebebasan Sipil”. Pada materi ini Rozy menjelaskan fenomena penyempitan ruang kebebasan sipil, hak dasar dari kebebasan sipil, pembatasan dalam hak sipil, juga peran masyarakat sipil dan akademik dalam pembangunan.


Di akhir acara, kami mengabadikan momen dengan foto bersama.


***


Pada hari ketiga, 30 Maret 2022, dibagi menjadi 3 sesi pemaparan dan sesi rancangan tindak lanjut di akhir acara. Pada sesi pertama, materi berjudul “Live Rating: Obstructed” dipaparkan oleh Fatia Maulidiyanti. Materi ini mencakup 3 asas penggunaan kekuatan polisi, tren kekerasan (oleh aparatur negara) yang terjadi di Indonesia, kunci persoalan mengapa kekerasan masih terjadi di Indonesia, dan peluang untuk membersihkan kekerasan di Indonesia. Saat istirahat berlangsung, kami cukup dikagetkan dengan kehadiran Teh Eva, di mana kita ketahui bahwa nama Tamansari melekat pada dirinya. Dikenal sebagai aktivis HAM yang gencar melawan penggusuran di wilayah Kota Bandung, khususnya di Tamansari. Teh Eva datang untuk mengobrol santai dengan Fatia juga rekan-rekan lainnya. Ia juga mengikuti paparan materi sesi kedua lalu pulang terlebih dahulu.


Sesi kedua dimulai dengan pemaparan materi yang diberikan oleh Rozy dengan judul “Perlindungan Pembela HAM”. Materi ini mencakup penjelasan soal apa itu civil society, definisi pembela HAM, sikap pemerintah terhadap pembela HAM, kualifikasi pembela HAM yang dilindungi, bagaimana pelaksanaan perlindungan pembela HAM, langkah untuk mengurangi resiko ancaman untuk pembela HAM, hingga bagaimana tips ketika mendapatkan ancaman. Materi terakhir disampaikan oleh Rayyan yang bertemakan “Konsep Advokasi HAM Internasional” materi ini mencakup Mekanisme Advokasi HAM Internasional dan Bentuk-bentuk Advokasi HAM Internasional.


Setelah pematerian selesai, seperti pada hari pertama, kami masuk dalam rangkaian Rancangan Tindak Lanjut (RTL). Kami dibagi ke dalam empat kelompok. Setiap kelompok ditugaskan untuk merancang konsep kampanye seperti apa yang akan dilangsungkan kemudian hari. Setelah diskusi kelompok usai, setiap kelompok harus mempresentasikannya di depan kawan-kawan yang lain. Buah hasil diskusi tersebut, diharapkan dapat menjadi langkah awal kedepannya untuk membangun kebebasan sipil di Indonesia. Setelah sesi membuat Rancangan Tindak Lanjut (RTL) berakhir, kegiatan pelatihan ini pun resmi berakhir. Sebelum para peserta dipersilakan untuk pulang, tentunya kami mengabadikan momen dengan foto bersama.


***


Tentunya banyak cerita dan kesan selama mengikuti rangkaian kegiatan pelatihan yang diadakan oleh KontraS selama tiga hari. Meski tiga hari merupakan waktu yang cukup singkat, tetapi setidaknya saya dapat cukup mengerti bahwa kondisi hak asasi manusia di Indonesia dan Asia Tenggara belum mendapatkan perhatian yang baik.


Peristiwa di Myanmar tentunya sangat menggambarkan pengabaian terhadap HAM, terutama ketika militer berkuasa dan merenggut berbagai hak asasi manusia masyarakat sipil. Perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat seperti mogok kerja dan demonstrasi pun direspon dengan tindakan represif, baik penembakan, pemukulan, penculikan, dan lain sebagainya.


Dalam mekanisme advokasi HAM internasional, hukum internasional pun masih terlihat abu-abu dalam memandang aksi kudeta militer. Piagam PBB hanya mengatur prinsip kesetaraan dan non-intervensi, di mana semua negara berada dalam posisi yang sama dan tidak boleh ikut campur dalam urusan negara lain. Aturan tersebut digunakan oleh pihak militer Myanmar sebagai senjata untuk menolak intervensi atau bantuan dari pihak lain. Hal tersebut tentunya bertentangan dengan prinsip dari HAM itu sendiri yang bersifat universal, di mana HAM tidak memiliki batasan apapun.


Bahkan, organisasi ASEAN sebagai organisasi antar negara terbesar di Asia Tenggara seolah-olah tidak mengetahui kejadian kudeta militer di Myanmar. Meski ASEAN sempat mengadakan pertemuan pada 24 April 2021 dan menghasilkan lima poin penting dalam persoalan kudeta militer di Myanmar, tetapi hingga tulisan ini diterbitkan implementasi dari lima poin tersebut belum dilakukan. Hal itu pula yang mendorong KontraS mengadakan kegiatan pelatihan ini, dengan salah satu tujuannya untuk menuntut kepada pemerintah Indonesia dan ASEAN untuk mengimplementasikan lima poin yang disepakati dalam pertemuan April tahun lalu.


Indonesia sendiri dinilai melegitimasi peristiwa kudeta oleh militer di Myanmar dengan mengadakan pertemuan bersama salah satu pejabat militer Myanmar beberapa waktu lalu. Penilaian tersebut semakin menguat tatkala pemerintah Indonesia menolak para pengungsi Myanmar untuk masuk ke wilayah Indonesia .


Ketidakpuasan masyarakat Asia Tenggara terhadap buruknya para negara dan ASEAN menanggapi junta militer di Myanmar menginisiasi terbentuknya Milk Tea Alliance di berbagai negara seperti Singapura, Myanmar, Indonesia, dan lain-lain. Peristiwa yang terjadi di Myanmar sangatlah penting untuk diperhatikan, terlebih oleh masyarakat Indonesia. Karena ini merupakan sebuah peristiwa yang memiliki kaitan erat dengan HAM, juga segaris dengan persoalan yang terjadi di Papua, di mana pemerintah melakukan pendekatan militeristik dalam menangani persoalan yang terjadi di Papua dan akibatnya banyak pelanggaran HAM terjadi di Papua.


Sebagai seorang mahasiswa fakultas hukum, saya merasa bahwa materi-materi yang disampaikan pada pelatihan tersebut dapat menunjang saya dalam pendalaman materi yang akan saya tekuni di kemudian hari. Mengingat, saya memang memiliki ketertarikan untuk mengambil penjurusan yang berkaitan dengan Hukum dan HAM. Pematerian yang diberikan pun, saya rasa sangat mudah untuk dicerna para peserta, karena bagi saya terdapat beberapa hal yang sebetulnya tidak saya dapatkan di kampus, salah satunya adalah bertemu lingkungan belajar tanpa memandang status apa pun. Selain itu, suasana yang tidak terlalu kaku menjadikan saya untuk lebih menikmati pelatihan yang diberikan.


Akhir kata, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada kawan-kawan LPPMD karena telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti pelatihan yang diadakan oleh KontraS. Tentunya saya juga berterima kasih kepada KontraS yang telah mengadakan pelatihan tersebut dan mengundang LPPMD sebagai salah satu peserta –yang kebetulan saya merupakan anggota di dalamnya. Terakhir saya ingin mengucapkan terima kasih kepada kawan-kawan yang hadir dalam pelatihan tersebut karena telah membuat suasana lingkungan belajar yang egaliter.

Jumat, 08 April 2022

SECANGKIR HUJAN BERSAMA SEMESTA

 

Ilustrasi: Andien Destiani R.

Oleh: Restu Alfarisy


Teruntuk kamu yang telah lama termakan waktu dan tenggelam dalam pengasingan


Di ambang pintu ini sembari menatap air-air hujan yang membuat suara ramai berjatuhan, terkenang dalam pikiranku semua kenangan yang pernah kita ciptakan bersama—atau mungkin hanya aku yang berpikir bahwa itu adalah sebuah kenangan yang diciptakan oleh kita—tentang senyummu, tawamu, hidungmu yang runcing, dan kulitmu yang kecoklatan karena sering terkena cahaya matahari saat berpergian. Aku ingin berbincang-bincang denganmu seperti dulu kita sering melakukannya. Tertawa riang, tidur terlentang, dan mengagumi ketenangan sembari melihat rembulan di cakrawala malam.


Suara yang lurus itu masih terngiang-ngiang dalam telingaku, menggema seakan itu terjadi di hari kau mengatakannya secara langsung, mengatakan sesuatu yang hangat, membisik kepada hatiku lalu menimbulkan perasaan aneh terhadapmu, perasaan aneh yang mengembang, menguncup, karena tingkahmu yang ambigu selalu memberi ruang harapan bagiku.


Tahukah kau, berawal darimu, aku mulai belajar untuk tidak menganggap biasa dunia, belajar merenungi segala kejadian, mencari makna-makna yang tersirat serta belajar untuk mencintai cinta itu sendiri. Tapi terakhir kali ku melihatmu, yang tersisa hanya punggungmu pergi dengan acuhnya dan meninggalkanku seorang diri tanpa penjelasan apapun. Dalam keheningan aku terkejut dan terisak sedu.


***


Di pagi yang cerah ini berbondong-bondong siswa kelas satu mulai berkumpul memadati lapangan sekolah, bersiap-siap untuk melakukan upacara pertama di awal tahun mereka masuk. Udara pagi hari ini terbilang cukup dingin hingga kau bisa mengeluarkan asap putih dari mulutmu. Aku berdiri di pinggiran lapang dengan tangan mencari kehangatan di bawah saku celana sambil melirik-lirik berbagai wajah baru yang adalah angkatanku, tanpa kusadari seorang siswa yang mengenakan kupluk tiba-tiba sudah berada di sampingku—itulah kau. Ia mengucapkan “Hai”, menyapaku sambil tersenyum, maka terlihatlah olehku wajahnya yang sawo matang itu nampak manis dengan kedua mata menyipit. Lalu kita saling berbincang, mengenalkan nama satu sama lain, kelas, dan di mana letak rumah sembari menunggu petugas upacara dan seluruh siswa kelas satu tiba dan siap memulai kegiatan upacara.


Salah seorang petugas upacara pergi ke tengah lapangan. Ia mengayun-ayunkan lengannya lalu seluruh peserta upacara pun mulai bernyanyi sesuai naik-turun dari gerakan lengan itu. Anak berkupluk itu ikut bernyanyi. Semuanya mengikuti keseluruhan rangkaian kegiatan upacara hingga selesai.


Seusai rampung rangkaian kegiatan tersebut. Aku pun mulai berjalan menuju kelas dan berharap semoga aku kedapatan kelas dengan penyejuk ruangan.


Aku memilih duduk di bangku sudut paling depan yang letaknya menempel dengan dinding supaya bisa mempunyai tempat bersandar selain kursi.


“Nanti malam katanya akan terjadi gerhana bulan,” kata salah seorang teman kelasku ketika waktu istirahat. Aku pun bertanya di mana dia mendapatkan informasi itu.

“Di berita, kau belum buka gawai hari ini?”


Mendengar hal itu aku pun langsung mengecek gawai dan mencari berita terkait di mesin pencari. Ya! gerhana bulan akan terjadi nanti malam!. Aku begitu ingin menyengaja melihat secara langsung kejadian bulan tertutupi bayang-bayang itu, tapi waktu mulainya sangat larut malam sekali, bagaimana jika aku tidak terbangun nanti, sepertinya aku butuh teman untuk melihat gerhana nanti, teman yang akan membangunkanku saat gerhana mulai terjadi.


***


PERJALANAN


Di setiap perjalanan pikiranku selalu bercerita tentangmu. Memikirkanmu, mengawang-ngawang, dan berimajinasi tentangmu di balik punggungmu itu saat kita bepergian dengan sepeda motor yang kau pasang knalpot bersuara keras. Pemandangan yang dilihat oleh orang di belakang pengemudi selalu—sedikit atau banyak—berbeda, di balik jaket yang menutupi punggungmu itu nampak sebagian lehermu yang tak tertutupi.


***


RANJANG


Terhitung sejak awal kita bertemu, banyak sekali momen yang kita—aku—lewati. Walau tidak semua yang terlewati itu manis, namun jika itu bersamamu aku merasa semuanya akan baik-baik saja dan akan menjadi perekat kedekatan kita ini. Sejujurnya ada sesuatu yang sejak lama menyesakkan hatiku, sepertinya aku telah jatuh hati padamu. Jangan menghakimiku aneh, karena aku sendiri tidak paham dengan apa yang terjadi. Ada sebab yang tidak aku mengerti. Aku tahu kita semua sama, tapi perlakuan yang kau berikan selama ini kepadaku membuatku mempertanyakan apakah yang kau lakukan untukku adalah sesuatu yang berbeda?


Kita sering tidur bersama, tapi tidak pernah sekalipun menyatakan cinta, semua ini membuatku bingung, apakah kita benar-benar telah menjadi sesuatu?


Apakah mencintaimu adalah sebuah dosa? Apakah membayangkan bibir kita saling bersentuhan, gigi kita saling menggigit daun bibir, dan saling memeluk erat kedua punggung adalah dosa? Jika mencintaimu adalah sebuah dosa dan melakukan semua itu adalah dosa maka biarkan aku bersalah. Jika ini adalah dosa maka aku tidak akan pernah bertobat.


Aku mencintaimu. Dan itu bukan salahku.


Aku mencintaimu, meskipun kita berdua adalah sama.

Rabu, 30 Maret 2022

Supersemar: Surat Super Pembuka Jalan Kekuasaan Soeharto yang Kontroversial

Sumber: Beryl Bernay/Getty Images

Oleh: Noki Dwi Nugroho


Pendahuluan

Tahun awal berdirinya suatu bangsa tak jarang terjadi gonjang-ganjing, seperti perebutan kekuasaan yang seringkali terdapat campur tangan pihak asing di dalamnya. Sejarah mencatat bahwa Indonesia pernah mengalami hal serupa ketika Republik genap berusia 20 tahun. Peristiwa yang diyakini sebagai perebutan kekuasaan antara militer dan kelompok komunis yang dikenal sebagai peristiwa G30S/Gestok/Gestapu ini meninggalkan tinta darah dalam catatan Indonesia. Tak ada yang menyangka bahwa peristiwa yang memakan korban 6 perwira tinggi dan 1 perwira muda ini berbuntut pada penangkapan juga pengasingan orang yang tertuduh sebagai komunis, pembubaran partai komunis, bahkan genosida politik.


Gerakan 30 September bukan hanya tentang pembantaian 7 perwira militer AD saja. Lebih dari itu, terjadi pula perebutan kekuasaan antara PKI dan kelompok kontra-PKI, yaitu partai oposisi, mahasiswa, dan angkatan darat. Konflik yang terjadi antara kedua kekuatan ini terlihat pada Pemilu 1955 dan masa demokrasi terpimpin. Pada masa itu, PKI sebagai partai posisi empat pemenang Pemilu 1955 dianggap terlalu dekat dengan Sukarno yang pada saat itu pula hubungan Indonesia dengan blok komunis sangat mesra. Hal inilah yang membuat kelompok anti-komunis sangat mendukung pembubaran Partai Komunis Indonesia dari bumi Nusantara.


Kondisi Republik saat itu menjadi sangat kacau pasca meletusnya peristiwa Gerakan 30 September. aksi demonstrasi besar-besaran, pembunuhan para terduga PKI, dan kerusuhan lain membuat kondisi Republik makin kacau. Kondisi seperti ini menjadi sangat rawan akan terjadinya perebutan kekuasaan, terlebih kepercayaan rakyat terhadap Presiden Sukarno menurun selepas peristiwa berdarah tersebut. Melihat keadaan politik Republik yang sedang kacau ini kemudian “dimanfaatkan” oleh Soeharto yang saat itu berpangkat Letnan Jenderal untuk tampil di hadapan rakyat Indonesia seakan dia lah pahlawan yang akan menstabilkan kondisi Republik. Berbekal surat perintah yang ditandatangani langsung oleh Presiden Sukarno, Soeharto melakukan tindakan-tindakan yang dianggapnya perlu untuk mengembalikan kestabilan negara, walaupun tindakan tersebut dianggap melewati batas dan menimbulkan kontroversi. Lantas bagaimana Soeharto bisa mendapatkan surat perintah tersebut? Bagaimana bisa surat perintah ini menimbulkan banyak sekali kontroversi? Dan apa saja dampak dari surat perintah yang digunakan Soeharto untuk menjaga kestabilan negara?


Mengenai Supersemar dan Kelahirannya

Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) atau SP 11 Maret adalah surat perintah yang ditandatangani oleh Presiden Sukarno pada 11 Maret 1966. Surat ini berisi pemberian kewenangan kepada Letjen Soeharto untuk mengambil tindakan yang “dianggap perlu” guna mengembalikan kestabilan negara pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965. Tak hanya itu, surat ini juga berisi perintah untuk mengamankan jalannya pemerintahan dan pengamanan keselamatan Presiden Sukarno beserta ajaran juga wibawanya. Kenyataannya, Soeharto hanya menjalankan apa yang menurut ia perlu guna menstabilkan kondisi Republik tanpa persetujuan dari Presiden Sukarno. Proses keberadaan Surat Perintah Sebelas Maret ini tidak bisa dikatakan hanya terjadi pada hari itu saja, sebelumnya sudah ada upaya untuk membujuk Presiden Sukarno agar memberikan kewenangan pada Soeharto melalui berbagai cara.


Asisten VII Menpangad (Menteri Panglima Angkatan Darat), Alamsjah Ratu Perwiranegara memberi usul pada Soeharto untuk mencoba membujuk Presiden Sukarno melalui 2 pebisnis yang sangat dekat dengan Presiden Sukarno, hal ini bertujuan untuk meminta Presiden Sukarno agar membubarkan PKI (Partai Komunis Indonesia) dan memberi kewenangan pada Soeharto. Usul itu disetujui Soeharto dan pada 9 Maret 1966 dua pebisnis tersebut, yaitu Hasjim Ning dan Dasaad diutus untuk menemui Presiden Sukarno di Istana Bogor. Namun, “misi” 2 pebisnis ini gagal setelah mendapat amarah dari proklamator RI tersebut, bahkan beredar kabar yang mengatakan bahwa Hasjim Ning mendapatkan respon lemparan asbak dari Bung Besar akibat hal itu.


Setelah kegagalan upaya untuk membujuk Presiden melalui pendekatan orang yang dekat dengannya gagal, Soeharto mencoba lagi dengan melakukan pendekatan yang seakan mengancam Presiden dengan mengutus 3 perwira tinggi AD, yaitu Brigjen M. Jusuf, Brigjen Amir Machmud, dan Mayjen Basuki Rachmat pada 11 Maret 1966. Di hari yang sama terjadi demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa dan kelompok militer “liar” (diduga pasukan pimpinan Mayjen Kemal Idris) yang menolak pembentukan Kabinet Dwikora II Yang Disempurnakan karena dianggap melibatkan orang-orang yang terlibat pada peristiwa G30S. Melihat kondisi sekitar Istana yang tidak kondusif, Presiden Sukarno meninggalkan Jakarta dan menuju Istana Bogor dengan menggunakan helikopter. Siang harinya, 3 perwira tinggi yang diutus Soeharto datang menemui Presiden untuk mengupayakan pemberian kewenangan kepada Soeharto. Singkatnya, ketiga perwira utusan Soeharto ini berhasil mendapatkan surat perintah yang telah ditandatangani oleh Presiden Sukarno dan menyerahkannya kepada Soeharto yang pada itu sedang sakit.


(Mis)Interpretasi Soeharto Terhadap Supersemar

Operasi gerak cepat dilakukan Soeharto setelah menerima surat perintah bertanda tangan Presiden yang sebelumnya telah diantar pada malam hari oleh tiga jenderal. Dengan berbekal SP, Soeharto melakukan tindakan pertamanya yang lain dan tidak bukan adalah membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta ormas-ormasnya. Di malam yang sama, Soeharto bersama perwira tinggi AD mendiskusikan mekanisme pembubaran PKI. Setelah diskusi malam yang cukup panjang, pada pagi hari di 12 Maret 1966, melalui Radio Republik Indonesia (RRI) memberitakan perihal pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta ormas-ormasnya. Hal ini sontak membuat AD, Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), dan kelompok anti-PKI lain bersorak gembira. Setelah itu, para kelompok anti-PKI menggelar aksi besar-besaran setelah kemenangannya atas PKI. Kolonel Sarwo Edhie, komandan Resimen Pasukan Komando Pasukan Angkatan Darat (RPKAD) saat itu juga turut ambil bagian pada pawai dengan melakukan konvoi keliling kota Jakarta yang bertujuan untuk unjuk kekuatan. Merespon tindakan ini, Sukarno sangat marah melihat SP 11 Maret digunakan Soeharto untuk melakukan tindakan yang dilakukan tanpa persetujuannya.


Tindakan kedua yang dilakukan Soeharto dalam menginterpretasikan SP 11 Maret adalah menandatangani surat tertanggal 18 Maret 1966 yang berisi perintah penangkapan 15 menteri Soekarno kabinet Dwikora II Yang Disempurnakan yang dianggap pro kepada PKI. Beberapa nama menteri yang diringkus oleh Soeharto diantaranya:

1.Soebandrio (Wakil Perdana Menteri, merangkap Menlu)

2.Chaerul Saleh (Ketua MPRS, merangkap Wakil Perdana Menteri III)

3.Surachman (Menteri Pengairan Rakyat dan Pembangunan Desa)

4.Setiadji Reksoprodjo (Menteri Urusan Listrik dan Ketenagaan)

5. Oei Tjoe Tat (Menteri Negara Diperbantukan Kepada Presidium)

6.Jusuf Muda Dalam (Menteri Urusan Bank Sentral, merangkap Gubernur Bank Indonesia

7.Achmadi Hadisoemarto (Menteri Penerangan)

8.Mochammad Achadi (Menteri Transmigrasi dan Koperasi)

9.Soemardjo (Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan)

10.Armunanto (Menteri Pertambangan)

11.Soetomo Martopradoto (Menteri Perburuhan)

12.Astrawinata (Menteri Kehakiman)

13.Junius Kurami Tumakaka (Menteri Sekretaris Jenderal Front Nasional)

14.Mayjen. Dr. Soemarno Sosroatmodjo (Menteri Dalam Negeri, merangkap Gubernur DKI Jakarta)

15.Letkol. Imam Syafei (Menteri Urusan Pengamanan)


Militer loyalis Sukarno pun ikut mendapatkan perlakuan buruk dari Soeharto karena dianggap menjadi penghambat bagi Soeharto dalam mencapai kekuasaannya. Atas dalih G30S, para loyalis Sukarno mendapatkan tindakan buruk seperti diturunkan dari jabatannya, dipenjarakan, bahkan dibunuh. Ibrahim Adjie misalnya, Ia adalah seorang loyalis Sukarno yang juga saat itu menjabat sebagai panglima Kodam III/Siliwangi, Ia diturunkan dari jabatannya dan digantikan oleh Mayjen Hartono Rekso Dharsono. Kemudian, komandan Korps Komando (KKO) Angkatan Laut (sekarang korps marinir), Letjen Hartono juga harus didepak dari jabatannya dan dijadikan sebagai duta besar Indonesia untuk Korea Utara pada awal kepemimpinan Soeharto. Sejarah mengenal sosok Hartono atas keberpihakannya kepada Sukarno, Ia dengan lantang berkata “Putih kata Bung Karno, putih kata KKO. Hitam kata Bung karno, hitam kata KKO”. Di sisi lain, Hartono juga dikenal atas kontroversi kematiannya, versi resmi dari pemerintah menyebut alasan kematian dari Hartono adalah bunuh diri. Namun, banyak orang terdekatnya menganggap kematiannya akibat dari upaya Orde Baru dalam memberangus para loyalis Sukarno.


Kembali ditekankan bahwa Supersemar adalah surat perintah yang ditujukkan juga untuk melakukan pengamanan keselamatan Presiden Sukarno beserta ajaran juga wibawanya. Namun, perintah ini “gagal” dijalankan oleh Soeharto karena ia hanya mengambil tindakan yang dirasa perlu tanpa persetujuan Presiden Sukarno, yang akhirnya membuat Presiden kecewa.


Dikutip dari Historia.id, M. Jusuf merespon hal ini dengan mengatakan bahwa “kemenangan perjuangan ini sudah mencapai tiga perempat jalan, yaitu pelarangan Partai PKI, perombakan kabinet, dan menteri pro-komunis yang sudah disingkirkan. Namun, yang menjadi ketakutan bagi kelompok Soeharto ialah jika suatu saat Bung Karno mencabut Supersemar”. Dalam mengatasi ketakutannya, Soeharto dengan liciknya menetapkan Supersemar menjadi TAP MPRS pada sidang tahun 1966 yang dituangkan pada Tap No. IX/MPRS/1966. Dengan menetapkan Supersemar menjadi TAP MPRS ini membuat Presiden Sukarno tidak bisa mencabut Supersemar dari Soeharto.


Kontroversi Supersemar

Berbagai kontroversi menyelimuti Supersemar sepanjang pelaksanaannya, misinterpretasi Soeharto dalam menjalankan Supersemar dan akal-akalan penetapan Supersemar menjadi TAP MPRS adalah sebagian kecil dari kontroversi Supersemar.


Berakhirnya era kepemimpinan rezim militeristik yang dipimpin Soeharto selama 32 tahun membawa dampak besar bagi keterbukaan sejarah masa lalu. Soekardjo Wilardjito misalnya mengaku pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta bahwa Ia adalah mantan prajurit pengawal Presiden Soekarno yang saat itu menjadi saksi atas peristiwa penandatanganan Supersemar yang ditandatangani Presiden Sukarno. Pada pengakuannya, ia bersaksi bahwa salah satu perwira tinggi AD yang terlibat pada peristiwa penandatanganan Supersemar, Maraden Panggabean menodongkan pistol FN 46 yang berada pada kondisi terkokang kepada Presiden Sukarno. Setelah pengakuannya yang menggemparkan ini, beberapa tokoh turut membantah hal ini. M. Panggabean membela diri dengan mengatakan bahwa ia tidak hadir pada peristiwa tersebut. M. Jusuf pada saat itu juga turut membantah pengakuan Soekardjo, dia menyebut bahwa ini semua omong kosong. Buntut dari pengakuannya, Soekardjo harus berurusan dengan hukum, ia didakwa atas pemberitaan berita bohong.


Hal kedua yang membuat kontroversi adalah respon Presiden Soekarno terhadap tindakan yang dilakukan Soeharto atas Supersemar yang sudah ia berikan. Pada pidato berjudul Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah (Jasmerah) yang dibacakan pada 17 Agustus 1966, Presiden menyebut dengan lantang bahwa Supersemar bukanlah transfer of sovereignty dan bukan pula transfer of authority. Selanjutnya Presiden menekankan kembali bahwa pada awalnya dan memang seharusnya SP 11 Maret menjalankan perintah untuk pengamanan keselamatan, wibawa, juga ajaran presiden dan perintah untuk mengamankan jalannya pemerintahan. Jelas pada saat itu keberadaan Presiden tidaklah berada pada posisi yang menguntungkan, setelah Supersemar dijadikan TAP MPRS, Presiden tidak dapat mencabut Supersemar.


Kontroversi Supersemar selanjutnya adalah mengenai tiga versi Supersemar yang saat ini tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Mengutip dari Historia.id, ketiga versi Supersemar ini tidak bisa dikatakan otentik, hal ini dibuktikan setelah mengalami uji forensik. Ketiganya juga dapat dikatakan unik karena memiliki versinya masing-masing. Versi pertama didapatkan dari Pusat Penerangan TNI AD (Puspen TNI AD), Supersemar versi ini dicirikan dengan hanya terdapat satu lembar, bertanda tangan Sukarno (Huruf “u” pada nama Sukarno ditulis dengan “oe”), diketik rapi justify. Versi kedua dari Supersemar diperoleh dari Sekretariat Negara, versi ini memiliki dua lembar dan tanpa tanda tangan Sukarno, hanya tertanda nama Sukarno saja (Penulisan nama Sukarno ditulis dengan huruf “u”). Dan versi ketiga diperoleh dari Yayasan Akademi Kebangsaan pada tahun 2012. Pada versi ini hanya terdapat satu lembar dengan kondisi sobekan pada sisi kanan dari surat dan bertanda tangan Sukarno (Nama Sukarno ditulis dengan huruf “u” sama seperti pada versi Sekretariat Negara).


Akhir Supersemar yang Mengakhiri Sukarno

Pergolakan yang terjadi pada akhir September 1965 telah membuat pengaruh kekuasaan Presiden Sukarno menurun, yang diperparah setelah dijalankannya Supersemar yang menimbulkan banyak kontroversi.


Sidang Umum IV MPRS pada Juni 1966 menandakan awal dari kemenangan Soeharto atas Sukarno. Pada sidang ini Sukarno membacakan sebuah pidato pertanggungjawaban yang berjudul Nawaksara, pidato pertanggungjawaban atas apa yang telah terjadi di Indonesia setelah meletusnya peristiwa Gerakan 30 September. Sidang ini menetapkan Supersemar menjadi TAP MPRS No. IX dan pada sidang ini pula MPRS mencabut ketetapan MPR mengenai jabatan presiden seumur hidup Presiden Sukarno, hal ini membuat MPRS menetapkan Soeharto menjadi pejabat presiden hingga dilantiknya Soeharto menjadi Presiden pada 26 Maret 1968.


Penutup

Supersemar telah berusia lebih dari setengah abad, begitu pula kontroversinya. Penelusuran jawaban terkait pertanyaan atas kebingungan sejarah perlu kita cari. Dampak dari Supersemar bukan hanya tentang hilangnya kekuasaan Sang Proklamator. Lebih dari itu, ratusan ribu, bahkan jutaan orang menjadi korban atas tuduhan sebagai kelompok komunis. Bukan hanya itu saja, dampak dari Supersemar ialah membuat Indonesia dipimpin oleh rezim militeristik yang membungkam pandangan kritis rakyat selama 32 tahun lamanya yang bahkan warisan buruknya masih berbekas dan bisa kita rasakan hingga saat ini.


Daftar Pustaka

Danang, M. (2021, Maret 11). Supersemar, Transisi Kekuasaan Soekarno kepada Soeharto. Retrieved from Kompaspedia: https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/supersemar-transisi-kekuasaan-soekarno-kepada-soeharto?track_source=kompaspedia-paywall&track_medium=login-paywall&track_content=https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/supersemar-transisi-kekuasaa

detikNews. (2013, Maret 6). Soekardjo Wilardjito, Saksi Supersemar Meninggal Dunia. Retrieved from detikNews: https://news.detik.com/berita/d-2186816/soekardjo-wilardjito-saksi-supersemar-meninggal-dunia#:~:text=Yogyakarta%20%2D%20Soekardjo%20Wilardjito%20(86),Desa%20Sidomulyo%2C%20Kecamatan%20Godean%20Sleman.

Isnaeni, H. F. (2015, Maret 12). Supersemar dan Tafsir Soeharto. Retrieved from Historia.id: https://historia.id/politik/articles/supersemar-dan-tafsir-soeharto-DwRgA/page/2

Sitompul, M. (2018, Maret 11). Memburu Surat Sakti. Retrieved from Historia.id: https://historia.id/politik/articles/memburu-surat-sakti-DbeW2/page/2

Sitompul, M. (2018, Maret 15). Meringkus Loyalis Sukarno. Retrieved from Historia.id: https://historia.id/politik/articles/meringkus-loyalis-sukarno-6aql7/page/1

Tim Majalah Historia. (2019). Supersemar: Cara Soeharto Mendapatkan Kekuasaan. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Wanhar, W. (2015, Maret 10). Misi Pengusaha Sebelum Supersemar. Retrieved from Historia.id: https://historia.id/politik/articles/misi-pengusaha-sebelum-supersemar-vqBBP/page/1

Senin, 28 Maret 2022

Bagaimana Kapitalisme dan Patriarki Bekerja dalam Penindasan Perempuan

 

Ilustrasi: Nibras Nabila

Oleh: Adinda Ghina, Andien Destiani, Vanessa Carissa, Visqa Nabila


Penindasan merupakan tindakan intimidasi yang dilakukan secara berulang-ulang oleh pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah, dilakukan dengan sengaja dan bertujuan untuk melukai korbannya secara fisik maupun emosional (Coloroso, 2007). Dan secara kesejarahan, perempuan tak luput dari penindasan yang terstruktur.


Dalam masyarakat sendiri, penindasan terhadap perempuan ini seringkali digaungkan dengan jargon dapur, sumur, dan kasur. Seperti yang terjadi pada era Nazi berkuasa di Jerman, di mana perempuan akan dianggap berkontribusi pada negara jika memenuhi kewajibanya di tiga daerah yakni Kinder, Kirche, Kueche (Purcell, 2004).


Hal tersebut menambah belenggu ketertindasan bagi kaum perempuan. Seakan-akan perempuan dipandang sebelah mata dan tak sanggup mengurusi di luar dari tiga hal tersebut. Ketimpangan pembagian peran ini akhirnya menyebabkan perempuan menjadi termarjinalkan. Perempuan hanya dilihat sebagai mesin reproduksi yang tidak berhak atas pendidikan, pekerjaan, keadilan, dll.


Masih banyak ketidakadilan yang ditemui oleh perempuan setiap harinya. Ketidakadilan ini dimanifestasikan dengan peran, fungsi, dan posisi yang selalu direkatkan oleh masyarakat kepadanya. Itulah sebabnya mayoritas perempuan masih tidak menyadari bahwa dirinya termasuk kedalam kelompok tertindas.


Lalu bagaimana penindasan perempuan ini terjadi? Apa akar dari penindasan terhadap perempuan selama ini? Bagaimana penindasan ini tetap dilegitimasikan hingga dewasa ini? Dalam tulisan ini, kami akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dari sisi feminis marxis dan feminisme sosialis.


Feminisme Marxis dan Sosialis dalam Memandang Penindasan Perempuan

Dalam melihat penindasan terhadap perempuan, feminisme menghimpun dirinya dalam satu wadah perjuangan. Pandangan ini merupakan suatu cara berpikir yang melihat pentingnya persamaan hak dan kebebasan kaum perempuan dari dominasi struktural peradaban yang berpihak pada kaum laki-laki. Lebih lanjut, feminisme mengarahkan dirinya pada persamaan bidang kehidupan; menolak diskriminasi karena perbedaan jenis kelamin. feminisme menjadikan dirinya awal mula dari gerakan-gerakan pembebasan kaum perempuan dari penindasan.


Feminisme marxis melihat penindasan perempuan merupakan bagian dari eksploitasi kelas dalam relasi produksi. Isu perempuan selalu diletakkan dalam kerangka kritik terhadap kapitalisme. Setelah revolusi industri, permasalahan kaum perempuan mulai bergeser ke sektor domestik. Engels mengatakan, “jika urusan domestik dijadikan industri sosial dan urusan menjaga dan mendidik anak-anak menjadi urusan umum, maka kaum perempuan tidak akan mencapai kesetaraan yang sejati.” Dalam artian jika perempuan ingin ada kesetaraan, mereka harus terlibat dalam sektor publik.


Akan tetapi, bagaimana asal muasal penempatan perempuan dalam sektor domestik itu sendiri? Feminisme marxis melihat hal ini sebagai suatu proses kesejarahan yang panjang. Dalam bukunya, Engels (1942) memulai diskusi soal penempatan perempuan dengan melihat tahap-tahap utama perkembangan manusia yang menurut Lewis H. Morgan terbagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap kebuasan, barbarisme, dan peradaban.


Pada tahapan pertama yakni savagery, tidak ada pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin, perempuan dan laki-laki melakukan kerja seperti memburu secara seksama. Selanjutnya, pada tahap barbarisme, muncul pertanian, peternakan, dan kerajinan. Meningkatnya hasil produksi tentu dibarengi dengan kebutuhan lebih akan tenaga kerja. Pada tahap ini, mulai terjadi pembagian peran antara laki-laki dan perempuan. Peran perempuan difokuskan sebagai alat untuk menghasilkan tenaga kerja baru atau reproduksi serta mengasuh anak. Sedangkan laki-laki bertugas untuk bekerja di ladang dan peternakan.


Pada tahap peradaban, muncul kelas sosial dalam pekerjaan yang membuat kebutuhan akan tenaga kerja semakin meningkat. Meningkatnya kekayaan yang dimiliki berbanding lurus dengan meningkatnya status sosial laki-laki. Kedudukan laki-laki pun semakin mendominasi karena hak waris berada di tangan lelaki itu sendiri, kesenjangan antara kedudukan perempuan dan laki-laki semakin meningkat. Engels mengikuti tesis Morgan dan memahaminya sebagai asal muasal institusi domestik pertama dalam sejarah manusia yang berasal dari suku matrilineal.


