Oleh: Dinda Adistia Meliani
Resensi Cerpen
Cerpen
Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari
menceritakan kehidupan seorang pengumpul batu sungai bernama Karyamin. Karyamin
adalah seorang pengumpul batu sungai profesional. Ia mampu menyeimbangkan berat
beban dan tubuhnya pada saat mengangkat batu dari tepi sungai ke pangkalan
material.
Namun
pada hari itu, tubuhnya tidak seperti biasanya, fokusnya hilang, ia jadi lebih
sering tergelincir dan jatuh. Di tempat kerjanya, ia tidak sendirian. Ia
ditemani beberapa rekannya yang juga bekerja sebagai pengumpul batu. Melihat
Karyamin tergelincir, mereka lebih senang menertawakannya. Hiburan, katanya. Berkali-kali
Karyamin membawa batu dari tepi sungai ke pangkalan material, ada saja yang
membuatnya tergelincir dan jatuh. Terutama burung paruh udang. Ingin sekali ia
membabat burung itu, namun niatnya diurungkan.
Ia
sadar bahwa ia tidak akan bisa melakukan hal itu di saat kondisi matanya
berkunang-kunang, perutnya kelaparan dan kepalanya pusing, sampai-sampai ia
tidak begitu menggubris celotehan rekannya mengenai perempuan yang sedang
menyebrang, “Ikan putih-putih sebesar paha”. Seperti biasa, ia hanya tersenyum.
Baginya senyum dan tawa adalah hal yang sama, sama-sama sebuah alat pertahanan
terakhir.
Setelah
cukup lama terdiam, Karyamin beranjak dari duduknya dan memutuskan untuk pulang
ke rumah. Ia tahu bahwa keranjangnya tak penuh terisi batu, hanya mencapai
seperempat kubik, tapi ia tetap memutuskan untuk pulang. Ia tahu bahwa di
rumahnya pun tidak akan ada makanan, bayarannya yang lalu belum juga dibayar
oleh tengkulak, tapi ia tetap memutuskan untuk pulang untuk menemani isterinya
yang sedang meriang.
Karyamin
pulang dengan kondisi tubuh yang memprihatinkan, bibirnya membiru dan kedua
telapak tangannya pucat. Melihat kondisi itu, Bu Saidah, seorang penjual pecel
lele, menawarkan makan pada Karyamin. Namun, Karyamin langsung menolaknya dan
ia hanya meminta minum. Setelah meneguk segelas air, tenggorokan dan lambungnya
terasa hangat.
Karyamin
melanjutkan perjalanannya ke rumah. Di perjalanan, ia melihat beberapa buah
yang berserakan di tanah. Salak, salah satunya.
Karyamin mengambilnya, lalu menggitanya. Namun baru saja gigitan
pertama, dilemparkannya buah tersebut. Seperti air tuba rasanya. Mentah.
Karyamin mempercepat langkahnya. Langkahnya tiba-tiba terhenti. Ia melihat dua
buah sepeda jengki terparkir di halaman rumahnya. Makin terpikirlah kondisi
isterinya yang pasti tidak akan mampu membayar hutang-hutang itu. Tetapi, ia juga merasa tidak akan bisa
menolong isterinya menghadapi dua penagih hutang tersebut. Pelan-pelan Karyamin
membalikan tubuhnya, siap untuk pergi menjauh dari rumahnya. Dengan tidak
sengaja, seorang laki-laki yang menggunakan batik dan kopeah berdiri tak jauh
darinya. Pak Pamong namanya. Karyamin dipanggil dan ditagihnya sumbangan uang
dana Afrika. Secara tidak sadar, Karyamin menyunggingkan senyum. Pak Pamong marah
melihat senyum itu, ia pikir itu adalah ejekan untuknya. Sekali lagi, Pak Pamong menangih iuran tersebut
pada Karyamin. Tawa Karyamin tiba-tiba meledak yang menyebabkan keseimbangan
tubuhnya goyah dan jatuhlah Karyamin ke dalam lembah. Sayang, Pak Pamong gagal
menyelamatkannya.
Emosi yang Dibangun
Pembangunan
emosi dalam cerpen ini membuat pembaca seolah-olah ikut merasakan apa yang
dirasakan oleh sang tokoh utama, Karyamin. Dengan menggunakan objek burung
paruh udang dan tindakan bu Sadri, pembaca jadi ikut merasakan bagaimana
kesulitan hidup Karyamin. Burung paruh udang digambarkan memberikan kesialan
pada tokoh utama. Karyamin sebagai tokoh utama pun mengaggap objek tersebut
sebagai pengganggu. Namun dengan berjalannya waktu, sang tokoh utama dapat
menerima dan mengambil hikmah dari burung paruh udang yang di awal
memberikannya kesialan. Lalu, pembangunan emosi di sini ada pada saat Karyamin
meneguk air minum yang ia minta kepada Bu Saidah. Kalimat “Ada kehangatan
menyapu kerongkongan Karyamin terus ke lambungnya” merupakan kalimat yang
memberikan perasaan kasih sayang. Pembaca dibuat nyes, betapa kelaparannya Karyamin.
Satire terhadap Orde Baru
Dalam
cerita ini dijumpai beberapa objek yang cukup menarik perhatian. Objek-objek yang
dirasa menujuk pada keadaan masyarakat dimasa rezim Soeharto. Hal ini menarik
karena terlihat adanya kritik tersirat dari penulis kepada salah satu kebijakan
Soeharto pada masa orde baru.
Objek
senyum memiliki banyak sekali penafsiran. Secara representament senyum menggambarkan suasana hati. Namun secara interpretament pemaknaan senyum menjadi beragam,
ia dapat sebagai alat perlindungan atau pertahanan terakhir (terdapat dalam
teks cerita), sebuah objek yang dijadikan frame dalam menggambarkan kesatuan
cerita atau inti cerita, dan yang paling menarik ialah persepsi objek senyum
menggambarkan “The Similling General”, Soeharto. Bahwa senyum yang paling
monumental pada masa orde baru ialah senyum sang jendral, yaitu Jendral
Seoharto. The Smilling General ini
merupakan julukan yang diberikan oleh seorang penulis asal Jerman Barat, O. G.
Roeder, yang menulis buku biografi Soeharto dengan judul “The Smilling
General”. Dalam pengkaitannya ini tidak semata-mata hanya objek “senyum” itu
sendiri. Penafsiran ini muncul dikarenakan berkaitan dengan perkiraan latar
waktu kejadian dalam cerpen Senyum
Karyamin.
Dana
Afrika dalam Pusaran Kemiskinan dan Hutang
Cerita
ini diperkirakan berlatar waktu tahun 1985. Sebagaimana di dalam cerita
terdapat kalimat “… hanya kamu yang belum setor uang dana Afrika, dana untuk menolong orang-orang yang kelaparan di
sana….”. Dana Afrika adalah suatu program Soeharto yang ia cetuskan dalam
pidatonya di FAO (Food and Agriculture Organization) pada 14 November 1985, di
Roma, Italia. Sebenarnya program tersebut tidak bernama Dana Afrika, melainkan bantuan
100 ribu ton beras. Di balik frasa Dana Afrika ini, ada kritik yang tersirat yaitu
kritik kepada pemerintah yang melakukan bantuan kepada negara lain tapi tidak
mempedulikan masyarakat di negara sendiri, meminta bantuan dari orang kelaparan
untuk membantu orang kelaparan. Namun ada yang mengganjal juga. Pidato Soeharto
di FAO merupakan pidato yang merujuk pada petani, namun dalam cerita ini Karyamin
bukanlah seorang petani, melaikan seorang pengumpul batu sungai.
Kemudian,
objek hutang. Hutang di sini memberikan dua makna. Yang pertama, hutang yang
dimaksud adalah hutang Karyamin. Hutang yang hadir akibat kemiskinan yang
melanda hidup sang tokoh utama. Lalu yang kedua, pemaknaan hutang ini menunjuk
pada hutang Indonesia yang begitu menumpuk pada zaman pemerintahan Soeharto. Dalam
cerita pun diulas mengenai Karyamin yang pergi meninggalkan rumahnya pada saat
ada dua penagih hutang datang ke rumahnya yang menimbulkan persepsi Indonesia
memilih untuk “kabur” dari hutang-hutangnya.
Cerpen
karya Ahmad Tohari ini berhasil mengungkap realitas rakyat kecil yang memiliki
beban kerja yang berat dan penuh resiko. Selain beban kerja, kondisi kelaparan
dan kemiskinan pun turut menghantui sang tokoh utama dari cerpen ini. Kerja
untuk mendapatkan makanan dengan kondisi kelaparan, sambil menunggu uang
bayaran dari tengkulak yang tidak kunjung cair. Satu-satunya hal yang bisa rakyat
kecil lakukan adalah tersenyum. Betapa getirnya senyum Karyamin ketika ia harus
membayar ‘dana Afrika’ untuk disumbangkan kepada orang-orang miskin dan
kelaparan di Afrika. Sungguh, hebatnya senyuman The Smiling General []
Casino Review | Mr. DMC
BalasHapusFor 세종특별자치 출장안마 a full review 부천 출장마사지 and an insider's look at 영주 출장샵 Casino.co.uk's selection of 하남 출장샵 games, promotions and gaming sites. 인천광역 출장마사지 It is a good site for gambling.