Kampus Merdeka, Liberalisasi Pendidikan, dan Skema Penciptaan Tenaga Kerja Murah - LPPMD Unpad

Jumat, 03 April 2020

Kampus Merdeka, Liberalisasi Pendidikan, dan Skema Penciptaan Tenaga Kerja Murah

Sumber: China Daily

Oleh Pandu Sujiwo*


Pendahuluan

Pada tataran ideal, pendidikan haruslah diartikan sebagai serangkaian usaha untuk memperhalus budi, mempertajam akal, dan meningkatkan peradaban. Berkaitan dengan memperhalus budi, pendidikan dimaksudkan untuk membuat seseorang menjadi rendah hati, memiliki pertimbangan moral, dan memiliki kecakapan untuk bisa bersosialisasi dengan baik di masyarakat. Sementara pendidikan untuk mempertajam akal bisa dimaknai secara sederhana sebagai proses untuk membikin orang yang semula tidak tahu menjadi tahu, melalui pendidikan pula seseorang dikenalkan dengan berbagai perspektif untuk memahami sebuah permasalahan─dengan kata lain pendidikan melatih seseorang untuk berpikir secara kritis. Adapun pendidikan sebagai alat untuk meningkatkan peradaban erat kaitannya dengan peran pendidikan dalam pembangunan. Menurut John Dewey, pendidikan difungsikan sebagai jembatan untuk mengisi gap pengetahuan tentang pengalaman antara generasi saat ini dengan generasi terdahulu. Apa yang kita ketahui saat ini merupakan serangkaian akumulasi dari pengetahuan yang diperoleh oleh generasi sebelumnya, hal ini yang dikatakan oleh Isaac Newton sebagai ‘standing on the shoulders of giant’. Serangkaian akumulasi pengetahuan tersebut ditujukan tak lain agar umat manusia bisa hidup secara lebih baik kedepannya. Dengan bantuan pendidikan, manusia bisa menciptakan berbagai teknologi yang memudahkan kehidupan, pendidikan juga mengajarkan kita tentang toleransi, untuk menghargai hak satu sama lain, dan sebagainya.

Sayangnya, konteks pendidikan yang begitu mulia sebagaimana disebutkan diatas─untuk memanusiakan manusia, membuat orang semakin beradab─telah berubah seiring dengan berkembangnya kapitalisme. Sebagai sebuah sistem yang berwatak rakus dan eksploitatif, kapitalisme menghendaki komodifikasi segala aspek kehidupan manusia, termasuk didalamnya pendidikan. Dihadapan kapitalisme global, pendidikan tak ubahnya menjadi semacam kacang goreng atau sendal jepit─sama-sama sekadar komoditas, ia tak lain merupakan barang dagangan untuk dipertukarkan di pasar bebas. Bentuknya bisa beragam, mulai dari yang kasat mata seperti praktik jual beli ijazah dan pembukaan tempat bimbel, hingga yang sistemik seperti praktik liberalisasi pendidikan yang masif terjadi di Indonesia beberapa tahun kebelakang ini. Tulisan ini dimaksudkan untuk membahas salah satu bentuk praktik liberalisasi pendidikan di Indonesia yang kali ini hadir dalam bentuk yang lebih vulgar daripada sebelumnya: program kampus merdeka.


Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka

Merdeka belajar adalah konsep bagi kebijakan baru yang dikeluarkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terkait dengan penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia. Menurut Nadiem Makarim selaku mendikbud sekaligus insiator, kebijakan merdeka belajar ditujukan untuk “melepaskan belenggu kampus agar lebih mudah bergerak”. Bentuk konkrit dari kebijakan ini adalah dikeluarkannya program Kampus Merdeka.

Program Kampus Merdeka ini setidak-tidaknya berisi empat poin: Pertama, kampus diberikan wewenang untuk membuka program studi baru dengan syarat perguruan tinggi tersebut (baik PTN maupun PTS) memiliki akreditasi A atau B dan sudah menjalin kerja sama dengan perusahaan, organisasi nirlaba, institusi multilateral, atau universitas yang termasuk kedalam peringkat 100 besar QS, selain itu program studi yang baru dibuka tidak boleh merupakan disiplin ilmu di bidang kesehatan dan pendidikan. Sebelumnya, otonomi untuk membuka program studi baru hanya dimungkinkan bagi perguruan tinggi negeri yang sudah berbadan hukum (PTN-BH). Kedua, melalui program Kampus Merdeka, akreditasi akan dilakukan secara otomatis, bukan lagi kewajiban yang dilakukan tiap lima tahun sekali seperti sekarang. Ketiga, perizinan PTN-BLU untuk menjadi PTN-BH akan dipermudah dan tidak terbatas hanya pada PTN yang berakreditasi A saja. Keempat, definisi sistem kredit semester (SKS) yang semula adalah jam belajar, diganti menjadi jam kegiatan, dengan begitu SKS mengalami perluasan makna, bukan lagi sekedar kegiatan belajar di kelas, tetapi bisa berupa magang, kegiatan pertukaran pelajar, wirausaha, riset, maupun pengabdian di daerah terpencil. Dengan adanya perubahan definisi ini, mahasiswa menjadi memiliki keleluasaan untuk mengambil mata kuliah diluar program studinya sebanyak dua semester.

Untuk menyegerakan pelaksanaan program Kampus Merdeka ini pemerintah sudah menyediakan lima payung hukum diantaranya Permendikbud Nomor 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, Permendikbud Nomor 4 Tahun 2020 tentang Perubahan Perguruan Tinggi Negeri menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum, Permendikbud Nomor 5 Tahun 2020 tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi, Permendikbud Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penerimaan Mahasiswa Baru Program Sarjana pada Perguruan Tinggi Negeri, dan Permendikbud Nomor 7 tentang Pendirian, Perubahan, Pembubaran Perguruan Tinggi Negeri dan Pendirian, Perubahan, dan Pencabutan Izin Perguruan Tinggi Swasta.

Banyak universitas di Indonesia menyambut baik program Kampus Merdeka ini. Untuk menyikapi kelima payung hukum diatas, banyak perguruan tinggi yang perlahan mulai menyesuaikan diri, khusunya dalam hal kurikulum agar sesuai dengan logika ‘link and match’ antara pendidikan dengan industri agar memudahkan skema pemagangan kedepannya. Dengan begitu diharapkan mahasiswa tidak hanya memiliki pemahaman teoritis, tetapi juga pengalaman praktis berkaitan dengan apa yang dipelajarinya.


Pendidikan Sebagai Bagian dari Ideological State Apparatuses

Sebelum lebih jauh membahas mengenai kebijakan Merdeka Belajar, pada bagian ini kita akan sedikit mengulas pemikiran Louis Althusser, seorang filsuf sekaligus sosiolog Perancis yang memiliki pengaruh besar pada khazanah teori Marxist di dekade 1960-an. Pemikiran Althusser ini kiranya akan sangat relevan untuk dijadikan sebagai pisau analisa dalam memahami program Kampus Merdeka yang dikeluarkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Salah satu inti utama dari pemikiran Althusser adalah tentang reproduksi formasi sosial kapitalisme. Agar bisa bertahan sebagai sebuah sistem, kapitalisme mengharuskan dirinya untuk senantiasa melakukan reproduksi syarat-syarat produksi secara terus-menerus. Adapun yang termasuk kedalam syarat produksi dalam hal ini mencakup dua hal: Pertama, kekuatan-kekuatan produktif, yaitu faktor produksi yang terdiri dari alat-alat produksi dan tenaga kerja. Kedua, relasi produksi, yaitu hubungan eksploitatif diantara pemilik alat produksi (borjuis) dengan tenaga kerja (ploletariat). Althusser lebih memfokuskan pembahasannya pada syarat produksi yang kedua, yaitu relasi produksi. Menurutnya, kapitalisme bisa hidup secara berkelanjutan sebab ia tidak sekadar mereproduksi tenaga kerja─selain dari alat-alat produksi tentu saja─lewat serangkaian pemberian “keterampilan” yang akan berguna pada proses produksi, tetapi ia juga mereproduksi ketundukan kelas pekerja terhadap aturan-aturan kapitalisme itu sendiri melalui berbagai aparatus di wilayah suprastruktur. Dalam hal ini, Althusser menolak determinasi satu arah antara basis ekonomi (corak produksi) dan suprakstruktur (politik, budaya, hukum, pendidikan, moralitas, ideologi, dsb) dimana basis ekonomi senantiasa menentukan suprastruktur yang berada diatasnya. Althusser memandang bahwa pada tingkatan tertentu, suprastruktur memiliki otonomi relatif untuk menentukan basis, tetapi dengan efektivitas yang berbeda selayaknya basis menentukan suprastruktur. Hal ini yang ia sebut sebagai ‘indeks efektivitas’.

Kembali kepada persoalan penundukan kelas pekerja melalui aparatus yang berada di wilayah suprastruktur. Untuk menjelaskan hal ini, Althusser kemudian mengemukakan konsepnya yang terkenal tentang Repressive State Apparatus (RSA) dan Ideological State Apparatuses (ISA). Menurut Althusser Repressive State Apparatus bisa diartikan sebagai institusi negara yang bertugas untuk memastikan keberlangsungan kapital lewat dominasi kelas borjuis atas kelas pekerja melalui cara-cara yang represif atau kasar. Bentuk daripada RSA ini bisa terlihat dalam kehidupan sehari-hari seperti ketika polisi membubarkan aksi demonstrasi atau ketika pengadilan menggagalkan gugatan terhadap perusahaan yang merusak lingkungan. Sementara itu Ideological State Apparatuses merupakan kebalikan daripada Repressive State Apparatus, ISA bertugas untuk menghambat pengambilalihan kekuasaan negara oleh kelas pekerja melalui cara-cara yang lebih halus dan tak kasat mata, yaitu melalui selubung ideologis. Adapun yang termasuk ke dalam ISA ini diantaranya adalah institusi agama, institusi pendidikan, lembaga kebudayaan, pers, dan sebagainya.

Oleh karena itu, dengan mengacu pada analisa Marxist tentang basis-suprastruktur dan pemikiran Althusser sebagaimana telah dipaparkan di atas, kita bisa berkesimpulan bahwa pendidikan tidak mengada untuk dirinya sendiri, dia bukan merupakan sesuatu yang bersifat netral, tetapi dipengaruhi oleh basis ekonomi dan merupakan bagian daripada Ideological State Apparatuses yang senantiasa berfungsi untuk mengamankan kepentingan kapital. Penjelasan tentang institusi pendidikan sebagai Ideological State Apparatuses ini akan berguna untuk memahami program Kampus Merdeka sebagai salah satu praktik liberalisasi pendidikan di Indonesia.



Selayang Pandang tentang Liberalisasi Pendidikan di Indonesia

Liberalisasi pendidikan secara singkat bisa dimaknai sebagai proses untuk membuat pendidikan menjadi liberal dengan tujuan menghilangkan segala bentuk intervensi sehingga dalam praktiknya pendidikan bisa diselenggarakan sebebas-bebasnya. Dalam konteks ini term ‘liberal’ memiliki pengertian yang sama dengan istilah ‘liberalisme’ yang dipergunakan oleh pemikir seperti Adam Smith dan Friedrich Hayek, yaitu hilangnya intervensi negara terhadap kebebasan sipil, terkhusus dalam bidang perekonomian, fungsi negara tak lain hanya untuk menyediakan seperangkat aturan hukum untuk menjaga kepemilikan pribadi, sisanya akan diserahkan kepada mekanisme pasar bebas. Pengertian semacam ini pula yang kiranya diamini oleh Nadiem Makarim selaku mendikbud ketika mengeluarkan kebijakan Merdeka Belajar.

Adapun pengertian yang lebih terperinci tentang liberalisasi pendidikan dikemukakan oleh Dave Hill, menurutnya liberalisasi pendidikan bisa dipahami melalui keterkaitannya dengan deregulasi dan desentralisasi jasa pendidikan dari sektor publik yang mengakibatkan munculnya privatisasi, komersialisasi, dan penggunaan manajemen bisnis dalam penyelenggaraan pendidikan. Melalui liberalisasi pendidikan, negara bisa memangkas anggarannya untuk sektor pendidikan sebab institusi pendidikan menjadi memiliki hak untuk mencari sumber pendanaan lain selain daripada yang diberikan pemerintah. Singkatnya, institusi pendidikan bukan lagi menjadi perpanjangan tangan pemerintah untuk menyejahterakan rakyatnya, tetapi menjadi bagian dari sirkulasi kapital dalam pasar bebas. Liberalisasi pendidikan yang terjadi di Indonesia sejatinya bukanlah fenomena yang muncul secara tiba-tiba, ia adalah proses yang menyejarah dan dipengaruhi oleh beragam faktor. Selain itu liberalisasi pendidikan juga terjadi melalui tahapan-tahapan tertentu yang saling berkelindan satu dengan yang lainnya seperti privatisasi, komersialisasi, dan persaingan antar perguruan tinggi. Sebagaimana yang telah disinggung pada bagian sebelumnya, penyelenggaraan pendidikan tidaklah bisa dilepaskan dari sistem ekonomi yang menjadi basisnya, untuk konteks Indonesia, sistem ekonomi yang digunakan adalah sistem ekonomi yang bercorak neoliberal. Oleh karenanya upaya untuk menciptakan pendidikan Indonesia yang liberal tidak bisa dilepaskan dari kerjasama yang dilakukan Indonesia dengan lembaga-lembaga yang menjadi pilar neoliberalisme dunia seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank, dan World Trade Organization (WTO). Kerjasama-kerjasama dengan lembaga semacam inilah yang akhirnya akan melahirkan kebijakan yang mendorong dicipatakannya liberalisasi pendidikan seperti perubahan konsep pendidikan yang semula merupakan barang publik menjadi barang privat, pemotongan anggaran negara untuk subsidi pendidikan, dan serangkaian regulasi yang pro terhadap pasar bebas.

Puncak dari skema liberalisasi pendidikan di Indonesia adalah dengan disahkannya UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang merupakan implementasi dari proyek Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (IMHERE) antara pemerintah Indonesia dengan Bank Dunia. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi atau yang lebih sering disebut sebagai UU Dikti ini merupakan bentuk lain daripada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan yang sebelumnya telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 31 Maret 2010 karena dianggap inkonstitusional dan menghadirkan diskriminasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Semangat yang diusung kedua undang-undang tersebut serupa, salah satunya adalah terciptanya suatu otonomi kampus yang bukan hanya bergerak pada dimensi keilmuan, tetapi juga pengelolaan, termasuk didalamnya pengelolaan keuangan secara mandiri yang meminimalisir campur tangan pemerintah. Konsekuensi dari hadirnya otonomi semacam ini adalah perubahan paradigma pengelolaan kampus yang semula sebagai institusi pendidikan kini tak ubahnya menjadi semacam perusahaan yang bertujuan untuk menggenjot produktifitas (membuka program studi baru, menambah kuota mahasiswa, memperbanyak publikasi karya ilmiah, dsb), melakukan efisiensi (percepatan studi, penyatuan kelas, mata kuliah, bahkan hingga penyatuan penelitian dosen dan mahasiswa), dan menghasilkan profit (membuka jalur mandiri, mendirikan badan usaha, kerja sama dengan perusahaan, dsb). Bentuk dari otonomi semacam itu lah yang kemudian kita kenal dengan nama Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH).

Pembahasan lebih lanjut soal praktik liberalisasi pendidikan di Indonesia telah banyak diulas secara apik dan komprehensif oleh buku-buku seperti Melawan Liberalisasi Pendidikan yang ditulis oleh Darmaningtyas, Edi Subkhan, dan Fahmi Panimbang atau buku Kuliah Kok Mahal?: Pengantar Kritis Memahami Privatisasi, Komersialisasi, dan Liberalisasi Pendidikan Tinggi karangan Panji Mulkiah. Oleh karenanya kita tidak akan memperbincangkannya lebih jauh. Tulisan ini selanjutnya akan berfokus kepada bentuk liberalisasi pendidikan dalam bentuknya yang paling terbaharukan, yaitu program Kampus Merdeka, khususnya poin keempat tentang perubahan definisi sistem kredit semester (SKS) yang semula adalah jam belajar menjadi jam kegiatan dan kaitannya dengan skema penciptaan tenaga kerja murah melalui kegiatan pemagangan.


Kampus Merdeka dan Skema Penciptaan Tenaga Kerja Murah

Untuk bisa mempertahankan keberlangsungannya, kapitalisme sebagai sebuah sistem mengharuskan diri untuk terus mereproduksi syarat produksinya. Pada pembahasan sebelumnya kita mengetahui bahwa syarat produksi ini terdiri mencakup dua hal yaitu kekuatan produktif dan relasi produksi. Kekuatan produktif sendiri terbagi lagi kedalam dua bentuk yaitu alat-alat produksi dan tenaga kerja. Reproduksi dari kekuatan produktif ini dapat berwujud perawatan dan pembelian alat produksi oleh pemodal serta pemberian gaji kepada buruh untuk memenuhi kebutuhan biologisnya agar dapat bekerja keesokan harinya dan bekal untuk menciptakan tenaga kerja baru ketika buruh tersebut mati. Penciptaan tenaga kerja baru ini biasanya melibatkan institusi pendidikan melalui serangkaian proses pemberian pengetahuan yang akan dipergunakan ketika bekerja nanti. Untuk menjaga stabilitas pasar kerja, sistem pendidikan sengaja dibuat hierarkis atau berjenjang-jenjang. Mereka yang berhasil menamatkan SD dengan kemampuan baca tulis hitung selanjutnya akan dipekerjakan sebagai buruh kasar yang umumnya didominasi oleh kerja-kerja otot seperti satpam, supir, cleaning service, dan sebagainya. Sementara mereka yang memiliki ijazah SMP hingga SMA akan bekerja pada sektor-sektor yang berkaitan dengan administrasi remeh-temeh. Adapun mereka yang beruntung dan berkesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi di universitas akan diarahkan untuk mengisi posisi semacam manajer atau HRD dalam sebuah perusahaan. Intinya mayoritas orang yang mendapat akses terhadap pendidikan─maupun yang tidak─apapun jenjangnya, memang dikondisikan untuk menjadi tenaga kerja upahan. Argumen ini tentu saja mengesampingkan kondisi-kondisi tertentu, misalnya jika orang tersebut memang kaya dari lahir sebagaimana keturunan Aburizal Bakrie, atau secara ajaib mendirikan perusahaan start-up dan berhasil bertahan lalu menjadi decacorn dengan nilai valuasi lebih dari 10 miliar dollar seperti Nadiem Makarim.

Bagian lain dari tulisan ini juga sudah membahas bagaimana kapitalisme bertahan melalui reproduksi ketundukan kelas pekerja dalam kaitannya dengan relasi produksi─yang lagi-lagi melibatkan institusi pendidikan didalamnya sebagai bagian dari Ideological State Apparatuses. Melalui proses pembelajaran di institusi pendidikan tersebut, peserta didik secara tidak sadar dicekoki bahwa kapitalisme adalah keniscayaan dan satu-satunya cara untuk bisa bertahan hidup adalah dengan menjadi tenaga kerja upahan. Sekali lagi, argumen ini mengesampingkan kondisi-kondisi tertentu sebagaimana yang sudah disebutkan diatas. Adalah melalui selembar kertas bernama ijazah reproduksi syarat-syarat produksi berupa tenaga kerja sekaligus relasi produksi yang menundukan tersebut dipertemukan. Hal ini kemudian akan dipertegas dengan hadirnya program Kampus Merdeka.

Salah satu poin yang terkandung dalam program Kampus Merdeka adalah perubahan definisi sistem kredit semester (SKS) dari awalnya ‘jam belajar’ menjadi ‘jam kegiatan’. Bentuk kegiatan tersebut bisa bermacam-macam seperti berwirausaha, riset, ataupun melakukan pengabdian ke daerah terpencil, namun tentu saja, yang paling ditekankan adalah pemagangan. Melalui program Kampus Merdeka, mahasiswa didorong─meskipun bukan diharuskan─untuk melakukan pemagangan yang durasinya bisa mencapai tiga semester. Kegiatan pemagangan ini sejatinya mengandung dua fungsi didalamnya: Pertama, fungsi manifest yang memang diharapkan, yaitu dicetaknya lulusan kuliah yang bukan hanya dibekali pengetahuan teoritis, tetapi juga pengalaman praktis untuk mengaplikasikannya di dunia kerja. Kedua, fungsi laten yang seringkali tidak disadari keberadaannya, praktik pemagangan nyatanya melahirkan tenaga kerja murah, tak jarang bahkan gratis tanpa dibayar sepeserpun. Di Indonesia sendiri, kegiatan pemagangan sudah memiliki payung hukum berupa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (yang kemudian akan diganti oleh Omnimbus Law RUU Cipta Kerja) dan turunanya berupa Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 36 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri. Namun nyatanya regulasi tersebut justru melegitimasi perusahaan untuk mempekerjakan tenaga magang dibawah Upah Minimum Kabupaten/Kota dan Upah Minimum Regional. Regulasi yang ada juga gagal untuk menjamin tenaga magang agar tidak dieksploitasi berlebihan oleh pihak perusahaan. Realita di lapangan seringkali menunjukan bahwa praktik pemagangan tak ubahnya seperti perbudakan modern: (calon) buruh ditindas dengan cara dipekerjakan melebihi jam kerja yang ditentukan dan diupah alakadarnya, bahkan tidak sama sekali, ini belum termasuk tekanan psikologis yang diterima selama proses magang. Sudah menjadi rahasia umum pula bahwa tak jarang pelajar atau mahasiswa yang tengah menempuh magang justru ditempatkan pada posisi-posisi yang oleh David Graeber dikatakan sebagai bullshit jobs-pekerjaan yang sebetulnya tidak berkontribusi apapun pada sektor produksi sehingga apabila dihilangkan tidak akan menjadi masalah berarti-mulai dari menjadi bagian administrasi remeh-temeh, hingga bahkan menjadi tukang fotokopi belaka.

Dari pemaparan tersebut, sekilas kita bisa melihat bahwa alih-alih memberikan pengalaman yang berarti, tenaga magang justru hanya diperas keringatnya dengan pekerjaan-pekerjaan yang tidak perlu. Lebih lanjut lagi, dalam kerangka kapitalisme, program Kampus Merdeka melalui dorongan pemagangan bagi mahasiswa nyatanya ditujukan untuk menciptakan tenaga kerja murah. Program Kampus Merdeka seolah-olah mempertegas keniscayaan bahwa seorang mahasiswa memang ditujukan untuk menjadi tenaga kerja upahan dan kampus sebagai institusi pendidikan yang merupakan bagian dari Ideological State Apparatuses diperuntukan untuk memastikan keniscayaan tersebut tetap terjaga demi keberlangsungan kapitalisme.


Kesimpulan dan Saran

Berbicara tentang pendidikan memang tidak pernah sederhana dan mudah sebab tujuan yang diembannya begitu berat dan mulai. Oleh karenanya diskursus menyoal pendidikan (pedagogi) baik pada tataran teoritis melalui penelusuran kembali tentang hakikat pendidikan dengan cara membaca dan mendiskusikan pemikiran tokoh-tokoh pendidikan seperti Paulo Freire, Henry Giroux, Ivan Illich, dsb harus terus digalakan. Begitu pula dengan diskursus pendidikan pada tataran praksis yang berwujud kebijakan pemerintah seperti halnya program Kampus Merdeka juga harus terus dikaji dan dipertanyakan. Dan karena maksud yang demikian pulalah tulisan ini ada.

Alih-alih menyerahkan pendidikan ke tangan pasar bebas melalui liberalisasi pendidikan, Indonesia harusnya mengadopsi pendidikan sebagaimana yang menjadi semboyan Universitas Leiden: Praesidium Libertaris atau Benteng Kebebasan yaitu pendidikan yang ditujukan untuk membuka ruang demokrasi dan menyuarakan kebenaran kepada penguasa. Kebijakan Merdeka Belajar harusnya diartikan bahwa mereka yang belajar bukan hanya sekadar menjadi objek yang pasif, tetapi subjek yang mampu berpikir secara kritis. Seperti kata Freire, pendidikan harusnya berguna untuk memanusiakan manusia, ia adalah jalan menuju pembebasan dari segala macam penindasan yang ada. Kampus Merdeka idealnya adalah kampus dimana setiap orang dari segala lapisan ekonomi, gender, etnis, dan agama memiliki kesempatan yang sama untuk mengaksesnya tanpa adanya diskriminasi. Kampus yang merdeka juga adalah kampus yang menjadi wadah bagi pertukaran bermacam ide tanpa musti khawatir terhadap relasi kuasa yang timpang antara mahasiswa dan dosen, mahasiswa juga harusnya memiliki kebebasan untuk mempelajari apa saja yang menjadi minatnya tanpa harus terpaku pada kurikulum yang menjemukan dan ditujukan semata-mata untuk kepentingan industri. Apabila kondisi ideal seperti yang diimpi-impikan tersebut belum juga terwujud, maka sudah saatnya revolusi dilakukan, dan itu dimulai dari ruang-ruang kelas. (Calon) buruh sedunia bersatulah!



*Pandu adalah kader LPPMD angkatan XXXVI dan mahasiswa Sosiologi angkatan 2018, Fakultas Ilmu Ssosial dan Politik, Universitas Padjadjaran.

Referensi

Ahmad, P. M. (2019). Kuliah Kok Mahal?: Pengantar Kritis Memahami Privatisasi, Komersialisasi, dan Liberalisasi Pendidikan Tinggi. Yogyakarta: Best Line Press.


Althusser, L. (2015). Ideologi dan Aparatus Ideologi Negara. Indoprogress.


CNN Indonesia. (2020, Februari 10). Nadiem Buat Lima Payung Hukum untuk Kebijakan Kampus Merdeka. Diambil dari CNN Indonesia: https://m.cnnindonesia.com/nasional/20200210100210-20-473163/nadiem-buat-lima-payung-hukum-untuk-kebijakan-kampus-merdeka


Darmaningtyas, Subkhan, E., & Panimbang, F. (2014). Melawan Liberalisasi Pendidikan. Malang: Madani.


Dewey, J. (1916). Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy of Education. New York: Macmilian.


Freire, P. (1985). Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3ES.


Graeber, D. (2018). Bullshit Jobs: A Theory. London: Penguin Allen Lane.


Hussein, M. Z. (2012, Januari 11). Ideologi dan Reproduksi Masyarakat Kapitalis. Retrieved from Indoprogress.com: https://indoprogress.com/2012/01/ideologi-dan-reproduksi-masyarakat-kapitalis/


Kresna, M., & Sumandoyo, A. (2017, Mei 1). Melanggengkan Pemerasan dan Upah Murah lewat Buruh Magang. Diambil dari tirto.id: https://tirto.id/melanggengkan-pemerasan-dan-upah-murah-lewat-buruh-magang-cnNn


Prabowo, H. (2020, Januari 29). Pro dan Kontra atas Kebijakan 'Kampus Merdeka' Nadiem. Diambil dari tirto.id: https://tirto.id/pro-dan-kontra-atas-kebijakan-kampus-merdeka-nadiem-evs2


Tidak ada komentar: