Film Imperfect: Sebuah Gambaran Bagaimana Konstruksi Sosial Terjadi - LPPMD Unpad

Minggu, 05 April 2020

Film Imperfect: Sebuah Gambaran Bagaimana Konstruksi Sosial Terjadi

Sumber: The Jakarta Post

Oleh Azka Khaerun Nadi*

Film Imperfect menceritakan kisah hidup Rara (Jessica Milla); seorang perempuan yang memiliki badan gendut, kulit berwarna gelap dan rambut yang agak tidak terurus. Penampilan itu dilengkapi dengan pakaian baju yang berwarna pucat dan sepatu kets yang selalu Rara gunakan. Penampilan ini berusaha ditunjukkan dalam film ini sebagai penampilan yang tidak menarik (bagi perempuan) sehingga mengundang komentar-komentar yang menyudutkan Rara dari orang di sekitarnya.

Film yang disutradai oleh Ernest Prakasa ini menggambarkan bagaimana Rara yang sedari kecil sudah mendapatkan komentar tentang penampilannya. Bahkan komentar tersebut terucap dari salah satu anggota keluarganya, yaitu Ibunya Debby (Karina Suwandi) seperti ucapan “Kak, kurangin nasinya.,” atau “Kak, ingat paha.,” menjadi kalimat pengingat yang seringkali diutarakan oleh Ibunya, dan tidak lupa juga sebuah kalimat “Jangan lupa pakai sunblock.,” yang diucapkan pada Rara sebelum ia pergi keluar rumah bersama Dika (Reza Rahadian) pacarnya.

Dalam keluarganya tersebut sang Ayah memerankan sebagai tokoh baik yang justru mengajarkan Rara untuk tidak terlalu peduli pandangan orang lain terhadap penampilannya. Sang Ayahlah yang bisa memberi restu kepada Rara untuk menambah nasi disaat makan, bahkan memberikan coklat sebagai penghibur saat Rara terluka sehabis terjatuh dari sepeda. Karena memang, bentuk fisik Rara digambarkan turun dari bentuk fisik ayahnya yang gendut, berkulit gelap dan rambut keriting. Berbeda dengan Lulu (Yasmin Napper) yang bentuk fisiknya mengikuti gen dari Ibunya yang berkulit cerah, langsing dan ‘cantik’.

Tidak cukup komentar dari keluarganya, teman-teman di lingkungan kerjanya pun tidak luput dari keikutsertaannya dalam memberikan komentar. Komentar yang diberikan berkisar pada model pakaian Rara yang berbeda dengan penampilan perempuan di tempat kerjanya, sebuah perusahaan kosmetik. Hal ini menunjukkan perempuan tersebut yang terlihat cantik, sangat modis, dan sangat berbeda dengan penampilan Rara.

Komentar yang dikeluarkan oleh teman-temannya pun berkisar pada pakaian yang digunakan oleh Rara atau bahkan sebuah ajakan untuk memakai sepatu hak tinggi yang katanya nyaman dipakai. Ajakan yang disertai dengan keinginan untuk mengejek, tentunya. Pandangan orang-orang di sekitar Rara tentang penampilan perempuan tersebut merupakan sebuah hasil dari proses sosial individu yang berinteraksi dengan lingkungannya. Individu saling berinteraksi, sehingga memiliki pemahaman tentang penampilan yang menarik itu seperti apa. Hingga nantinya interaksi yang dilakukan secara terus-menerus tersebut menciptakan sebuah realitas subjektif yang dirasakan bersama. Dalam hal ini proses tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah konstruksi sosial atas realitas. Salah satu pencetus dari teori konstruksi sosial ini adalah Peter L. Berger dan Thomas Luckmann.

Menurut Berger dan Luckmann manusia sebagai pencipta kenyataan sosial yang objektif setidaknya mengalami tiga momen dialektis yang simultan yaitu fase eksternalisasi, objektifikasi, dan internalisasi. Dalam tahap eksternalisasi individu berusaha beradaptasi dengan lingkungannya. Lalu dalam tahap objektivasi individu akan berinteraksi dengan lingkungan di luar dirinya, dalam tahap ini individu akan merasakan dua realitas yang berbeda yakni realitas subjektif dari dirinya dan realitas objektif yang berada di luar dirinya. Kemudian ada tahap internalisasi, dimana individu melakukan proses penarikan realitas sosial ke dalam dirinya. Ketiga fase ini bersifat simultan yang berarti ada proses menarik keluar (eksternalisasi) sehingga seolah-olah hal tersebut berada di luar (objektif) dan ada juga proses penarikan kembali kedalam sehinga seolah-olah sesuatu yang berada di luar tersebut seperti berada di dalam diri individu atau kenyataan subjektif.

Dalam film ini Rara melihat gambaran-gambaran tentang masyarakat di sekitarnya, Rara melihat bagaimana pandangan masyarakat terhadap orang (perempuan) yang gendut, berkulit gelap dan pakaian yang tidak menarik. Rara sebagai individu memiliki pandangan subjektif terhadap pandangan atau penilaian di luar dirinya (objektif). Namun seiring berjalannya waktu dan proses interaksi yang dilakukan secara terus menerus akhirnya nilai objektif dari luar dirinya dipertimbangkan oleh Rara.

Setelah berinteraksi dengan lingkungan diluar dirinya nilai objektif tersebut akhirnya dapat diterima oleh Rara dan dia menginternalisasikan nilai yang ada di masyarakat tersebut kepada dirinya. Dilihat dari bagaimana Rara melakukan diet untuk terlihat cantik sebagai sebuah ‘syarat’ agar bisa menjadi manajer riset di perusahaan kosmetik tempat dia bekerja. Perlu dicatat, bahwa individu yang telah menginternalisasikan nilai-nilai masyarakat kolektif terhadap dirinya akan melakukan proses eksternalisasi seperti sosialisasi terhadap lingkungan diluar dirinya.

Dalam film ini dilihat bagaimana Rara saat berhasil menurunkan berat badannya dan penampilannya lebih menarik memiliki pandangan untuk menjaga kulitnya. Sehingga saat Dika mengajaknya pergi ke sekolah tempatnya mengajar sukarela, dia lebih memilih untuk pergi menaiki taksi ketimbang naik motor bersama Dika. Terlihat bagaimana Rara melakukan proses sosialiasi terhadap Dika dengan mengatakan serangkaian alasan demi menjaga kulit dan penampilannya sebelum pergi ke sekolah tersebut.

Bagi individu yang telah menginternalisasikan nilai-nilai masyarakat di dalam dirinya maka proses sosialisasi ini akan dengan mudah dilakukan. Proses inilah yang nantinya akan dilihat sebagai proses eksternalisasi, dimana nilai-nilai ini akan dilihat oleh masyarakat lain. Hal inilah yang akhirnya menjadi sebuah realitas dalam masyarakat sebagai sebuah hasil dari proses interaksi serta tindakan-tindakan yang simultan dilakukan terhadap nilai-nilai yang berlaku.

Berger dan Humann dalam penjelesannya tentang konstruksi sosial ini berangkat dari kajiannya tentang pandangan masyarakat terhadap realitas dan pengetahuan yang berlaku di masyarakat. Kemudian dari sinilah lalu Berger menjabarkan bagaimana proses konstruksi sosial tersebut terjadi pada masyarakat.

Dalam Film Imperfect ini, begitu terlihat bagaimana pandangan tentang perempuan yang cantik itu harus berkulit cerah, kurus dan peduli akan pakaiannya dilanggengkan oleh masyarakat. Proses konstruksi sosial ini terjadi dalam kurun waktu tertentu, namun melalui film ini setidaknya kita dapat melihat bagaimana sesungguhnya proses penekanan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat seringkali justru menekan psikologis indvidu. Proses dialektis antara nilai subjektif dalam diri individu dengan nilai objektif yang berada diluar dirinya seringkali justru menjadi sebuah tekanan yang menjadi masalah terhadap psikologis inidividu.

Perasaan Rara tentang dirinya yang seolah-olah tidak pernah dimengerti oleh orang terdekatnya terjadi saat nilai subjektif tersebut berinteraksi dengan nilai objektif yang ada. Sehingga pilihan individu untuk ‘menyelamatkan’ dirinya dari pandangan objektif tersebut adalah dengan menerima nilai objektif tersebut dan menginternalisasikannya terhadap dirinya, menolaknya dengan tidak lagi mendengarkan nilai objektif tersebut bagi dirinya, atau bahkan bisa mengambil langkah ekstrim dengan bunuh diri sebagai bentuk tanda menyerah dengan nilai di masyarakat yang berbeda dengan bentuk kodrati yang ada dalam dirinya. Hingga akhirnya saya hanya berharap semoga pandangan orang lain terhadap perempuan bisa seperti pandangan Dika yang melihat perempuan tidak hanya dari permukaannya saja, tapi dari dalam diri perempuan tersebut. Dan ya, sepertinya dunia membutuhkan banyak Dika yang berani menentang dan memiliki pandangan yang berbeda tentang perempuan dari masyarakat lainnya.


*Azka adalah kader LPPMD angkatan XXXVI dan mahasiswa Sosiologi angkatan 2018, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Padjadjaran.

Tulisan ini sudah ditayangkan sebelumnya pada laman azkakhaerun.blogspot.com.

Tidak ada komentar: