September 2016 - LPPMD Unpad

Sabtu, 24 September 2016

Jokowi dan Sejumlah Hal yang Penting untuk Dicatat



Oleh: Aldo Fernando*



       Judul Buku: Jokowi, Sangkuni, Machiavelli
Penulis: Seno Gumira Ajidarma
Penerbit: Mizan
Tahun Terbit: September, 2016
Tebal: 216 halaman



Jokowi adalah sebuah fenomena: bermula dari menaklukkan Solo, lalu menuju Jakarta untuk menantang sejumlah pendekar politik—kemudian memenangkan pertarungan—hingga akhirnya mencapai kursi RI 1—dan, tentu saja, memainkan peranan pentingnya dalam menjalankan roda pemerintahan.
Wajah Jokowi yang dianggap merakyat dan merepresentasikan rakyat kecil  menjadi salah satu daya tariknya dalam panggung politik—selain, tentu saja, gaya blusukannya. Jokowi dianggap sebagai media darling atau orang yang dicintai media massa (hlm. 19). Dalam kerangka tersebut, Jokowi bukanlah Joko Widodo, sebagai manusia riil. Ia adalah Jokowi sebagai konstruksi media (hlm. 20). Ia dikemas oleh media massa sedemikian rupa (encoding: pemberian kode) sehingga menjadi karakter yang dicintai pembaca dan pemirsa. Tentu, untuk mampu menelaah Jokowi secara kritis baik sebagai figur yang dipoles oleh media massa sekaligus sebagai sosok riil diperlukan upaya pemecahan kode (decoding).
Demikianlah, sekelumit pandangan Seno Gumira Ajidarma mengenai Jokowi dan politik Indonesia akhir-akhir ini dalam kumpulan kolom-kolom politiknya yang ditulis dalam rentang waktu 2013-2016, yang kemudian dibukukan dan diberi judul Jokowi, Sangkuni, Machiavelli (2016).
Buku yang berisi empat puluh tujuh tulisan pendek SGA (demikian sang penulis akrab disebut) tersebut merupakan kumpulan pandangan, obrolan, dan komentar sang penulis “atas peristiwa-peristiwa politik secara kronologis, dalam batas rata-rata 5.000 karakter (with space)” (hlm. 13). Tulisan-tulisan tersebut berawal dari tawaran Koran Tempo kepada SGA untuk bersedia menulis “kolom politik” dalam kurun waktu 2014-2016. Mulanya, SGA tidak langsung menyanggupinya. Namun, karena (1) mempertimbangkan pandangannya bahwa politik dapat dilihat dari segi manapun yang ia ketahui dan karena (2) Kelik M. Nugroho, sebagai pengasuh rubrik “Pendapat” mampu meyakinkan SGA, akhirnya SGA mau menulis kolom-kolom politik untuk Koran Tempo (ibid.).
Menurut Seno, yang “bukan murid Mirriam” (lih. Catatan Penulis, hlm. 11), berbicara mengenai politik berarti berusaha “mencari kejelasan persoalan” dengan jalan “menarik kesimpulan umum dari peristiwa-peristiwa konkret” yang tidak perlu disebutkan secara langsung. Namun, dengan ini bukan berarti SGA berjarak dingin atas persoalan yang ia selami. Sesuai pengakuannya sendiri, ia merasa sesekali tenggelam dalam perkara yang ia telaah dan kemudian, secara tak terelakkan, menunjukkan keberpihakannya (ibid.).
Di dalam buku terbarunya ini SGA mencoba mengambil sudut pandang yang beragam dan kaya untuk membedah kondisi politik di negeri ini: (dengan menyebut beberapa poin) mulai dari (1) membicarakan sekaligus menyangkal argumen yang mendukung nepotisme dan kroniisme dengan jalan mendasarkan diri pada konsep praduga kejatuhan (presumption of fallibility); (2) membahas kecerdikan politik Sangkuni, yang berkaitan dengan oposisi Politik Manusiawi vs Politik Ilahi; (3) menyejajarkan popularitas antara Jokowi dan Prabowo dengan Cristiano Ronaldo dan Messi; (4) mendiskusikan militer yang menjadi subplot di panggung politik; (5) mengaitkan Jokowi sebagai presiden (baru) dengan lakon wayang Petruk Dadi Ratu (Petruk Jadi Raja); (6) Kesan SGA atas keteguhan hati Suciwati (istri Munir) dan pembunuhan Munir setelah mengunjungi Omah Munir; (7) perihal radikalisme sektarian, totaliterisme, taktik catur dalam politik, kaitan Machiavelli dan korupsi politis, hingga realisme politik dan fenomena Ahok.
Selain itu, SGA dalam bukunya tersebut, juga menulis beberapa kolom politik yang menyiratkan sejumlah makna yang samar-samar (artinya, perlu dibedah dan dianalisis lebih  jauh): misalnya, ketika ia merujuk Ghandari, istri dari Drestharastra (yang buta), sebagai determinan dalam tatanan politik Hastina yang diceritakan dalam kisah Mahabharata (hlm. 113-116). Ghandari yang, boleh dikatakan, berada di luar puncak kekuasaan namun mampu memainkan alur “Mahabharata menuju pertumpahan darah”.  Entah siapa yang SGA maksud dengan Ghandari di dalam tulisannya yang terbit pada 26 Januari 2015 (yang berarti, parcapelantikan Jokowi sebagai presiden) tersebut. Nampaknya, SGA menggunakan jalan memutar dengan jernih sekaligus subtil dalam hal ini. Ia tidak ingin mengatakan pendapatnya secara langsung. Mengenai hal itu, SGA menulis dalam pengantar singkat untuk kolom mengenai Ghandari tersebut: “Enam belas tahun setelah Reformasi, saya masih berbicara secara tak langsung. Namun kiranya wayang cukup jelas, bagi yang menjadi sasaran.” Dalam hal ini, pembaca yang budiman boleh menafsirkan siapapun yang mungkin berkaitan dengan Gandhari dalam tatanan politik hari ini—tentu saja, dengan syarat: harus mampu mempertanggungjawabkan klaim!
***
Walaupun ditulis dengan gaya populer, kolom-kolom politik SGA dalam buku ini tidak kehilangan kedalaman dan kekayaan analisisnya. Malahan, itu menunjukkan penguasaan SGA dalam menggunakan dan mendialogkan berbagai teori dan alat analisis  di setiap catatan-catatan (kolom politik) dalam buku Jokowi, Sangkuni Machiavelli tersebut. Selain itu, penulis merasa bahwa upaya SGA untuk mengajak pembaca mendialogkan politik hari ini dengan khasanah dunia wayang menjadi salah satu nilai lebih—dan salah satu ciri khasnya—buku terbarunya ini.
Akhir kata, selamat menikmati karya terbaru SGA ini. Semoga dapat menambah daya kritis sekaligus melebarkan horizon pemahaman kita akan realitas politik dalam negeri. Salam Pembebasan!


*Penulis saat ini menjabat sebagai Ketua Umum LPPMD Unpad periode 2015-2016. Ia sedang berusaha menyelesaikan studi di Agroteknologi Fakultas Pertanian Unpad. Bisa dihubungi melalui twitter @aldofernandons