#ArisanLiterasi - Senyum Karyamin Mengkritik Soeharto? - LPPMD Unpad

Kamis, 21 November 2019

#ArisanLiterasi - Senyum Karyamin Mengkritik Soeharto?


Sumber: https://images.app.goo.gl/9nZEAZjyvSajgJS47

 
Oleh: Dinda Adistia Meliani


Resensi Cerpen

Cerpen Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari menceritakan kehidupan seorang pengumpul batu sungai bernama Karyamin. Karyamin adalah seorang pengumpul batu sungai profesional. Ia mampu menyeimbangkan berat beban dan tubuhnya pada saat mengangkat batu dari tepi sungai ke pangkalan material.

Namun pada hari itu, tubuhnya tidak seperti biasanya, fokusnya hilang, ia jadi lebih sering tergelincir dan jatuh. Di tempat kerjanya, ia tidak sendirian. Ia ditemani beberapa rekannya yang juga bekerja sebagai pengumpul batu. Melihat Karyamin tergelincir, mereka lebih senang menertawakannya. Hiburan, katanya. Berkali-kali Karyamin membawa batu dari tepi sungai ke pangkalan material, ada saja yang membuatnya tergelincir dan jatuh. Terutama burung paruh udang. Ingin sekali ia membabat burung itu, namun niatnya diurungkan.

Ia sadar bahwa ia tidak akan bisa melakukan hal itu di saat kondisi matanya berkunang-kunang, perutnya kelaparan dan kepalanya pusing, sampai-sampai ia tidak begitu menggubris celotehan rekannya mengenai perempuan yang sedang menyebrang, “Ikan putih-putih sebesar paha”. Seperti biasa, ia hanya tersenyum. Baginya senyum dan tawa adalah hal yang sama, sama-sama sebuah alat pertahanan terakhir.

Setelah cukup lama terdiam, Karyamin beranjak dari duduknya dan memutuskan untuk pulang ke rumah. Ia tahu bahwa keranjangnya tak penuh terisi batu, hanya mencapai seperempat kubik, tapi ia tetap memutuskan untuk pulang. Ia tahu bahwa di rumahnya pun tidak akan ada makanan, bayarannya yang lalu belum juga dibayar oleh tengkulak, tapi ia tetap memutuskan untuk pulang untuk menemani isterinya yang sedang meriang.

Karyamin pulang dengan kondisi tubuh yang memprihatinkan, bibirnya membiru dan kedua telapak tangannya pucat. Melihat kondisi itu, Bu Saidah, seorang penjual pecel lele, menawarkan makan pada Karyamin. Namun, Karyamin langsung menolaknya dan ia hanya meminta minum. Setelah meneguk segelas air, tenggorokan dan lambungnya terasa hangat.

Karyamin melanjutkan perjalanannya ke rumah. Di perjalanan, ia melihat beberapa buah yang berserakan di tanah. Salak, salah satunya.  Karyamin mengambilnya, lalu menggitanya. Namun baru saja gigitan pertama, dilemparkannya buah tersebut. Seperti air tuba rasanya. Mentah. Karyamin mempercepat langkahnya. Langkahnya tiba-tiba terhenti. Ia melihat dua buah sepeda jengki terparkir di halaman rumahnya. Makin terpikirlah kondisi isterinya yang pasti tidak akan mampu membayar hutang-hutang itu.  Tetapi, ia juga merasa tidak akan bisa menolong isterinya menghadapi dua penagih hutang tersebut. Pelan-pelan Karyamin membalikan tubuhnya, siap untuk pergi menjauh dari rumahnya. Dengan tidak sengaja, seorang laki-laki yang menggunakan batik dan kopeah berdiri tak jauh darinya. Pak Pamong namanya. Karyamin dipanggil dan ditagihnya sumbangan uang dana Afrika. Secara tidak sadar, Karyamin menyunggingkan senyum. Pak Pamong marah melihat senyum itu, ia pikir itu adalah ejekan untuknya.  Sekali lagi, Pak Pamong menangih iuran tersebut pada Karyamin. Tawa Karyamin tiba-tiba meledak yang menyebabkan keseimbangan tubuhnya goyah dan jatuhlah Karyamin ke dalam lembah. Sayang, Pak Pamong gagal menyelamatkannya.

Emosi yang Dibangun

Pembangunan emosi dalam cerpen ini membuat pembaca seolah-olah ikut merasakan apa yang dirasakan oleh sang tokoh utama, Karyamin. Dengan menggunakan objek burung paruh udang dan tindakan bu Sadri, pembaca jadi ikut merasakan bagaimana kesulitan hidup Karyamin. Burung paruh udang digambarkan memberikan kesialan pada tokoh utama. Karyamin sebagai tokoh utama pun mengaggap objek tersebut sebagai pengganggu. Namun dengan berjalannya waktu, sang tokoh utama dapat menerima dan mengambil hikmah dari burung paruh udang yang di awal memberikannya kesialan. Lalu, pembangunan emosi di sini ada pada saat Karyamin meneguk air minum yang ia minta kepada Bu Saidah. Kalimat “Ada kehangatan menyapu kerongkongan Karyamin terus ke lambungnya” merupakan kalimat yang memberikan perasaan kasih sayang. Pembaca dibuat nyes, betapa kelaparannya Karyamin.

Satire terhadap Orde Baru

Dalam cerita ini dijumpai beberapa objek yang cukup menarik perhatian. Objek-objek yang dirasa menujuk pada keadaan masyarakat dimasa rezim Soeharto. Hal ini menarik karena terlihat adanya kritik tersirat dari penulis kepada salah satu kebijakan Soeharto pada masa orde baru.

Objek senyum memiliki banyak sekali penafsiran. Secara representament senyum menggambarkan suasana hati. Namun secara interpretament pemaknaan senyum menjadi beragam, ia dapat sebagai alat perlindungan atau pertahanan terakhir (terdapat dalam teks cerita), sebuah objek yang dijadikan frame dalam menggambarkan kesatuan cerita atau inti cerita, dan yang paling menarik ialah persepsi objek senyum menggambarkan “The Similling General”, Soeharto. Bahwa senyum yang paling monumental pada masa orde baru ialah senyum sang jendral, yaitu Jendral Seoharto. The Smilling General ini merupakan julukan yang diberikan oleh seorang penulis asal Jerman Barat, O. G. Roeder, yang menulis buku biografi Soeharto dengan judul “The Smilling General”. Dalam pengkaitannya ini tidak semata-mata hanya objek “senyum” itu sendiri. Penafsiran ini muncul dikarenakan berkaitan dengan perkiraan latar waktu kejadian dalam cerpen Senyum Karyamin.

Dana Afrika dalam Pusaran Kemiskinan dan Hutang

Cerita ini diperkirakan berlatar waktu tahun 1985. Sebagaimana di dalam cerita terdapat kalimat “… hanya kamu yang belum setor uang dana Afrika, dana untuk menolong orang-orang yang kelaparan di sana….”. Dana Afrika adalah suatu program Soeharto yang ia cetuskan dalam pidatonya di FAO (Food and Agriculture Organization) pada 14 November 1985, di Roma, Italia. Sebenarnya program tersebut tidak bernama Dana Afrika, melainkan bantuan 100 ribu ton beras. Di balik frasa Dana Afrika ini, ada kritik yang tersirat yaitu kritik kepada pemerintah yang melakukan bantuan kepada negara lain tapi tidak mempedulikan masyarakat di negara sendiri, meminta bantuan dari orang kelaparan untuk membantu orang kelaparan. Namun ada yang mengganjal juga. Pidato Soeharto di FAO merupakan pidato yang merujuk pada petani, namun dalam cerita ini Karyamin bukanlah seorang petani, melaikan seorang pengumpul batu sungai.

Kemudian, objek hutang. Hutang di sini memberikan dua makna. Yang pertama, hutang yang dimaksud adalah hutang Karyamin. Hutang yang hadir akibat kemiskinan yang melanda hidup sang tokoh utama. Lalu yang kedua, pemaknaan hutang ini menunjuk pada hutang Indonesia yang begitu menumpuk pada zaman pemerintahan Soeharto. Dalam cerita pun diulas mengenai Karyamin yang pergi meninggalkan rumahnya pada saat ada dua penagih hutang datang ke rumahnya yang menimbulkan persepsi Indonesia memilih untuk “kabur” dari hutang-hutangnya.

Cerpen karya Ahmad Tohari ini berhasil mengungkap realitas rakyat kecil yang memiliki beban kerja yang berat dan penuh resiko. Selain beban kerja, kondisi kelaparan dan kemiskinan pun turut menghantui sang tokoh utama dari cerpen ini. Kerja untuk mendapatkan makanan dengan kondisi kelaparan, sambil menunggu uang bayaran dari tengkulak yang tidak kunjung cair. Satu-satunya hal yang bisa rakyat kecil lakukan adalah tersenyum. Betapa getirnya senyum Karyamin ketika ia harus membayar ‘dana Afrika’ untuk disumbangkan kepada orang-orang miskin dan kelaparan di Afrika. Sungguh, hebatnya senyuman The Smiling General []

1 komentar:

  1. Casino Review | Mr. DMC
    For 세종특별자치 출장안마 a full review 부천 출장마사지 and an insider's look at 영주 출장샵 Casino.co.uk's selection of 하남 출장샵 games, promotions and gaming sites. 인천광역 출장마사지 It is a good site for gambling.

    BalasHapus