Lebih lanjut, menurut Morgan dan Engels, komunisme primitif didasarkan pada klan matrilineal di mana perempuan tinggal dengan saudara perempuan. Klasifikasi mereka – menerapkan prinsip bahwa "anak saudara perempuan saya adalah anak saya". Karena mereka tinggal dan bekerja bersama, perempuan dalam rumah tangga komunal ini merasakan ikatan solidaritas yang kuat satu sama lain, yang memungkinkan mereka mengambil tindakan terhadap laki-laki yang tidak kooperatif. Engels mengutip bagian ini dari sepucuk surat kepada Morgan yang ditulis oleh seorang misionaris yang telah tinggal selama bertahun-tahun bersama Seneca Iroquois.


Menurut Morgan (1877), munculnya properti asing melemahkan perempuan dengan memicu peralihan ke tempat tinggal patrilokal dan keturunan patrilineal. Hal ini membalikkan posisi istri dan ibu dalam rumah tangga. Dikarenakan kondisi ini dapat menumbangkan dan menghancurkan kekuatan dan pengaruh yang telah diciptakan oleh keturunan dalam garis perempuan dan rumah-rumah petak bersama.


Oleh karena itu, Menurut pandangan feminisme marxis, pembebasan kaum perempuan hanya dapat dilakukan dengan menghilangkan sistem kapitalisme, sistem yang di mana sebagian besar kaum perempuan tidak diberi kompensasi yang sesuai. Feminisme marxis dalam hal ini memperluas analisis marxis tradisional dengan menerapkannya terhadap buruh domestik yang tak dibayar dan memiliki kaitan yang erat dengan jenis kelamin. Sehingga bagi para marxis, kaum perempuan disamakan dengan kaum buruh yang termasuk kedalam kelompok yang tertindas.


Feminisme marxis melihat adanya ketidakadilan gender dalam hal pembagian kerja. Feminisme marxis menolak gagasan kaum feminisme radikal bahwa “biologis” sebagai dasar pembedaan. Hal itu dikarenakan konstruksi alamiah yang beranggapan bahwa fisik perempuan yang cenderung lebih lemah, namun bagi feminisme marxis hal ini seharusnya tidak dijadikan sebagai alasan untuk menempatkan kaum perempuan pada posisi yang rendah.


Seperti feminisme marxis, feminisme sosialis juga mengakui adanya struktur opresif dari sistem kapitalisme. Kehadiran sistem kapitalisme, sebagaimana yang dijelaskan Engels (1942), turut menghasilkan sistem kekeluargaan patriarkal yang mengopresi perempuan. Perempuan menghadapi kekalahan terbesarnya dalam sejarah dengan melakukan pekerjaan domestik yang tidak dinilai. Hanya saja bagi Feminisme Sosialis ada faktor lain yang juga berkontribusi dalam mendukung langgengnya penindasan terhadap kaum perempuan selama ini.


Menurut Tong (1998) ideologi yang menyebabkan penindasan terhadap kaum perempuan selain kapitalisme adalah sistem patriarki. Perspektif ini memandang patriaki sebagai salah satu dasar yang sangat material dalam kontrol historis kaum laki-laki pada kekuatan tenaga kerja kaum wanita. Bagi Feminisme sosialis, kritik terhadap kapitalisme perlu diikuti dengan kritik dominasi atas perempuan.


Heidi Hartmann, dalam Unhappy Marriage of Marxism and Feminism: Towards a More Progressive Union (2010) menyatakan kelemahan Feminisme Marxis adalah melihat penindasan perempuan sebagai kurangnya kepemilikan atas modal: perempuan hanya dilihat sebagai kelas pekerja alih-alih dilihat sebagai gender dalam hubunganya dengan penindasan laki-laki. Untuk itu, Hartmann menawarkan bahwa kita perlu melihat dua kepentingan yang juga bekerja yakni kepentingan sistem patriarki dan kapitalisme.


Lebih lanjut, Hartmann (2010) berpendapat bahwa sistem patriarki merupakan relasi antara laki-laki yang mensubordinasikan dan mendominasi perempuan dalam masyarakat. Sistem ini menghadirkan legitimasi hirarkis antar laki-laki untuk mendominasi perempuan dalam kerja-kerjanya. Patriarki bekerja secara fundamental dan dilanggengkan melalui bentuk kontrol atas tenaga perempuan. Dominasi tersebut dihadirkan melalui kontrol terhadap pembatasan akses perempuan ke sumberdaya ekonomi produktif dan seksualitasnya. Lebih lanjut, sistem ini kemudian menghadirkan sejumlah tantangan berupa pekerjaan-pekerjaan domestik untuk merawat rumah dan anak, perkawinan heterosexual, serta dependensi terhadap ekonomi laki-laki.


Selanjutnya perkembangan kapitalisme akan mensyaratkan sebuah bentuk hierarkis pekerja dalam sistemnya. Sistem patriarki hadir untuk menentukan siapa-siapa saja yang akan menempati posisi dalam sistem ini. Akhirnya dominasi yang perempuan temui baik di ruang privat maupun ruang publik terus diamini sepanjang waktu. Oleh karena itu, keruntuhan sistem ekonomi tanpa upaya mencabut akar dominasi yang terstruktur dalam kekuatan yang dimiliki laki-laki atas perempuan, tentunya akan menyulitkan proses pembebasan atas perempuan itu sendiri.


Bagaimana Determinisme Biologis “Membantu” Adanya Penindasan Perempuan

Jika pada bagian sebelumnya asal-usul penindasan perempuan dilihat dari perspektif feminisme marxis dan sosialis, bagian ini akan mengulas bagaimana determinisme biologis memperkuat adanya penindasan perempuan hingga saat ini. Determinisme biologis sendiri, mengutip penjelasan dari de Melo-Martin (2022) merupakan sebuah kepercayaan dalam sains dimana kebiasaan, sifat, maupun sikap manusia adalah bawaan dan dipengaruhi oleh genetik, besar volume otak, dan juga hal-hal biologis lainnya. Ia tidak mengamini sifat dan kebiasaan manusia dapat dipengaruhi oleh lingkungan dan budaya yang ada di sekitarnya.


Istilah determinasi biologis pertama kali dicetuskan oleh Aristoteles dalam karyanya yang berjudul ‘Politics’, menyatakan bahwa ciri dari siapa yang memimpin dan siapa yang dipimpin sudah terlihat semenjak manusia lahir. Kemudian, barulah di abad kedelapan belas, determinisme biologis ini menjadi lebih menonjol, ditambah dengan adanya pengkategorian ras yang dilakukan oleh Carolus Linnaeus (1735) seorang ilmuwan Swedia, dan menjadi cikal bakal dari adanya white supremacy, diskriminasi gender, dan diskriminasi rasial.


Lantas, apa yang membuat determinisme biologis memperkuat adanya penindasan perempuan? Sederhananya, determinisme biologis menggunakan karakteristik inheren (hal yang sudah tetap) untuk menjelaskan superioritas laki-laki dengan mencerminkan bahwasanya laki-laki secara alami lebih kuat, lebih rasional, dan lebih pintar dibandingkan perempuan. Kemudian, laki-laki dan perempuan dibedakan hanya dengan 2 jenis karakteristik, yaitu maskulin dan feminin dimana laki-laki dianggap memiliki karakteristik yang maskulin, sedangkan perempuan memiliki karakteristik yang feminin (Singh, 2018). Maskulin dianggap jauh lebih unggul sebab ia digambarkan sebagai karakteristik yang kuat, rasional, tangguh, dan pintar. Sedangkan feminin seringkali diasosiasikan dengan lemah, lembut, dan emosional. Akibat dari perbedaan ini, maka seringkali laki-laki diperuntukkan sebagai seorang pemimpin dan menempati kedudukan gender pertama yang superior, sedangkan perempuan menempati kedudukan gender kedua yang mana dianggap lemah.


Determinisme biologis juga mempengaruhi bagaimana kedudukan sosial bagi laki-laki maupun perempuan. Perempuan lebih banyak diasosiasikan dengan pekerjaan-pekerjaan yang lembut sehingga dianggap “pendukung moral” saja, sedangkan laki-laki diasosiasikan dengan pekerjaan berat dan kasar sehingga ia sering dikaitkan dengan kekerasan. Pembagian kedudukan tersebut hingga saat ini masih menjadi suatu hal yang dimaklumi dalam masyarakat. Pemakluman tersebut bahkan menimbulkan budaya rape culture, yaitu budaya pemakluman adanya tindakan kekerasan seksual.


Kilas Balik

Pandangan Feminisme Marxis dan Feminisme Sosialis merupakan suatu cara berpikir yang melihat pentingnya persamaan hak dan kebebasan kaum perempuan dari dominasi struktural peradaban yang cenderung berpihak kepada kaum laki-laki. Kapitalisme bersamaan dengan adanya patriarki berperan besar dalam memperkokoh penindasan perempuan, bahkan hingga saat ini. Namun, apabila ingin menarik asalnya lebih jauh, kita dapat melihatnya menggunakan teori Logan Hartwall. Hartwall menyatakan bahwa penindasan perempuan pertama kali diajegkan akibat adanya pembagian peran di tahap barbarisme dimana perempuan dipandang hanya sebagai “alat produksi” tenaga kerja yang mana ia juga harus mengurus mereka hingga “siap pakai”. Sedang laki-laki bekerja sebagai pemburu makanan sehingga tugasnya dianggap lebih besar ketimbang peran perempuan.


Mirisnya, perumpamaan seperti ini kemudian diadaptasi hingga kini sehingga ia membatasi ruang gerak perempuan di lingkungan sosialnya. Determinisme biologis pun turut andil dengan adanya penindasan perempuan karena ia semakin memperkuat adanya batasan-batasan ruang lingkup sosial bagi perempuan. Dari kacamatanya, perempuan dianggap lemah secara fisik, juga secara cara berpikirnya ia dianggap emosional sehingga rasanya tak cocok apabila cara berpikir emosional tersebut ikut andil dalam sebuah diskusi atau rapat dalam forum yang rasional.


Lalu, apa sebenarnya manfaat daripada kita –terutama perempuan, mengetahui asal-usul penindasan perempuan? Dengan mengetahuinya, perempuan diharapkan dapat membebaskan dirinya dari struktur opresif yang ada. Diharapkan perempuan sadar akan apa yang ditanamkan kepada dirinya selama ini merupakan akal-akalan dan warisan tak jelas dari budaya patriarki yang erat kaitannya dengan kapitalisme. Dengan adanya kesadaran, perempuan (lagi-lagi) diharapkan pula untuk dapat sekecil-kecilnya memberi perlawanan berbentuk kata “tidak!” ketika ia dipaksa untuk tunduk akan “persepsi ideal” bagi seorang perempuan. Dengan adanya gerakan feminisme dan solidaritas antar perempuan, perempuan dapat terbebas dari penindasan.


Daftar Pustaka

Coloroso, B. (2007). The Bully, the Bullied, and the Bystander. New York: Harper Collins.

Engels, F. (1942). Origin of the Family, Private Property, and the State. New York: International Publisher.

Hartmann, H. I. (2010, Juli 1). The Unhappy Marriage of Marxism and Feminism: Towards a more Progressive Union. Marx Today, 201-228. doi:https://doi.org/10.1177%2F030981687900800102

Melo-Martin, I. d. (2022, Januari 1). When Is Biology Destiny? Biological Determinism and Social Responsibility. Proceedings of the 2002 Biennial Meeting of The Philosophy of Science Association. Part I: Contributed Papers, 70(5). doi:https://doi.org/10.1086/377399

Morgan, L. H. (1877). Ancient Society. London: Palgrave Macmillan.

Purcell, H. (2004). Fasisme. Yogyakarta: Resist Book.

Singh, P. (2018, Juni 18). Feminism India: Intersectionality: Feminism 101: How Biological Determinism Perpetuates Sexism Using "Science". Retrieved from Feminism India: https://feminisminindia.com/2018/06/18/kabiological-determinism-science-sexism/

Tong, R. (1998). Feminist Thought: A Comprehensive Introduction. Colorado: Westview Press.