Sumber: https://images.app.goo.gl/HTTiSnMBF1iL9GMi8 |
Oleh: Salsabila Amjad R. J.*
Pada Rabu (6/11), Lembaga Pengkajian & Pengabdian Masyarakat Demokratis (LPPMD) mengadakan diskusi reguler yang bertempat di sekretariat LPPMD, kompleks UKM Barat. Diskusi reguler tersebut mengangkat topik ‘Mempertanyakan Kembali Radikalisme di Indonesia’ dengan Andini P. A., mahasiswi jurusan Ilmu Politik, dan Arby Ramadhan, mahasiswa jurusan Administrasi Publik, sebagai pemantik.
Diskusi
dimulai dengan membahas terlebih dahulu apa itu radikalisme. Pertama-tama, Arby
menjelaskan bahwa radikalisme berasal dari bahasa Latin radix yang berarti
“akar”, merupakan kegiatan untuk memahami sesuatu secara mengakar. Dalam
konteks Indonesia, radikalisme dipandang sebagai paham yang menggunakan
kekerasan (KBBI, 2019). Menurut Fikri, mahasiswa Ilmu Politik, radikalisme
adalah usaha untuk menanamkan paham tertentu kepada orang lain Pernyataan
tersebut membawa pada pertanyaan apakah sebenarnya radikalisme adalah paham,
kondisi, atau tindakan.
Andini
mengatakan bahwa radikalisme adalah sebuah metode epistemis yang digunakan
untuk menguji asumsi dasar yang sudah ada, dengan menjawab fenomena bukan
secara normatif melainkan melalui akarnya. Misalnya Darwin yang mencetuskan
teori evolusi manusia yang bertentangan dengan pengetahuan masyarakat di
sekitarnya pada saat itu. Pemikiran yang radikal adalah yang menelaah atau
menelusuri suatu fenomena dengan mencari akar masalah dan benang merahnya. Ia
juga menambahkan bahwa radikalisme hadir untuk menyuarakan kesimpulan atau
solusi dari suatu fenomena, dengan menginginkan perubahan secara
menyeluruh dan kerap mengarah pada perlawanan terhadap status quo.
Status quo yaitu kondisi saat ini yang mapan, dimana ada hal-hal yang
terus menyokong kondisi tersebut untuk terus berlangsung. Lalu, ia dapat juga
bersifat politis dan berhubungan dengan kekuasaan. Artinya, status quo
adalah kondisi kekuasaan yang relatif stabil. Radikalisme sebagai
gerakan/tindakan, seperti yang dikatakan Arby, adalah gerakan yang mendasarkan
dirinya bergantung kepada metode yang ditawarkan.
Fabian,
mahasiswa Hubungan Internasional, menambahkan bahwa radikalisme tidak melekat
pada paham apapun, melainkan pada asumsi dasar yang hendak diuji. Pandu
menggunakan istilah ‘soft ideology’ untuk hal tersebut dimana radikalisme
bukanlah ‘ideologi’, tetapi dapat menempel pada ideologi apapun.
Berkaitan
dengan itu, Fikri mencoba menggambarkan radikalisme dalam spektrum ideologi
politik. Fikri menganalogikan radikalisme dalam spektrum politik dengan
sebatang pohon. Semakin pohon tersebut mendekati matahari (moderat) maka
keyakinannya (pucuk daun) akan lebih mudah tergoyahkan. Namun apabila semakin
mendekati akar (radikal) maka keyakinan seseorang semakin sulit
dipengaruhi. Ia juga mengatakan bahwa semakin radikal pemikiran seseorang,
maka semakin tinggi kecenderungannya untuk melakukan kekerasan. Hal tersebut dikarenakan
adanya kecenderungan yang tinggi untuk mengupayakan pahamnya kepada orang lain.
Analogi ini berhasil menjelaskan bahwa radikalisme memiliki tingkatan tertentu
dan berbanding lurus dengan potensi kekerasannya. Tetapi, apakah benar
radikalisme selalu disandikan dengan kekerasan?
Lalu, Fakhri berusaha
menjawab bahwa setidaknya radikalisme terdiri dari dua tipe. Tipe radikal
ideologis dan tipe radikal ilmiah, dan gabungan keduanya. Penjelasan Fikri
di atas hanya relevan pada konteks radikal ideologi, namun tidak berlaku pada
radikal ilmiah. Radikal ideologis adalah tipe radikal yang terdapat kepentingan
ideologis di dalamnya. Kepentingan ideologis disini dimaksudkan sebagai
kepetingan untuk menyebarkan suatu ideologi, dan keinginan agar orang lain
menganut ideologi tersebut. Dalam usaha untuk menyebarkan pahamnya inilah
biasanya kekerasan terjadi. Sementara itu, Radikal ilmiah adalah tipe radikal
yang terdapat kepentingan ilmiah, yang di dalamnya terdapat tujuan untuk
memenuhi keingintahuan manusia atas realitas empiris. Contohnya, teori Darwin,
Copernicus. Sedangkan, radikal ilmiah-ideologis adalah tipe radikal yang
menggabungkan kedua tipe di atas, misalnya Marxisme, Liberalisme, Darwinisme
Sosial, dll.
Selanjutnya,
radikalisme juga dianggap berbahaya khususnya dalam konteks politik karena
dapat mengganggu stabilitas pemerintahan. Dapat pula dikatakan bahwa
radikalisme tidak berbahaya bagi orang-orang yang mendukung tindakan yang
bersangkutan. Misalnya terorisme radikal dianggap berbahaya bagi masyarakat
dan pemerintah, sedangkan nasionalisme radikal berbahaya bagi masyarakat
tertentu yang dianggap tidak nasionalis.
Selanjutnya
muncul pertanyaan, kita menempatkan radikalisme di Indonesia ini dalam konteks
apa? Ada yang mengatakan dalam konteks sosial dan politik. Fikri
mengatakan jika radikalisme dalam konteks politik, maka akan otomatis
bersifat politis. Sedangkan, segala sesuatu yang bersifat politis selalu ada
unsur kepentingan di dalamnya. Maka apakah sebenarnya orang yang radikal memilki
kepentingan tertentu dalam menguji asumsi dasar atau mengubah keadaan mapan
secara menyeluruh?
Setelah
terjadi perdebatan dan diskusi, forum menyepakati bahwa radikalisme adalah
metode yang digunakan dalam konteks paham/pemikiran dan tindakan. Radikalisme
sebagai metode epistemis digunakan untuk menguji asumsi dasar yang sudah ada,
dengan menjawab fenomena bukan secara normatif melainkan melalui
akarnya. Dalam paham/pemikiran, radikal digunakan sebagai metode berpikir
secara mengakar. Sedangkan radikalisme sebagai tindakan yaitu usaha
untuk menanamkan paham tertentu kepada orang lain.
Menurut
Arby, jika melihat kondisi di Indonesia baru-baru ini, radikalisme diletakkan
dalam konteks pertahanan dan keamanan negara. Lalu, apa sebenarnya makna
radikalisme bagi aparat dan pemerintah? Radikalisme memiliki konotasi yang
negatif dan kerap diidentikkan dengan kekerasan. Fariz, mahasiswa
Sosiologi, mengatakan bahwa pada titik itu istilah radikalisme digunakan
pemerintah sebagai senjata politik yang dapat digunakan untuk melawan pihak
yang berseberangan.
Peserta
diskusi kemudian mencoba menelisik kembali sejarah penggunaan istilah ‘radikal’
di Indonesia. Jika ditarik pada era kepemimpinan Soeharto, term “anti
pembangunan” dan “anti pancasila” adalah substitusi dari istilah radikal yang
pada masa Orde Baru belum digunakan. Pada dasarnya istilah
radikalisme ini hadir dalam term yang berbeda tergantung rezim. Istilah
radikalisme sendiri baru mulai digunakan setelah kejadian 9/11 di New York,
kemudian menyusul Bom Bali pada tahun 2002, tepatnya pada pidato Gus Dur
di Jerman mengenai bangkitnya radikalisme Islam di Indonesia pasca kejadian
tersebut[1]. Istilah radikalisme
langsung dicapkan pada kelompok-kelompok Islam tertentu. Maknanya pun
mengalami distorsi berdasarkan pernyataan Gus Dur bahwa radikalisme Islam di
Indonesia disebabkan oleh pemahaman Islam yang tidak mendalam.
Fariz,
mahasiswa sosiologi, kemudian ikut mempertanyakan tujuan BNPT yang kerap
melabeli suatu kelompok atau institusi dengan istilah radikal. Cara
bagaimana BNPT mengukur suatu kelompok itu radikal, juga perlu
dipertanyakan. Misalnya survei yang dilakukan BNPT di beberapa sekolah menengah
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan makna radikalisme menurut pemerintah.
Dari survei tersebut, seringnya label radikal sembarang dilekatkan pada
sekolah-sekolah yang menurut pemerintah terpapar radikalisme. Padahal
metodologi, indikator, dan tujuan penelitian masih belum jelas.
Selanjutnya, kembali
mucul pertanyaan dari Fariz apakah isu radikalisme dijadikan alat oleh
pemerintah sebagai pengalihan isu HAM, agraria, maupun isu sosial lain,
seakan-akan isu radikalisme memiliki tingkat urgensi yang lebih
tinggi? Dan apakah media oligarki terlibat aktif dalam pengalihan isu
tersebut?
Fakhri
berpendapat, asumsi bahwa radikalisme dijadikan alat untuk pengalihan isu,
harus dicari landasannya dan hal tersebut membutuhkan validitas data yang
jelas. Fabian menambahkan bahwa istilah radikalisme kerap digunakan media untuk
menarik minat pembaca dari aspek psikologis. Sehingga, isu radikalisme yang
digencarkan oleh pemerintah belum bisa dikatakan sebagai bentuk pengalihan isu.
Pada
akhir diskusi, peserta diskusi mengulas kembali apa yang sudah dibahas dengan
tanggapan dan beberapa poin yang sudah bisa disimpulkan. Diskusi berlangsung
dengan interaktif hingga berakhirnya waktu kegiatan.