Pendidikan Bukan untuk Eksklusivitas - LPPMD Unpad

Rabu, 17 Februari 2016

Pendidikan Bukan untuk Eksklusivitas



Oleh: Annadi Muhammad Alkaf (Kepala Divisi Pendidikan LPPMD UNPAD)


Dalam Sosiologi dikenal istilah stratifikasi sosial, yaitu pembagian masyarakat berdasarkan kelas-kelas. Terdiri dari kelas atas, kelas bawah, dan kelas menengah (Pitirim A. Sorokin). Stratifikasi sosial sendiri bisa diperoleh secara alami ataupun melalui usaha-usaha. Salah satunya adalah melalui jalur pendidikan.
Idealnya, seorang terpelajar yang berpendidikan tinggi akan lebih dipercaya dalam masyarakat karena dianggap memiliki ilmu pengetahuan yang mumpuni. Orang yang terpelajar juga akan dianggap lebih bijaksana dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya tersebut sehingga pendapat, masukan, ataupun kata-katanya akan lebih didengarkan oleh masyarakat umum. Seorang terpelajar akan lebih dihormati dalam masyarakat.
Tapi, itu jika kita berbicara keadaan ideal. Sayangnya, kenyataan tidak selalu menunjukkan hal demikian. Tidak semua memang, tapi ada saja—jika tidak dibilang banyak—orang-orang atau individu yang telah mengenyam pendidikan (formal) tinggi namun justru menjadikannya semakin jauh dari masyarakat.
Sering kita temui orang-orang terpelajar dengan prestasi gilang-gemilang dalam bidang akademik, pandai berbahasa asing, dan lain-lain tapi cenderung memisahkan diri dalam pergaulan. Membentuk kelompok sendiri, eksklusif! begitu kesannya. Baiklah, sampai disini mungkin pendapat saya terlalu subjektif, tanpa didukung dengan data-data berupa sederetan angka dalam tabel atau grafik. Tapi saya yakin, banyak dari kita melihat hal yang sama ditengah-tengah masyarakat hari ini.
Yang kemudian menjadi persoalan bukanlah semata-mata bagaimana cara mengubah atau menghilangkan orang-orang eksklusif semacam itu, tapi mari kita berkaca pada diri sendiri terlebih dahulu. Apakah diri ini sendiri telah benar-benar membaur dan menyatu dengan masyarakat? Sebaiknya jangan terlalu terburu-buru menjawab pertanyaan ini. Ada bagusnya, untuk membantu menjawab pertanyaan tersebut kita renungkan beberapa hal.
Pertama, seberapa banyak waktu yang kita gunakan dengan hanya berkutat pada tugas-tugas sekolah atau kampus? Lalu, seberapa banyak waktu pula yang telah kita gunakan cuma untuk mengurusi berbagai kegiatan sekolah atau kampus? Berapa banyak waktu yang kita habiskan untuk sekadar nongkrong bersama teman-teman sekelas di kafe-kafe mahal? Atau seberapa banyak waktu yang kita habiskan bersama pacar, misalnya? Jangan-jangan selama ini kita hanya sibuk dengan kegiatan sendiri, tanpa menyadarinya. Asik dengan lingkaran pertemanan sendiri, juga tanpa menyadarinya. Terpisah dengan masyarakat pada umumnya.
Sampai disini, boleh jadi tujuan pendidikan itu justru tidak tercapai. Seperti yang tercantum di dalam UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II pasal 4 dikemukakan bahwa Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Pertanyaannya pun sederhana, bagaimana bisa mencerdaskan kehidupan bangsa atau memberantas kebodohan di masyarakat jika golongan kaum terpelajar justru meng-eksklusif-kan diri atau tanpa sadar asik dengan lingkaran pergaulannya sendiri. Maka dari itu, perlu jua kiranya  hal ini untuk direnungkan sebagai sarana refleksi diri.
Sebagai penutup, saya ingin mengutip kata-kata dari Tan Malaka, beliau pernah berkata: “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali!”
Salam.

Tidak ada komentar: