Oleh: Annadi Muhammad Alkaf (Kepala Divisi
Pendidikan LPPMD UNPAD)
Dalam
Sosiologi dikenal istilah stratifikasi sosial, yaitu pembagian masyarakat
berdasarkan kelas-kelas. Terdiri dari kelas atas, kelas bawah, dan kelas
menengah (Pitirim A. Sorokin). Stratifikasi sosial sendiri bisa diperoleh
secara alami ataupun melalui usaha-usaha. Salah satunya adalah melalui jalur
pendidikan.
Idealnya,
seorang terpelajar yang berpendidikan tinggi akan lebih dipercaya dalam
masyarakat karena dianggap memiliki ilmu pengetahuan yang mumpuni. Orang yang
terpelajar juga akan dianggap lebih bijaksana dengan ilmu pengetahuan yang
dimilikinya tersebut sehingga pendapat, masukan, ataupun kata-katanya akan
lebih didengarkan oleh masyarakat umum. Seorang terpelajar akan lebih dihormati
dalam masyarakat.
Tapi, itu jika
kita berbicara keadaan ideal. Sayangnya, kenyataan tidak selalu menunjukkan hal
demikian. Tidak semua memang, tapi ada saja—jika tidak dibilang
banyak—orang-orang atau individu yang telah mengenyam pendidikan (formal)
tinggi namun justru menjadikannya semakin jauh dari masyarakat.
Sering
kita temui orang-orang terpelajar dengan prestasi gilang-gemilang dalam bidang
akademik, pandai berbahasa asing, dan lain-lain tapi cenderung memisahkan diri
dalam pergaulan. Membentuk kelompok sendiri, eksklusif! begitu kesannya.
Baiklah, sampai disini mungkin pendapat saya terlalu subjektif, tanpa didukung
dengan data-data berupa sederetan angka dalam tabel atau grafik. Tapi saya
yakin, banyak dari kita melihat hal yang sama ditengah-tengah masyarakat hari
ini.
Yang
kemudian menjadi persoalan bukanlah semata-mata bagaimana cara mengubah atau
menghilangkan orang-orang eksklusif semacam itu, tapi mari kita berkaca pada
diri sendiri terlebih dahulu. Apakah diri ini sendiri telah benar-benar membaur
dan menyatu dengan masyarakat? Sebaiknya jangan terlalu terburu-buru menjawab
pertanyaan ini. Ada bagusnya, untuk membantu menjawab pertanyaan tersebut kita
renungkan beberapa hal.
Pertama,
seberapa banyak waktu yang kita gunakan dengan hanya berkutat pada tugas-tugas
sekolah atau kampus? Lalu, seberapa banyak waktu pula yang telah kita gunakan
cuma untuk mengurusi berbagai kegiatan sekolah atau kampus? Berapa banyak waktu
yang kita habiskan untuk sekadar nongkrong bersama teman-teman sekelas di
kafe-kafe mahal? Atau seberapa banyak waktu yang kita habiskan bersama pacar,
misalnya? Jangan-jangan selama ini kita hanya sibuk dengan kegiatan sendiri,
tanpa menyadarinya. Asik dengan lingkaran pertemanan sendiri, juga tanpa
menyadarinya. Terpisah dengan masyarakat pada umumnya.
Sampai
disini, boleh jadi tujuan pendidikan itu justru tidak tercapai. Seperti yang
tercantum di dalam UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab
II pasal 4 dikemukakan bahwa Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia
yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti
luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani,
kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan
dan kebangsaan.
Pertanyaannya
pun sederhana, bagaimana bisa mencerdaskan kehidupan bangsa atau memberantas
kebodohan di masyarakat jika golongan kaum terpelajar justru meng-eksklusif-kan
diri atau tanpa sadar asik dengan lingkaran pergaulannya sendiri. Maka dari
itu, perlu jua kiranya hal ini untuk direnungkan sebagai sarana refleksi
diri.
Sebagai
penutup, saya ingin mengutip kata-kata dari Tan Malaka, beliau pernah berkata:
“Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah menganggap dirinya terlalu tinggi
dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan
hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak
diberikan sama sekali!”
Salam.
Tidak ada komentar: