November 2019 - LPPMD Unpad

Selasa, 26 November 2019

Mempertanyakan Kembali Radikalisme di Indonesia

Hasil gambar untuk radicalism
Sumber: https://images.app.goo.gl/HTTiSnMBF1iL9GMi8


Oleh: Salsabila Amjad R. J.*



    Pada Rabu (6/11), Lembaga Pengkajian & Pengabdian Masyarakat Demokratis (LPPMD) mengadakan diskusi reguler yang bertempat di sekretariat LPPMD, kompleks UKM Barat. Diskusi reguler tersebut mengangkat topik ‘Mempertanyakan Kembali Radikalisme di Indonesia’ dengan Andini P. A., mahasiswi jurusan Ilmu Politik, dan Arby Ramadhan, mahasiswa jurusan Administrasi Publik, sebagai pemantik.

Diskusi dimulai dengan membahas terlebih dahulu apa itu radikalisme. Pertama-tama, Arby menjelaskan bahwa radikalisme berasal dari bahasa Latin radix yang berarti “akar”, merupakan kegiatan untuk memahami sesuatu secara mengakar. Dalam konteks Indonesia, radikalisme dipandang sebagai paham yang menggunakan kekerasan (KBBI, 2019). Menurut Fikri, mahasiswa Ilmu Politik, radikalisme adalah usaha untuk menanamkan paham tertentu kepada orang lain Pernyataan tersebut membawa pada pertanyaan apakah sebenarnya radikalisme adalah paham, kondisi, atau tindakan.

Andini mengatakan bahwa radikalisme adalah sebuah metode epistemis yang digunakan untuk menguji asumsi dasar yang sudah ada, dengan menjawab fenomena bukan secara normatif melainkan melalui akarnya. Misalnya Darwin yang mencetuskan teori evolusi manusia yang bertentangan dengan pengetahuan masyarakat di sekitarnya pada saat itu. Pemikiran yang radikal adalah yang menelaah atau menelusuri suatu fenomena dengan mencari akar masalah dan benang merahnya. Ia juga menambahkan bahwa radikalisme hadir untuk menyuarakan kesimpulan atau solusi dari suatu fenomena, dengan menginginkan perubahan secara menyeluruh dan kerap mengarah pada perlawanan terhadap status quo. Status quo yaitu kondisi saat ini yang mapan, dimana ada hal-hal yang terus menyokong kondisi tersebut untuk terus berlangsung. Lalu, ia dapat juga bersifat politis dan berhubungan dengan kekuasaan. Artinya, status quo adalah kondisi kekuasaan yang relatif stabil. Radikalisme sebagai gerakan/tindakan, seperti yang dikatakan Arby, adalah gerakan yang mendasarkan dirinya bergantung kepada metode yang ditawarkan.

Fabian, mahasiswa Hubungan Internasional, menambahkan bahwa radikalisme tidak melekat pada paham apapun, melainkan pada asumsi dasar yang hendak diuji. Pandu menggunakan istilah ‘soft ideology’ untuk hal tersebut dimana radikalisme bukanlah ‘ideologi’, tetapi dapat menempel pada ideologi apapun.

Berkaitan dengan itu, Fikri mencoba menggambarkan radikalisme dalam spektrum ideologi politik. Fikri menganalogikan radikalisme dalam spektrum politik dengan sebatang pohon. Semakin pohon tersebut mendekati matahari (moderat) maka keyakinannya (pucuk daun) akan lebih mudah tergoyahkan. Namun apabila semakin mendekati akar (radikal) maka keyakinan seseorang semakin sulit dipengaruhi. Ia juga mengatakan bahwa semakin radikal pemikiran seseorang, maka semakin tinggi kecenderungannya untuk melakukan kekerasan. Hal tersebut dikarenakan adanya kecenderungan yang tinggi untuk mengupayakan pahamnya kepada orang lain. Analogi ini berhasil menjelaskan bahwa radikalisme memiliki tingkatan tertentu dan berbanding lurus dengan potensi kekerasannya. Tetapi, apakah benar radikalisme selalu disandikan dengan kekerasan?

Lalu, Fakhri berusaha menjawab bahwa setidaknya radikalisme terdiri dari dua tipe. Tipe radikal ideologis dan tipe radikal ilmiah, dan gabungan keduanya. Penjelasan Fikri di atas hanya relevan pada konteks radikal ideologi, namun tidak berlaku pada radikal ilmiah. Radikal ideologis adalah tipe radikal yang terdapat kepentingan ideologis di dalamnya. Kepentingan ideologis disini dimaksudkan sebagai kepetingan untuk menyebarkan suatu ideologi, dan keinginan agar orang lain menganut ideologi tersebut. Dalam usaha untuk menyebarkan pahamnya inilah biasanya kekerasan terjadi. Sementara itu, Radikal ilmiah adalah tipe radikal yang terdapat kepentingan ilmiah, yang di dalamnya terdapat tujuan untuk memenuhi keingintahuan manusia atas realitas empiris. Contohnya, teori Darwin, Copernicus. Sedangkan, radikal ilmiah-ideologis adalah tipe radikal yang menggabungkan kedua tipe di atas, misalnya Marxisme, Liberalisme, Darwinisme Sosial, dll.

Selanjutnya, radikalisme juga dianggap berbahaya khususnya dalam konteks politik karena dapat mengganggu stabilitas pemerintahan. Dapat pula dikatakan bahwa radikalisme tidak berbahaya bagi orang-orang yang mendukung tindakan yang bersangkutan. Misalnya terorisme radikal dianggap berbahaya bagi masyarakat dan pemerintah, sedangkan nasionalisme radikal berbahaya bagi masyarakat tertentu yang dianggap tidak nasionalis.

Selanjutnya muncul pertanyaan, kita menempatkan radikalisme di Indonesia ini dalam konteks apa? Ada yang mengatakan dalam konteks sosial dan politik. Fikri mengatakan jika radikalisme dalam konteks politik, maka akan otomatis bersifat politis. Sedangkan, segala sesuatu yang bersifat politis selalu ada unsur kepentingan di dalamnya. Maka apakah sebenarnya orang yang radikal memilki kepentingan tertentu dalam menguji asumsi dasar atau mengubah keadaan mapan secara menyeluruh?

Setelah terjadi perdebatan dan diskusi, forum menyepakati bahwa radikalisme adalah metode yang digunakan dalam konteks paham/pemikiran dan tindakan. Radikalisme sebagai metode epistemis digunakan untuk menguji asumsi dasar yang sudah ada, dengan menjawab fenomena bukan secara normatif melainkan melalui akarnya. Dalam paham/pemikiran, radikal digunakan sebagai metode berpikir secara mengakar. Sedangkan radikalisme sebagai tindakan yaitu usaha untuk menanamkan paham tertentu kepada orang lain.

Menurut Arby, jika melihat kondisi di Indonesia baru-baru ini, radikalisme diletakkan dalam konteks pertahanan dan keamanan negara. Lalu, apa sebenarnya makna radikalisme bagi aparat dan pemerintah? Radikalisme memiliki konotasi yang negatif dan kerap diidentikkan dengan kekerasan. Fariz, mahasiswa Sosiologi, mengatakan bahwa pada titik itu istilah radikalisme digunakan pemerintah sebagai senjata politik yang dapat digunakan untuk melawan pihak yang berseberangan.

Peserta diskusi kemudian mencoba menelisik kembali sejarah penggunaan istilah ‘radikal’ di Indonesia. Jika ditarik pada era kepemimpinan Soeharto, term “anti pembangunan” dan “anti pancasila” adalah substitusi dari istilah radikal yang pada masa Orde Baru belum digunakan. Pada dasarnya istilah radikalisme ini hadir dalam term yang berbeda tergantung rezim. Istilah radikalisme sendiri baru mulai digunakan setelah kejadian 9/11 di New York, kemudian menyusul Bom Bali pada tahun 2002, tepatnya pada pidato Gus Dur di Jerman mengenai bangkitnya radikalisme Islam di Indonesia pasca kejadian tersebut[1]. Istilah radikalisme langsung dicapkan pada kelompok-kelompok Islam tertentu. Maknanya pun mengalami distorsi berdasarkan pernyataan Gus Dur bahwa radikalisme Islam di Indonesia disebabkan oleh pemahaman Islam yang tidak mendalam.

Fariz, mahasiswa sosiologi, kemudian ikut mempertanyakan tujuan BNPT yang kerap melabeli suatu kelompok atau institusi dengan istilah radikal. Cara bagaimana BNPT mengukur suatu kelompok itu radikal, juga perlu dipertanyakan. Misalnya survei yang dilakukan BNPT di beberapa sekolah menengah mengenai hal-hal yang berkaitan dengan makna radikalisme menurut pemerintah. Dari survei tersebut, seringnya label radikal sembarang dilekatkan pada sekolah-sekolah yang menurut pemerintah terpapar radikalisme. Padahal metodologi, indikator, dan tujuan penelitian masih belum jelas.

Selanjutnya, kembali mucul pertanyaan dari Fariz apakah isu radikalisme dijadikan alat oleh pemerintah sebagai pengalihan isu HAM, agraria, maupun isu sosial lain, seakan-akan isu radikalisme memiliki tingkat urgensi yang lebih tinggi? Dan apakah media oligarki terlibat aktif dalam pengalihan isu tersebut?

Fakhri berpendapat, asumsi bahwa radikalisme dijadikan alat untuk pengalihan isu, harus dicari landasannya dan hal tersebut membutuhkan validitas data yang jelas. Fabian menambahkan bahwa istilah radikalisme kerap digunakan media untuk menarik minat pembaca dari aspek psikologis. Sehingga, isu radikalisme yang digencarkan oleh pemerintah belum bisa dikatakan sebagai bentuk pengalihan isu.

Pada akhir diskusi, peserta diskusi mengulas kembali apa yang sudah dibahas dengan tanggapan dan beberapa poin yang sudah bisa disimpulkan. Diskusi berlangsung dengan interaktif hingga berakhirnya waktu kegiatan.


*Salsabila adalah kader LPPMD angkatan XXXVII dan mahasiswi Manajemen Komunikasi 2018, Fakultas Ilmu Komunikasi











Kamis, 21 November 2019

#ArisanLiterasi - Senyum Karyamin Mengkritik Soeharto?

Sumber: https://images.app.goo.gl/9nZEAZjyvSajgJS47

 
Oleh: Dinda Adistia Meliani


Resensi Cerpen

Cerpen Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari menceritakan kehidupan seorang pengumpul batu sungai bernama Karyamin. Karyamin adalah seorang pengumpul batu sungai profesional. Ia mampu menyeimbangkan berat beban dan tubuhnya pada saat mengangkat batu dari tepi sungai ke pangkalan material.

Namun pada hari itu, tubuhnya tidak seperti biasanya, fokusnya hilang, ia jadi lebih sering tergelincir dan jatuh. Di tempat kerjanya, ia tidak sendirian. Ia ditemani beberapa rekannya yang juga bekerja sebagai pengumpul batu. Melihat Karyamin tergelincir, mereka lebih senang menertawakannya. Hiburan, katanya. Berkali-kali Karyamin membawa batu dari tepi sungai ke pangkalan material, ada saja yang membuatnya tergelincir dan jatuh. Terutama burung paruh udang. Ingin sekali ia membabat burung itu, namun niatnya diurungkan.

Ia sadar bahwa ia tidak akan bisa melakukan hal itu di saat kondisi matanya berkunang-kunang, perutnya kelaparan dan kepalanya pusing, sampai-sampai ia tidak begitu menggubris celotehan rekannya mengenai perempuan yang sedang menyebrang, “Ikan putih-putih sebesar paha”. Seperti biasa, ia hanya tersenyum. Baginya senyum dan tawa adalah hal yang sama, sama-sama sebuah alat pertahanan terakhir.

Setelah cukup lama terdiam, Karyamin beranjak dari duduknya dan memutuskan untuk pulang ke rumah. Ia tahu bahwa keranjangnya tak penuh terisi batu, hanya mencapai seperempat kubik, tapi ia tetap memutuskan untuk pulang. Ia tahu bahwa di rumahnya pun tidak akan ada makanan, bayarannya yang lalu belum juga dibayar oleh tengkulak, tapi ia tetap memutuskan untuk pulang untuk menemani isterinya yang sedang meriang.

Karyamin pulang dengan kondisi tubuh yang memprihatinkan, bibirnya membiru dan kedua telapak tangannya pucat. Melihat kondisi itu, Bu Saidah, seorang penjual pecel lele, menawarkan makan pada Karyamin. Namun, Karyamin langsung menolaknya dan ia hanya meminta minum. Setelah meneguk segelas air, tenggorokan dan lambungnya terasa hangat.

Karyamin melanjutkan perjalanannya ke rumah. Di perjalanan, ia melihat beberapa buah yang berserakan di tanah. Salak, salah satunya.  Karyamin mengambilnya, lalu menggitanya. Namun baru saja gigitan pertama, dilemparkannya buah tersebut. Seperti air tuba rasanya. Mentah. Karyamin mempercepat langkahnya. Langkahnya tiba-tiba terhenti. Ia melihat dua buah sepeda jengki terparkir di halaman rumahnya. Makin terpikirlah kondisi isterinya yang pasti tidak akan mampu membayar hutang-hutang itu.  Tetapi, ia juga merasa tidak akan bisa menolong isterinya menghadapi dua penagih hutang tersebut. Pelan-pelan Karyamin membalikan tubuhnya, siap untuk pergi menjauh dari rumahnya. Dengan tidak sengaja, seorang laki-laki yang menggunakan batik dan kopeah berdiri tak jauh darinya. Pak Pamong namanya. Karyamin dipanggil dan ditagihnya sumbangan uang dana Afrika. Secara tidak sadar, Karyamin menyunggingkan senyum. Pak Pamong marah melihat senyum itu, ia pikir itu adalah ejekan untuknya.  Sekali lagi, Pak Pamong menangih iuran tersebut pada Karyamin. Tawa Karyamin tiba-tiba meledak yang menyebabkan keseimbangan tubuhnya goyah dan jatuhlah Karyamin ke dalam lembah. Sayang, Pak Pamong gagal menyelamatkannya.

Emosi yang Dibangun

Pembangunan emosi dalam cerpen ini membuat pembaca seolah-olah ikut merasakan apa yang dirasakan oleh sang tokoh utama, Karyamin. Dengan menggunakan objek burung paruh udang dan tindakan bu Sadri, pembaca jadi ikut merasakan bagaimana kesulitan hidup Karyamin. Burung paruh udang digambarkan memberikan kesialan pada tokoh utama. Karyamin sebagai tokoh utama pun mengaggap objek tersebut sebagai pengganggu. Namun dengan berjalannya waktu, sang tokoh utama dapat menerima dan mengambil hikmah dari burung paruh udang yang di awal memberikannya kesialan. Lalu, pembangunan emosi di sini ada pada saat Karyamin meneguk air minum yang ia minta kepada Bu Saidah. Kalimat “Ada kehangatan menyapu kerongkongan Karyamin terus ke lambungnya” merupakan kalimat yang memberikan perasaan kasih sayang. Pembaca dibuat nyes, betapa kelaparannya Karyamin.

Satire terhadap Orde Baru

Dalam cerita ini dijumpai beberapa objek yang cukup menarik perhatian. Objek-objek yang dirasa menujuk pada keadaan masyarakat dimasa rezim Soeharto. Hal ini menarik karena terlihat adanya kritik tersirat dari penulis kepada salah satu kebijakan Soeharto pada masa orde baru.

Objek senyum memiliki banyak sekali penafsiran. Secara representament senyum menggambarkan suasana hati. Namun secara interpretament pemaknaan senyum menjadi beragam, ia dapat sebagai alat perlindungan atau pertahanan terakhir (terdapat dalam teks cerita), sebuah objek yang dijadikan frame dalam menggambarkan kesatuan cerita atau inti cerita, dan yang paling menarik ialah persepsi objek senyum menggambarkan “The Similling General”, Soeharto. Bahwa senyum yang paling monumental pada masa orde baru ialah senyum sang jendral, yaitu Jendral Seoharto. The Smilling General ini merupakan julukan yang diberikan oleh seorang penulis asal Jerman Barat, O. G. Roeder, yang menulis buku biografi Soeharto dengan judul “The Smilling General”. Dalam pengkaitannya ini tidak semata-mata hanya objek “senyum” itu sendiri. Penafsiran ini muncul dikarenakan berkaitan dengan perkiraan latar waktu kejadian dalam cerpen Senyum Karyamin.

Dana Afrika dalam Pusaran Kemiskinan dan Hutang

Cerita ini diperkirakan berlatar waktu tahun 1985. Sebagaimana di dalam cerita terdapat kalimat “… hanya kamu yang belum setor uang dana Afrika, dana untuk menolong orang-orang yang kelaparan di sana….”. Dana Afrika adalah suatu program Soeharto yang ia cetuskan dalam pidatonya di FAO (Food and Agriculture Organization) pada 14 November 1985, di Roma, Italia. Sebenarnya program tersebut tidak bernama Dana Afrika, melainkan bantuan 100 ribu ton beras. Di balik frasa Dana Afrika ini, ada kritik yang tersirat yaitu kritik kepada pemerintah yang melakukan bantuan kepada negara lain tapi tidak mempedulikan masyarakat di negara sendiri, meminta bantuan dari orang kelaparan untuk membantu orang kelaparan. Namun ada yang mengganjal juga. Pidato Soeharto di FAO merupakan pidato yang merujuk pada petani, namun dalam cerita ini Karyamin bukanlah seorang petani, melaikan seorang pengumpul batu sungai.

Kemudian, objek hutang. Hutang di sini memberikan dua makna. Yang pertama, hutang yang dimaksud adalah hutang Karyamin. Hutang yang hadir akibat kemiskinan yang melanda hidup sang tokoh utama. Lalu yang kedua, pemaknaan hutang ini menunjuk pada hutang Indonesia yang begitu menumpuk pada zaman pemerintahan Soeharto. Dalam cerita pun diulas mengenai Karyamin yang pergi meninggalkan rumahnya pada saat ada dua penagih hutang datang ke rumahnya yang menimbulkan persepsi Indonesia memilih untuk “kabur” dari hutang-hutangnya.

Cerpen karya Ahmad Tohari ini berhasil mengungkap realitas rakyat kecil yang memiliki beban kerja yang berat dan penuh resiko. Selain beban kerja, kondisi kelaparan dan kemiskinan pun turut menghantui sang tokoh utama dari cerpen ini. Kerja untuk mendapatkan makanan dengan kondisi kelaparan, sambil menunggu uang bayaran dari tengkulak yang tidak kunjung cair. Satu-satunya hal yang bisa rakyat kecil lakukan adalah tersenyum. Betapa getirnya senyum Karyamin ketika ia harus membayar ‘dana Afrika’ untuk disumbangkan kepada orang-orang miskin dan kelaparan di Afrika. Sungguh, hebatnya senyuman The Smiling General []