Dewasa ini kita hidup dalam era krisis ekologi,
yang merupakan akibat langsung dari tindakan manusia. Para ilmuwan alam masih
berdebat apakah masa historis dewasa ini seharusnya disebut Antroposen[1],
untuk menandai sebuah periode dimana aktivitas manusia menjadi pendorong utama
dalam perubahan ekologi global.[i]
Pada mulanya, diusulkan bahwa zaman (epoch)
baru ini, berhubungan dengan kemunculan kapitalis modern dan perkembangan
industri, dimulai sejak abad kedelapan belas. Imperatif perkembangan dari
kapitalisme, sebagaimana perubahan sosio-kultural lainnya, merupakan faktor
utama yang menghasilkan masalah-masalah lingkungan yang utama, yang memuncak dalam
bentuk krisis ekologi.[ii]
Telah menjadi semakin jelaslah bahwa manusia
sedang menghadapi sebuah krisis eksistensial. Penulis dan aktivis lingkungan
Bill McKibben menjelaskan:
Bumi sudah berubah dengan
cara-cara yang begitu mendalam, lewat cara-cara yang telah membawa kita keluar
dari tempat nyaman yang di dalamnya manusia sejak lama tumbuh-baik.... Dunia
belum berakhir, kecuali dunia yang sebagaimana kita ketahui—sekalipun kita
belum sungguh-sungguh mengetahuinya. Kita membayangkan bahwa kita masih hidup di
atas planet tua itu, bahwa guncangan-guncangan yang kita lihat di sekeliling
kita adalah macam-macam hal lama yang ganjil dan acak. Tetapi tidak demikian.
Ia merupakan tempat yang berbeda. Sebuah planet yang berbeda.... Ini merupakan
salah satu momen langka, awal dari sebuah perubahan yang jauh lebih besar dan
sempurna ketimbang apapun yang dapat kita baca dalam catatan sejarah manusia,
sejajar dengan bahaya-bahaya terbesar yang dapat kita baca dalam catatan
sejarah perihal batu dan es.[iii]
Banyak masalah ekologi modern dirujuk sebagai
sebuah tragedi kepemilikan bersama[2]
(tragedy of the commons), sebuah
konsep yang dikembangkan oleh Garrett Hardin pada tahun 1960-an untuk
menggambarkan eksploitasi-berlebihan atau perampasan (despoliation[3])
sumber daya alam.[iv] Kami
berpendapat bahwa masalah ekologi modern tersebut berhubungan dengan tragedi komoditas. Ketika kami
menggunakan dengan seksama konsep Hardin, pendekatan ini menawarkan, menurut
kami, sebuah analisis mengenai poros-penggerak degradasi ekologi yang terapropriasi
secara historis dan jauh lebih komprehensif.
Ilustrasi klasik mengenai tragedi kepemilikan
bersama yang digunakan oleh Hardin melibatkan dinamika penggembala dan
ternaknya. Ia menegaskan bahwa masing-masing penggembala akan bertindak
terutama menurut kepentingannya sendiri dengan menambahkan ternak tambahan ke
lahan penggembalaan umum (common grazing
land), ketika lahan tersebut mampu meningkatkan keuntungan individual.
Karenanya, Hardin berpendapat, masing-masing penggembala mencoba untuk mendapatkan
manfaat-manfaat yang ditawarkan oleh yang-umum (the commons), sementara memasyarakatkan ongkos untuk semuanya.
Sebagai contoh, dengan menambahkan hewan tambahan ke padang rumput penggembala
memperoleh semua manfaat, tetapi hanya membayar sebagian kecil biaya
lingkungan, seperti penipisan lahan penggembalaan. Masing-masing aktor,
didorong oleh maksimalisasi keuntungan individual, yang memasukkan, dengan
kecenderungan peningkatan di dalamnya, ternak-ternak ke dalam sebuah sistem
sumberdaya terbatas, akan menyebabkan destruksi lahan yang tragis. Dalam hal
ini Hardin berkesimpulan bahwa “kebebasan dalam yang-umum (kepemilikan bersama, pen.) membawa kehancuran bagi semua.”[v]
Bagi Hardin, dan juga bagi orang-orang yang mengambil perspektif ini,
memperluas milik-pribadi ditawarkan sebagai sebuah solusi kebijakan yang
terdepan untuk menghindari tragedi-tragedi ekologi.[vi]
Teori tragedi
kepemilikan bersama menjelaskan perilaku aktor individu di dalam keadaan
sosial yang terberi (given). Meskipun
demikian, teori tersebut tidak membahas bagaimana kondisi-kondisi historis dan
sistem sosio-ekonomi memengaruhi para aktor individu. Dengan perkataan lain,
konteks sosial yang ada diterima begitu saja (taken for granted). Kondisi dan relasi sosial yang ada dianggap
sebagai yang selalu-kekinian, universal dan permanen. Model ini lalai untuk
mengakui bahwa interaksi dan pertukaran manusia dengan sistem-sistem ekologi
berubah melalui waktu dan diatur oleh kondisi-kondisi institusional khusus.
Ketika diperiksa dari perspektif sosiologis, teori tragedi kepemilikan bersama
bersifat simplistik dan berat sebelah dalam upaya menjelaskan perilaku sosial
manusia, atau agensi manusia, tanpa sebuah pemahaman yang seksama atas
organisasi sosial-historis.[vii]
Simplifikasi ini menghasilkan sebuah mistifikasi atas sistem produksi dan
konsumsi modern dan atas efek ekosistem tertentu yang historis.
Berlawanan dengan itu, pendekatan tragedi
komoditas (the tragedy of the commodity
approach) menekankan peran dari imperatif perkembangan kapitalisme dan
komodifikasi dalam menghasilkan aturan-aturan institusional yang olehnya alam
dan, misalnya, yang-umum (kepemilikan bersama, the commons, pen.) diatur
dan secara historis ditransformasikan. Sistem-sistem ekologi tidak pernah sama
sekali bebas dari pengaruh-pengaruh sosial. Sebaliknya, sistem-sistem ekologi
tersebut dibentuk oleh kondisi-kondisi sosial termasuk di dalamnya norma,
tradisi, aturan ekonomi, organisasi kerja, tatanan politico-legal, dll.[viii]
Aksi-aksi sosial yang telah muncul bersamaan dengan perkembangan kapitalis
didominasi oleh apa yang Adam Smith sebut “kecenderungan untuk mengangkut,
membarter, dan menukar,” sesuai dengan utilitarianisme-bersahaja, dimana
individu-individu mengikuti kepentingan-diri murni tanpa pembatas sosial. Sungguh
sial, secara tidak tepat aksi-aksi tersebut seringkali dianggap berasal dari
perilaku bawaan manusia (innate).[ix]
Dengan demikian, apa yang mungkin menampak kepada pengamat sambil-lalu menjadi
sebuah sistem yang diatur oleh ketamakan dasariah dan insting manusia, pada
kenyataaannya, diatur oleh dorongan atas akumulasi kapital (modal, pen.) dan
apa yang Immanuel Wallerstein sebut “komodifikasi progresif atas segala
sesuatu” (“commodification of everyting”).[x]
Di antara hasil-hasil yang lain, proses komodifikasi menghasilkan sebuah
tatanan metabolis sosial—simpangan dan hubungan timbal balik sosio-ekologis—yang
menciptakan konsekuensi-konsekuensi sosial dan ekologi yang berkelanjutan.
Di dalam sebuah masyarakat yang diatur dalam
lingkaran logika kapital, aktivitas-aktivitas manusia cenderung diarahkan
menuju produksi komoditas. Dalam hal ini, kapitalisme dapat dipahami, dalam
artian yang luas, sebagai sebuah sistem produksi komoditas yang umum. Susunan
institusional menghasilkan susunan sosial khusus dan menimbulkan tipe-tipe aksi
sosial manusia yang berbeda-beda. Komoditas berfungsi sebagai unit dasar untuk
memahami relasi kultur-natur (kebudayaan-alam, pen.) yang lebih besar dan juga
untuk memahami kapitalisme itu sendiri. Komoditas merupakan elemen dasar dari
proses pasar kapitalis.
Alam merupakan sumber esensial dari nilai-pakai, atau
kegunaan kualitatif dari barang. Sebagai contoh, sistem biogeokimiawi bumi
menyediakan syarat-syarat dan cara-cara yang mumungkinkankan adanya produksi
makanan. Karl Marx menekankan bahwa di bawah relasi kapitalis, alam dilihat
sebagai hadiah cuma-cuma; alam tidak dianggap sebagai bagian dari kekayaan.[xi]
Ia dengan amat baik menjelaskan hal ini berdasarkan sebuah “formula umum
kapital”—dengan mana kapital dipahami sebagai “transformasi
kapital-sebagai-uang ke dalam kapital-sebagai-komoditas secara terus-menerus,
yang diikuti oleh sebuah transformasi-ulang kapital-sebagai-komoditas ke dalam
kapital-sebagai-uang (lagi).”[xii]
Sekalipun nilai-pakai menyatakan sifat yang berguna dari sebuah barang atau
jasa, adalah nilai-tukar, atau nilai-pasarlah yang hanya mengetahui peningkatan
kuantitatif dan menggerakkan aktivitas ekonomi kapitalis.
Uang yang dimasukkan ke dalam sirkulasi agar kembali
menjadi uang (keuntungan, pen.), kuantitas untuk kuantitas, “daya penggerak dan
pendorongnya, karenanya, adalah nilai-tukar.”[xiii]
Dengan demikian, kapital meluas secara konstan ke dalam kapital yang lebih
banyak, yang didorong oleh nilai-lebih atau laba, yang merupakan “hukum absolut
dari modus produksi ini.”[xiv]
Di bawah logika ini, uang mendominasi organisasi sosial dan hubungan alamiah.
Menunjukkan kemeresapan (pervasiveness)
dari logika ini, Karl Polanyi mengatakan, “Semua transaksi diubah ke dalam
transaksi uang.”[xv]
Munculnya pasar yang mencakup-semua (all-encompassing)
dan swatata (self-regulating) mencerabut aktivitas praktis
manusia dari fondasinya di dalam kondisi-kondisi sosiokultural dan lingkungan
yang lebih luas. Aktivitas pasar yang diatur oleh produksi komoditas demi
akumulasi kapital tak berujung memperoleh daya-dorong tak tertahankan dari
“proses alam.”[xvi]
Karena itu, organisasi aktivitas produksi dan konsumsi secara fundamental
ditransformasikan dari pertukaran kualitas ke dalam pertukaran kuantitas.
Alienasi dari satu sama lain dan alam meningkat, sebagaimana relasi kualitatif
dari produksi dan metabolisme alam universal dimasukkan ke dalam imperatif
perkembangan kuantitatif dari kapitalisme dan kultur kuantitas.[xvii]
Tegangan fundamental antara keniscayaan ekspansi kuantitatif untuk menopang
relasi ekonomi dan konsekuensi-konsekuensi ekologi yang berkelanjutan secara
kualitatif ini menandai ciri khas krisis ekologi modern dan tragedi komoditas.
Kapital cenderung menyederhanakan proses-proses
alam dan ekosistem-ekosistem yang ada, menekankan sebuah pembagian atas alam
untuk meningkatkan efisiensi ekonomi. Kapital mengarahkan siklus hidup tanaman
dan hewan ke dalam siklus pertukaran ekonomis. Relasi sosial kualitatif—seperti
penggunaan subsisten (sekadar menyambung hidup, pen.) dalam sebuah ekosistem—bukanlah
bagian dari sistem perhitungan kapitalis dan dapat mengidap bermacam bentuk
destruksi sebagai akibatnya. Nilai-pakai, seperti cara-cara kualitatif untuk
memenuhi kebutuhan hidup, dibatasi oleh sifat-sifat biofisik yang terberi. Berlawanan dengan itu, tidak ada
batas bagi ukuran kekayaan kuantitatif. Dengan kata lain, meningkatkan laba
pada investasi tidak memiliki akhir, namun kebutuhan manusia yang nyata dibatasi
oleh batas-batas material tertentu yang dapat diketahui.
Dorongan yang tanpa henti untuk akumulasi yang
melekat dalam produksi komoditas kapitalis meningkatkan metabolisme sosial. Hal
tersebut mengakibatkan penipisan sumberdaya secara lebih cepat, berasal dari
meningkatnya permintaan untuk bahan-material, dan generasi yang menghasilkan
lebih banyak limbah. Hal tersebut mendegradasi syarat-syarat yang menyokong
ekosistem yang kokoh. Sistem kapitalis menciptakan banyak kontradiksi antara
alam dan komoditas; sistem tersebut memperdalam dan menciptakan retakan
ekologi.[xviii]
Jalan ke depan, menuju sebuah dunia yang lebih
berkelanjutan, membutuhkan perubahan radikal dalam kondisi sosial yang telah
secara historis membentuk sistem produktif dan konsumsi kapitalisme. Tindakan
kolektif harus merebut kembali yang-umum (commons)
bagi publik dan meletakkannya dalam kontrol orang yang paling dekat berinteraksi
dengannya dan bergantung padanya demi kesejahteraan masyarakat. Agar tercapai,
tindakan-tindakan ini harus (sebagai akibatnya) mendekomodifikasi alam.
Yang-Umum (apa-apa yang ada di alam yang menjadi kepemilikan bersama, seperti
atmosfer, oksigen, air. Bahasa Inggris: Commons—Pen.)
harus didesentralisasi dan didemokratisasi, ketimbang, dalam pandangan neoliberal
yang baku, diprivatisasi. Lahan pertanian dan perikanan harus diatur secara
sosial untuk meningkatkan bahan makanan dan kesehatan. Hutan harus dinilai
sebagai cadangan biodiversitas, air bersih, dan kebudayaan. Aktivitas ekonomi
harus tertanam di dalam masyarakat sebagai suatu keseluruhan dan metabolisme
universal dari dunia biofisik, yang memperkenankan keberlanjutan proses-proses
reproduktif, siklus nutrien, dan aliran energi yang menyokong semua kehidupan.
Masyarakat-manusia harus mentransendensi logika kapital, menciptakan tatanan
metabolis sosial yang baru yang meningkatkan kualitas kehidupan dan memperbesar
potensi pengembangan ekologi dan kebebasan manusia universal.
Baru-baru ini, Paus Fransiskus menyoroti apa yang
kita sebut tragedi komoditas. Dalam ensiklik[4]-nya
yang dipublikasikan—mengenai lingkungan—ia menyebut “efek tragis dari degradasi
lingkungan.” Dia melanjutkan dengan mengatakan: “Dimana laba sendiri yang
dihitung, tidak dapat ada pemikiran mengenai irama alam, fase-fase pembusukan
dan regenerasinya, atau kompleksitas ekosistem yang mungkin diganggu oleh
intervensi manusia. Lebih lanjut, biodiversitas dianggap paling-paling sebagai
deposit dari sumberdaya ekonomi yang tersedia untuk dieksploitasi, tanpa
pemikiran serius mengenai nilai riil dari hal-ihwal, signifikansinya untuk
orang-orang dan kebudayaan, atau perhatian dan kebutuhan orang-orang miskin.”[xix]
Ia berpendapat bahwa sebuah “revolusi kebudayaan” dibutuhkan untuk mengatasi
krisis ekologi.
Menariknya, Paus Fransiskus membatasi
tanggapan-sarannya kepada revolusi kebudayaan ketika jelas di dalam seluruh
dokumen tersebut dimana ia sedang menggambarkan masalah politiko-ekonomi. Kami
setuju bahwa sebuah pendekatan revolusioner diperlukan untuk mengatasi krisis
ekologi. Tak ada jalan pintas yang cukup untuk menantang tragedi komoditas ini.
***
Sumber
Terjemahan: Http://www.counterpunch.org/2015/07/21/ecological-crisis-and-the-tragedy-of-the-commodity/
Esai ini berdasarkan pada buku baru Stefano
B. Longo, Rebecca Clausen dan Brett Clark yang berjudul The Tragedy of the Commodity:
Oceans Fisheries and Aquaculture, yang
diterbitkan oleh Rutgers University Press (2015).
[1] Antroposen
(Anthropocene)
adalah periode kala geologi terkini yang di dalamnya tindakan manusia memiliki
pengaruh global terhadap sistem biosfer, hidrologi, geologi, atmosfer yang ada
di bumi. Kata tersebut merupakan kombinasi antara akar kata “anthropo”, yang berarti “manusia”
dengan akar kata “-cene”, akhiran (sufiks) baku untuk “zaman” dalam waktu geologi.
Antroposen dibedakan sebagai periode baru baik setelah atau di dalam Holosen
(Holosen), zaman terkini, yang dimulai kira-kira 10.000 tahun lalu (sekitar
8000 SM)—akhir dari zaman es akhir. Sumber: http://www.anthropocene.info/
diakses pada 09/03/2016 pukul 14:47 WIB (Catatan
penerjemah: Aldo Fernando Nasir)
[2]
Berikutnya, dalam beberapa bagian, istilah The
Commons saya alihbahasakan menjadi Yang-Umum
(Catatan Penerjemah)
[3] Berasal dari Late Latin dēspoliātiō, dēspoliātiōn-, dari Latin dēspoliātus, bentuk past participle dari dēspoliāre, to
despoil. Sumber: www.thefreedictionary.com/despoliation (diakses pada 09/03/2016 pukul 15:36 WIB) (Catatan
penerjemah)
[4] Surat edaran atau pesan tertulis
dari Paus kepada semua uskup yang sifatnya umum, berisi masalah penting dalam bidang
keagamaan atau bidang sosial (KBBI—Cat. Penerjemah).
Catatan
Akhir:
[i]
Paul J. Crutzen, “Geology of Mankind,” Nature 415,
no. 6867 (2002): 23; Jan Zalasiewicz et al., “The New World of the
Anthropocene,” Environmental Science &
Technology 44, no. 7 (2010): 2228-31.
[ii] Will Steffen et al., “The
Anthropocene: Conceptual and Historical Perspectives,” Philosophical Transactions of the Royal
Society 369, no. 1938 (2011): 842–67.
[iii]
Bill McKibben, Eaarth: Making Life on a Tough
New Planet (New York: Times Books, 2010), 2-3.
[iv] Garrett Hardin, “The Tragedy of
the Commons,” Science 162, no. 3859
(1968):
1243–1248.
[v] Hardin, “The Tragedy of the
Commons,” 1244.
[vi] Para ahli teori tragedi
kepemilikan bersama juga mengakui potensi dari aksi dan pengelolaan negara
sebagai penataan alternatif untuk memajukan konservasi sumberdaya. Lih. Elinor
Ostrom et al., The Drama of the Commons
(Washington, DC: National Academies Press, 2002).
[vii] Bonnie J. McCay and Svein
Jentoft, “Uncommon Ground: Critical Perspectives on Common Property” in Human Footprints on the Global Environment:
Threats to Sustainability, ed. Eugene A. Rosa et al. (Cambridge,
MA: MIT Press, 2010), 207.
[viii] Thomas Dietz et al., “The
Struggle to Govern the Commons,” Science 302,
no. 5652 (2003): 1907–1912; Elinor Ostrom et al., “Revisiting the Commons,” Science 284, no. 5412 (1999):
278–282.
[ix] Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the
Wealth of Nations, 2 Volumes (London: Methuen & Co., 1930);
Karl Marx, Capital, Vol. 1 (New York: Vintage,
1976); Karl Polanyi, The Great Transformation (Boston:
Beacon Press, 2001).
[x] Immanuel Wallerstein, Historical Capitalism with Capitalist
Civilization (London: Verso, 1983).
[xii] Robert L. Heilbroner, The Nature and Logic of Capitalism
(New York: W. W. Norton, 1985), 36.
[xiii] Marx, Capital, Vol. 1, 250.
[xiv] Ibid., 769.
[xvi] Ibid., 132.
[xvii] István Mészáros, Marx’s Theory of Alienation
(London: Merlin Press, 1986), 35.
[xviii] Brett Clark and Richard York,
“Rifts and Shifts: Getting to the Roots of Environmental Crises,” Monthly Review 60, no. 6 (2008):
13–24.
[xix] Pope Francis, Encyclical Letter Laudato Si’ of the Holy
Father Francis on Care for Our Common Home (Vatican Press, 2015),
12, 139.
The Company reserves the best, but has no obligation, to monitor disputes between you and different Service users. The Company reserves the best to terminate your Services entry if the Company determines, in its sole discretion, that doing so is prudent. Wagering on the Services is restricted under relevant legislation to Account Holders who're physically located in the Commonwealth of Pennsylvania on the time they're using the Services. Additional geographic restrictions may apply inside the Commonwealth of Pennsylvania. If your location cannot be confirmed if you end up} using the Services, your use of the Services shall be restricted and you will not be allowed to place any wagers. If I wish to change from gambling on Facebook to 빅카지노 a real web site I simply go to Google and type in poker and have it .
BalasHapus