Oleh: Aldo Fernando*
Judul Buku: Jokowi, Sangkuni, Machiavelli
Penulis: Seno
Gumira Ajidarma
Penerbit: Mizan
Tahun Terbit: September,
2016
Tebal: 216 halaman
Jokowi
adalah sebuah fenomena: bermula dari menaklukkan Solo,
lalu menuju Jakarta untuk menantang sejumlah pendekar politik—kemudian memenangkan
pertarungan—hingga akhirnya mencapai kursi RI 1—dan, tentu saja, memainkan
peranan pentingnya dalam menjalankan roda pemerintahan.
Wajah Jokowi yang
dianggap merakyat dan merepresentasikan rakyat kecil menjadi salah satu daya tariknya dalam
panggung politik—selain, tentu saja, gaya blusukannya. Jokowi dianggap sebagai media darling atau orang yang dicintai media massa (hlm. 19). Dalam
kerangka tersebut, Jokowi bukanlah Joko Widodo, sebagai manusia riil. Ia adalah
Jokowi sebagai konstruksi media (hlm. 20). Ia dikemas oleh media massa
sedemikian rupa (encoding: pemberian
kode) sehingga menjadi karakter yang dicintai pembaca dan pemirsa. Tentu, untuk
mampu menelaah Jokowi secara kritis baik sebagai figur yang dipoles oleh media
massa sekaligus sebagai sosok riil diperlukan upaya pemecahan kode (decoding).
Demikianlah, sekelumit pandangan
Seno Gumira Ajidarma mengenai Jokowi dan politik Indonesia akhir-akhir ini
dalam kumpulan kolom-kolom politiknya yang ditulis dalam rentang waktu
2013-2016, yang kemudian dibukukan dan diberi judul Jokowi, Sangkuni, Machiavelli (2016).
Buku yang berisi empat
puluh tujuh tulisan pendek SGA (demikian sang penulis akrab disebut) tersebut
merupakan kumpulan pandangan, obrolan, dan komentar sang penulis “atas
peristiwa-peristiwa politik secara kronologis, dalam batas rata-rata 5.000
karakter (with space)” (hlm. 13). Tulisan-tulisan
tersebut berawal dari tawaran Koran Tempo kepada SGA untuk bersedia menulis “kolom
politik” dalam kurun waktu 2014-2016. Mulanya, SGA tidak langsung menyanggupinya.
Namun, karena (1) mempertimbangkan pandangannya bahwa politik dapat dilihat
dari segi manapun yang ia ketahui dan karena (2) Kelik M. Nugroho, sebagai
pengasuh rubrik “Pendapat” mampu meyakinkan SGA, akhirnya SGA mau menulis
kolom-kolom politik untuk Koran Tempo
(ibid.).
Menurut Seno, yang “bukan
murid Mirriam” (lih. Catatan Penulis,
hlm. 11), berbicara mengenai politik berarti berusaha “mencari kejelasan
persoalan” dengan jalan “menarik kesimpulan umum dari peristiwa-peristiwa
konkret” yang tidak perlu disebutkan secara langsung. Namun, dengan ini bukan
berarti SGA berjarak dingin atas persoalan yang ia selami. Sesuai pengakuannya
sendiri, ia merasa sesekali tenggelam dalam perkara yang ia telaah dan kemudian,
secara tak terelakkan, menunjukkan keberpihakannya (ibid.).
Di dalam buku
terbarunya ini SGA mencoba mengambil sudut pandang yang beragam dan kaya untuk
membedah kondisi politik di negeri ini: (dengan menyebut beberapa poin) mulai dari
(1) membicarakan sekaligus menyangkal argumen yang mendukung nepotisme dan
kroniisme dengan jalan mendasarkan diri pada konsep praduga kejatuhan (presumption of fallibility); (2)
membahas kecerdikan politik Sangkuni, yang berkaitan dengan oposisi Politik
Manusiawi vs Politik Ilahi; (3) menyejajarkan popularitas antara Jokowi dan
Prabowo dengan Cristiano Ronaldo dan Messi; (4) mendiskusikan militer yang
menjadi subplot di panggung politik; (5) mengaitkan Jokowi sebagai presiden (baru) dengan lakon wayang Petruk Dadi Ratu (Petruk Jadi
Raja); (6) Kesan SGA atas keteguhan hati Suciwati (istri Munir) dan pembunuhan
Munir setelah mengunjungi Omah Munir; (7) perihal radikalisme sektarian, totaliterisme,
taktik catur dalam politik, kaitan Machiavelli dan korupsi politis, hingga
realisme politik dan fenomena Ahok.
Selain itu, SGA dalam
bukunya tersebut, juga menulis beberapa kolom politik yang menyiratkan sejumlah
makna yang samar-samar (artinya, perlu dibedah dan dianalisis lebih jauh): misalnya, ketika ia merujuk Ghandari,
istri dari Drestharastra (yang buta), sebagai determinan dalam tatanan politik
Hastina yang diceritakan dalam kisah Mahabharata (hlm. 113-116). Ghandari yang,
boleh dikatakan, berada di luar puncak kekuasaan namun mampu memainkan alur “Mahabharata
menuju pertumpahan darah”. Entah siapa
yang SGA maksud dengan Ghandari di dalam tulisannya yang terbit pada 26 Januari
2015 (yang berarti, parcapelantikan Jokowi sebagai presiden) tersebut. Nampaknya,
SGA menggunakan jalan memutar dengan jernih sekaligus subtil dalam hal ini. Ia
tidak ingin mengatakan pendapatnya secara langsung. Mengenai hal itu, SGA menulis
dalam pengantar singkat untuk kolom mengenai Ghandari tersebut: “Enam belas tahun setelah Reformasi, saya
masih berbicara secara tak langsung. Namun kiranya wayang cukup jelas, bagi
yang menjadi sasaran.” Dalam hal ini, pembaca yang budiman boleh
menafsirkan siapapun yang mungkin berkaitan dengan Gandhari
dalam tatanan politik hari ini—tentu saja, dengan syarat: harus mampu
mempertanggungjawabkan klaim!
***
Walaupun ditulis dengan
gaya populer, kolom-kolom politik SGA dalam buku ini tidak kehilangan kedalaman
dan kekayaan analisisnya. Malahan, itu menunjukkan penguasaan SGA dalam menggunakan
dan mendialogkan berbagai teori dan alat analisis di setiap catatan-catatan (kolom politik)
dalam buku Jokowi, Sangkuni Machiavelli
tersebut. Selain itu, penulis merasa bahwa upaya SGA untuk mengajak pembaca
mendialogkan politik hari ini dengan khasanah dunia wayang menjadi salah satu
nilai lebih—dan salah satu ciri khasnya—buku terbarunya ini.
Akhir kata, selamat
menikmati karya terbaru SGA ini. Semoga dapat menambah daya kritis sekaligus
melebarkan horizon pemahaman kita akan realitas politik dalam negeri. Salam
Pembebasan!
*Penulis saat ini menjabat sebagai Ketua Umum
LPPMD Unpad periode 2015-2016. Ia sedang berusaha menyelesaikan studi di
Agroteknologi Fakultas Pertanian Unpad. Bisa dihubungi melalui twitter
@aldofernandons